BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sampai usia tigapuluhan (Santrock, 2003). Salah satu tugas perkembangan masa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS CINTA DAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN KOMITMEN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, sebagai kehendak Sang pencipta yang telah

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kasus perceraian bisa terjadi pada siapa saja, menurut Kepala

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika seseorang memasuki tahapan dewasa muda, menurut Erickson

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pernikahan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. semua yang diciptakan olehnya senantiasa berpasang-pasangan. Keadaan ini dapat dilihat dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Pentingnya kehidupan keluarga yang sehat atau harmonis bagi remaja

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB V HASIL PENELITIAN. 1. Rekap Tema dan Matriks Antar Tema

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga, namun dalam sebuah hubungan baik itu perkawinan maupun hubungan

SUSI RACHMAWATI F

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rentang usia dewasa awal. Akan tetapi, hal ini juga tergantung pada kesiapan

I. PENDAHULUAN. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa dewasa awal adalah masa yang penuh dengan tantangan. Dewasa awal dapat dimulai dari usia belasan atau permulaan usia 20 dan berlangsung sampai usia tigapuluhan (Santrock, 2003). Salah satu tugas perkembangan masa dewasa awal menurut Havighurst yaitu membina kehidupan rumah tangga atau perkawinan (dalam Mappiare, 1983). Berdasarkan tugas perkembangan tersebut, sebagian besar orang dewasa awal di dunia berkeinginan untuk melakukan perkawinan. Alasan yang mendasari seseorang mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan sangat beragam. Alasan yang paling umum orang memutuskan melakukan perkawinan adalah untuk memiliki teman hidup yang saling mencintai dan mendapatkan kepuasan psikologis dari hubungan perkawinan yang dijalani tersebut (Widyarini, 2009). Dijelaskan lebih lanjut, definisi perkawinan sendiri menurut Undang- Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 (dalam Walgito, 2010) tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah: Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi perkawinan dalam Undang-Undang tersebut mengisyaratkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia. Menurut Landis & Landis (1965) kepuasan perkawinan memiliki peran yang penting dalam menciptakan sebuah perkawinan yang bahagia. Hal tersebut dikarenakan dengan 1

2 adanya rasa puas terhadap perkawinan yang dijalani, hubungan yang terjalin antara individu dengan pasangan juga akan menjadi lebih baik. Hubungan yang baik diantara pasangan suami istri akan memudahkan pasangan tersebut dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam perakawinan yang dijalani. Lebih lanjut Mitchell & Boster (1998) menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai tingkat perasaan positif dirasakan oleh individu yang menikah berkaitan dengan tingkat komunikasi pasangan, seberapa baik konflik diselesaikan dan bagaimana masalah diuraikan. Emily & Todd (2007) mendefinisikan bahwa kepuasan perkawinan adalah kondisi mental yang mencerminkan manfaat dan kerugian yang dirasakan oleh sebagian orang dalam sebuah perkawinan. Fowers & Olson (1989) menjelaskan bahwa aspek-aspek kepuasan perkawinan meliputi kepribadian, komunikasi, penanganan konflik, manejeman keuangan keluarga, aktivitas di waktu luang, hubungan seksual, anak dan orang tua, keluarga dan teman, kesetaraan peran, dan orientasi religius. Terpenuhinya aspek-aspek kepuasan perkawinan dalam sebuah perkawinan menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang dimiliki oleh pasangan suami istri yang terlibat dalam perkawinan tersebut. Namun pada kenyataannya, data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menunjukkan bahwa secara nasional tingkat perkara perceraian yang diterima oleh peradilan agama semakin meningkat dari tahun ketahun pada tahun 2007 sebanyak 196.838 kasus, tahun 2008 221.520 kasus, tahun 2009 mencapai 258.069 kasus, tahun 2010 sebanyak 284.379, tahun 2011 diterima 314.467 kasus, tahun 2012 sebanyak 341.466 kasus, tahun 2013 total

