PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA"

Transkripsi

1 PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA AGUSTINA SINUHAJI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2010 Agustina Sinuhaji C

3 3 RINGKASAN Agustina Sinuhaji. C Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta. Dibawah bimbingan Enan M. Adiwilaga. Waduk cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun di DAS Citarum, yang pada saat pembangunannya ditujukan sebagai pembangkit listrik tenaga air. Waduk Cirata juga dimanfaatkan untuk tujuan budidaya ikan konsumsi dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA). Saat ini waduk cirata mengalami masalah yang cukup serius seperti penurunan kualitas air yang disebabkan oleh bahan organik yang berasal dari sisa pakan, limbah domestik, dan industri. Dalam kondisi anoksik proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerobik sehingga akan menghasilkan gas-gas beracun seperti H 2S, NH 3, dan CH 4. Jika dalam kondisi ini terjadi pembalikan masa air ke permukaan akan membahayakan kehidupan biota perairan dan mengakibatkan kematian massal ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi ketersediaan oksigen terlarut melalui pencampuran masa air di beberapa kedalaman di lokasi keramba jaring apung pada waduk Cirata, sehingga akan diketahui pengaruhnya terhadap biota dan petani ikan pada waduk tersebut. Penelitian dilaksanakan pada bulan September Dari hasil penelitian pendahuluan di dapatkan titik kedalaman pencampuran adalah kedalaman 2, 12, 24, dan 42 meter. Selanjutnya, dilakukan pencampuran massa air (masing-masing 2 kali ulangan) dari kedalaman 2 dan 12 meter sebagai perlakuan 1; kedalaman 2, 12, dan 24 meter sebagai perlakuan 2; dan kedalaman 2, 12, 24, dan 42 meter sebagai perlakuan 3. Parameter utama dari penelitian ini adalah DO dan parameter pendukung terdiri dari suhu, kecerahan, NH 3, ph dan H 2S. hasil penelitian ini dikaitkan dengan baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III (kegiatan perikanan). Dari hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan kisaran rata-rata DO dari dasar hingga permukaan pada stasiun 1 dan 2 adalah 0,45-8,35 mg/l dan 0,30-8,00 mg/l sehingga tipe perairan di Waduk Cirata, khususnya di titik pengamatan, menggambarkan tipe clinograde. Kedalaman zona eufotik di lokasi pengamatan mencapai 3,81 pada stasiun 1 dan 3,75 meter pada stasiun 2. Nilai DO rata-rata dari pencampuran massa air pada perlakuan 1 di stasiun 1 dan 2 adalah 7,41 dan 7,00 mg/l; pada perlakuan 2 adalah 5,48 dan 5,28 mg/l; dan pada perlakuan 3 adalah 2,54 dan 2,44 mg/l. Nilai suhu rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 1 hingga 3 berturutturut pada stasiun 1 adalah 29,5 0 C; 28,1 0 C; dan 26,8 0 C, dan stasiun 2 nilai rata-rata suhu adalah 29,6 0 C; 28,3 0 C; dan 26,6 0 C, sedangkan nilai ph rata-rata berturut-turut pada stasiun 1 adalah 6,93; 6,79; dan 6,62, stasiun 2 nilai rata-rata ph adalah 7,10; 6,90; 6,60. Nilai amonia rata-rata perlakuan 1 hingga 3 berturut-turut pada stasiun 1 adalah 0,0067 mg/l; 0,0083 mg/l; dan 0,0144 mg/l, stasiun 2 nilai amonia rata-rata adalah 0,0273 mg/l; 0,0278 mg/l; dan 0,0300 mg/l, sedangkan konsentrasi sulfida rata-rata berturut-turut pada stasiun 1 adalah 0,0556 mg/l; 0,3506 mg/l; dan 1,8036 mg/l, stasiun 2 nilai sulfida berturut-turut adalah 0,0520 mg/l; 0,2871mg/l; dan 1,5876mg/l. Berdasarkan data yang diperoleh disimpulkan bahwa perlakuan 3 yang dianggap sebagai kejadian umbalan sempurna (holomictic) memiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan dan berpotensi mencemari perairan sehingga pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat sangat berperan penting bagi pencegahan dampak buruk kejadian umbalan di lokasi KJA Waduk Cirata.

4 4 PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA AGUSTINA SINUHAJI C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

5 5 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Penelitian Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Pengaruh Pencampuran Massa Air Terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut Pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta. : Agustina Sinuhaji : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing Dr.Ir. Enan M. Adiwilaga NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Ujian : 17 Mei 2010

6 6 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dimana telah memberikan berkat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul Pengaruh Pencampuran Massa Air Terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) pada Lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Purwakarta. Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 serta Dr. Ir. Hefni Effendi selaku penguji tamu yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan Skripsi ini sehingga besar harapan adanya saran dan kritik yang dapat membangun bagi penulisan selanjutnya. Bogor, 26 Mei 2010 Penulis vi

7 7 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Hefni Effendi, M. Phil selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 3. Keluarga tercinta; Bapak, Mamak, kak Tua, kak Duma, dan Kia, terimakasih atas doa, kasih sayang, dukungan serta motivasinya. 4. Pemilik Keramba Jaring Apung sebagai lokasi penelitian (Desa Tegal Datar Kec. Maniis, Purwakarta) 5. Seluruh staf Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Bu Ana, Pak Tony, Kak Aan, Kak Budi, Pak Hery, dan Mas Adon) atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 6. Seluruh staff Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 7. Teman-teman tercinta MSP 42 atas kesetiaannya, doa dan motivasi dalam membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan (Fina, Pipit, Mechin, Adnan, Agus, Erys, Moro, Shiro, Sumo, Wati, Boli, Endah, Dindo, Bonit, Herman, Puput, dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu). 8. Andung Crew (ka Pita, Mba Ulfah, Etax, Jesmon, Esti, Desi, Killa, kutil, Jejen, Krisna, Vera, Helen, Era, Rosinta, dan ka Tata) atas suka duka, semangat dan kekompakannya. love You All vii

8 8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabanjahe, pada tanggal 18 Agustus dari pasangan Bapak Sinuhaji dan Ibu Sembiring. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 4 Kabanjahe, SUMUT (1999), SLTPN 1 Kabanjahe (2002) dan SMAN 1 Kabanjahe (2005). Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) Setelah setahun melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Sumberdaya Perikanan Di Indonesia (2008/2009) serta aktif sebagai anggota Sosial Lingkungan Himpunan Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada periode tahun 2008/2009. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Departemen manajemen Sumberdaya Perairan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Pengaruh Pencampuran Massa Air Terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut Pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta. viii

9 9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Cirata Keramba Jaring Apung (KJA) Umbalan (Pencampuran Massa Air) Oksigen Terlarut-(Dissolved Oxygen) Sumber oksigen dalam perairan Faktor yang mempengaruhi distribusi oksigen terlarut dalam perairan Penurunan kandungan oksigen dalam perairan Distribusi vertikal oksigen dalam perairan Bahan Organik di Perairan Parameter Fisika-Kimia Penunjang Suhu Kecerahan Amonia (NH 3) ph Hidrogen Sulfida (H 2S) METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Penentuan stasiun pengamatan Pengambilan contoh air Pengukuran Data Kualitas Air DO (Oksigen terlarut) Kecerahan ph Amonia bebas (NH 3) Hidrogen sulfida (H 2S) Analisis Data Kedalaman eufotik Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut Analisis saturasi oksigen terlarut ix xi xii xiii

10 10 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Pengaruh Pencampuran Masa Air Terhadap Kandungan Oksigen Terlarut Persen Saturasi Oksigen Parameter Fisika-Kimia Penunjang Suhu Kecerahan Amonia ph Hidrogen sulfida (H 2S) Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN x

11 11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Estimasi daya dukung Waduk Cirata, Jatiluhur, dan Saguling untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (Krismono 2004) Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmhg (Cole 1983 in Effendi 2003) Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi pengamatan Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan Konsentrasi DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman Distribusi vertikal suhu ( 0 C) di lokasi pengamatan Hasil pengukuran suhu ( 0 C) melalui pencampuran air beberapa kedalaman Hasil pengukuran amonia (mg/l) melalui pencampuran air di Beberapa Kedalaman Distribusi vertikal ph di lokasi pengamatan Hasil pengukuran ph melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Hasil pengukuran Hidrogen Sulfida (H 2S) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman xi

12 12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman (Goldman dan Horne 1983) Peta Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat Titik pengambilan sampel di lokasi KJA Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata Distribusi vertikal suhu di lokasi pengamatan Distribusi vertikal ph di lokasi pengamatan xii

13 13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan komposisi pencampuran air Prosedur pengukuran parameter kualitas air Baku mutu berdasarkan PP No. 82 tahun Data hasil perhitungan parameter yang diamati Lokasi pengamatan dan botol BOD xiii

14 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah suatu badan perairan yang dibuat oleh manusia dengan membendung aliran sungai agar energi dan sumberdaya airnya tidak terbuang percuma ke laut, tetapi dapat di manfaatkan. Waduk merupakan badan air yang karakteristik fisik, kimia, dan biologis berbeda dari sungai asalnya yang dibendung, serta kualitas perairan waduk lebih stabil dibandingkan dengan sungai asalnya. Waduk memiliki fungsi yang beragam diantaranya sebagai pembangkit tenaga listrik, irigasi pertanian, sarana transportasi, tempat rekreasi, sumber air minum, dan pusat budidaya ikan keramba jaring apung (Garno 2002). Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun di DAS Citarum, yang pada saat pembangunannya ditujukan sebagai pembangkit tenaga listrik. Waduk yang dibangun pada tahun 1988 ini berada pada ketinggian 221 m dari permukaan laut, mempunyai wilayah luas tangkapan air Ha, luas Ha, kedalaman rata-rata 34,9 m, dan volume x 10 6 m 3. Waduk Cirata kini menjadi genangan yang relatif permanen dan merupakan badan air besar yang memiliki kesamaan fungsi dengan ekosistem perairan umum. Waduk ini memiliki berbagai potensi dibidang sosial-ekonomi seperti, sumber pengairan sawah, sumber air bersih industri, sumber air minum, tempat budidaya ikan, tempat rekreasi, dan sarana perhubungan (Garno 2002). Waduk Cirata juga dimanfaatkan untuk tujuan budidaya ikan konsumsi dengan mengunakan jaring/keramba apung. Saat ini waduk Cirata mengalami masalah yang cukup serius seperti penurunan kualitas air yang disebabkan oleh bahan organik yang berasal dari sisa pakan ikan, limbah dosmestik, dan limbah industri. Banyaknya jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) yang berada di waduk cirata akan sangat mempengaruhi kualitas airnya, dimana daya dukung untuk KJA pada waduk cirata adalah 2700 petak. Jumlah KJA pada waduk Cirata mengalami pertambahan yang sangat pesat dimulai pada tahun 1988 yang jumlahnya 74 petak, menjadi petak di tahun 1999 dan tahun 2000 jumlahnya mencapai dan pada tahun 2008 jumlah unit KJA pada waduk Cirata mencapai (Effendi 2008) unit sehingga telah melampui batas daya dukung dari KJA tersebut (Husen 2000). Pertambahan KJA dari tahun ke tahun dapat menimbulkan masalah yang berasal dari pakan yang diberikan ke dalam waduk tersebut. Saat ini dengan pemberian pakan buatan sebagai

15 2 pakan utama sering menimbulkan masalah serius di perairan wilayah KJA yaitu penurunan kualitas air. Akumulasi sisa pakan di dasar perairan dalam kondisi anaerob akan membentuk gas-gas beracun seperti NH 3 dan H 2S. Apabila suatu saat terjadi pembalikan massa air ke permukaan (overturn) maka akan membahayakan kehidupan organisme perairan bahkan dapat mengakibatkan kematian massal ikan yang dibudidayakan. Kandungan oksigen terlarut pada waduk berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air, masukan dari aliran sungai, dan dari difusi udara. Oksigen di perairan dimanfaatkan untuk respirasi oleh biota perairan dan proses dekomposisi oleh bakteri aerob. Pada lapisan hipolimnion, kandungan oksigen sangat minim dan bahkan mencapai nol, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik secara anaerobik pada lapisan ini maka akan dihasilkan gas-gas beracun seperti H 2S, NH 3, dan CH 4 dan jika terjadi proses umbalan (pembalikan massa air) dari dasar perairan ke permukaan maka gas-gas beracun tersebut akan terangkat ke permukaan. Selain itu, ketersediaan oksigen di perairan akan mengalami defisit akibat pencampuran massa air dari dasar ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal ikan di area KJA tersebut. Hal ini pernah terjadi di lokasi keramba jaring apung Waduk Cirata yang menyebabkan kerugian para pengusaha budidaya ikan akibat kematian massal ikan. Defisit oksigen di lapisan hipolimnion diduga menjadi penyebab kematian massal ikan saat terjadi umbalan. Oleh karena itu, untuk mengetahui fluktuasi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan perlu dilakukan penelitian terhadap pola distribusi keberadaan oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata melalui pencampuran massa air yang dianggap sebagai kejadian umbalan Permasalahan Oksigen terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung keberlangsungan hidup organisme akuatik dan proses proses yang terjadi didalamnya. Pasokan oksigen di waduk berasal dari difusi udara dan hasil proses fotosintesis, sedangkan bentuk pemanfaatan oksigen terutama berupa aktivitas dekomposisi dan respirasi. Sumber pencemaran dari kegiatan dalam dan luar waduk dapat meningkatkan masukan unsur hara, bahan organik sisa metabolisme ikan, mineral dan padatan

