II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman dari keluarga Euphorbiceae yang banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan India. Tanaman ini mirip dengan tanaman jarak kepyar, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Castor Bean dengan nama species Ricinus communis L. Beberapa varietas dari minyak jarak pagar telah banyak dikenal, misalnya Cape Verde, Nicaragua, Ife-Nigeria, dan Mexico yang tak beracun. Tanaman jarak Castor Bean banyak digunakan untuk penelitian terapi penyakit kanker dan sebagai bahan pelumas, sedangkan tanaman jarak pagar lebih banyak terkait dengan sintesis biodiesel (Sopian, 2005). Bahan penyusun biji jarak dapat dilihat pada tabel 1. Jarak pagar termasuk pohon perdu dengan ketinggian mencapai 3 hingga 7 meter, dan memiliki cabang yang tidak teratur. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0-1.700 m dpl dan suhu 19-38 o C. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi antara 200-2.000 mm/tahun, tetapi ada pula yang sampai lebih dari 4.000 mm/tahun. Secara umum, jarak pagar dapat tumbuh pada daerah kurang subur (Hambali et al. 2006). Tabel 1. Bahan penyusun biji jarak Nilai (%) Komposisi (%) a b C Minyak (% b/b) 34.38 56.8 58.4 46.24±0.37 Protein (% b/b) 17.08 22.2 27.2 29.40±1.04 Serat (% b/b) 22.96-2.57±0.35 Abu (% b/b) 3.17 3.6 4.3 4.90±0.26 Air (% b/b) 5.77 3.1 5.8 5.00 ±0.01 Karbohidrat (% b/b) - - 16.89±0.91 Sumber : Winkler et al. (1997) a Gubitz et al. (1999) b Peace dan Aladesanmi (2008) c Keuntungan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester (metil ester) antara lain adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori 4
minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak mengganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung senyawa forbol ester dan cursin yang bersifat toksik (Hambali et al., 2006). Sifat fisiko kimia biji jarak dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Sifat fisiko kimia minyak jarak Analisis Satuan Nilai Kadar Air c % 0,07 Bilangan Asam a mg KOH/g lemak 3,21+0,21 Bilangan Iod b mg iod/g lemak 71,08 Bilangan Penyabunan a mg KOH/g lemak 198,5+0,5 Densitas a g/cm 3 0,911 Sumber : a Peace dan Aladesanmi(2008) b Setyaningsih et al. (2007) c Gubitz et al. (1999) Karakteristik fisiko-kimia minyak jarak pagar menggunakan press ulir adalah bilangan asam 0,851 mg KOH/g lemak, bilangan hidroksil 163,36, indeks refraksi 1,466, bilangan penyabunan 178,31 mg KOH/g lemak, larut dalam alkohol dan bilangan iod 71,08 mg iod/g lemak (Setyaningsih et al., 2007). Komposisi asam lemak minyak jarak pagar dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Komposisi asam lemak minyak jarak pagar Kandungan asam lemak Sifat dan Komponen Presentase (%) Asam miristat Jenuh, C 14 : 0 0 0,1 Asam palmitat Jenuh, C 16 : 0 14,1 15,3 Asam stearat Jenuh, C 18 : 0 3,7 9,8 Asam arachidat Jenuh, C 20 : 0 0 0,3 Asam behenat Jenuh, C 22 : 0 0 0,2 Asam palmitoleat Tidak jenuh, C 16 : 1 0 1,3 Asam oleat Tidak jenuh, C 18 : 1 34,3 45,8 Asam linoleat Tidak jenuh, C 18 : 2 29,0 44,2 Asam linolenat Tidak jenuh, C 18 : 3 0 0,3 Sumber : Gubitz et al. (1999) 5
B. Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mengandung gugus hidrofobik dan gugus hidrofilik dalam satu molekul (Swern, 1979). Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti pada minyak dan air. Keberadaan surfaktan pada lapisan antar muka ini menyebabkan turunnya tegangan antar muka antara minyak dan air (Georgeiou, et al. 1992). Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997). Surfaktan memiliki kecenderungan untuk menjadikan zat terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Surfaktan telah digunakan sebagai komponen bahan adhesif, bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier, dan bahan penetrasi. Surfaktan juga telah diaplikasikan pada berbagai bidang industri diantaranya adalah industri farmasi, kosmetika, pangan, kimia, pertanian hingga industri perminyakan (Georgeiou et al. 1992). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Aplikasi surfaktan juga dapat kita 6
