Tulisan Hukum UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Gorontalo (2018)

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBERHENTIAN TIDAK HORMAT PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA

RINGKASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

tentang - Dr.Sihabudin,SH.,MH - Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Sumber:

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN MANAJEMEN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA

RPP MANAJEMEN PPPK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN MANAJEMEN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA

DISIPLIN ASN DENGAN BERLAKUNYA PP NOMOR 11 TAHUN 2017

No pemberhentian dan pensiun, yang merupakan bagian yang terintegrasi dengan Sistem Informasi ASN. Manajemen PNS dalam Peraturan Pemerintah in

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG MANAJEMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Diatur mengenai Asas, Prinsip, Nilai Dasar, Serta Kode Etik Dan Dan Kode

PENDAHULUAN... 1 PENGERTIAN DAN JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA A. Pengertian Aparatur Sipil Negara B. Jabatan Aparatur Sipil Negara...

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah pengelolaan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk. mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Guarding meritocracy, creating world-class civil service PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI

URGENSI DIKELUARKANNYA PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PPPK.

UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

BAHAN PANITIA KERJA (PANJA) RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA NO RUU APARATUR SIPIL NEGARA PENJELASAN PASAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.

RUU RI TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Sektor Publik dan Pusat Kesehatan Masyarakat. Dwi Handono Sulistyo PKMK FKKMK UGM

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK POKOK KEPEGAWAIAN;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2000 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

2017, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

MANAJEMEN KARIR JABATAN FUNGSIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2000 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Ragenda prioritas pembangunan

Pemberhentian PNS. Pemberhentian terdiri atas : 1. Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan. 2. pemberhentian dari jabatan negeri.

MODUL KEPEGAWAIAN. Jakarta, 18 Juli 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2000 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

M A N A J E M E N A S N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2000 TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan,

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DAN PEMENSIUNAN. Imam Gunawan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

POKOK-POKOK PIKIRAN RUU APARATUR SIPIL NEGARA TIM PENYUSUN RUU TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

KABIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL (Persfektif UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

PARADIGMA PENGATURAN KEPEGAWAIAN DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA

PERBANDINGAN MATERI POKOK UU NO. 8 TAHUN 1974 JO UU NO. 43 TAHUN 1999 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN DAN RUU TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA (RUU ASN)

2017, No Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangka

IMPLIKASI DIUNDANGKANNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG MANAJEMEN PNS

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN. NOMOR 064 TAHUN 2016-Si.1-BKD/2013

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

2015, No dalam pelaksanaan pengisian jabatan pimpinan tinggi secara terbuka di lingkungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara; c. bahwa berdasa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc

Bahan Tayang KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA APARATUR

PERATURAN NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGADAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN

2. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang

BUPATI OGAN KOMERiNG ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PENGELOLA KEUANGAN HAJI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM APARATUR KEMENTERIAN PAN DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2000 TENTANG PENGADAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

2 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara R

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR \0 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN PEGAWAI DAN FORMASI

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN... NOMOR 01 TAHUN 2013

Draf RUU 17 Juli 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARTUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGUSULAN DAN PENGANGKATAN

PERATURAN BERSAMA MENTERI SEKRETARIS NEGARA DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 1 TAHUN 2007 NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2016

BPKP. Auditor. Jabatan fungsional. Perpindahan Jabatan. Perlakukan Khusus. Pengangkatan.

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1974 (8/1974) Tanggal: 6 NOPEMBER 1974 (JAKARTA)

ISSUE STRATEGIS Manajemen ASN. Rapat Koordinasi Nasional Badan Kepegawaian Negara 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS BRAWIJAYA NOMOR 536 TAHUN 2013 TENTANG

MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG

ARAH STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SDM APARATUR DI INDONESIA

Transkripsi:

TINJAUAN HUKUM TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI, TINDAK PIDANA UMUM DAN TINDAK PIDANA LAINNYA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG MANAJEMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL Sumber: http://ccg.co.id/blog/2016/09/30/revolusi-mental-aparatur-sipil-negara-asn/ I. LATAR BELAKANG Pada tanggal 7 April 2017, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP 11/ 2017). Peraturan tersebut dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17, 18 Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (4), Pasal 57, Pasal 67, Pasal 68 ayat (7), Pasal 74, Pasal 78, Pasal 81, Pasal 85, Pasal 86 ayat (4), Pasal 89, Pasal 91 ayat (6), Pasal 92 ayat (4), dan Pasal 125 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU 5/2014). Dengan berlakunya UU 5/2014 maka ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pemerintah mengesahkan PP 11/2017 untuk mendorong proses reformasi birokrasi yang tengah berjalan khususnya dalam reformasi tata kelola Aparatur Sipil Negara. Berdasarkan reformasi ini maka manajemen ASN akan dikelola berdasarkan Sistem Merit, yakni kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Selain itu PP 11/2017 juga dibentuk untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan adanya PP 11/2017 reformasi tata kelola Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat menghasilkan PNS yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam rangka pelaksanaan tugas 1

pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Adapun PP 11/2017 mengatur hal-hal sebagai berikut (berdasarkan BAB nya): 1. Ketentuan Umum; 2. Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan; 3. Pengadaan; 4. Pangkat dan Jabatan; 5. Pengembangan Karier, Pengembangan Kompetensi, dan Sistem Informasi Manajemen Karier; 6. Penilaian Kinerja dan Disiplin; 7. Penghargaan; 8. Pemberhentian; 9. Penggajian, Tunjangan dan Fasilitas; 10. Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua; 11. Perlindungan; 12. Cuti; 13. Ketentuan Lain-Lain; 14. Ketentuan Peralihan; 15. Ketentuan Penutup. Dengan adanya PP 11/ 2017 maka terdapat kodifikasi aturan tata kelola Aparatur Sipil Negara. Walaupun belum lengkap dan sempurna, namun paling tidak di dalam PP 11/ 2017 ini terkumpul peraturan-peraturan yang sebelumnya tersebar dalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Demikian juga dengan ketentuan tentang pemberhentian PNS yang sebelumnya diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan dan telah beberapa kali mengalami revisi, kini sudah terkodifikasi dalam satu peraturan yaitu PP 11/ 2017. II. PERMASALAHAN Sehubungan dengan itu, permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan hukum ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan tentang Pemberhentian PNS Daerah yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Lainnya menurut PP 11/ 2017? III. ANALISIS YURIDIS Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diatas, bahwa PP 11/2017 merupakan kodifikasi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai negeri sipil. Dengan adanya PP 11/2017 mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pegawai negeri sipil tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberhentian PNS yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan adanya PP 11/2017 menjadi tidak berlaku lagi. Peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu: (Pasal 362 PP 11/2017) 1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri (selanjutnya disebut PP 4/1966); 2

2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP 32/1979); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP 9/2003). Namun demikian untuk ketentuan pelaksanaan ketiga peraturan pemerintah tersebut diatas masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan ketentuan dalam PP 11/2017. (Pasal 363 PP 11/2017) Sebelum melanjutkan pembahasan tentang pemberhentian PNS karena melakukan tindak pidana korupsi sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu yang dimaksud dengan PNS daerah, karena di dalam UU 15/2004 maupun dalam PP 11/2017 tidak terdapat definisi mengenai PNS daerah. Berbeda dengan UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dengan jelas memberikan definisi tentang PNS Daerah, bahkan UU 8/1974 dengan tegas mengklasifikasi PNS menjadi PNS Pusat dan PNS Daerah. PNS daerah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah PNS yang bekerja di Instansi Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota). 1 Ini tentu berbeda dengan PNS pusat yang bekerja di Instansi Pusat (Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kesekretariatan Lembaga Negara, dan Kesekretariatan Lembaga Nonstruktural). a. Pemberhentian PNS daerah karena melakukan Tindak Pidana Bab 8 PP 11/2017 secara khusus mengatur tentang pemberhentian PNS. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan beberapa kondisi yang menjadi dasar dalam pemberhentian seorang PNS, yaitu: 1 Pemberhentian atas Permintaan Sendiri; 2 Pemberhentian Karena Mencapai Batas Usia Pensiun; 3 Pemberhentian karena Perampingan Organisasi atau Kebijakan Pemerintah; 4 Pemberhentian karena tidak Cakap Jasmani dan/atau Rohani; 5 Pemberhentian Karena Meninggal Dunia, Tewas, atau Hilang; 6 Pemberhentian karena Melakukan Tindak Pidana/Penyelewengan; 7 Pemberhentian karena Pelanggaran Disiplin; 8 Pemberhentian karena Mencalonkan Diri atau Dicalonkan Menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; 1 Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang dimaksud dengan Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. 3

9 Pemberhentian karena Menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik; 10 Pemberhentian karena tidak Menjabat Lagi Sebagai Pejabat Negara; 11 Pemberhentian karena Hal Lain; Pemberhentian PNS karena melakukan tindak pidana (baik PNS daerah maupun PNS pusat) diatur dalam Pasal 247 s.d. 252 PP 11/ 2017. Ketentuan tersebut mengatur beberapa kondisi dimana PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana, yaitu: 1. Seorang PNS berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 247 sebagai berikut : Pasal 247 PP 11/2017 PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana. 2. Seorang PNS yang dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila: (Pasal 248 PP 11/2017) a b c d Perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS; Mempunyai prestasi kerja yang baik; Tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali; dan Tersedia lowongan Jabatan. Adapun PNS yang tidak diberhentikan tersebut, selama yang bersangkutan menjalani pidana penjara maka tetap bersatus sebagai PNS dan tidak menerima hak kepegawaiannya sampai diaktifkan kembali sebagai PNS. 3. Seorang PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan. (Pasal 249 PP 11/2017) 4. Seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila: (Pasal 250 PP 11/2017) a) Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila UUD 1945; b) Dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/atau pidana umum; c) Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau 4

d) Dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana. 5. Seorang PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan berencana, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. (Pasal 251 PP 11/2017) Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut diatas, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) dan Pejabat yang Berwenang (PyB) dalam menentukan hukuman dan sanksi terhadap PNS yang melakukan tindak pidana adalah: a. Jangka waktu hukumannya apakah 2 (dua) tahun atau kurang dari 2 (dua) tahun; b. Niat dari perbuatan pidana tersebut apakah dilakukan dengan berencana atau tidak dengan berencana; c. Apakah perbuatan pidana tersebut masuk dalam kategori: - Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila UUD 1945; - kejahatan jabatan/ kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan/tindak pidana umum; - Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau tidak. Setelah mempertimbangkan hal-hal diatas barulah kemudian PPK atau PyB menentukan sanksinya, yaitu Diberhentikan Dengan Hormat, Diberhentikan Tidak Dengan Hormat, atau Tidak Diberhentikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 247 s.d. 252 PP 11/ 2017 dapat di gambarkan tabel berikut: Beren cana Tidak Beren cana PNS Melakukan Tindak Pidana Dipidana 2 Tahun/ Lebih Dipidana Kurang dr 2 Tahun Kejahatan Jabatan/Pid ana Umum Tidak Diberhentikan Pasal 247 jo Pasal 248 ayat (1) PP 11/2017. Dengan syarat memenuhi Pasal 248 ayat (1) PP 11/2017: Perbuatannya tdk menurunkan harkat & martabat PNS. Mempunyai prestasi kerja yg baik. Tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali. Tersedia lowongan jabatan. Diberhentikan Dengan Hormat Pasal 247 jo Pasal 248 ayat (1) PP 11/2017. Tidak memenuhi syarat Pasal 248 ayat (1) PP 11/2017. Tidak Diberhentikan Pasal 248 ayat (2) PP 11/2017 Diberhentikan Dengan Hormat Tidak atas Pasal 251 PP 11/2017 5

Permintaan Sendiri Diberhentikan Tidak Dengan Hormat Pasal 250 huruf d PP 11/2017 Diberhentikan Tidak Dengan Hormat Pasal 250 huruf b PP 11/2017 Berdasarkan ketentuan Pasal 295 PP 11/2017, PNS yang diberhentikan dengan hormat, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, dan yang diberhentikan tidak dengan hormat diberikan hak kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian Pasal 305 PP 11/2017 juga mengatur bahwa hanya PNS yang diberhentikan dengan hormat yang mendapatkan jaminan pensiun. Pasal 305 PP 11/2017 Jaminan Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 ayat (1) diberikan kepada: 1 PNS yang diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia; 2 PNS yang diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah berusia 45 (empat puluh lima) tahun dan masa kerja paling sedikit 20 (dua puluh) tahun; 3 PNS yang diberhentikan dengan hormat karena mencapai Batas Usia Pensiun apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; 4 PNS yang diberhentikan dengan hormat karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini apabila telah berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun dan masa kerja paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; 5 PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan tanpa mempertimbangkan usia dan masa kerja; atau 6 PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang tidak disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling singkat 4 (empat) tahun. Dengan demikian maka untuk PNS yang diberhentikan dengan hormat tidak dengan pernintaan sendiri dan PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat diberikan hak kepegawaian sesuai peraturan perundang-undangan kecuali jaminan pensiun. b. Tata Cara Pemberhentian karena Melakukan Tindak Pidana Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatas bahwa dengan berlakunya PP 11/2017, maka beberapa peraturan pemerintah yang mengatur tentang pemberhentian PNS yaitu PP 4/1966, PP 32/1979, dan PP 9/2003 dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini mengakibatkan terjadi simplifikasi atau penyederhanaan regulasi terkait pemberhentian PNS yang 6