16 3 tersuspensi. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas air serta meningkatnya sedimentasi yang akan mempengaruhi fungsi waduk. Sisa pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme ikan akan menjadi limbah organik yang akan terakumulasi di dasar perairan. Kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi limbah organik tersebut. Jika endapan sisa pakan di dasar perairan semakin tebal, maka hal tersebut mengindikasikan semakin menebalnya lapisan anoksik di dasar perairan dan semakin menipisnya lapisan oksik di permukaaan. Dalam kondisi anoksik proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerobik sehingga akan dihasilkan gas-gas beracun seperti H 2S, NH 3, dan CH 4. Jika dalam kondisi ini terjadi pembalikan massa air ke permukaan maka akan membahayakan kehidupan biota perairan dan mengakibatkan kematian massal ikan. Dampak negatif yang paling dirasakan oleh petani sekitar adalah kematian ikan yang mencapai ribuan ton yang sementara ini diduga akibat dari proses umbalan (overturn) yang terjadi saat kotoran yang ada di dasar waduk naik karena arus ke permukaan. Waduk Cirata telah beberapa kali memgalami umbalan yang mengakibatkan matinya ikan yang dikembangkan di KJA dan terganggunya kehidupan ikan-ikan yang berada di luar KJA karena ketidakmampuan ikan dalam menghadapi keterbatasan oksigen terlarut di perairan. Terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut di keramba jaring apung akibat proses umbalan ini perlu dipahami lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak yang lebih lanjut Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi ketersedian oksigen terlarut (dissolved oxygen) melalui pencampuran massa air di beberapa kedalaman di lokasi perairan keramba jaring apung pada Waduk Cirata, Purwakarta Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola budidaya perikanan di Waduk Cirata, Purwakarta.

17 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Cirata Waduk Cirata terletak di Wilayah Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta. Ketinggian air dari permukaan laut adalah 200 m. Waduk ini dibangun pada tahun 1988, terbentuk karena pembendungan sungai Citarum. Volume air pada waktu normal adalah sekitar m 3 dengan luas permukaan sekitar Ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m dan mempunyai kedalaman maksimum mencapai 106 m. Kedalaman rata-rata waduk cirata sepanjang tahun 2003 sebesar 34,9 m menurun menjadi 26,3 m. Pada bulan Agustus-September kedalaman rata-rata mencapai 20,7 m. Hal ini disebabkan musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga volume air berkurang hingga 30% dari keadaan normal sebelumnya (Prihadi 2003). Waduk Cirata merupakan waduk yang banyak terdapat KJA (Hardjamulia et al. 1991) KJA adalah waduk yang sisi samping dan dasarnya dibatasi jaring dan dipakai untuk memelihara ikan. Pertukaran air dapat terjadi antara dalam dan luar keramba sehingga kotoran dan sisa pakan dari keramba dapat keluar dengan mudah ke perairan sekelilingnya. Ukuran jaring KJA sekitar 7 x 7 x 1,3 m 3. Padat penebaran ikan yang dipelihara (ikan mas) yaitu ekor/m 2 atau 4 5 kg/m 2. Jumlah karamba jaring apung yang diizinkan hanya unit tetapi kenyataannya perkembangan KJA di waduk Cirata terbilang sangat cepat. Garno (2002) mencatat pada tahun 1999 terdapat unit. Pada tahun 2003 jumlah KJA mencapai unit (Prihadi 2003) dan pada tahun 2008 jumlah unit KJA mencapai (Effendi 2008). Jumlah KJA sebanyak itu sangat padat sehingga menyebabkan kualitas air waduk Cirata menurun. Kegiatan KJA memberikan masukan bahan organik paling besar ke perairan yaitu sekitar 80% dari total kandungan bahan organik yang terdapat di Waduk Cirata (Garno 2000). Bahan organik tersebut berupa sisa pakan kotoran ikan dari KJA. Sisa pakan dan kotoran dari KJA tersebut diuraikan oleh bakteri pengurai menjadi nutrien sehingga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien di perairan waduk Cirata Keramba Jaring Apung Jaring apung (cage culture) adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan

18 5 dalam perairan seperti danau, waduk, laguna, selat dan teluk. Sistem ini sekarang dikenal dengan nama Keramba Jaring Apung (Effendi 2003). Paket teknologi budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk Indonesia yang luasnya 2,1 juta Ha (Illyas et al in Nastiti 2001). Saat ini teknologi KJA sudah berkembang sangat pesat dan menyebar hampir di seluruh Indonesia. Daerah yang paling pesat perkembangannya berada di waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Hal ini dapat dipahami karena daerah Jawa Barat dikenal sebagai tempat pembudidayaan ikan air tawar secara turun-temurun. Selain itu, pangsa pasar terbesar bagi ikan air tawar adalah Jawa Barat. Perkembangan unit KJA yang pesat berdampak positif terhadap peningkatan produksi ikan dan pendapatan petani ikan. Namun demikian, peningkatan jumlah unit KJA yang kurang terkendali dapat menimbulkan masalah yang berdampak negatif. Prinsip-prinsip dalam budidaya ikan dengan sistem KJA seperti cara pemberian pakan, tata letak KJA, dan daya dukung perairan tidak begitu diperhatikan sehingga berdampak buruk terhadap KJA tersebut (Subandar et al. 2005). Salah satu masalah yang ditimbulkan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA insentif adalah pencemaran lingkungan perairan yang berasal dari pakan ikan yang terbuang dan juga sisa metabolisme ikan di perairan. Sistem pemberian pakan ikan yang terus-menerus dalam jumlah banyak (sistem pompa) dapat menyebabkan banyak pakan yang tidak termakan oleh ikan akhirnya terakumulasi di dasar perairan. Hasil penelitian pusat penelitian sumberdaya alam dan lingkungan (PPSDAL), UNPAD tahun 1995/1996 in Mardiana (2005), menyebutkan bahwa KJA telah memberikan andil dalam memperkaya nutrien perairan waduk. Daya dukung perairan selalu berfluktuasi menurut musim dan dapat menurun karena cemaran, misalnya tingginya sisa pakan dan kotoran ikan yang masuk ke perairan.

19 6 Tabel 1. Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (Krismono 2004). Parameter Saguling Cirata Jatiluhur Luas waduk minimum (ha) 4 4,5 6 Pakan maks harian (kg) , , ,5 Daya dukung ikan maksimum (kg) , , ,3 Padat tebar KJA (kg/m 3 ) 7,5 7,5 7,5 Ukuran keramba (m 3 ) Bobot rataan ikan/kja (kg) Jumlah maksimum KJA (unit) 2.424, , ,7 Budidaya ikan keramba jaring apung di waduk Cirata megalami peningkatan yang tinggi mengakibatkan waduk itu harus menanggung beban limbah yang cukup besar. Setiap bulannya, pakan ikan yang ditebar dalam jaring menghasilkan limbah yang mengandug unsur nitrogen (N) sebanyak ton, fosfor (P) sebanyak ton, dan belerang (S) sebanyak ton (Garno 2002). Beban seperti ini telah bertahun-tahun terjadi dan mengakibatkan limbah pada air waduk melebihi batas ambang. Melimpahnya limbah pakan ini mengakibatkan masalah yang serius antara lain seperti proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas air. Tingginya kandungan N dan P di air dan sedimen ini merupakan salah satu penyebab Waduk Cirata menjadi eutrofik bahkan mendekati hipertrofik (Garno 2002) Umbalan (Pencampuran Massa Air) Umbalan merupakan peristiwa pembalikan massa air pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba mencapai kisaran suhu yang lebih daripada suhu di dasar yang akan mempengaruhi biota dalam perairan tersebut (Nastiti dan Krismono 2003). Peristiwa ini sering terjadi di ekosistem tergenang seperti waduk pada saat peralihan musim. Waduk-waduk yang dibangun di dataran tinggi atau pegunungan sering mengalami umbalan karena morfologinya seperti corong dan cenderung disebabkan oleh suhu. Menurut Jangkaru (2003), proses umbalan umumnya terjadi pada badan air dengan permukaan yang sempit dan dalam, serta curam seperti corong atau botol. Dengan bentuk seperti corong dan botol maka proses pengadukan alamiah umumnya

20 7 dilakukan oleh angin dan tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin dalam lapisan air maka akan semakin rendah mulutnya. Jika umbalan terjadi pada badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan, maka dapat berakibat fatal bagi organisme di dalamnya. Peristiwa ini terjadi karena kualitas air yang rendah dan umumnya terdapat di dasar yang akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk terhadap perairan yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor atau tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan. Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada malam hari, waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses pembauran atau pencampuran air (upwelling). Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling berdasarkan banyaknya upwelling yang terjadi dalam satu tahun, yaitu: 1. Monomitic : Pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam setahun biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis; 2. Dimitic : Pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada permulaan musim semi, pada musim dingin atau musim salju; 3. Polymitic : Pencampuran massa air yang terjadi secara terus-menerus dalam setiap tahun. Berdasarkan pembalikan massa air, Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling menjadi dua, yaitu: 1. Holomitic : Pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini biasanya terjadi setiap tahunnya. 2. Meromitic : Pencampuran massa air yang terjadi pada kedalaman tertentu saja dan tidak terjadi secara sempurna hingga dasar. Pencampuran biasanya terjadi pada perairan yang dalam.

21 8 Faktor yang menyebabkan terjadinya umbalan menurut Mann (1978) in Nastiti dan Krismono (2003) adalah sebagai berikut : 1. Pendinginan secara konveksi Pendingin secara konveksi biasa terjadi setiap hari terutama pada perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi pada waktu malam hari menyebabkan pendinginan di daerah permukaan. Partikel-partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama. Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan massa air dari bawah ke atas atau permukaan perairan. Proses pendinginan secara konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan karena penguapan, ataupun cuaca dingin. 2. Angin Angin topan akan menimbulkan arus kuat, yang mampu memindahkan massa air dari bawah ke atas atau ke permukaan. Jangkaru (2003) menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal. Angin mengangkat sejumlah massa air dan menumpuknya di sisi lain, yang umumnya disebut dengan gelombang. Ruang kosong yang ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya sehingga terjadilah umbalan. 3. Aliran sungai Masukan air sungai ke dalam perairan waduk ataupun danau akan menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air waduk atau danau. Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air waduk atau danau maka air sungai tersebut mengalir di bawah air waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari waduk atau danau maka air sungai akan mengalir di atas air waduk atau danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai yang dingin mengalir ke bawah hingga mencapai daerah yang mempunyai berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya di atas hipolimnion. 4. Pasang surut Proses pemindahan massa air dari bawah ke permukaan disebabkan oleh pasang surut yang umumnya terjadi di pantai.

22 9 Kematian massal ikan yang sering terjadi di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara mendadak karena umbalan (Azwar et al. 2004). Hal ini disebabkan karena massa air di lapisan bawah kadar oksigennya rendah yang diakibatkan oleh tingginya pembusukan bahan organik, tingginya NH 3 N, H 2S, dan gas methan. Ketiga senyawa terakhir ini bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting dalam mempertahankan kehidupan ikan. Pada umumnya di luar negeri proses umbalan ini sangat menguntungkan karena status trofik danau atau waduk mereka masih tergolong oligotrofik atau mesotrofik, sehingga nutrien yang di dasar akan ke atas maka fitoplankton akan dapat berkembang biak sehingga produktivitas primer atau sekunder akan naik. Berbeda halnya di Indonesia, proses umbalan menghasilkan kematian massal bagi ikan-ikan budidaya yang berada dalam keramba jaring apung (KJA). Hal ini terjadi akibat perairan Indonesia bersifat eutrofik yang pada lapisan bawah anaerob mengandung senyawa beracun hasil dari dekomposisi. Hasil dekomposisi tersebut akan terangkat kepermukaan dan menyebabkan kekurangan oksigen pada seluruh badan air, sehingga biota perairan tidak dapat beradaptasi pada kondisi tersebut dan terjadilah kematian massal ikan (Nugroho 2009). 2.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan kosentrasi oksigen minimum yang dibutuhkan untuk kehidupannya (Fardiaz in Octaviany 2005) Sumber oksigen dalam perairan Sumber oksigen terlarut utama dalam perairan adalah proses fotosintesis dan secara difusi langsung dari atmosfer dengan kecepatan terbatas (Welch 1952). Menurut Welch (1952) terdapat dua cara absorpsi oksigen dari atmosfer ke dalam air, yaitu difusi langsung pada permukaan dan melalui agitasi pada permukaan air, seperti akibat gelombang, air terjun, dan turbulensi akibat terbentur penghalang. Namun difusi langsung dari udara melalui lapisan permukaan dan kedalam perairan cenderung lambat dan relatif tidak efektif dalam menyediakan oksigen ke dalam air walaupun dapat berlangsung selama 24 jam.