temui pada produk perawatan diri, shampoo, detergen, dan bahan aktif dalam pengeboran minyak (Swern, 1979) Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan gugus hidrofiliknya yaitu surfaktan anionik, amfoterik, kationik, dan non-ionik. Kelompok surfaktan terbesar dari segi jumlah yang diproduksi adalah surfaktan anionik. Surfaktan ini biasanya memiliki gugus hidrofilik dalam bentuk sulfat atau sulfonat. Contoh surfaktan anionik adalah linier alkyl benzene sulfonate (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol, eter sulfat (AES), alfa olein sulfonat (AOS), paraffin (secondary alkane sulfonate, SAS), alfa sulfo metil ester dan metil ester sulfonat (MES) (Matheson, 1996 dan Rieger, 1985) C. Metil Ester Sulfonat MES merupakan salah satu jenis surfaktan anionik. MES banyak diaplikasikan pada produk perawatan tubuh dan pencucian. MES juga dapat digunakan sebagai oil well stimulation agent menggantikan surfaktan yang berbasis minyak bumi (McArthur et al. 2002). Reaksi pembentukan MES dapat dilihat pada gambar 1. CH 3 ---CH = CH COOR + SO 3 CH 3 --CH CH 2 ---COOR SO 3 H Gambar 1. Reaksi pembentukan MES (Pore, 1976). Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C 16 dan C 18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi. Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. 7
MES berbahan baku minyak nabati memiliki beberapa tampilan kinerja yang menarik. MES mempunyai efek pembersihan yang lebih baik dibandingkan LAS pada air dengan kesadahan yang tinggi. MES lebih mampu mempertahankan aktivitas enzim. MES juga mempunyai toleransi kesadahan yang tinggi pada ion Ca. Laju biodegradasi MES sama dengan AS dan sabun namun lebih baik bila dibandingkan dengan LAS. Biaya produksi MES juga hanya 57 % dari biaya produksi LAS (Watkins, 2001). MES dapat diperoleh dengan metode sulfonasi (Foster, 1996). Sifat fisikokimia surfaktan MES dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Sifat fisiko-kimia surfaktan metil ester sulfonat (MES) No Karakteristik Nilai 1 Rendemen MES (% b/b) 83,0 a 2 Disodium karboksi sulfonat (di-salt), (% b/b) 3,5 a 3 Air (% b/b) 2,3 a 4 Nilai ph : - sebelum netralisasi 5,3 a - setelah netralisasi 6,5 7,5 b 5 Warna Klett, 5% aktif (MES + di-salt) 45 a 6 Tegangan permukaan (mn/m) 33 c 7 Tegangan antarmuka (mn/m) 8,4 9,7 c Sumber : a Sheats dan MacArthur (2002), b Sheats dan Foster (2003) c Pore (1976). Sheats dan McArthur (2002) menjelaskan mengapa MES menjadi produk yang menarik untuk dikembangkan. Biaya produksi MES lebih kompetitif dibandingkan dengan bahan detergen lain. Alasan lain adalah dengan bahan baku minyak nabati, MES dapat diperbarui dan lebih ramah lingkungan. Distribusi rantai karbon pada beberapa minyak nabati membuat surfaktan MES yang dihasilkan mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan LAS yang diproduksi dari minyak bumi. Daya deterjensi MES selain dipengaruhi oleh panjang rantai karbon juga dipengaruhi oleh kesadahan air yang digunakan. Semakin panjang rantai karbon asam lemak, maka semakin tinggi daya deterjensinya. Semakin tinggi kesadahan air maka daya detergensi akan semakin menurun (Yamane dan 8
Miyaki, 1990). MES mempunyai toleransi terhadap kesadahan lebih baik dibandingkan LAS. Hal ini diakibatkan oleh adanya efek perlindungan dari gugus CO 2 ME (Cohen et al. 2008). Satsuki (1998) menambahkan bahwa LAS dan SAS lebih sensitif terhadap kesadahan karena adanya garam kalsium kristalin cair yang bersifat tak larut. Kestabilan MES pada berbagai kesadahan air dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2. Kestabilan MES, LAS, dan SAS dalam berbagai tingkat kesadahan air (Cohen et al. 2008) Biodegradasi MES lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan LAS. Proses degradasi berlangsung cepat dalam tahap awal dan dapat didegradasi hingga 60% dalam 5 hari seperti tampak pada gambar 3. (Ghazali dan Ahmad, 2004). Menurut Yamane dan Miyaki (1990), LAS yang mengandung rantai lebih pendek tidak dapat terdegradasi lebih cepat dibandingkan MES akibat adanya rantai karbon aromatik (berbentuk cincin). Gambar 3. Laju biodegradasi MES dan LAS dalam tes botol tertutup (Ghazali dan Ahmad, 2004) 9