3 354.612 kasus, tahun 2014 total 380.230 kasus, tahun 2015 sebanyak 392.368 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 205.882 per bulan oktober (https://badilag.mahkamahagung.go.id). Perkara-perkara perceraian tersebut lebih banyak diajukan oleh istri atau dengan kata lain adalah gugat cerai, prosentase gugat cerai setiap tahun semakin meningkat. Data tahun 2009 di Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta terdapat 2391 perkara gugat cerai yang di terima. Pada tahun 2013 naik hingga 3827 perkara gugat cerai yang diterima. Lebih khusus lagi di Bantul menurut Yuniati (dalam Ariyanti, 2015) selaku hakim sekaligus humas Pengadilan Agama (PA) Bantul, mengungkapkan tingginya angka cerai gugat. Pada tahun 2013, jumlah cerai talak sebanyak 425, kemudian cerai gugat 915. Sepanjang tahun 2014, cerai talak yang diajukan laki-laki sebanyak 420, sedangkan cerai gugat mencapai 976 perkara atau lebih dari dua kali lipat. Dari tahun 2013 ke 2014, terjadi peningkatan cerai gugat sebanyak 61 kasus. Selain itu Akhbarudin (dalam Mubarok, 2014) mengatakan bahwa mayoritas pasangan suami istri yang mengajukan perceraian adalah pasangan muda yang berusia berkisar dari belasan tahun hingga 30 tahun. Fakta tersebut membuat penulis tertarik untuk memilih karakteristik responden dalam penelitian ini dengan kriteria: istri yaitu ibu rumah tangga yang berusia antara 20 30 tahun. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama diatas, pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 12 dan 13 Maret 2015, penulis melakukan wawancara langsung di lapangan dengan 10 orang istri yang berusia 20-30 tahun, memiliki anak, tinggal bersama dengan suami dan dalam usia pernikahan 1-10 tahun yang bertempat tinggal di daerah Kasihan, Bantul. Hasil dari wawancara

4 tersebut menunjukkan bahwa 7 dari 10 orang responden menunjukkan indikasi memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang rendah. Ketidakpuasan responden ditunjukkan dengan rendahnya kepuasan responden pada aspek-aspek kepuasan perkawinan yang didasarkan pada teori Fowers & Olson (1989). Indikator kepuasan perkawinan yang tidak terpenuhi pada masing-masing responden beragam. Indikator ketidakpuasan perkawinan yang ditunjukkan oleh subyek mencakup aspek-aspek sebagai berikut: kepribadian, istri dapat dinyatakan puas pada aspek keribadian apabila istri mempersepsi bahwa suami dan istri dapat saling menerima, mengerti dan memahami faktor-faktor kepribadian seperti sifat, sikap, dan perilaku pasangan yang berbeda dengan sifat, sikap, dan perilaku individu yang bersangkutan dan sulit untuk diubah seperti hobi dan sifat pribadi (Lestari, 2012). Pada kenyataannya dilapangan, suami sibuk bekerja dan setelah pulang bekerja suami lebih memilih untuk melakukan hoby yang dimiliki seperti memancing, otomotif, bermain dengan binatang kesayangan dan sebagainya sehingga istri jarang mendapatkan waktu untuk berbicara dan berkeluh kesah dengan suami walau sekedar bercerita mengenai aktifitas atau kejadian yang terjadi sehari-hari. Sedangkan istri selama sehari bergelut bersama segala kegiatan rumah tangga dan mengasuh anak. Tidak jarang terjadi masalah-masalah terkait dengan anak dan hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Akibatnya istri merasa sendiri, tidak menjadi proritas suami dan jenuh karena suami lebih mendahulukan hoby yang dimiliki. Pada aspek komunikasi, saat jam istirahat kerja suami tidak menyempatkan menelepon atau berkirim pesan singkat pada istri sekedar

5 menanyakan kabarnya hari ini, bertanya sudah makan siang atau belum, atau sekedar berbicara romantis seperti ketika awal-awal menikah, suami menolak diajak berbicara oleh istri sepulang kerja dengan alasan lelah karena banyak pekerjaan di kantor, suami mendominasi setiap pembicaraan sehingga istri tidak dapat mengungkapkan keinginannya atau menyampaikan pendapat yang dimiliki. Selanjutnya aspek penanganan konflik, istri tidak berani menegur suami apabila suami berbuat salah, ketika istri berbuat salah suami menegur dengan kata-kata kasar. Dari sisi manajemen keuangan, istri merasa bahwa istri dan suami kurang pandai dalam mengelola keuangan keluarga, sehingga pengeluaran lebih besar dari pendapatan, suami tidak berdiskusi dengan istri apabila membeli sesuatu. Aspek aktifitas di waktu luang, suami jarang mengajak istri melewatkan waktu luang bersama, jarang memberi ijin istri untuk menghabiskan waktu luang dengan orang lain (teman atau keluarga). Aspek hubungan seksual, suami memaksa istri ketika ingin berhubungan intim, istri merasa suami sudah tidak sayang. Kemudian pada aspek anak dan orang tua, suami acuh terhadap pendidikan anak, kasih sayang suami pada istri berkurang dan lebih dominan ke anak, Dari sisi hubungan keluarga dan teman, suami tidak berusaha menciptakan hubungan yang hangat antara istri dengan ibu suami. Setiap terjadi masalah yang melibatkan ibu dan istri, suami cenderung membela ibu dibandingkan istri. Istri diminta untuk mengalah dengan ibu suami. Istri tidak akur dengan saudara kandung suami, suami membatasi pergaulan istri dengan keluarga dan teman istri. Selanjutnya pada aspek kesetaraan peran, suami hanya berperan menjadi pencari nafkah saja, semua urusan rumah dibebankan ke istri, suami enggan