23 10 Laju transfer oksigen tergantung pada kosentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Sellers dan Markland 1987). Transfer oksigen dari udara ke perairan melalui proses difusi dan penghilangan oksigen dari perairan ke udara akan terus terjadi jika kondisi jenuh belum tercapai (Effendi 2003). Difusi oksigen dalam atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat meskipun terjadi pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen masuk ke dalam perairan waduk atau danau berasal dari proses fotosintesis (Schmittou 1991 in Widiyastuti 2004). Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Bila dibagi berdasarkan ada tidaknya cahaya pada suatu lapisan perairan, maka ada dua kelompok lapisan, yaitu lapisan fotik (eufotik, kompensasi, dan disfotik) dan lapisan afotik (Effendi 2003). Berdasarkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan, stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang dikelompokkan menjadi: 1. Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup matahari. Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi. 2. Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama dengan respirasi. 3. Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan intensitas cahaya sangat kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya (afotik). Berdasarkan perbedaan panas dalam bentuk perbedaan suhu pada setiap kedalaman, stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang dikelompokkan menjadi : 1. Epilimnion, yaitu lapisan sebelah atas perairan yang hangat, perubahan suhu secara vertikal sangat kecil, seluruh massa air pada ini mengalami pencampuran dengan baik, karena daya angin dan gelombang. 2. Metalimnion/termoklin, yaitu lapisan di bawah epilimnion, pada mintakat ini setiap penambahan kedalaman 1 meter terjadi penurunan suhu sekurangkurangnya 1 0 C.

24 11 3. Hipolimnon, yaitu lapisan di bawah metalimnion, lebih dingin, perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki air yang lebih besar. Selanjutnya dijelaskan bahwa lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal kolom air berdasarkan intensitas cahaya (eufotik, kompensasi, afotik) kadangkala berada pada posisi yang sama dengan lapisan-lapisan yang terbentuk akibat perbedaan panas (epilimnion, metalimnion/termoklin, dan hipolimnion). Lapisan eufotik merupakan lapisan epilimnion, adalah lapisan yang paling produktif karena mendapat pasokan cahaya matahari yang cukup sehingga proses fotosintesis berlangsung optimum (Effendi 2003). Pada waduk yang memiliki kecerahan sangat tinggi, produksi oksigen oleh fitoplankton dapat terjadi di epilimnion sampai metalimnion bahkan hipolimnion yang masih mendapat bagian cahaya (Kimmel et al in Octviany 2005). Distribusi horizontal oksigen di hipolimnion dimodifikasi oleh turbulensi vertikal, perpindahan secara horizontal, dan aliran air yang bergerak sebagai arus densitas di lapisan bawah (underflow) (Wetzel 2001). Perambatan oksigen juga dapat terjadi dari lapisan atas pada kondisi air yang tenang. Selain melalui transfer oksigen dari udara dan proses fotosintesis, oksigen juga dapat masuk ke perairan karena terbawa oleh aliran yang masuk ke dalam badan perairan (inflow). Inflow masuk dan bergerak ke waduk, airnya akan mengalir menuju lapisan yang memiliki densitas yang hampir sama dengan densitasnya. Perbedaan densitas air di waduk lebih banyak disebabkan oleh suhu. Jika densitas inflow lebih kecil daripada densitas air permukaan waduk (P in), inflow akan berada di atas (overflow). Jika densitas inflow lebih besar daripada densitas air permukaaan waduk (P in>p), inflow akan berada di bawah (underflow), sedangkan jika densitas inflow lebih besar dari densitas lapisan epilimnion tapi lebih kecil dari densitas lapisan hipolimnion (P 1<P in<p 2), inflow akan berada lapisan tengah (interflow) (Wetzel 2001) Faktor yang mempengaruhi distribusi oksigen terlarut dalam perairan Faktor yang mempengaruhi distribusi oksigen terlarut di perairan waduk menurut Cole dan Hanan (1990) yaitu :

25 12 1. Suhu. Kelarutan oksigen semakin meningkat dengan menurunnya suhu, sehingga selama terjadi stratifikasi saat musim panas, lapisan perairan dalam waduk memiliki konsentrasi oksigen terlarut lebih tinggi daripada lapisan yang lebih hangat. Kondisi ini dapat digambarkan seperti distribusi vertikal oksigen tipe orthograde (Goldman dan Horne 1983), yang umum terjadi pada perairan oligotrofik. 2. Arus. Zona riverine waduk menerima air dari sungai induk, yang mempengaruhi distribusi dan konsentrasi oksigen terlarut dalam semua zona baik di epilimnion, metalimnion, dan hipolimnion. 3. Morfologi. Dua danau yang memiliki persamaan zona trofogenik dan laju produktivitas primer, namun memiliki volume hipolimnion yang berbeda, akan memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang berbeda pula (Wetzel 2001). Hal yang sama terjadi di waduk dimana terdapat hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut di hipolimnion dan volume hipolimnion perairan waduk. 4. Masukan allochtonous (dari luar perairan) yang dapat berasal dari sungai induk. 5. Fotosintesis dan respirasi 6. Angin Penurunan kandungan oksigen dalam perairan Penyebab utama terjadinya penurunan kandungan oksigen dalam air menurut Welch (1952) adalah: 1. Respirasi organisme dalam air, baik hewan maupun tumbuhan yang berlangsung sepanjang hari. 2. Oksigen terlarut digunakan untuk dekomposisi bahan organik yang terlarut dan terakumulasi di dasar perairan. Penurunan oksigen terlarut akibat dekomposisi bergantung pada jumlah dan distribusi bahan organik yang terakumulasi, temperatur air, dan volume air di lapisan hipolimnion 3. Reduksi oleh gas lain 4. Pelepasan oksigen terlarut secara otomatis dari lapisan epilimnion mendekati musim panas. Air yang dingin dapat menampung oksigen terlarut lebih banyak sebelum mencapai saturasi. 5. Inflow dari tanah. Air tanah bisanya mengandung oksigen sangat rendah, seringkali tidak ada sama sekali. Bila masuk ke lapisan epilimnion tidak akan

26 13 berdampak nyata karena cenderung akan teraerasi, namun bila air tanah ini masuk ke bawah lapisan termoklin, akan menyebabkan peningkatan isi lapisan rendah oksigen di hipolimnion. 6. Keberadaan besi. Pada danau yang mengandung besi, oksidasi senyawa besi yang terlarut menjadi penyebab penting dalam penurunan oksigen terlarut. Proses respirasi berlangsung di seluruh lapisan perairan, sehingga pada lapisan eufotik dimana fotosintesis berjalan sangat baik, kadar oksigen cenderung lebih melimpah dipermukaan dibandingkan lapisan di bawahnya. Titik kedalaman dimana terjadinya konsumsi oksigen (respirasi dan dekomposisi) sama dengan produksi hasil proses fotosintesis disebut kedalaman kompensasi. Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik perairan lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh respirasi. Pada malam hari fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen di lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari (Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, evaporasi, dan limbah yang masuk ke dalam perairan (Effendi 2003) Distribusi vertikal oksigen dalam perairan Kadar oksigen terlarut di perairan dapat mencapai dasar terutama bila terjadi sirkulasi air dari atas sampai dasar. Pada keadaan air yang stagnan dapat terjadi stratifikasi oksigen. Kandungan oksigen terlarut menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini berhubungan dengan penurunan pasokan yang berasal dari proses difusi dari udara dan fotosintesis. Kemampuan difusi oksigen dari udara ke dalam air sangat mempengaruhi kadar oksigen di perairan. Semakin dalam titik pengamatan pada suatu badan air waduk, maka pengaruh difusi yang terjadi di permukaan perairan, berupa oksigen yang merambat pada titik tersebut semakin kecil. Disamping itu, kebutuhan untuk pembusukan organik karbon dan proses nitrifikasi meningkat (Harsono et al. 2001). Distribusi oksigen ke dalam kolom perairan lambat kecuali jika terjadi turbulensi kuat.

27 14 Tipe distribusi oksigen terlarut dalam suatu perairan secara vertikal menurut Goldman dan Horne (1983) (Gambar 1) adalah : 1. Tipe orthograde : Terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Konsentrasi oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. 2. Tipe clinograde : Terjadi pada suhu yang produktif (eutrofik) atau danau yang kaya unsur hara dan bahan organik. Konsentrasi oksigen semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman. 3. Tipe heterograde positif dan negatif : Pada tipe ini terlihat bahwa fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion. 4. Tipe anomali : Tipe ini terjadi pada aliran yang deras, dingin, kaya oksigen dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri. Gambar 1. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde, (d). anomali (Goldman dan Horne 1983) Bahan Organik di Perairan Bahan organik dalam sistem perairan waduk dapat bersumber dari hasil produksi dalam perairan itu sendiri (auchthonous) seperti ekskresi, sisa pakan ikan,

28 15 dan hasil dekomposisi, juga dari luar daerah waduk (allochthonous) seperti limbah rumah tangga dan sisa aktivitas di sekitar waduk (Jangkaru 2003). Pengembangan budidaya ikan dengan KJA diduga telah mencemari waduk karena kandungan N dan S merupakan produk utama dekomposisi bahan organik yang mengalami peningkatan. Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Semakin tingginya jumlah unit KJA, akan menyebabkan pertambahan bahan organik pada waduk tersebut karena jumlah pakan yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Pertambahan unit KJA ini akan berpengaruh terhadap jumlah ikan yang akan di tebar (Jangkaru 2003). Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami di KJA, sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme ikan. Pakan dan sisa metabolisme tersebut terakumulasi di dasar perairan dalam bentuk bahan organik yang akan dimanfaatkan oleh organisme dekomposer baik mikroorganisme maupun makroorganisme. Dalam batas tertentu, kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan. Namun, jika melampaui batas maksimum, justru akan menghambat pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003). Peningkatan konsentrasi bahan organik di perairan diduga karena : (a) pengadukan massa air, (b) penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh buangan yang semakin meningkat tiap waktu dari luar waduk, jika peningkatan bahan organik terjadi secara terus-menerus maka akan memberi dampak negatif pada waduk tersebut menurut Vitner et al. (1999), seperti : 1. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik. 2. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologis dan biologi waduk. 3. Menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi perubahan siklus air. Dimana tingginya konsentrasi bahan organik yang kemudian akan meningkatkan pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan akan mengakibatkan pembalikan massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat pertumbuhan fitoplankton. Pembalikan yang diiringi blooming akan menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan mempercepat kematian ikan. 4. Menurunnya kualitas air produksi Perusahaan Air Minum (PAM), yang akan berdampak pada menurunnya sanitasi masyarakat konsumen.

29 Parameter Fisika-Kimia Penunjang Suhu Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan (Effendi 2003). Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Tabel 2. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmhg (Cole 1983). Suhu ( o C) Konsentrasi O 2 terlarut (mg/l) Suhu ( o C) Konsentrasi O 2 terlarut (mg/l) Suhu ( o C) Konsentrasi O 2 terlarut (mg/l) 0 14, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,3 9 11, , , , , , , , , Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, ditentukan secara visual menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi (Effendi 2003). Dalam suatu perairan, fotosintesis sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya. Namun, pada lapisan permukaan laju fotosintesis adalah kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlalu kuat.