sebelumnya tersebar dalam beberapa peraturan pemerintah menjadi diatur dalam satu peraturan pemerintah yaitu PP 11/2017. Namun demikian untuk peraturan pelaksanaan dari PP 4/1966, PP 32/1979, dan PP 9/2003 masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan ketentuan dalam PP 11/2017. Di dalam PP 11/2017 diatur tata cara pemberhentian PNS yang dipidana karena melakukan tindak pidana sebagai berikut: (Pasal 266 PP 11/2017) 1. Pengusulan Pemberhentian Pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat PNS yang melakukan tindak pidana/ penyelewengan diusulkan oleh: a b Pejabat Pembina Kepegawaian atau PPK 2 kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama (Eselon Ia), JPT madya (Eselon Ib), dan JF ahli utama; atau Pejabat yang Berwenang atau PyB 3 kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama (Eselon II), JA (Eselon III ke bawah), JF selain JF ahli utama (JF ahli madya, JF ahli muda, JF ahli pertama). 2. Penetapan Pemberhentian Presiden atau PPK kemudian menetapkan keputusan pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Jangka Waktu Penetapan Pemberhentian Keputusan pemberhentian ditetapkan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah usul pemberhentian diterima. 4. Penyampaian keputusan Presiden atau PPK menyampaikan keputusan pemberhentian kepada PNS yang diberhentikan. Tembusan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud selanjutnya disampaikan kepada Kepala BKN untuk dimasukkan dalam sistem informasi manajemen pemberhentian dan pensiun. (Pasal 275 PP 11/2017). 5. Jatuh Tempo Pemberhentian Pemberhentian tidak dengan hormat dan Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 huruf b dan huruf d dan 2 Berdasarkan Pasal 1 angka 17 PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang dimaksud dengan Pejabat Pembina Kepegawaian atau PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 3 Berdasarkan Pasal 1 angka 16 PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang dimaksud dengan Pejabat yang Berwenang atau PyB adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7

Pasal 251 PP 11/2017) ditetapkan terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. (Pasal 252 PP 11/2017) Ketentuan tersebut membagi proses pemberhentian dalam dua kategori yakni untuk: a. PNS yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama, pengusulan pemberhentian dilakukan oleh PPK. Selanjutnya dalam waktu 21 (dua Puluh satu) hari Presiden mengeluarkan surat keputusan pemberhentian PNS. Khusus untuk PNS Daerah Presiden dapat mendelegasikan kewenangan untuk menetapkan pemberhentian PNS lingkungan Instansi Daerah yang menduduki JPT utama, JPT madya, dan JF ahli utama kepada Gubernur. (Pasal 289 PP 11/2017) b. PNS yang menduduki JPT pratama, JA, JF selain JF ahli utama, pengusulan pemberhentian dilakukan oleh Pyb. Selanjutnya dalam waktu 21 (dua Puluh satu) hari PPK mengeluarkan surat keputusan pemberhentian PNS. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara mencabut ketentuan PP 4/1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara PNS, PP 32/1979 tentang Pemberhentian PNS, dan PP 9/2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS). Namun demikian untuk ketentuan pelaksanaan ketiga peraturan pemerintah tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan ketentuan dalam PP 11/2017. 2. Terdapat 11 (sebelas) kondisi/dasar untuk memberhentikan PNS. Salah satu alasan untuk memberhentikan PNS adalah apabila PNS melakukan tindak pidana. Untuk PNS yang melakukan tindak pidana maka terhadap yang bersangkutan dapat tidak dilakukan pemberhentian, atau dilakukan pemberhentian dengan hormat, atau diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, atau diberhentikan tidak dengan hormat. 3. PNS yang diberhentikan dengan hormat diberikan hak kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk jaminan pensiun. Sedangkan untuk PNS yang diberhentikan dengan hormat tidak dengan pernintaan sendiri dan PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat diberikan hak kepegawaian sesuai peraturan perundang-undangan kecuali jaminan pensiun. 4. PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas pernintaan sendiri apabila melakukan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana dan atas perbuatan tersebut dijatuhi hukuman pidana kurag dari 2 tahun. Sedangkan seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/atau pidana umum; atau dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki 8

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana. 5. Penetapan pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat PNS yang melakukan tindak pidana/ penyelewengan dilakukan oleh Presiden atau PPK. Keputusan pemberhentian ditetapkan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah usul pemberhentian diterima. Usulan pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat PNS yang melakukan tindak pidana/ penyelewengan dilakukan oleh: a Pejabat Pembina Kepegawaian atau PPK kepada Presiden bagi PNS yang menduduki JPT utama (Eselon Ia), JPT madya (Eselon Ib), dan JF ahli utama; atau b Pejabat yang Berwenang atau PyB kepada PPK bagi PNS yang menduduki JPT pratama (Eselon II), JA (Eselon III ke bawah), JF selain JF ahli utama (JF ahli madya, JF ahli muda, JF ahli pertama). 6. Presiden atau PPK menyampaikan keputusan pemberhentian kepada PNS yang diberhentikan. Tembusan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud selanjutnya disampaikan kepada Kepala BKN untuk dimasukkan dalam sistem informasi manajemen pemberhentian dan pensiun. 7. Pemberhentian tidak dengan hormat dan Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 huruf b dan huruf d dan Pasal 251 PP 11/2017) ditetapkan terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Disclaimer: Seluruh informasi yang disediakan dalam Tulisan Hukum adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi. 9