6 melakukan pekerjaan rumah. Pada aspek Orientasi religius, suami acuh terhadap kegiatan peribadahan, jarang mengikuti kegiatan ibadah dimasyarakat, jarang mengajak istri dan anak beribadah bersama. Dapat disimpulkan dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti tersebut, bahwa seorang istri ternyata memiliki permasalahan yang beragam dalam perkawinan yang dijalani. Masalah-masalah tersebut dapat menjadi indikator rendahnya kepuasan perkawinan. Seperti ketika istri tidak berani menegur suami saat suami berbuat salah, sedangkan ketika istri berbuat salah, suami menegur istri dengan kasar. Hal tersebut mengindikasikan kurangnya aspek manajemen konflik dalam rumah tangga. Padahal idealnya menurut Fowers & Olson (1989), harus ada keterbukaan dari pasangan suami istri untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam perkawinan sehingga kepuasan perkawinan pada aspek penanganan konflik dapat dinyatakan terpenuhi. Kesimpulannya, data dan hasil wawancara penulis di atas menunjukkan bahwa fakta di lapangan pada usia dewasa awal, para responden belum dapat sepenuhnya memenuhi tugas perkembangan yang ideal. Padahal seharusnya pada usia dewasa awal menurut Havighurst (dalam Mappiare, 1983) diharapkan dapat memenuhi tugas perkembangannya yaitu membina rumah tangga yaitu meliputi belajar hidup bersama dengan pasangan (suami atau istri), mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga dengan pasangan (suami atau istri), belajar mengasuh anak-anak hasil perkawinan, dan mengelola rumah tangga. Ketidakpuasan yang dirasakan oleh istri menunjukkan bahwa istri tersebut belum mampu memenuhi tugas perkembangannya dengan baik. Selain itu, ketidakpuasan

7 istri pada perkawinan menunjukkan bahwa tujuan perkawinan menurut Undang- Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa belum dapat terpenuhi dengan baik (Walgito, 2010). Oleh karena itu, para pasangan suami istri diharapkan untuk dapat menjaga keutuhan rumah tangga agar dapat memenuhi tujuan perkawinan di atas. Antara lain dengan meningkatkan kepuasan perkawinan agar tidak terjadi dampak yang buruk akibat kurangnya kepuasan perkawinan. Menurut Khotari (2001) masalah komunikasi yang kurang khususnya pada aspek hubungan seksual seperti kurangnya tanggapan mengenai aktifitas hubungan seksual serta masalah-masalah lain yang muncul ketika berhubungan seksual dapat menimbulkan kebosanan atau ketidanyamanan. Sehingga pasangan suami istri tidak mencapai kepuasan perkawinan pada aspek hubungan seksual, akibatnya pasangan tersebut mencari kenikmatan lain di luar atau dengan perselingkuhan. Lebih lanjut, Lestari (2012) menyatakan bahwa Kualitas hubungan seksual dalam perkawinan merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan atau kepuasan pasangan, maka kualitas tersebut perlu dijaga dan ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas yang baik antara pasangan suami istri. Menurut Liu (Olson, dkk, 2002) mengemukakan hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan kepuasan pernikahan yang rendah, merupakan orang-orang yang beresiko untuk berselingkuh. Hasil penelitian Nilakusmawati & Srinadi (2007), menunjukkan bahwa perselingkuhan