30 17 Kecerahan merupakan salah satu parameter fisika yang menggambarkan ukuran transparansi dan sifat optik perairan terhadap transmisi cahaya (Effendi 2003). Kecerahan air ditunjukkan dengan kedalaman secchi disk. Kedalaman secchi disk berhubungan erat dengan intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun non-organik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Boyd 1990). Kedalaman secchi disk merupakan faktor yang menentukan produktivitas primer perairan. Semakin tinggi kedalaman secchi disk semakin tinggi penetrasi cahaya ke dalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan lapisan air yang produktif. Masuknya bahan pencemar terutama yang berupa tersuspensi dapat mengurangi kedalaman secchi disk dalam perairan (Mardiana 2007). Menurut Effendi (2003) jumlah cahaya matahari yang cukup bila masuk ke kolom air merupakan kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan, karena proses fotosintesis dapat berjalan seimbang dan jumlah fitoplankton memadai untuk kehidupan biota perairan Amonia Sumber utama amonia adalah bahan organik dalam bentuk sisa pakan, kotoran ikan dan plankton serta bahan organik tersuspensi. Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein akan menghasilkan amonium (NH4 + ) dan amonia (NH 3). Amonia dan amonium dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik atau mengalami nitrifikasi membentuk nitrat. Pada kondisi anaerob, sejumlah organisme dapat mempergunakan oksigen yang terikat dalam nitrat maupun senyawa lainnya untuk keperluan respirasinya (Hariyadi et al. 1992). Bila proses lanjut dari proses pembusukan (nitrifikasi) tidak berjalan lancar maka terjadi penumpukan ammonia sampai konsentrasi yang membahayakan bagi ikan. Di dalam perairan terdapat amonia dalam bentuk terionisasi bersifat toksik terhadap ikan dan toksisitas meningkat ketika kandungan O 2 terlarut rendah (Markens dan Dowing 1975 in Boyd 1989). Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 1,12 mg/l. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,02 mg/l perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty 1978 in Indriani 2005).

31 ph Nilai ph menurut Cole (1983) dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen. ph mencirikan keseimbangan antara asam dan basa yang merupakan pengukuran aktivitas ion hidrogen. Nilai ph dalam suatu perairan dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya unsur hara serta toksisitas dari unsur-unsur renik (Saeni in Octaviany 2005). Nilai ph suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, fotosintesis, respirasi, oksigen terlarut dan keberadaan ion dalam perairan tersebut. Nilai ph biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan memperhatikan tingkat keasaman atau kebasaan air (Surachman 2003 in Satria 2007). Proses respirasi dan degradasi dalam perairan akan menghasilkan gas karbondioksida, kemudian akan membentuk asam karbonat yang dapat berasosiasi menjadi bikarbonat dan karbonat. Ion karbonat dan bikarbonat dapat dimanfaatkan alga sebagai sumber karbon. Nilai ph perairan mengalami fluktuasi harian. Pada siang hari proses fotosintesis menggunakan karbondioksida sebagai salah satu bahan bakunya. Proses ini dapat mengurangi kandungan karbondioksida pada perairan hingga lebih kecil dari konsentrasi kesetimbangan karbondioksida di air dan di udara. Pada malam hari terjadi proses respirasi yang memproduksi karbondioksida, sedangkan proses fotosintesis tidak berlangsung. Perairan yang ideal bagi perikanan budidaya mempunyai ph berkisar antara 6,5-9 (Ellis 1937 in Boyd 1989). Berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran air, ph yang ideal bagi kepentingan perikanan adalah 6-9. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph berkisar 7-8,5. Perairan dengan ph <6 menyebabkan organisme-organisme yang menjadi makanan ikan tidak dapat hidup dengan baik, bahkan ikan mati ketika perairan memiliki ph 4. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Waduk Cirata, antara lain oleh Sukimin (1995) diketahui bahwa nilai ph berkisar antara 6,2-8,3, sedangkan berdasarkan penelitian Baksir (1999) nilai ph berkisar antara 6,8-7,0. Hasil penelitian Sukimin (2003) menunjukkan bahwa nilai ph dari permukaan sampai dasar perairan berkisar antara 6,95-8,46. Menurut Prihadi (2005) rata-rata nilai ph pada kedalaman 0-8 meter berkisar 6,5-7,88 dan berdasarkan penelitian Zahidah (2006) in Mardiana (2007) nilai ph pada kedalaman 0-10 meter berkisar antara 6,40-8,58.

32 Hidrogen Sulfida (H 2S) Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida dalam bentuk H 2S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahannya yang tersusun dari logam. Kadar H 2S tak terionisasi yang tinggi dalam perairan menimbulkan bau telur busuk (Boyd 1989). Hidrogen sulfida pada kondisi perairan anoksik bersifat racun. Hidrogen sulfida berasal dari sulfat yang terbentuk secara reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi H 2S pada kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Pada ph 9 sebagian besar sulfur (99%) berada dalam bentuk ion HS -, jumlah H 2S sangat sedikit, sehingga permasalahan bau tidak muncul pada kondisi ini. Pada ph < 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H 2S yang tidak terionisasi. Pada ph 5 sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H 2S. Pada kondisi ini timbul permasalahan yang cukup serius. Hidrogen sulfida bersifat mudah larut, toksik, dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Oleh karena itu, toksisitas H 2S meningkat dengan penurunan nilai ph. Pada perairan alami yang cukup aerasinya biasanya tidak ditemukan gas H 2S karena teroksidasi menjadi asam sulfat. Proses reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri heterotrof selama proses dekomposisi bahan organik akan menimbulkan bau. Pada ph 5 sekitar 99% sulfur terdapat dalam H 2S. Kadar sulfida total (H 2S, HS - ) kurang dari 0,002 mg/l dianggap tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (Mcneely et al in Effendi 2003). Apabila suatu saat terjadi peristiwa pembalikan massa air (overturn) maka senyawa-senyawa toksik yang berada di lapisan dasar perairan akan ikut terangkat ke permukaan dan dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut pada lapisan tersebut. Hal ini karena pada permukaan perairan akan banyak dibutuhkan oksigen untuk mengoksidasi kembali H 2S menjadi SO 4 2- (sulfat). Indikasi perairan yang didalamnya terkandung H 2S adalah air yang berbau busuk dan berwarna hitam seperti lumpur. Dampak selanjutnya dari tingginya H 2S dapat mengakibatkan kematian massal ikan yang dibudidayakan dalam keramba jaring apung.

33 20 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 2). Kegiatan penelitian berlangsung pada bulan Juli dan September 2009 yang meliputi penentuan stasiun pengamatan, penelitian pendahuluan, pengambilan contoh air, dan analisis contoh air. Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan September 2009 selanjutnya dilakukan analisis contoh air untuk beberapa parameter di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vandorn Water Sampler, Secchi disk, DO meter, botol BOD, botol sampel, ph meter, ice box, termometer, alat titrasi, spektrofotometer, labu erlenmeyer, gelas piala, dan gelas ukur. Bahan-bahan yang digunakan adalah contoh air, penyaring Whatman 0,45 µm, aquades, alumunium foil, dan bahan-bahan kimia sebagai bahan pereaksi Metode Kerja Penentuan stasiun pengamatan Lokasi pengambilan contoh air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil survei pendahuluan di sekitar kawasan keramba jaring apung Desa Tegal Datar Kecamatan Maniis (Gambar 3). Stasiun pengamatan yang dipilih merupakan daerah KJA paling padat dimana KJA yang dipilih sebagai stasiun pengamatan merupakan KJA yang sedang beroperasi dan yang paling lama memelihara ikan.

34 21 Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. Lokasi Stasiun di Waduk Cirata 6 41' 19" 0 km 2 km Keterangan : Stasiun 1 Stasiun ' 35" Inset Sumber : 1. Google Earth ' 32" Gambar 3. Titik pengambilan sampel di lokasi KJA 17 19' 48" Penentuan perlakuan, titik kedalaman, dan komposisi pencampuran Sebelum melaksanakan penelitian inti dilakukan penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan interval 2 sampai 6 meter dengan tujuan untuk mendapatkan pola sebaran vertikal oksigen

35 22 terlarut (Tabel 3). Dari sebaran vertikal oksigen terlarut tersebut diperoleh keterwakilan area dan titik titik kedalaman pengambilan contoh air. Selanjutnya akan diperoleh beberapa perlakuan melalui pencampuran massa air dari keterwakilan area atau titik-titik kedalaman tersebut. Tabel 3. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi Pengamatan Kedalaman (meter) DO (mg/l) 0 8,4 2 7,5 4 6,4 6 5,5 8 4,8 10 4,2 12 3,7 14 3,5 16 3,2 18 2,4 20 2,3 22 2,2 24 2,2 27 1,7 30 0,9 36 0,9 42 0,7 48 0,6 *dasar 0,5 Keterangan : : mewakili kedalaman 0 sd 6 meter : mewakili kedalaman 6 sd 16 meter : mewakili kedalaman 16 sd 27 meter : mewakili kedalaman 27 sd 51 meter Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan (Tabel 3) ditetapkan titik kedalaman 2 meter, 12 meter, 24 meter, dan 42 meter. Penentuan titik kedalaman didasarkan pada: 1. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut di tiap kedalaman. Berdasarkan nilai konsentrasi DO yang diperoleh dari penelitian pendahuluan maka diperoleh kedalaman 2 meter (8,4 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 0 sampai 6 meter; kedalaman 12 meter (3,7 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 6 sampai 16 meter; kedalaman 24 meter (2,2 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman

36 23 16 sampai 27 meter; dan kedalaman 42 meter (0,7 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 27 meter hingga dasar perairan. 2. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 untuk kegiatan perikanan. Kedalaman 2 meter (8,4 mg/l) dianggap baik untuk kegiatan perikanan; kedalaman 12 meter (3,7 mg/l) dianggap cukup untuk kegiatan perikanan; kedalaman 24 meter (2,2 mg/l) dianggap di bawah baku mutu bagi kegiatan perikanan; dan kedalaman 42 meter (0,7 mg/l) dianggap berbahaya bagi kegiatan perikanan. 3. Keterwakilan di beberapa kolom air Lapisan permukaan untuk kedalaman 2 meter, lapisan bagian tengah untuk kedalaman 12 dan 24 meter dan lapisan dasar untuk kedalaman 42 meter. Dari titik-titik kedalaman tersebut diperoleh tiga perlakuan yakni perlakuan 1 yang merupakan pencampuran air dari kedalaman 2 dan 12 meter; perlakuan 2 diperoleh melalui pencampuran massa air dari kedalaman 2, 12, dan 24 meter; dan perlakuan 3 yang merupakan pencampuran massa air dari kedalaman 2, 12, 24 dan 42 meter. Perlakuan 1 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu pencampuran massa air dari permukaan hingga kedalaman 8 meter. Perlakuan 2 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu dari permukaan hingga kedalaman 27 meter, sedangkan perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) hingga dasar perairan (pencampuran seluruh titik kedalaman). Komposisi contoh air yang akan dicampurkan sebagai perlakuan didasarkan pada ketebalan lapisan yang terwakili, kedalaman total, dan volume botol kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus : Komposisi = jumlah kedalaman yang terwakili jumlah kedalaman total volume botol

37 24 Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut (Lampiran 1), diperoleh komposisi air dari masing-masing kedalaman yang mewakili seperti yang tercantum pada tabel 4. Tabel 4. Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili Perlakuan Kedalaman (meter) DO (ml) Amonia (ml) Sulfida dan ph (ml) total volume botol total volume botol total volume botol Pengukuran Data Kualitas Air DO (Oksigen Terlarut) Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter utama dalam penelitian ini. Air contoh untuk analisis oksigen terlarut diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Pengukuran DO dilakukan secara vertikal pada setiap kedalaman dan setiap perlakuan melalui metode Winkler dengan menggunakan alat titrasi dan diukur secara in situ. Pencampuran contoh air dari titik kedalaman yang merupakan perlakuan dimana pencampuran contoh air tersebut dilakukan dengan menggunakan botol BOD Kecerahan Kecerahan diukur pada titik pengambilan contoh air. Pengukuran kecerahan dilakukan secara in situ melalui metode pembiasan cahaya menggunakan secchi disk.

