BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Indonesia pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,5% dibanding tahun 2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2009 mencapai Rp 2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-masing sebesar Rp 2.082,3 triliun dan Rp 1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 naik sebesar Rp 662,0 triliun, yaitu dari Rp 4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp 5.613,4 triliun pada tahun 2009 (Berita Resmi Statistik No. 12/02/Th. XIII, 10 Februari 2010). Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 15,5%, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 13,8%, Sektor Konstruksi 7,1%, Sektor Jasa-Jasa 6,4%, Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perumahan 5,0%, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,4%, Sektor Pertanian 4,1%, dan Sektor Industri Pengolahan 2,1%, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1%. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9% yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) secara keseluruhan yang besarnya 4,5%.
Sektor pengangkutan dan komunikasi yang mengalami pertumbuhan sebesar 15,5% sekaligus merupakan sumber pertumbuhan terbesar pula terhadap total pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu sebesar 1,2%. Selanjutnya sumber pertumbuhan yang cukup besar yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa masing-masing memberikan peranan sebesar 0,6% (Badan Pusat Statistik, 2010). Struktur ekonomi Sumatera Utara didominasi oleh Pertanian (24,23%), Industri (22,54%) dan Perdagangan (18,38%), pertumbuhan terjaga pada level yang sangat baik. Secara sektoral, pertumbuhan terjadi pada sektor-sektor tersier (pengangkutan dan jasa). Begitu juga dengan perkembangan harga komoditas utama ekspor mengalami perbaikan, sehingga memicu peningkatan ekspor. Untuk ekspor Sumatera Utara didominasi oleh produk perkebunan (CPO dan karet). Ekspor sempat mengalami tekanan pada triwulan IV-2008, terkait dengan perekonimian global yang kurang kondusif, namun memasuki triwulan II-2009 ekspor kembali rebound yang artinya mengalami peningkatan kembali setelah sebelumnya mengalami resesi/penurunan. Berikut ini merupakan data pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara tahun 2006-2010.
Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2010 % Lapangan Usaha/Industrial Origin 2006 2007 2008 2009 2010 1. Pertanian/ 2,32 4,98 6,05 4,85 5,08 Agriculture 2. Pertambangan dan 4,17 9,78 6,13 1,43 5,87 Penggalian/Mining and Quarrying 3. Industri Pengolahan/Manufacturing 5,47 5,09 2,92 2,76 4,52 Industry 4. Listrik, Gas dan Air 3,08 0,22 4,46 5,57 7,06 Minum/Electricity, Gas and Water Supply 5. Konstruksi/ 10,33 7,78 8,10 6,54 6,77 Construction 6. Perdagangan, Hotel dan 6,95 7,55 6,14 5,43 6,51 Restoran/Trade, Hotel and Restaurant 7. Pengangkutan dan 11,91 9,90 8,89 7,56 9,44 Komunikasi/Transport and Communicatin 8. Keuangan, Real Estate dan Jasa 9,87 12,43 11,30 6,14 10,78 Perusahaan/Finance, Real Estate and Business Service 9. Jasa-Jasa/ 7,09 8,25 9,48 6,62 6,77 Services PDRB/GRDP 6,18 6,90 6,39 5,07 6,35 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2011 Tingkat pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara berjalan positif diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan itu sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 masing-masing adalah 6,18%, 6,90%, 6,39%, 5,07% dan 6,35%. Namun ada
catatan yang perlu disampaikan disini bahwa walaupun terjadi pertumbuhan positif namun gerakannya mulai melambat, yang artinya potensi ekonomi yang terpakai selama ini (pantai timur Sumut) sudah menunjukkan kejenuhan. Perlu ada perluasan pembangunan ke daerah pantai barat Sumatera Utara. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi maka PDRB Sumatera Utara mengalami peningkatan, yang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 menunjukkan perkembangan positif, masing-masing Rp 160.033 milyar, Rp 194.140 milyar, Rp 210.985 milyar,. Besaran PDRB ini disumbang oleh sektor industri 25,74%, sektor pertanian 22,18%, dan sektor jasa (perdagangan, hotel dan restoran) 18,96%. Sektorsektor ini, khususnya sektor industri dan jasa, berjalan di kota besar, yaitu daerah pantai timur Sumatera Utara. Jadi tidak mengherankan jika lebih dari 65% PDRB Sumatera Utara itu disumbang oleh daerah pantai timur Sumatera Utara. Sumbangan yang diberikan oleh daerah-daerah pantai timur pada pembentukan PDRB Sumatera Utara masing-masing Kota Medan 30,57%, Deli Serdang 13,62%, Asahan 10,40%, Labuhan Batu 7,85%, dan Langkat 5,99% (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2010). Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2001. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Diharapkan dengan adanya otonomi dan desentralisasi fiskal dapat lebih memeratakan pembangunan sesuai
dengan keinginan daerah untuk mengembangkan wilayah menurut potensi masingmasing. Desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Menurut UU No.33 Tahun 2004 sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Otonomi daerah merupakan hak, kewenangan dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan umum di UU Otonomi daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah (Sidik, 2002). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi Pemerintah Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan perbedaan fungsi tersebut menunjukkan
bahwa pada pemerintah, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak eksekutif, legislatif dan publik. Anggaran Daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang kebijakan umum APBD dan prioritas dan plafon anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijakan umum APBD dan prioritas dan plafon anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda) (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Kebijakan otonomi daerah merupakan pendelegasian kewenangan yang disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dalam kerangka desentralisasi fiskal. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa potensi fiskal pemerintah daerah antara satu dengan daerah yang lain bisa menjadi sangat beragam. Perbedaan ini pada gilirannya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula. Hasil penelitian yang dilakukan Darwanto dan Yustikasari, (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi positif namun tidak signifikan terhadap belanja modal. Pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang
lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efesien berbagai potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik (Mardiasmo, 2002). Dengan demikian, bahwa desentralisasi memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan mengalokasikan secara efesien berbagai potensi lokal untuk kepentingan layanan publik. Sebagian kalangan berpendapat bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai pendekatan Bing Bang atau terburu-buru tanpa persiapan dan sosialisasi karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro, 2003). Terlebih ditengahtengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi moneter yang berkepanjangan dari pertengahan tahun 1997. Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan (fiskal) daerah yang berbeda satu dengan yang lain, terlebih kebijakan ini terlahir disaat disparitas pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Belanja modal sebagai bentuk perubahan yang cukup fundamental di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah mulai dilakukan pasca reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah terutama UU No. 22/1999, UU No. 25/1999, PP No. 105/2000, dan PP No. 108/2000 (Halim, 2002:18). Sebelumnya di dalam APBD, pengalokasian untuk jenis belanja berupa investasi, diklasifikasikan ke dalam belanja pembangunan. Layaknya belanja pembangunan, belanja modal dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk
pengadaan aset daerah sebagai investasi, dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Armayani (dalam Halim, 2002:237) menyatakan bahwa peran pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai Katalisator dan Fasilitator, karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai pihak katalisator dan fasilitator maka pemerintah daerah memerlukan sarana dan fasilitas pendukung yang direalisasikan melalui belanja modal guna meningkatkan pelayanan publik. Alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Halim dan Abdullah, 2006:19). Menurut Halim (2002:72), dengan melakukan belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Akan tetapi berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pemerintah Daerah (Pemda) lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektor-sektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang kurang produktif dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% belanja daerah rata-rata hanya 21,69% yang digunakan untuk belanja modal dalam rangka pengadaan aset untuk investasi dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
Berkaitan dengan pelayanan publik, alokasi belanja modal merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena akan meningkatkan produktivitas perekonomian daerah. Semakin banyak belanja modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Menurut Haryanto dan Hari Adi (2007) menjelaskan bahwa tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efesiensi dan efektivitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun melihat fenomena yang terjadi, sepertinya alokasi belanja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kesejahteraan publik, sebab pengeloalaan belanja daerah terutama belanja modal masih belum terorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata. Keefer dan Khemani (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) menyatakan bahwa adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat. Padahal menurut Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa, Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat. Undang-Undang tersebut
mengisyaratkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola keuangan daerah terutama belanja modal secara efektif, efesien dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan konsep Multi-Term Expenditure Framework (MTEF) yang disampaikan oleh Allen dan Tommasi (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) yang menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan aset terkait dengan belanja pemeliharaan dan sumber pendapatan. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis membuat penelitian dengan judul Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara secara Parsial dan Simultan?. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui apakah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal
berpengaruh signifikan secara Parsial dan Simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi yang berarti bagi daerah yang menjadi lokasi penelitian : 1) Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menganalisis pertumbuhan ekonomi pasca desentralisasi fiskal pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 2) Bagi pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten/Kota di Sumetera Utara yang menjadi lokasi penelitian, untuk dapat menganalisis kemampuan alokasi dari Belanja Modal daerahnya secara optimal. 3) Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama pada bidang penelitian yang sejenis. 1.5 Originalitas Penelitian Penelitian ini berbentuk replikasi. Replikasi penelitian ini juga dilatarbelakangi belum ditemukannya keseragaman kesimpulan tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Replikasi penelitian ini dilakukan terhadap penelitian Sasana (2006).
Perbedaan penelitian Sasana (2006) dengan replikasi penelitian ini : 1) Objek Penelitian Sasana (2006) mengamati objek penelitian pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Sedangkan peneliti mengamati objek penelitian pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Perbedaan ini patut dipertimbangkan, disamping perbedaan jumlah cakupan objek yang diteliti, juga didasarkan perbedaan karakteristik, budaya, potensi dan besaran anggaran tentunya mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi fiskal dan belanja modal yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. 2) Variabel Penelitian Sasana (2006) mengamati 1 (satu) variabel bebas dan 1 (satu) variabel terikat, yaitu Desentralisasi Fiskal sebagai variabel bebas dan pertumbuhan ekonomi variabel terikat. Sedangkan peneliti mengamati 2 (dua) variabel bebas, yaitu Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal dan 1 (satu) variabel terikat yaitu Pertumbuhan Ekonomi.