8 menyebabkan hilangnya ketenteraman dalam rumah tangga. Ketenteraman yang dimaksud adalah hilangnya keharmonisan, kurangnya perhatian, serta terganggunya perkembangan jiwa anak. Amato dkk (2009) mengatakan bahwa perselingkuhan merupakan penyebab yang paling banyak terdaftar sebagai penyebab perceraian. Perceraian merupakan salah satu dampak buruk dari rendahnya kepuasan dalam perkawinan. Hal tersebut ditunjukkan dengan masuknya aspek-aspek kepuasan perkawinan dalam faktor penyebab perceraian. Pada aspek komunikasi ditunjukkan dengan sebuah studi yang mendapatkan hasil bahwa beberapa alasan yang menyebabkan perceraian adalah ketidakmampuan berbicara jujur satu sama lain, ketidakmampuan membuka hati, dan ketidakmampuan memperlakukan pasangan sebagai sahabat (Ekeren, 2001). Padahal seharusnya menurut Lestari (2012) pada aspek komunikasi pasangan suami istri diharapkan menjadikan keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati, dan keterampilan mendengar yang baik sebagai landasan atau dasar dari komunikasi dalam keluarga, sehingga pesan yang disampaikan baik berupa pesan emosional maupun kognitif dapat tersampaikan dengan baik pada pasangan yang akan memberikan perasaan senang pada kedua belah pihak yang berkomunikasi Dengan terjadinya perceraian maka akan banyak yang dirugikan, terutama apabila pasangan tersebut telah memiliki anak. Menurut Widyarini (2009), bagi anak-anak, perceraian orangtua merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan anak. Setidaknya perceraian tersebut dapat menyebabkan

9 rasa cemas yang berlebih terhadap kehidupan anak di masa kini dan di masa depan. Sebaliknya, menurut Lestari (2012) terwujudnya perkawinan yang berkualitas dapat berpengaruh pada proses-proses dalam hubungan keluarga, seperti pengasuhan dan performansi individu. Pasangan suami istri yang memiliki kepuasaan perkawinan yang tinggi ditengarai akan memberikan perhatian yang lebih positif kepada anak (Rickard dkk, 1982). Menurut Berk (2012) untuk dapat menjaga kepuasan perkawinan tetap tinggi maka perlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan yaitu latar belakang keluarga, usia saat menikah, lama pacaran, waktu kehamilan pertama, hubungan dengan keluarga besar, pola perkawinan dalam keluarga besar, status keuangan dan kerja, tanggungjawab keluarga, dan karakter kepribadian. Faktor tanggungjawab keluarga adalah salah satu faktor yang menarik. Tanggungjawab keluarga meliputi banyak hal salah satunya adalah tanggungjawab dalam pengasuhan anak. Menurut Twenge, Campbell, dan Foster (2003) menjadi orang tua memiliki pengaruh terbesar pada kepuasan perkawinan dibandingkan dengan pasangan tanpa anak-anak dan peran atau keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak membuat perempuan merasa puas (Sylvia, 2003). Oleh karena itu pada penelitian ini, penulis ingin meneliti tentang pengaruh tanggungjawab dalam pengasuhan anak yaitu lebih spesifik lagi mengenai keterlibatan suami dalam pengasuhan anak terhadap kepuasan perkawinan.

10 Subjek dalam penelitian ini adalah istri seperti yang telah dijelaskan di atas sehingga, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang dimaksud adalah mengenai persepsi istri atau ibu terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak. Menurut psikologi, persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diindera oleh seorang individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti bagi individu yang bersangkutan tersebut (Walgito, 2004). Menurut kamus psikologi, persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Chaplin, 2011). Jadi keterlibatan suami dalam pengasuhan anak di sini merupakan stimulus yang diindera oleh istri sehingga persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak ialah hasil penilaian istri dalam menganalisa keterlibatan suami dalam pengasuhan anak melalui indera yang dimiliki istri kemudian diinterpretasikan oleh istri menjadi sesuatu yang berarti bagi istri. Keterlibatan suami dalam pengasuhan anak diadaptasi dari pengertian keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang menurut Palkovits (2002) yaitu seberapa besar usaha atau peran suami dalam berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan, serta berdoa bagi anak. Menurut Palkovits (2002), keterlibatan suami dalam pengasuhan anak adalah suami terlibat pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak seperti mandi, makan, belajar, bermain, dan sebagainya baik yang dilakukan langsung bersama anak atau hanya dengan memantau aktivitas yang dilakukan anak baik dengan hadir langsung pada lingkungan tempat anak beraktivitas atau secara tidak langsung, seperti memantau lewat telepon dan sebagainya, suami melakukan