38 ph Air contoh untuk analisis ph diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Pengukuran ph diukur di setiap kedalaman dan setiap perlakuan, melalui metode elektromagnetik menggunakan ph meter dan dilakukan secara in situ Amonia bebas (NH 3) Air contoh untuk analisis amonia bebas diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Amonia bebas hanya diukur pada tiap perlakuan melalui metode titrimetri dengan menggunakan spektrofotometer dan dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Depertemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Hidrogen Sulfida (H 2S) Air contoh untuk analisis hidrogen sulfida (H 2S) diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Contoh air dari perlakuan dimasukkan kedalam botol BOD 125 ml dan diberi Zn asetat serta NaOH untuk mengikat gas H 2S agar tidak menguap, setelah itu baru didinginkan. Hidrogen sulfida hanya diukur ditiap perlakuan melalui metode iodometri dengan menggunakan alat titrasi dan dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Depertemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Beberapa parameter yang diukur dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 5. Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian No. Parameter Unit Alat dan Metode Keterangan 1. Kecerahan Cm Secchi Disk/Pembiasan cahaya In situ 2. Suhu 0C Thermometer Hg/Pemuaian In situ 3. ph - ph meter/elektrometrik In situ 4. DO mg/l Titrasi/Modifikasi Winkler In situ 5. NH 3 mg/l Spektrofotometer/Phenate Laboratorium 6. H 2S mg/l Titrasi/Iodometri Laboratorium

39 Analisis Data Kedalaman eufotik Kedalaman eufotik ditunjukkan oleh lapisan eufotik dimana kolom air berada di sebelah atas dari kedalaman kompensasi (kolom perairan). Menurut Boyd (1989), pada umumnya kedalaman zona eufotik pada perairan di daerah tropis sekitar dua sampai tiga kali kecerahan secchi disk Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut dilakukan berdasarkan data oksigen terlarut yang didapat pada setiap kedalaman kemudian dibandingkan dengan tipe distribusi vertikal oksigen terlarut menurut Goldman dan Horne (1983) seperti yang tertera pada Gambar Analisis saturasi oksigen terlarut Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi) akan tercapai jika konsentrasi oksigen yang terlarut di perairan sama dengan konsentrasi oksigen terlarut secara teoritis. Konsentrasi oksigen tidak jenuh terjadi jika konsentrasi oksigen yang terlarut lebih kecil daripada konsentrasi oksigen secara teoritis. Selanjutnya kondisi super saturasi terjadi bila konsentrasi oksigen terlarut lebih besar daripada konsentrasi oksigen secara teoritis. Tingkat kejenuhan oksigen di perairan dinyatakan dalam persen saturasi (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). DO % Saturasi Oksigen Terlarut = x100% DOt Keterangan: DO : Konsentrasi oksigen terlarut di air (mg/l). DO t : Konsentrasi oksigen terlarut jenuh secara teoritis pada suhu tertentu dengan tekanan 760 mmhg (mg/l).

40 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerob, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen akan menggambarkan seberapa besar perairan menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan bagi organisme hidup. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan September 2009 di salah satu keramba jaring apung Waduk Cirata, distribusi kandungan oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga karena di lapisan dasar perairan terjadi akumulasi bahan organik dari sisa pakan dan feses ikan juga ketersediaan cahaya yang masuk ke dalam perairan tidak ada. Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang mempengaruhi proses fotosintesis oleh fitoplankton, sehingga hal ini akan menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut pada lapisan dasar perairan. Berdasarkan hasil pengamatan oksigen terlarut (Tabel 6), diperoleh nilai oksigen terlarut yang bervariasi di setiap kedalaman berkisar antara 0,38-8,20 mg/l. Dari data tersebut dapat diketahui semakin dalam perairan maka konsentrasi oksigen cenderung menurun. Pada hasil pengamatan oksigen terlarut terbesar berada pada kedalaman 0 meter sebesar 8,20 mg/l begitu, sebaliknya kandungan oksigen terlarut terkecil pada berada pada kedalaman 51 meter sebesar 0,38 mg/l. Permukaan perairan memiliki konsentrasi oksigen yang tinggi disebabkan karena cahaya matahari masih sangat besar sehingga proses fotosintesis juga berjalan dengan baik. Selain fotosintesis kandungan oksigen pada permukaan perairan juga berasal dari difusi udara. Difusi oksigen dari udara terjadi ketika berlangsung kontak antara campuran gas atmospheric dengan air, baik secara langsung dalam keadaan diam maupun saat terjadi agitasi. Kejadian ini akan mempengaruhi konsentrasi oksigen dipermukaan perairan. Pada bagian dasar perairan proses yang terjadi adalah respirasi dan dekomposisi. Hal ini disebabkan karena pada bagian dasar perairan tidak terdapat cahaya matahari sehingga proses fotosintesis sangat minim bahkan tidak ada. Adanya akumulasi bahan organik yang berupa sisa pakan, feses ikan dan limbah dari

41 28 pemukiman di sekitar keramba jaring apung akan menyebabkan kebutuhan akan oksigen semakin tinggi, sedangkan pada dasar perairan kandungan oksigennya sangat rendah dan proses dekomposisi bahan organik terjadi secara anerobik. Apabila tetap dibiarkan akan menambah lapisan anoksik pada perairan tersebut. Tabel 6. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan Kedalaman (m) DO (mg/l) 0 8,20 2 7,60 4 6,66 6 5,85 8 5, , , , , , , , , , , , , ,51 Dasar* 0,38 Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 m Kedalaman suatu perairan yang bersifat eutrofik dapat menunjukkan kandungan oksigen terlarut yang ada pada perairan tersebut. Semakin dalam suatu perairan jumlah kandungan oksigennya juga menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman, hal ini didukung dengan kecerahan suatu perairan yang berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Pada daerah perairan yang tidak mendapatkan pasokan cahaya matahari, proses yang terjadi berupa respirasi dan dekomposisi, dimana proses ini membutuhkan lebih banyak oksigen. Pada daerah kedalaman tersebut proses fotosintsesis tidak ada sehingga terjadi deplesi oksigen. Berdasarkan distribusi vertikal oksigen terlarut (Gambar 4), ditunjukkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut cenderung menurun seiring dengan bertambahnya

42 29 kedalaman. Menurut Goldman dan Horne (1983) tipe distribusi oksigen terlarut (Gambar 4) yang diperoleh dari hasil pengamatan termasuk tipe clinograde. Tipe clinograde pada umumnya terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini oksigen semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Profil Sebaran Vertikal DO (mg/l) Kedalaman (m) DO (mg/l) 50 Gambar 4. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut. Distribusi vertikal oksigen terlarut pada saat pengamatan menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan tidak terjadi penurunan oksigen hingga mencapai nol karena oksigen masih ditemukan hingga dasar perairan. Pada dasarnya penumpukan limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan pasti akan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, namun pada kenyataannya oksigen terlarut di lokasi pengamatan masih tersedia hingga dasar perairan meskipun dalam jumlah yang sangat minim. Hal ini didukung hasil penelitian Sukimin (2003) yang menyebutkan bahwa kandungan DO dari permukaan hingga dasar perairan adalah sebesar 1,99-8,47 mg/l. Selain itu, adanya arus balik (upwelling) yang terjadi di Waduk Cirata pada bulan Juni 2009 mengakibatkan oksigen terlarut di

43 30 dasar perairan menjadi terangkat dan tercampur ke permukaan sehingga oksigen masih tersedia hingga lapisan hipolimnion. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa hingga kedalaman 16 meter konsentrasi oksigen terlarut masih dianggap layak bagi kegiatan perikanan karena memiliki kisaran nilai DO 3,35-8,20 mg/l. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 kelas III yang menganjurkan batas minimal konsentrasi oksigen terlarut untuk kepentingan perikanan sebesar 3 mg/l, sedangkan pada kedalaman 18 meter hingga dasar perairan konsentrasi oksigen terlarut sudah tidak layak bagi kegiatan perikanan karena nilai oksigen terlarut pada kedalaman tersebut kurang dari 3 mg/l yaitu berada pada kisaran 0,38-2,48 mg/l. Hal tersebut menandakan kondisi perairan dari kedalaman 18 meter hingga dasar cenderung mendekati kondisi anoksik. Kondisi oksigen terlarut yang minim tersebut dapat membahayakan kehidupan ikan, baik ikan yang berada di dalam keramba maupun yang berada di luar keramba apabila pada nantinya terjadi proses pembalikkan massa air ke lapisan permukaan Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian melalui beberapa perlakuan (Tabel 7), diperoleh nilai Dissolved Oxygen (DO) rata-rata tertinggi adalah perlakuan 1 yaitu 7,21 mg/l. Pada perlakuan 2 konsentrasi DO rata-rata yang diperoleh adalah 5,38 mg/l; dan nilai DO rata-rata pada perlakuan 3 yaitu 2,64 mg/l. Perlakuan 1 memiliki nilai konsentrasi DO yang dianggap masih baik bagi kegiatan perikanan berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan nilai DO untuk kegiatan perikanan tidak kurang dari 3 mg/l. Pada perlakuan 2 nilai DO di stasiun pengamatan masih berada pada baku mutu sehingga ikan mampu mentolerir kondisi perairan tersebut. Nilai DO terendah di stasiun pengamatan berada pada perlakuan 3 dan mendekati kondisi anoksik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna (holomitic) di alam. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat upwelling di Waduk Cirata yang pada umumnya terjadi ketika terjadi pergantian musim antara musim kemarau ke musim hujan.

44 31 Tabel 7. Konsentrasi rata-rata DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman Stasiun Perlakuan ,41 5,48 2,84 2 7,00 5,28 2,44 Rata-rata 7,21 5,38 2,64 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m Berbeda dengan hasil pengamatan Pratiwi (2009) di Waduk Jatiluhur yang memiliki nilai konsentrasi DO untuk perlakuan 1 masih memenuhi baku mutu (> 3 mg/l) yaitu 4,03 mg/l sedangkan perlakuan 2 dan 3 sudah berada di bawah nilai baku mutu yaitu 2,65 mg/l dan 2,02 mg/l, dan pada hasil pengamatan Nugroho (2009) nilai DO pada perlakuan 1 dan 2 masih memenuhi baku mutu yaitu 4,40 mg/l dan 3,21 mg/l, sedangkan pada perlakuan 3 sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu 2,20 mg/l. Hal ini disebabkan karena perbedaan kandungan awal oksigen, karakteristik perairan seperti kedalaman, kepadatan KJA dan waktu pengamatan juga perbedaan titik kedalaman yang akan dicampurkan. Umbalan atau upwelling merupakan suatu peristiwa alam yang tidak dapat diduga dengan pasti waktu terjadinya. Pada pengamatan ini, perlakuan 1 dan perlakuan 2 merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai DO di perairan jika terjadi pencampuran air sebagian (meromictic), sedangkan perlakuan 3 merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai DO jika perairan mengalami pencampuran massa air sempurna (holomictic). Pencampuran massa air sebagian pada umumnya lebih sering terjadi dibandingkan dengan pencampuran massa air sempurna (holomictic). Meromictic pada umumnya disebabkan oleh pergerakan angin, suhu, dan masukan aliran air sungai atau masukan inlet dari waduk yang berada diatasnya. Dari data diatas dapat diketahui bahwa konsentrasi rata-rata oksigen terlarut pada perlakuan 1 memiliki nilai oksigen 7,21 mg/l. Nilai konsentrasi oksigen tersebut terbilang masih tinggi, hal ini disebabkan karena perlakuan 1 masih mendapatkan pengaruh yang besar dari komposisi air pada kedalaman 2 meter yang nilai oksigennya masih sangat tinggi. Pada perlakuan 2 memiliki nilai oksigen terlarut sebesar 5,38 mg/l, kandungan oksigen terlarut pada perlakuan 2 lebih kecil

45 32 dibandingkan perlakuan 1. Perlakuan 3 di stasiun pengamatan memiliki nilai oksigen paling rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 dengan nilai 2,64 mg/l, hal ini diduga akibat komposisi dari pencampuran pada kedalaman 42 m lebih dominan daripada kedalaman 2, 12, dan 24 m. Pada kedalaman 42 m nilai oksigen terlarut sangat rendah karena tingginya dekomposisi dan respirasi, sedangkan fotosíntesis tidak ada. Hal ini yang menyebabkan rendahnya nilai oksigen terlarut pada perlakuan 3. Perlakuan 3 merupakan pencampuran sempurna (holomitic) di mana pencampuran ini dianggap mewakili umbalan di alam yang mengalami pencampuran hingga ke dasar perairan. Nilai konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 di stasiun pengamatan berada di bawah baku mutu yaitu > 3 mg/l menurut Effendie (2003), sehingga pada perlakuan 3 kondisi perairan tidak baik untuk budidaya perikanan. Apabila dilihat dari ketiga perlakuan maka yang berpotensi berakibat buruk ketika terjadi pembalikan masa air adalah perlakuan 3. Dimana perlakuan ini mewakili pencampuran secara sempurna (holomitic), bahan-bahan organik dari proses dekomposisi yang bersifat toksik yang memilki nilai sufida dan amonia yang berlebih akan terangkat ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Pada hasil pengamatan (Tabel 7) juga terlihat bahwa nilai oksigen terlarut sangat kecil dan berada di bawah batas baku mutu untuk perikanan (Effendi 2003) Persen Saturasi Oksigen Berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengamatan, didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (supersaturasi). Effendi (2003) menyatakan bahwa kondisi supersaturasi menggambarkan kadar oksigen terlarut di perairan lebih besar daripada kadar oksigen yang terlarut secara teoritis berdasarkan nilai suhu pada tekanan udara 760 mmhg (Tabel 2). Kondisi supersaturasi pada saat pengamatan diperoleh pada kedalaman 0 meter (permukaan perairan) dengan nilai saturasi sebesar 110,03% (Gambar 5). Kondisi supersaturasi ini terjadi karena pada saat pengamatan kondisi cuaca sangat cerah (waktu pengamatan pukul WIB) dan cahaya matahari bersinar terik hingga ke permukaan perairan sehingga pada kondisi ini proses fotosintesis dari fitoplankton berjalan dengan cepat dan difusi pun tetap berjalan pada permukaan hingga kadar oksigen mencapai titik jenuh. Pada kondisi jenuh tersebut tidak ada lagi oksigen yang mengalami difusi dari udara ke dalam air. Hal ini didukung oleh penelitian Pratiwi (2009) nilai persen saturasi yang didapatkan tidak berbeda jauh

