BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang menjadi masalah kesehatan dunia. Demam tifoid terjadi baik di negara tropis maupun negara subtropis, terlebih pada negara berkembang. Besarnya angka kejadian demam tifoid sulit ditentukan karena mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang luas ( WHO, 2003). Di Indonesia sendiri penyakit ini bersifat endemik dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5% ( Depkes, 2006). Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella enteritica, terutama serotipe Salmonella typhi ( S. typhi ). Bakteri ini termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae, berbentuk batang, bersifat Gram negatif, memiliki flagel, tidak berspora, motil, berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H, dan Vi (Karsinah et al, 1994). Menginfeksi manusia melalui jalan oral dengan mengkontaminasi makanan dan minuman, dengan masa inkubasi 10-14 hari (Jewetz et al, 2005) Diagnosa pasti untuk menentukan penyakit ini dibutuhkan pemeriksaan laboratorium dengan cara kultur kuman, pemeriksaan bakteri 1
2 secara molekuler, dan pemeriksaan serologis. Mengkultur pada media merupakan metode yang paling spesifik untuk menegakkan diagnosa demam tifoid ( Karsinah et al, 1994 ), tapi pemeriksaan ini seringkali diabaikan oleh para teknisi kesehatan dan lebih memilih pemeriksaan serologis sebagai gold standar dalam menegakkan diagnosa, dan diantara banyak pemeriksaan serologis pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan yang seringkali digunakan, karena pemeriksaanya yang cepat, sederhana, dan murah. Kerugiannya pemeriksaan Widal mempunyai akurasi yang rendah bila dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah (Muliawan et al, 1999). Hasil kultur darah pada Widal positif seringkali ditemukan bakteri non-salmonella seperti Staphylococcus sp., hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan Widal sudah tidak lagi spesifik untuk mendeteksi adanya infeksi Salmonella typhi pada penderita demam tifoid.( Vandepitte et al, 2010) Staphylococcus adalah bakteri fakultatif anaerob berbentuk bulat bergerombol, dengan sifat garam positif. Beberapa diantaranya merupakan flora normal pada kulit dan selaput mukosa, sedangkan spesies Staphylococcus yang patogen dapat menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma, menghasilkan enzim ekstraseluler dan toksin sehingga menyebabkan supurasi, infeksi piogenik dan septikimia.( Jewetz, 2005 ) Sebagian besar spesies Staphylococcus merupakan flora normal pada manusia, karena hidupnya yang komensal pada kulit dan mukosa manusia, kebanyakan spesies Staphylococcus bersifat apatogen dan non invasif, sehingga tidak dapat meninmbulkan infeksi. Namun pada keadaan tertentu
3 bakteri ini dapat menimbulkan infeksi oportunistik yaitu infeksi yang disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk, seperti pada anak-anak, lansia,dan penderita HIV/AIDS(Jawetz, 2005) Adanya Staphylococcus dalam darah menunjukkan bahwa spesies dari bakteri ini juga dapat menyebabkan bakterimia, sebab dalam keadaan normal bakteri tidak ditemukan didalam darah karena setiap mikroorganisme yang masuk ke darah akan segera dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh. Masuknya bakteri kedalam darah dapat disebabkan karena terdapat luka pada daerah kulit dan mukosa sehingga bakteri dapat masuk, beredar dalam darahdan menginvasi seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah (Suharto, 1994) Faktor terjadinya bakterimia Staphylococcus sp. dapat disebabkan oleh implantasi alat-alat medis seperti kateter, infus dan jarum suntik. Infeksi Staphylococcus sulit disembuhkan sebab kuman tumbuh pada alat protesis, dimana bakteri dapat menghindar dari sirkulasi sehingga terhindar pula dari antibiotik (Jawetz, 2007). Staphylococcus lebih resisten karena mempunyai susunan dinding sel berupa peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan dengan bakteri gram negatif, selain itu bakteri ini mempunyai enzim beta-laktamase yang mampu menginaktifkan antibiotik golongan penisilin sehingga bakteri tersebut menjadi resisten (Jawetz, 2007).
4 Banyaknya spesies Staphylococcus yang resisten disebabkan karena bakteri ini mampu membentuk biofilm yang berfungsi sebagai pertahanan bakteri dari penetrasi antibiotik. Karena banyak galur yang resisten terhadap antibiotik, maka tiap isolat harus diuji sensitivitas antibiotiknya untuk memilih obat secara sistemik. Resistensi antibiotik yang ditentukan oleh plasmid, dapat ditransmisikan antar-staphylococcus melalui proses transduksi dan konjugasi ( Jawetz, 2005). Timbulnya resistensi bahkan multiresistensi dari populasi bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik menimbulkan berbagai macam problem dalam pengobatan penyakit infeksi, ditambah lagi dengan munculnya jenis bakteri yang komensal yang menjadi sumber utama infeksi. Oleh karena itu sangat perlu dilakukan uji sensitivitas bakteri yang mungkin mempunyai kecenderungan untuk resisten (Pratiwi,1994). Pola dan sensitivitas kuman dapat bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda, sehingga perlu dilakukan uji resistensi secara berkala. Hal ini dimaksudkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ialah untuk meningkatkan kualitas pemilihan antibiotik oleh dokter, mempengaruhi kebijakan penggunaan antibiotik di Rumah Sakit, membantu dinas kesehatan untuk membuat kebijakan dalam suplai dan promosi antibiotik (Hadinegoro, 1999). Melihat banyaknya kasus tifoid yang meningkat dan ditemukannya bakteri Staphylococcus sp. pada isolat darah Widal positif, maka perlu
5 dilakukan uji resistensi antibiotik pada pasien di Puskesmas Bangetayu dan RSUD Tugurejo Semarang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah profil resistensi Staphylococcus sp. asal kultur darah Widal positif pasien di RSUD Tugurejo dan Puskesmas Bangetayu Semarang terhadap antibiotik kloramfenikol, eritromisin, vankomisin, oksasilin, tetrasiklin, trimetoprimsulfametoksazol secara in vitro? C. Tujuan Penelitian Mengetahui profil resistensi Staphylococcus sp. asal kultur darah Widal positif pasien di RSUD Tugurejo dan Puskesmas Bangetayu Semarang terhadap antibiotik kloramfenikol, eritromisin, vankomisin, oksasilin, tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol secara in vitro. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini memberikan informasi kepada para klinisi kesehatan dalam hal pemberian antibiotik sesuai indikasi kepada pasien Widal positif yang perlu dilakukan diagnosis secara mikrobiologi dengan menguji resistensi antibiotik pada bakteri sasaran.