11 kontak dengan anak baik langsung maupun tidak langsung, suami mendukung kebutuhan anak baik dengan dukungan finansial maupun dukungan moril. Lebih lanjut, menurut Lamb, dkk (dalam Palkovits, 2002) keterlibatan ayah, dalam pengasuhan anak dapat disebut dengan istilah paternal involvement. Menurut Lamb, dkk (dalam Palkovits, 2002) paternal involvement adalah keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang meliputi 3 komponen dasar yaitu paternal engagement, aksesbilitas, dan tanggungjawab dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak. Selanjutnya, pengertian dan komponen keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di atas akan dipakai penulis sebagai acuan dalam pengertian dan komponen persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak. Jadi persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak adalah hasil penilaian istri terhadap seberapa besar usaha atau peran suami terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak, melakukan kontak dengan anak, dukungan finansial, dukungan moril, aktivitas bermain anak, tanggungjawab & peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak, berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, dan mengkhawatirkan anak. Banyak studi yang menemukan bahwa kepuasan perkawinan umumnya menurun pada tahun-tahun membesarkan anak. Sebuah studi menemukan perbedaan kepuasan perkawinan yang cukup besar antara istri yang baru mempunyai anak dengan istri tanpa anak. Istri yang baru mempunyai anak memiliki kepuasan perkawinan yang lebih rendah dibandingkan dengan istri tanpa anak, hal tersebut diperkirakan disebabkan kebebasan istri menjadi terbatas

12 setelah memiliki anak dan kebutuhan istri untuk mengatur peran baru sebagai orang tua (Twenge, Campbell, & Foster, 2003). Salah satu masalah yang dapat memicu berkurangnya kepuasan perkawinan pada istri adalah pembagian tugas-tugas rumah tangga antara istri dan ayah. Hal-hal sederhana seperti tangisan anak di malam hari, yang menyebabkan istri harus terjaga di malam hari dapat mengurangi kepuasan perkawinan selama tahun pertama perkawinan orang tua. Apabila dalam keadaan tersebut suami ikut serta membantu istri, setidaknya ikut terjaga menemani istri menenangkan anak, hal tersebut dapat sedikit membantu istri menjalankan tanggungjawabnya. Sehingga istri merasa nyaman dan merasa dihargai. Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, suami tetap tertidur pulas, maka akan menyebabkan istri merasa sendiri, sehingga dapat mempengaruhi naik-turunya emosi istri. Menurut penelitian kesadaran suami akan kehidupan sehari-hari istri dapat memprediksikan kestabilan atau semakin meningkatnya kepuasan perkawinan istri. Sebaliknya, sikap negatif suami, konflik tidak teratasi antara kedua belah pihak (suami dan istri) memprediksikan menurunnya kepuasan perkawinan istri (Shapiro, Gottmand, & Carrere, 2000). Maka suami yang bersedia berbagi tanggungjawab pengasuhan anak dengan istri akan membuat istri mampu mengendalikan emosinya serta dapat mengelola stres yang dialami dengan baik. Keterlibatan suami dalam pengasuhan anak seperti membantu menyuapi anak, mengajak bermain anak, menstimulasi anak, dapat mengurangi beban istri sebagai ibu.