46 33 yaitu 102,29%, dimana terdapat persamaan pada saat pengamatan yaitu waktu dan kondisi cuaca sangat cerah, berbeda dengan Nugroho (2009) nilai persen saturasi yang didapatkan 86,65%, dimana adanya perbedaan waktu pengambilan sampel pada saat pengamatan. Kondisi saturasi yang diperoleh dari ketiga hasil pengamatan ini sesuai dengan Goldman dan Horne (1983) yang menyatakan bahwa perairan yang mengalami penyuburan memiliki kejenuhan oksigen berkisar antara % saturasi. Persen saturasi DO (%) Kedalaman (m) Persen saturasi 50 Gambar 5. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata Pada saat matahari bersinar terang menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pelepasan oksigen oleh proses fotosíntesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi. Menurut Effendi (2003) oksigen yang mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara. Hal ini dapat membahayakan kelangsungan hidup

47 34 ikan, karena dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi perairan sehingga pada saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol Parameter Fisika-Kimia penunjang Suhu Suhu merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi di perairan seperti kimia, fisika, dan biologi. Hasil pengamatan menunjukkan nilai suhu yang menurun seiring bertambahnya kedalaman (Tabel 8) dengan kisaran ratarata adalah 26,0 30,6 0 C. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III, suhu yang diperoleh masih layak untuk budidaya perikanan karena berada pada baku mutu yang dianjurkan yaitu 28±3 0 C sehingga sebaran suhu di waduk ini masih dapat mendukung kehidupan ikan. Pada saat pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar yaitu lebih dari 1 0 C/m (Tabel 8 dan Gambar 6) yang memungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil. Lapisan hipolimnion diduga berkisar dari kedalaman 18 meter hingga dasar perairan. Menurut Goldman dan Horne (1983), lapisan hipolimnion merupakan lapisan dengan perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil, massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung kadar oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil. Pada hasil pengamatan (Tabel 8) yang telah dilakukan terjadi penurunan suhu seiring bertambahnya kedalaman, sehingga Waduk Cirata memiliki stratifikasi suhu. Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas sehingga pada permukaan suhunya lebih tinggi dan cenderung lebih panas dan densitas air di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman dibawahnya. Hal ini disebabkan karena ketika pengamatan kondisi cuaca sangat terik dan panas. Kondisi inilah menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Cahaya yang mencapai perairan yang diubah menjadi energi panas tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan terjadinya pencampuran massa air.

48 35 Tabel 8. Distribusi vertikal suhu ( 0 C) di lokasi pengamatan Kedalaman Suhu 0 30,6 2 30,3 4 30,1 6 29,8 8 29, , , , , , , , , , , , , ,2 Dasar* 26,0 Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan melalui tiga perlakuan, didapatkan nilai suhu rata-rata pada perlakuan 1 adalah 29,6 0 C. Pencampuran yang dilakukan pada perlakuan 1 merupakan pencampuran antara kedalaman 2 dan 12, sehingga suhu permukaan masih sangat berpengaruh pada perlakuan 1 di lokasi pengamatan. Komposisi kedalaman 2 meter lebih besar dibandingkan dengan kedalaman 12 meter berturut-turut adalah 60 ml dan 40 ml, hal ini juga menjadi salah satu penyebab suhu pada perlakuan 1 masih tinggi. Pada perlakuan 2 nilai suhu yang didapatkan di lokasi pengamatan adalah 28,2 0 C dimana tidak terjadi penurunan suhu secara signifikan pada perlakuan 2. Perlakuan 2 adalah pencampuran antara kedalaman 2, 12, dan 24, dengan komposisi masing-masing dari setiap kedalaman adalah 22,22 ml, 37,04 ml dan 40,74 ml. Komposisi ketiga kedalaman ini tidak memiliki perbedaan yang jauh sehingga suhu pada perlakuan 2 tidak terlalu berbeda dengan perlakuan 1.

49 36 Gambar 6. Distribusi vertikal suhu di lokasi pengamatan Selanjutnya, perlakuan 3 yang merupakan pencampuran antara kedalaman 2, 12, 24, 42, dimana perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna (holomitic) dengan komposisi masing-masing adalah 11,76 ml; 19,61 ml; 21, 57 ml; dan 47,06 ml. Pada perlakuan 3 nilai suhu rata-rata dari stasiun pengamatan adalah 26,7 0 C. Suhu pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Hal ini disebabkan karena pencampuran yang dilakukan mencapai kedalaman 42 meter, yang suhunya lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman yang lainnya. Komposisi air sampel dari perlakuan ini lebih banyak pada kedalaman 42 meter. Tabel 9. Hasil pengukurann rata-rata suhu ( 0 C) melalui pencampuran air beberapa kedalaman Perlakuan Stasiun ,5 28,1 26,8 29,6 28,3 26,6 Rata-rata 29,6 28,2 26,7 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m

50 37 Hasil pengukuran dari ketiga perlakuan yang dilakukan merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai suhu pada saat terjadi pencampuran massa air sebagian (meromictic) dan pencampuran sempurna (holomictic). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu yang diperoleh masih berada dalam ambang batas baku mutu suhu untuk perikanan menurut PP RI No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan kisaran suhu untuk kegiatan perikanan adalah 28±3 0 C. Hal ini disebabkan adanya pengaruh suhu di permukaan pada saat pengukuran. Pada saat dilakukan percobaan, suhu di permukaan masih tinggi (Tabel 9) karena pengaruh sinar matahari sehingga hasil pengukuran suhu yang diperoleh pun masih cukup besar Kecerahan Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan oksigen pada perairan. Jumlah cahaya yang masuk ke perairan akan mempengaruhi proses laju fotosintesis. Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan didapat nilai rata-rata kecerahan di stasiun pengamatan sebesar cm. Rendahnya nilai kecerahan di dalam KJA disebabkan oleh kandungan bahan organik karena sisa pakan dan sisa metabolisme. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini berkisar antara 3,71-3,78 m yaitu 3 kali kedalaman secchi disk. Nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan (Asmawi 1983) adalah lebih besar dari 45 cm sehingga nilai kecerahan dari hasil pengamatan pada stasiun pengamatan masih baik untuk budidaya perikanan. Kecerahan merupakan ukuran tranparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk yang mekanismenya mengkuantitatifkan kekeruhan dalam suatu nilai yang disebut dengan kecerahan secchi disk (Boyd, 1990). Status waduk Cirata dilihat dari nilai kecerahannya tergolong eutrofik. Hal ini didasarkan pada Henderson dan Markland (1976) in Widiyastuti (2004) dimana nilai kecerahan yang kurang dari 3 meter dapat digolongkan kedalam status waduk eutrofik Amonia (NH 3) Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein akan menghasilkan amonia (NH 3). Amonia yang berlebih di perairan bersifat toksik pada

51 38 ikan. Berdasarkan data pada Tabel 10, kisaran amonia yang diperoleh di stasiun pengamatan pada perlakuan 1 adalah 0,0081-0,0275 mg/l; pada perlakuan 2 memiliki kisaran amonia 0,0087 0,0267 mg/l; dan kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 3 adalah 0,0116 0,0292 mg/l. Nilai amonia rata-rata tertinggi pada saat pengamatan di lokasi penelitian terdapat pada perlakuan 3, dengan nilai 0,0222 mg/l; nilai amonia rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 pada stasiun pengamatan adalah 0,0181 mg/l; sedangkan amonia rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,0170 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai amonia bebas yang diperoleh cenderung meningkat. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai amonia pada stasiun pengamatan yang melebihi baku mutu adalah perlakuan 3. Nilai rata-rata amonia yang diperoleh lebih dari 0,02 mg/l dianggap sudah melebihi ambang batas kadar amonia untuk perikanan. Tingginya nilai amonia pada perlakuan tiga adalah disebabkan karena komposisi pencampuran kedalaman 42 meter lebih berpengaruhi dibandingkan kedalaman lain yang ikut tercampur, sehingga nilai amonia lebih tinggi. Berbeda dengan hasil pengamtan Nugroho (2009) dimana nilai amonia yang paling tinggi berada pada perlakuan 1 yaitu 0,042 mg/l sedangkan pada perlakuan 2 dan 3 nilai amonianya lebih rendah yaitu 0,036 mg/l dan 0,019 mg/l. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan ph yang tinggi pada lokasi pengamatan di Waduk Saguling dan tipe pakan yang diberikan sehingga nilai amonia berbeda dengan Waduk Cirata. Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran amonia bebas di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal amonia di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi amonia yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menunjukkan bahwa konsentrasi amonia di permukaan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di bawahnya.

52 39 Tabel 10. Hasil pengukuran rata-rata amonia (mg/l) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Stasiun Perlakuan ,0067 0,0083 0, ,0273 0,0278 0,0300 Rata-rata 0,0170 0,0181 0,0222 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan 1 yang memiliki konsentrasi amonia lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 3 yang pencampurannya berasal dari lapisan dibawahnya bahkan mencapai lapisan dasar. Kondisi ini terjadi karena proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan yang menghasilkan amonia pada kondisi anaerob, sehingga konsentrasi amonia bebas di dasar lebih besar dan hal tersebut mengakibatkan hasil dari pencampuran massa air pada perlakuan 3 lebih besar dibandingkan perlakuan 1 dan 2. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia dan kadar amonia bebas juga akan semakin meningkat dengan meningkatnya ph. Kadar amonia juga dipengaruhi oleh oksigen terlarut, dimana pada perlakuan 3 nilai oksigen terlarut juga semakin kecil sehingga akan menyebabkan dekomposisi secara anaerobik hal ini akan menambah kandungan amonia pada perairan tersebut. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran sempurna (holomictic) memiliki potensi buruk bagi kehidupan ikan budidaya. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi amonia maupun konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 tidak berada pada baku mutu yang dianjurkan. Sedangkan pada perlakuan 1 dan 2 nilai amonia yang terukur masih sesuai baku mutu. Hal ini mengindikasikan bahwa pencampuran massa air sempurna cenderung memberi pengaruh lebih buruk bagi budidaya perikanan. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, ph, dan suhu (Effendi 2003). Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.

53 ph Nilai ph dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme perairan (Pescod 1973). Pada bagian permukaan nilai ph lebih tinggi dari kedalaman yang lainnya karena di permukaan proses fotosintesis tinggi sehingga menghasilkan oksigen terlarut lebih banyak dan respirasi yang meghasilkan CO 2 akan dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, sehingga jumlah CO 2 pada permukaan akan lebih sedikit karena dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Rendahnya nilai ph di suatu perairan dapat disebabkan oleh tingginya jumlah bahan organik, dimana turunnya ph disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO 2 karena aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik. Kandungan bahan organik sangat besar jumlahnya pada dasar perairan. Tingginya bahan organik pada dasar perairan akan menyebabkan proses dekomposisi bahan organik juga akan tinggi, proeses dekomposisi ini menghasilkan CO 2 dan zat yang lain yang dapat bersifat toksik sehingga ph pada dasar perairan akan lebih rendah dibandingkan dengan permukaan maupun pada kolom perairan. Tabel 11. Distribusi vertikal ph di lokasi pengamatan Kedalaman (m) ph 0 7,09 2 7,08 4 7,06 6 7,03 8 6, , , , , , , , , , , , , ,59 Dasar* 6,52 Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter

54 41 Nilai ph memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan organisme serta mempengaruhi kadar toksisitas pada perairan. Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata ph pada stasiun pengamatan adalah 6,52. Nilai ph tertinggi berada pada permukaan yaitu sebesar 7,09, sedangkan nilai ph yang paling rendah berada pada bagian perairan yang paling dasar yaitu sebesar 6,52 (Tabel 11). Kedalaman (m) Profil sebaran vertikal ph ph Gambar 8. Distribusi vertikal ph di lokasi pengamatan ph Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan di stasiun pengamatan (Tabel 12), nilai rata-rata ph tertinggi pada stasiun pengamatan adalah perlakuan 1 yaitu sebesar 7,02. Pada perlakuan 2 nilai ph rata-rata adalah 6,84, sedangkan nilai rata-rata ph terendah berada pada stasiun pengamatan adalah pada perlakuan 3 dengan nilai ph 6,61. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai ph cenderung menurun. Perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan ph yang cenderung rendah (asam). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat asam.