Bahan baku untuk surfaktan MES adalah metil ester yang diperoleh dari proses esterifikasi minyak. Minyak yang akan dijadikan bahan untuk produksi surfaktan harus diolah menjadi metil ester terlebih dahulu. Hal ini karena minyak merupakan trigliserida yang mengandung gliserol. Dalam proses transesterifikasi akan dihasilkan metil ester dan hasil samping gliserol (Ketaren, 1986). Metil ester merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus COOR dengan R dapat membentuk alkil suatu ester. Suatu ester dapat dibentuk langsung antara suatu asam lemak dengan alkohol yang dinamakan dengan esterifikasi. Suatu asam karboksilat merupakan suatu senyawa organik yang mengandung gugus karboksil COOH. Gugus karboksil mengandung sebuah gugus karbonil dan sebuah gugus hidroksil (Fessenden dan Fessenden, 1982). D. Sulfonasi Surfaktan dapat diproduksi secara sintesis kimiawi atau biokimiawi (Georgeiou et al. 1992). Surfaktan pada umumnya diproduksi melalui asetilasi, etoksilasi, esterifikasi dan sulfonasi (Sadi, 1994). sulfonasi merupakan reaksi antara gugus sulfat dengan senyawa organik. Jenis bahan organik yang biasa disulfonasi adalah minyak yang mempuyai ikatan rangkap atau gugus hidroksil (Bernardini, 1983 dan Foster,1996). Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), oleum (larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H (Bernardini, 1983 dan Pore, 1976). Sulfonasi menggunakan gas SO 3 merupakan proses yang paling rendah biayanya dibandingkan reaktan yang lainnya dan menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi. Sulfonasi dengan reaktan SO 3 disyaratkan pada kondisi kontinyu dan jumlah yang besar. Proses ini juga memerlukan kontrol reaksi yang ketat karena sifat gas yang reaktif (Foster,1996) Reaksi sulfonasi pada asam lemak dapat terjadi pada tiga tempat yaitu (1) kompleks karboksil, (2) bagian α-atom karbon, (3) dan ikatan rangkap. 10
Gambar 4 berikut menjelaskan beberapa tempat terjadinya reaksi sulfonasi (Jungermann, 1979). Gambar 4. Kemungkinan-kemungkinan terjadinya reaksi sulfonasi (Jungermann, 1979) Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dapat dijelaskan pada Gambar 5. Urutan proses yang terjadi adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO 3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO 3. Gugus SO 3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Dengan terlepasnya gas SO 3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV) (MacArthur et. al., 2002). Gambar 5. Mekanisme reaksi pembentukan MES (MacArthur et. al., 2002) 11
Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, ph dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Proses produksi MES yang dilakukan oleh Watkins (2001) dalam reaktor falling film dan reaktan SO 3 dilakukan pada suhu 80-90 o C. Sementara Baker (1995) yang telah memperoleh paten (US Patent No 5.475.134) untuk pembuatan sulfonated fatty acid alkil ester menggunakan reaktor falling film pada suhu 75-90 o C. Reaksi ini menggunakan perbandingan reaktan SO 3 dan alkil ester 1,1:1 hingga 1,4:1. Lama reaksi yang digunakan dalam reaksi ini adalah 20-90 menit. Menurut Stein dan Bauman (1975), metil ester dapat direaksikan dengan SO 3 dengan laju alir 600 gram/jam dan gas SO 3 dengan konsentrasi 5%. Sulfonasi dilakukan pada suhu 70-90 o C dan rasio antara gas SO 3 dengan metil ester adalah 1:1,3. Sheats dan McArthur (2002) mereaksikan gas SO 3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan gas SO 3 dan metil ester 1,2:1-1,3:1 pada suhu 50-60 o C. Proses sulfonasi dilakukan menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol per jam. Suhu masuk gas SO 3 ke dalam reaktor adalah 42 o C dan suhu masuk untuk metil ester sekitar 40-56 o C. 12