13 Kepuasan perkawinan memilik sepuluh aspek salah satunya yaitu aktifitas di waktu luang. Aspek ini menilai tentang pemilihan kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang, pilihan kegiatan yang lebih disukai oleh pasangan suami istri dalam menghabiskan waktu luang. Aspek ini merefleksikan pilihan kegiatan yang diambil oleh pasangan suami istri seperti ; melibatkan orang lain atau bersifat personal, pilihan yang disukai bersama atau pilihan masing-masing, dan harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan (Fowers & Olson, 1989). Istri dapat merencanakan menghabiskan waktu luang bersama suami dan anak, misalnya merencanakan untuk bermain bersama. Menurut Lamb, dkk (dalam Palkovitz, 2002) berpartisipasi dalam kegiatan bermain bersama suami dan anak termasuk dalam aspek paternal engagement. Istri menilai bahwa suaminya berinteraksi langsung dengan anak, terlibat dalam suatu kejadian suatu kegiatan secara bersama-sama. Terjadi kontak dua arah antara suami dan anak. Selanjutnya, kepuasan istri dapat dinilai tinggi apabila menunjukkan bahwa agama adalah bagian yang penting dalam perkawinan. Hal tersebut diwujudkan dalam keterlibatan suami istri secara rutin dalam kegiatan keagamaan baik suami istri secara rutin dalam kegiatan keagamaan yang bersifat individu maupun kemasyarakatan (Lestari, 2012). Hal tersebut dapat tercapai apabila istri menilai suaminya mengajarkan anak tentang agama dan beribadah bersama anak secara langsung seperti mengajarkan tata cara sholat pada anak dan kemudian mengimami anak dan istri ketika melaksanakan sholat berjamaah. Hal tersebut juga termasuk dalam aspek paternal engagement. Istri menilai bahwa suaminya berinteraksi langsung dengan anak, terlibat dalam suatu kejadian suatu kegiatan

14 secara bersama-sama. Terjadi kontak dua arah antara suami dan anak (Lamb, dkk, dalam Palkovitz, 2002). Lebih lanjut aspek penanganan konfilk pada kepuasan perkawinan istri akan tinggi apabila saat terjadi sebuah konflik misal pada saat merencanakan biaya kebutuhan dan pendidikan anak terdapat keterbukaan dari pasangan suami istri untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi tersebut dengan strategi yang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat khususnya pasangan suami istri yang bersangkutan (Fowers & Olson, 1989). Secara tidak langsung aspek tanggung jawab dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak juga terpenuhi. Keterlibatan tersebut meliputi bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang ditunjukkan dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengaturan (Lamb, dkk, dalam Palkovitz, 2002) Seorang istri lebih sedikit mengalami tekanan dan mempunyai perilaku yang lebih positif terhadap suami ketika suami menjadi pasangan yang bersifat mendukung (Santrock, 2003). Sifat mendukung tersebut di atas memiliki arti bahwa suami dapat berbagi tanggungjawab dengan istri dalam mengasuh dan membesarkan anak. Kepuasaan perkawinan istri diharapkan dapat meningkat dengan lebih sedikitnya tekanan yang dialami istri dan perilaku yang lebih positif pada suami. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa istri yang mempersepsi keterlibatan suami dalam pengasuhan anak itu tinggi mengindikasikan adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, penyelesaian konflik yang baik antara suami dan istri dalam hal ini berkaitan

15 dengan masalah tanggungjawab pengasuhan anak, adanya kesepakatan pembagian peran yang baik, dan pembagian waktu yang baik antara suami dan istri. Dengan demikian, kepuasan perkawinan pada istri akan meningkat karena hal-hal tersebut merupakan bagian dari aspek-aspek kepuasan perkawinan. Sesuai dengan Penelitian falslev (2010) yang menyatakan bahwa keterlibatan suami dalam tanggungjawab pengasuhan anak pasti dikaitkan dengan stres istri dalam tugastugas sebagai orangtua. Stres seorang istri dalam tugas-tugas orangtua sangat erat kaitannya dengan kepuasan perkawinannya. Sehingga keterlibatan seorang suami dalam tanggung jawab pengasuhan anak juga berkaitan erat dengan kepuasan perkawinan istri. Jadi semakin tinggi keterlibatan suami dalam pengasuhan anak maka semakin tinggi kepuasan perkawinan pada istri. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah: "apakah ada hubungan antara persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dengan kepuasan perkawinan pada istri? B. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada hubungan antara persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dengan kepuasan perkawinan pada istri. 2. Manfaat Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

16 a. Manfaat teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai kepuasan perkawinan dan keterkaitannya dengan persepsi istri terhadap keterlibatan suami dalam pengasuhan anak. Pengetahuan mengenai kepuasan perkawinan dan keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dapat dikembangkan dalam bidang garapan psikologi perkembangan. b. Manfaat praktis Manfaat praktis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah agar suami mengerti mengenai pentingnya keterlibatan suami dalam pengasuhan anak, karena dampak dari keterlibatan tersebut dapat meningkatkan kepuasan perkawinan pada istri yang akan memberi banyak manfaat bagi keluarga diantaranya terpenuhinya tugas perkembangan istri dalam masa dewasa awal dan tercapainya tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.