55 42 Tabel 12. Hasil pengukuran rata-rata ph melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan Stasiun ,93 6,79 6,62 2 7,10 6,90 6,60 Rata-rata 7,02 6,84 6,61 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m Nilai ph pada siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan ph pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan adanya proses fotosíntesis pada siang hari yang banyak menyerap CO 2 bebas. Pada kondisi ini, CO 2 diperoleh dari HCO 3 dengan melepaskan ion hidroksil (OH - ) yang akan meningkatkan ph ke arah basa. Oleh karena itu pula nilai ph di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Keberadaan karbondioksida akan mempengaruhi kadar ph pada perairan menyebabkan perairan semakin asam. Namun, seluruh perlakuan menunjukkan bahwa nilai ph yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan Hidrogen Sulfida (H 2S) Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida dalam bentuk H 2S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahannya yang tersusun dari logam. Kadar H 2S tak terionisasi yang tinggi dalam perairan menimbulkan bau telur busuk (Boyd 1989). Berdasarkan data (Tabel 13) dapat ditunjukkan bahwa nilai sulfida rata-rata tertinggi pada lokasi pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 1,6956 mg/l; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,3189; dan sulfida rata-rata pada perlakuan 1 di stasiun pengamatan adalah 0,0538 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai rata-rata sulfida yang terukur cenderung meningkat.

56 43 Tabel 13. Hasil pengukuran rata-rata Hidrogen Sulfida (H 2S) melalui pencampuran air dibeberapa kedalaman Ulangan Perlakuan ,0556 0,3506 1, ,0520 0,2871 1,5876 Rata-rata 0,0538 0,3189 1,6956 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m Sama halnya dengan pengamatan yang dilakukan oleh Nugroho (2009) dan Pratiwi (2009) di Waduk Saguling dan Jatiluhur, dimana nilai H 2S yang didapatkan pada perlakuan 3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada kondisi anoksik hasil dari proses dekomposisi tersebut akan membentuk sulfida (H 2S). Dapat dilihat dari nilai oksigen terlarut pada stasiun pengamatan, dimana nilainya semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran konsentrasi sulfida di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal sulfida di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat diduga bahwa konsentrasi sulfida cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan <0,002 mg/l. Secara umum kandungan H 2S tersebut berbahaya bagi kelangsungan ikan di keramba jaring apung karena melebihi baku mutu. Kandungan H 2S yang melebihi batas ambang yang diperkenankan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan, sebab gas H 2S yang naik kepermukaan perairan dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Namun mengingat adanya parameter lain (DO, ph, dan suhu) yang mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida pada perlakuan 1 diduga masih dapat di tolerir oleh ikan budidaya. Berbeda dengan perlakuan 3, pada perlakuan 1 tingginya konsentrasi sulfida tidak diiringi dengan rendahnya DO dan meningkatnya amonia. Nilai suhu dan ph

57 44 yang diperoleh pun masih berada pada baku mutu yang dianjurkan sehingga jika dilihat dari keempat parameter tersebut maka untuk perlakuan 1 masih dianggap layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan 1 tidak aman bagi kegiatan budidaya perikanan berdasarkan PPRI No. 82 tahun Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diiringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada perlakuan 3, maka ikan budidaya yang berada pada keramba jaring apung tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang buruk. Keadaan ini biasanya terjadi pada saat terjadi umbalan sempurna (holomictic) yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung Pengelolaan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diketahui konsentrasi oksigen terlarut di perairan Waduk Cirata, khususnya pada lokasi pengamatan secara teoritis mengalami defisit oksigen mulai dari 18 meter sampai dasar perairan. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Waduk Cirata khususnya pada lokasi pengamatan, berisiko tidak dapat memnuhi kebutuhan oksigen untuk respirasi organisme akuatik dan juga proses-proses yang terjadi di dalam perairan yang membutuhkan oksigen terutama di dasar perairan. Selain itu, pencampuran secara holomitic menghasilkan konsentrasi oksigen yang rendah dan H 2S yang tinggi. Tingginya konsentrasi amonia bebas dan hidrogen sulfida (H 2S) juga berakibat fatal bagi ikan karena amonia bebas dan H 2S bersifat toksik pada ikan. Rendahnya konsentrasi oksigen akibat peningkatan pemanfaatan oksigen di Waduk Cirata khususnya di lokasi pengamatan, disebabkan pemanfaatan oksigen terlarut untuk proses-proses dekomposisi. Bahan-bahan organik yang terdapat di kolom perairan yang terakumulasi di dasar perairan berasal dari kegiatan budidaya KJA. Jumlah kandungan bahan organik pada waduk cirata terutama pada lokasi pengamatan sudah melebihi daya dukung perairan. Salah satu solusi pengelolaanya adalah dengan mengurangi jumlah KJA yang beroperasi, namun pengurangan KJA yang dilakukan secara drastis akan menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi bagi penduduk di sekitar Waduk Cirata, sehingga pengurangan dapat dilakukan secara bertahap, salah satunya dengan tidak memberi izin kepada pengusaha yang ingin menambah Keramba jaring apung di Waduk Cirata. Selain itu, pengendalian jumlah

58 45 KJA di Waduk Cirata, alternatif pengelolaan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Pengendalian pemberian pakan Pemberian pakan didasarkan kepada bobot ikan, pertambahan pemberian pakan harus sesuai dengan pertambahan bobot ikan. 2. Memberikan pengarahan kepada petani untuk tidak melakukan budidaya pada saat peralihan musim kemarau ke musim hujan karena potensi terjadinya umbalan sangat besar, dengan pencampuran dari permukaan hingga ke dasar perairan (holomitic) akan memiliki potensi terjadinya kematian ikan secara masal yang mengakibatkan kerugian pada petani keramba jaring apung. 3. Penggunaan sistem aerasi untuk meningkatkan DO cadangan Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat menggunakan kincir yang dapat di pasang di setiap unit KJA atau pada satu lokasi KJA apabila dan kurang memadai 4. Penyedotan sedimen yang merupakan akumulasi semua bahan organik, yang pada kondisi tidak ada oksigen akan menghasilkan gas-gas beracun, seperti H 2S, CO 2 dan amonia. Alternatif pengelolaan ini membutuhkan biaya yang cukup besar, namun sedimen yang telah disedot dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk lahan pertanian. 5. Prinsip budidaya KJA intensif akan berdampak terhadap penambahan bahan organik ke perairan yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan fitoplankton melimpah yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan kualitas air menurun jika tidak ada yang memanfaatkan. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan restocking atau penebaran ikanikan pemakan plankton (plankton feeder) yang tidak bersifat kompetitor dengan ikan lainnya seperti ikan tawes, nilem, nila, bandeng, dan sebagainya.

59 46 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Secara umum, konsentrasi DO di lokasi KJA di Waduk Cirata cenderung menurun seiring bertambahnya kedalaman dengan kisaran rata-rata, 0,38 mg/l (pada lapisan dasar) hingga 8,20 mg/l (pada lapisan permukaan). Distribusi vertikal oksigen terlarut menggambarkan tipe perairan clinograde. Pada pengamatan diperoleh kondisi oksigen yang mencapai titik jenuh pada lapisan permukaan dengan nilai saturasi mencapai 110,03%. Dari hasil pengukuran suhu, tidak ditemukan lapisan termoklin pada lokasi pengamatan. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini mencapai 3,78 m. Berdasarkan hasil pencampuran massa air, disimpulkan bahwa terdapat variasi ketersediaan oksigen terlarut dari berbagai pencampuran massa air (meromictic dan holomictic) di perairan KJA di Waduk Cirata. Pada perlakuan 1 dianggap sebagai meromictic hingga 16 meter, diperoleh nilai DO rata-rata sebesar 7,21 mg/l. Perlakuan 2 sebagai meromictic hingga 27 meter memiliki nilai DO rata-rata sebesar 5,38 mg/l; sedangkan perlakuan 3 yang dianggap sebagai pencampuran air sempurna (holomictic) memiliki nilai DO rata-rata sebesar 2,64 mg/l. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh disimpulkan bahwa jika terjadi pencampuran meromictic hingga kedalaman 16 meter maka kegiatan budidaya ikan masih dianggap layak (PPRI no. 82 tahun 2001 kelas III) juga dengan meromictic 27 meter sedangkan hingga kedalaman dasar yang dianggap sebagai pencampuran holomictic sudah melewati ambang batas sehingga tidak baik untuk budidaya perikanan. Namun, jika dilihat dari konsentrasi sulfida, semua jenis pencampuran massa air baik meromictic maupun holomictic dapat membahayakan kehidupan ikan budidaya. Secara umum berdasarkan parameter fisika-kimia, disimpulkan bahwa kejadian holomictic memiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan dan berpotensi mencemari perairan sehingga pengelolaan sumberdaya perairan sangat berperan penting bagi pencegahan dampak buruk dari kejadian umbalan di KJA Waduk Cirata.

60 Saran Perlu dilakukan penelitian dengan topik yang sama pada peralihan musim kemarau ke musim hujan dengan titik pengamatan lebih dari 2 stasiun dan dilaksanakan selama 24 jam sehingga diperoleh keterwakilan yang lebih baik dari efek umbalan di Waduk Cirata.

61 48 DAFTAR PUSTAKA Azwar ZI, Suhenda N, & Praseno O Manajemen Pakan pada Usaha Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung. Jurnal Pengembangan Budidaya Perikanan di Perairan Waduk Baksir A Hubungan Antara Produktivitas Primer Fitoplankton dan Intensitas Cahaya di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana IPB. 62 p. Boyd CE Water Quality Management for pond Fish Culture. International Centre of Agriculture Experiment Station Auburn University, Alabama 52 hlm. Boyd CE Water quality in warm water fish pond. Departement of Fisheries Allied Aquaculture, Agriculture Experimental Station Auburn University. Auburn. Alabama. 52 pp. Cole GA Textbook of limnology. Third Edition. Waveland Press, Inc. USA. 401 p. Cole TM dan Hanan HH Dissolved oxygen dynamics, p In K.W. Thorn Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. Effendi YM KJA Waduk Jatiluhur Membutuhkan 4 Juta Ekor Ikan Bandeng. www. Madina.com [22 November 2009] Garno YS Status dan Strategi Pengendalian Pencemaran Waduk Multiguna Cirata. Prosiding Semiloka Nasional ; Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Universitas Padjajaran 7 November p. Garno YS Dinamika Dan Status Kualitas Air Waduk Multi Guna Cirata. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 4 (4) : 1 8. Google Earth Waduk Cirata. [26 Februari 2010]. Google Map Waduk Cirata. [26 Februari 2009]. Goldman GR dan Horne AJ Limnology. McGraw Hill Book Company. International Student Edition, Japan. In, B.L Kimmel, and F.E Payne (Ed), Reservoir Limnology : Ecologycal Persepectives. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons, Inc. New York. 246 p. Hardjamulia A, Suhenda N, dan Krismono Budidaya Ikan Air Tawar Dalam Keramba Jaring Apung Mini. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 42 hlm.

62 49 Hariyadi S, Suryadiputra INN, dan Widigdo B Limnologi. FPIK. IPB. Bogor. 126 hlm. Harsono E dan Hendro W Sistem Kawasan Saguling dan Cirata Akibat Nutrien (N, P) dan Organik Karbon. Laporan Teknis Proyek Pengelolaan SDA. Pusat Penelitian Limnologi. LIPI. Husen M Kelestarian Danau dan Waduk di DAS Citarum Potensi dan Ancaman. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Bandung, 7 November Hlm Indriani S Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Pada Budidaya Keramba Jaring Apung Di Perairan Eutrotrof, Waduk Cirata. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tidak dipublikasikan] Jangkaru Z Pembesaran Ikan Air Tawar di Berbagai Lingkungan Pemeliharaan. Jakarta : Penebar Swadaya Memelihara Ikan di Kolam Tadah Hujan. Jakarta : Penebar Swadaya. Krismono Optimalisasi Budidaya Ikan dalam KJA di Perairan Waduk Sesuai Daya Dukung. Jurnal Pengembangan Budidaya Perikanan di Perairan Waduk. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Mardiana L Studi Kandungan Fosfor di Air dan Sedimen yang Dipengaruhi Aktivitas Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tidak dipublikasikan] Nastiti, AS, Krismono, dan Kartamihardja ES Dampak Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung terhadap Peningkatan Unsur Hara N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (2) : Nugroho A Pengaruh Pencampuran Berbagai Kolom Air Terhadap Kadar DO (Dissolved Oxygen) di Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tidak dipublikasikan] Octataviany MJ Fluktuasi Kandungan Oksigen Terlarut Selama 24 Jam Pada Lokasi Keramba Jaring Apung Ciputri Di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan ILmu Kelautan. Ianstitut Pertanian Bogor. Bogor. [ Tidak dipublikasikan ] Pratiwi A Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan ILmu Kelautan. Ianstitut Pertanian Bogor. Bogor. [ Tidak dipublikasikan ]

63 50 Prihadi TH Upaya Perbaikan Lingkungan untuk Menunjang Kesinambungan Budidaya Ikan dalam KJA. Jurnal Pengembangan Budidaya Perikanan di Perairan Waduk [PP-RI} Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Sekretaris Negara Republik Indonesia Jakarta. Satria KD Kajian Oksigen Terlarut Selama 24 Jam Pada Lokasi Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tidak dipublikasikan] Subandar A, Lukijanto, dan Sulaiman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung. Program Riset Unggulan Strategis Nasional Kelautan. BPPT Press. Jakarta. 108 p. Sellers BH dan Markland HR Decaying lakes : The Origins and control of cultural eutrophication. John wiley and Sons. Chichester, Ma. 254 p. Sukimin S Studi Perikanan Jaring Terapung di Waduk Saguling dan Cirata. Dampak dan Daya Dukung Perairan. Laporan Penelitian. Program Biologi Perairan Terbuka, SEAMEO-BIOTROP. Sukimin S Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Air Waduk Cirata Triwulan III Tahun PT Pembangkit Jawa-Bali, Badan Pengelola Waduk Cirata. Vitner Y, Sukimin S, dan Suryadiputra INN Kandungan bahan organik dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Juanda (Jatiluhur) Purwakarata, Jawa Barat. Hlm In: Suwignyo P, Soedharma D, Rahardjo MF, Suhatmansyah, Sujiprihati, Gunawan A, Wirawan B, Sulistiono, Effendi I, Saptono A, Kania A, Arifin MA, Saepudin A, & Amir. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 30 November 1999, Bogor. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Welch PS Limnology 2 nd ed. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York, Toronto, London. Wetzel RG Limnology. Lake and river ecosystem. P rd ed. Academic Press. San Diego, Ma. 1006p. Widiyastuti E Ketersediaan Oksigen Terlarut Selama 24 Jam Secara Vertikal pada Lokasi Perikanan Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tidak dipublikasikan.

64 51

65 52 Lampiran 1. Perhitungan komposisi pencampuran air 1. Komposisi pencampuran air Perlakuan Kedalaman (meter) DO dan Suhu (ml) Amonia (ml) Sulfida dan ph (ml) total volume botol total volume botol total volume botol 250 tebal kedalaman yang terwakili Komposisi = volume botol jumlah kedalaman total 2. Data pengukuran DO (mg/l) dan ketebalan kedalaman yang terwakili Kedalaman DO (mg/l) Ketebalan kolom air yang terwakili 0 8,4 6 meter 2 7,5 (kedalaman 0 sampai 6 meter) 4 6,4 6 5,5 8 4,8 10 4,2 12 3,7 14 3,5 16 3,2 18 2,4 20 2,3 22 2,2 24 2,2 27 1,7 10 meter ( kedalaman 6 sampai 16 meter) 11 meter (kedalaman 16 sampai 27 meter)

66 ,9 36 0,9 42 0,7 48 0,6 51 0,5 24 meter (kedalaman 27 sampai 51 meter) 1. Oksigen terlarut pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 12 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 16 meter, volume botol : 125 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 125 = 46,88 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 10 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m : 125 = 78,12 m 2. Oksigen terlarut perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 12, dan 24 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 125 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 125 = 27,75 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 10 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m : 125 = 46,30 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 11 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 24 m : 125 = 50,95 m 3. Oksigen terlarut perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol: 125 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 125 = 14,71 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter : 10 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m : 125 = 24,51 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 11 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 24 m : 125 = 29,96 ml Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 42 meter: 24 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 42 m : 125 = 58,82 ml

67 54 4. Amonia pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 12 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 16 meter, volume botol : 100 ml air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 100 = 37,50 ml air yang dicampur dari kedalaman 12 m 100 = 62,50 ml Lampiran 1 (lanjutan) 5. Amonia pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 12, dan 24 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 100 ml air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 100 = 22,20 ml air yang dicampur dari kedalaman 12 m 100 = 37,03 ml air yang dicampur dari kedalaman 24 m 100 = 40,77 ml 6. Amonia pada perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 12, 24, dan 42 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol : 100 ml air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 100 = 11,76 ml air yang dicampur dari kedalaman 12 m 100 = 19,61 ml air yang dicampur dari kedalaman 24 m 100 = 21,57 ml air yang akan dicampurkan dari kedalaman 42 m 100 = 47,06 ml 7. Sulfida pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 12 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 8 meter, volume botol : 250 ml air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 250 = 93,75 ml air yang dicampur dari kedalaman 12 m 250 = 156,25 ml 8. Sulfida pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 12, dan 24 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 250 ml air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 250 = 55,56 ml air yang dicampur dari kedalaman 12 m 250 = 92,60 ml air yang dicampur dari kedalaman 24 m 100 = 101,84 ml

68 55 9. Sulfida pada perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 12, 24, dan 42 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol : 100 ml air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 250 = 29,41 ml air yang dicampur dari kedalaman 12 m 250 = 49,02 ml air yang dicampur dari kedalaman 24 m 250 = 53,92 ml air yang akan dicampurkan dari kedalaman 42 m 100 = 117,65 ml Lampiran 2. Prosedur pengukuran parameter kualitas air Prosedur pengukuran Dissolve Oxygen (DO) a. Ambil contoh air ke dalam botol BOD sampai penuh dan tutup, hindari adanya gelembung udara b. Tambahkan sulfamid acid 0,5 ml (10 tetes) ke dalam botol BOD 125 ml c. Tambahkan 1 ml (20 tetes) larutan MnSO 4 d. Tambahkan 1 ml (20 tetes) larutan NaOH + KI, kemudian tutup, aduk (bolakbalik) diamkan sampai mengendap e. Setelah mengendap tambahkan 1 ml (20 tetes) H 2SO 4 pekat atau sampai endapan larut f. Pipet 25 ml air contoh dari botol BOD ke dalam erlenmeyer g. Titrasi dengan Na-Thiosulfat sampai berwarna kuning muda, tambahkan amilum 2-3 tetes. Teruskan sampai tidak berwarna. Catat ml titran yang terpakai tiosulfat (ml) N tiosulfat O (mg/l) = botol BOD (ml) reagent (ml) vol. sampel (ml) botol BOD (ml) Prosedur pengukuran Amonia Bebas (APHA, 1998) a. Pipet 25 ml contoh air yang sudah disaring ke dalam bleaker glass 100 ml b. Tambahkan 1 ml phenol Solution, aduk c. Tambahkan 1 ml Sod- Nitroposside d. Tambahkan 2,5 ml Oxidizing Solution, aduk rata e. Simpan / biarkan selama 1 jam tutup dengan Alumunium Foil f. Ukur dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang ( 640 nm) Prosedur pengukuran Amonia bebas

69 56 % amonia tak terionisasi (Amonia bebas) = antilog (pka ph) Keterangan : pka : konstanta logaritma negatif yang bergantung pada suhu Suhu ( o C) pka 9,4 9,33 9,27 9,24 9,21 9,18 Suhu ( o C) pka 9,15 9,12 9,09 9,06 9,03 Prosedur pengukuran Hidrogen Sulfida (H 2S) a. Ambil contoh air ke dalam botol sampel sampai penuh dan tutup, hindari adanya gelembung udara b. Tambahkan Zn Acetat 3-4 tetes / 100 ml c. Ambil air yang berada di atas endapan. d. Ambil endapan dan masukkan ke tabung erlenmeyer. e. Masukkan 2 ml HCl 6 N. f. Titrasi dengan Iodine sampai berwarna coklat g. Tetesi Amilum (2 3 tetes) sehingga berwarna biru. h. Titrasi Tiosulfat sampai berwarna putih jernih i. Hitung dengan persamaan: [(ml iodine N iodine) (ml tiosulfat N tiosulfat)] H S = ml sampel

70 57 Lampiran 3. Baku mutu berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 Parameter Satuan Kelas I II III IV FISIKA Temperatur KIMIA o C deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 5 ph DO mg/l NH 3-N mg/l 0,5 (-) (-) (-) Belereng sebagai H 2S mg/l 0,002 0,002 0,002 (-) Keterangan Deviasi temperatur dari keadaan almiahnya Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah Angka batas minimum Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka 0,02 mg/l sebagai NH 3 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, S sebagai H 2S <0,1 mg/l Keterangan: Kelas I : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas II : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas III : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas IV : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

71 58 Lampiran 4. Data hasil perhitungan yang diamati 1. Data pengukuran persen saturasi oksigen Kedalaman Suhu oksigen terlarut 760 mmhg DO mg/l Saturasi oksigen terlarut % Data pengukuran ammonia bebas Stasiun Amonia hasil spektro Suhu pka ph antilog % ammonia pkaph NH3- N Amonia total Amonia bebas A A B B A A B B A A B

72 59 B (lanjutan lampiran 4) 3. Data pengukuran hidrogen sulfide Stasiun dan Perlakuan ml iodine ml thio N thio Volume sample ml I x N I ml Thio x N thio Ni-Nt Sulfida total sulfida bebas A A B B A A B B A A B B Keterangan : A.1.1 : Stasiun 1 perlakuan 1 dan ulangan 1 A.2.1 : Stasiun 1 perlakuan 2 dan ulangan 1 A.3.1 : Stasiun 1 perlakuan 3 dan ulangan 1 B.1.1 : Stasiun 2 perlakuan 1 dan ulangan 1 B.2.1 : Stasiun 2 perlakuan 2 dan ulangan 1 B.3.1 : Stasiun 2 perlakuan 3 dan ulangan 1

73 Lampiran 5. Lokasi pengamatan dan botol BOD 60

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)

Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA AFINA PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG

PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG ADIB NUGROHO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT ARIF RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT 1 DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT SITI NUR AMANAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun .. Latar belakang Waduk merupakan danau buatan dengan membendung aliran sungai, yang pada urnumnya ditujukan sebagai tempat penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Pembangkt

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK

FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK Endi Setiadi Kartamihardja Puslit Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki ceruk, saluran masuk (inlet), saluran pengeluaran (outlet) dan berhubungan langsung dengan sungai

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di kawasan KJA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat (Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107 22-108 50 Bujur Timur dan 6 41-7 19 Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan yang dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi nutrien perairan, produktivitas fitoplankton

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT

KANDUNGAN LOGAM BERAT KANDUNGAN LOGAM BERAT Cu, Zn, DAN Pb DALAM AIR, IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DALAM KERAMBA JARING APUNG, WADUK SAGULING SHITA FEMALA SHINDU DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah, terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geografi Kabupaten Bandung BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2. Peta Kabupaten Bandung (Sumber : www.google.co.id ) Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah administrasi yang berada di Provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kimia Perairan 1 BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di perairan A. Definisi dan Komponen Penyusun Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eichhornia crassipes atau dikenal dengan nama eceng gondok merupakan salah satu jenis tumbuhan air yang termasuk ke dalam famili Pontederiaceae. Tumbuhan eceng gondok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah MITL Media Ilmiah Teknik Lingkungan Volume 1, Nomor 2, Agustus 2016 Artikel Hasil Penelitian, Hal. 35-39 Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA Analisis Kadar Nitrat dan... Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta (Kusumaningtyas, D.I.) ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

Abstract. Keywords: Koto Panjang reservoir, phosphate, lacustrine and transition

Abstract. Keywords: Koto Panjang reservoir, phosphate, lacustrine and transition 1 Vertical profiles of phosphate in the lacustrine and transition zones in the Koto Panjang Reservoir, XIII Koto Kampar Districts, Kampar Regency, Riau Province. By Sistim Wehalo 1), Asmika H. Simarmata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

PENYEBARAN OKSIGEN TERLARUT DARI SUNGAI CICENDO DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT

PENYEBARAN OKSIGEN TERLARUT DARI SUNGAI CICENDO DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT PENYEBARAN OKSIGEN TERLARUT DARI SUNGAI CICENDO DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT WENING MURIASIH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air tawar memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

YUDI MIFTAHUL ROHMANI

YUDI MIFTAHUL ROHMANI Faktor Pembatas OLEH: YUDI MIFTAHUL ROHMANI Pendahuluan Liebig menyatakan bahwa jumlah bahan utama yang dibutuhkan apabila mendekati keadaan minimum kritis cendrung menjadi pembatas. Ditambahkannya bahwa

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai. Waduk juga merupakan penampungan alami dalam pengumpulan unsur hara, bahan padatan, dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci