I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah gambut di Indonesia termasuk ekosistem lahan basah, tergolong tanah rawa dan terbentuk dari bahan organik sisa tanaman yang mati di atasnya. Pembentukan tanah gambut disebabkan oleh keadaan lingkungan yang selalu jenuh atau terendam air yang mengakibatkan proses pelapukan lebih lambat dari proses penumpukan sisa-sisa tanaman. Lahan gambut tropis seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Wahyunto et al., 2003) Hutan rawa gambut mempunyai sumber daya dan keanekaragamanan hayati yang penting, yang dapat dimanfaatkan dan dikonservasi untuk memperoleh manfaat yang lestari. Hutan gambut memiliki jenis kayu komersial yang diperdagangkan, seperti Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea spp.) dan Damar (Agathis dammara). Selain itu terdapat kayu gelam (Mellaleuca sp.) yang berfungsi sebagai bahan bangunan ringan kerangka pembuatan gedung dan bagan penangkap ikan. Hasil tambahan lainnya adalah hasil non kayu seperti rotan, getah jelutung, tumbuhan obat, madu, ikan dan buah-buahan. Perairan hutan rawa gambut dan sungai yang melintasinya adalah daerah pemijahan ikan yang ideal, dalam hal ini selain menjadi habitat berbagai jenis satwa liar termasuk jenis-jenis endemik. Menurut Bezuijen, et al. (2002) kawasan ini merupakan salah satu habitat terakhir yang tersisa untuk buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii). Lahan gambut merupakan cadangan karbon terestrial yang penting, sehingga jika mengalami gangguan akibat deforestasi, kebakaran dan drainase, dapat berpengaruh langsung pada perubahan iklim global (Murdiyarso et al, 2003). Luas gambut di Sumatera 9,7 juta ha dan sebagian diantaranya berada di Sumatera selatan, seluas 1.420.042 ha, namun sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi daerah perkebunan, pertanian dan daerah transmigrasi (Wahyunto et al. 2003). Hutan rawa gambut Merang, Desa Muara Merang, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA) merupakan salah satu hutan rawa gambut penting yang tersisa di Propinsi Sumatera Selatan dengan luasan sekitar 230.000 ha, dan 100.000 ha yang masih berhutan, sedangkan sisanya telah rusak karena kebakaran yang berulang dan maraknya aktifitas penebangan. Kebakaran hutan banyak terjadi di lahan hutan yang rusak parah seperti daerah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan.
Kawasan gambut Sungai Merang berbatasan dengan Taman Nasional Berbak, Jambi di sebelah utara dan Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan di sebelah timur. Di kawasan hutan rawa gambut Sungai Merang ini, terdapat daerah kubah gambut. Selain Sungai Merang, sungai lain yang melintasi kubah gambut ini adalah Sungai Kepahiyang dan Sungai Medak. Sungai-sungai ini dipengaruhi oleh pasang surut (pasut) harian air laut, sehingga berpengaruh terutama pada fluktuasi harian kedalaman sungai, namun salinitas air laut tidak mencapai daerah ini. Pengaruh pasut ini sangat dirasakan mulai dari muara Sungai Merang hingga sepanjang sekitar 40 km sungai. Pada jarak km 40 50 merupakan daerah peralihan, dan setelah daerah peralihan pengaruh pasang surut tidak berpengaruh lagi. Sungai Merang sejak dahulu merupakan daerah untuk kegiatan perikanan tawar. Sungai ini dilelang oleh pemerintah Desa, dengan pemodal atau pengemin umumnya berasal dari luar daerah. Pada dasarnya aktivitas perikanan Sungai Merang berjalan seiring dengan kegiatan eksploitasi hutan, dari masa perusahaan pemegang HPH, hingga pasca HPH. Pada tahun 1984 dan 1997 terjadi kebakaran hutan dikawasan HPH tersebut. Kegiatan HPH di hutan rawa gambut sekitar Sungai Merang berakhir tahun 2000. Selanjutnya pengelolaan hutan yang telah rusak tersebut dikembalikan ke pemerintah setempat melalui Dinas Kehutanan Sumatera Selatan. Dengan tidak adanya kejelasan pengelolaan dari pemerintah, lahan bekas HPH dengan pepohonan yang masih tersisa tersebut, kini dimanfaatkan masyarakat setempat maupun pendatang melalui kegiatan penebangan liar (illegal logging), sehingga memperparah kerusakan yang ada. Selain mengambil kayu, mereka juga membangun parit untuk mengeluarkan kayu yang jauh dari sungai. Dengan demikian maka seluruh rangkaian kegiatan illegal logging selain merusak ekosistem yang ada, juga mengganggu aktivitas perikanan, bahkan telah mengakibatkan hasil tangkapan ikan terus menurun dari tahun ke tahun. Pengaruh kegiatan HPH, kebakaran hutan dan illegal logging pada komunitas ikan cukup kuat. Setelah HPH berakhir, mekanisme lelang sungai yang dulu diperuntukkan bagi kegiatan perikanan, beralih untuk mendukung kegiatan illegal logging. Pengemin atau pemegang hak lelang sungai menjadikan illegal logging sebagai penghasilan yang utama, dengan menarik retribusi kayu pada setiap kayu yang melewati sungai. Kondisi ini terjadi karena secara ekonomis hasil dari kayu jauh lebih besar. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian besar nelayan beralih menjadi penebang liar. Kegiatan illegal logging berdampak langsung pada hasil produksi perikanan yang terus menurun, walaupun jumlah kepala keluarga yang hidup dari perikanan sudah jauh berkurang. Ironisnya walaupun pengemin telah mendapatkan keuntungan yang besar dari kayu, mereka tetap mengambil hasil perikanan walaupun hasilnya sudah sangat berkurang. Kondisi ini menyebabkan pengemin mengambil jalan pintas dalam 2
melakukan penangkapan ikan yakni dengan menggunakan alat tangkap listrik/setrum yang mempunyai daya tangkap yang tinggi pada sekali pengoperasian namun membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan karena tidak ada selektifitas ukuran ikan. Sayangnya walaupun terbukti menimbulkan kerusakan dan mengancam kelestarian, namun karena tidak adanya tindakan hukum, maka masyarakat Sungai Merang dan sekitarnya turut serta menggunakan alat ini untuk menangkap ikan, bahkan alat-alat tangkap tradisional yang biasa mereka gunakan, saat ini sudah semakin banyak ditinggalkan. 1.2. Kerangka Pemikiran Kegiatan perikanan merupakan kegiatan utama masyarakat di sekitar hutan rawa gambut Sungai Merang. Saat dimulainya perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) tahun 1980-an kegiatan perikanan masih terus berlangsung. Kegiatan eksploitasi hutan ini pada akhirnya berakibat pada rusaknya ekosistem hutan rawa gambut secara keseluruhan, yang berdampak pula pada komunitas ikan, sehingga hasil perikanan menjadi berkurang. Kerusakan ekosistem dan berkurangnya hasil perikanan, berdampak pula pada perubahan tatanan hidup masyarakat, dari nelayan menjadi perambah hutan. Kegiatan HPH telah menimbulkan banyak kerusakan ekosistem hutan rawa gambut di sekitar Sungai Merang. Padahal kegiatan HPH ini baru berakhir pada tahun 2000. Selain hal tersebut, pada saat konsesi berlangsung juga pernah terjadi kebakaran hutan tahun 1984 dan 1997 sehingga semakin memperparah kerusakan hutan rawa gambut Sungai Merang. Pada waktu kegiatan HPH masih menyisakan hutan di sepanjang Sungai Merang sepanjang 100 meter dari sungai, sebagai daerah konservasi (Bezuijen et al. 2002), namun setelah izin kegiatan HPH berakhir, kondisi kawasan malah semakin rusak, karena eksplotasi hutan dilanjutkan dengan kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh pendatang sekitar Desa Muara Merang dan Kabupaten lain. Kegiatan tersebut akhirnya diikuti pula oleh penduduk setempat. Akibatnya daerah konservasi sepanjang 100 m dari sungai menjadi daerah pertama yang dieksploitasi karena aksesnya berada di tepi sungai. Selain membuka hutan, masyarakat setempat juga ikut membangun parit untuk memudahkan pengangkutan kayu dari hutan rawa gambut yang letaknya lebih jauh dari sungai. Pada kegiatan illegal logging selain melakukan eksploitasi hutan, pembuatan parit untuk keperluan pengangkutan kayu mengakibatkan terjadinya drainase di hutan gambut. Drainase hutan gambut ini telah mengakibatkan erosi, sedimentasi dan teroksidasinya pirit yang semuanya akan mempengaruhi kualitas air. Selain itu, drainase mengakibatkan terjadinya landsubsidence. Landsubsidence ini menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah gambut dalam menahan limpasan air hujan sehingga 3
akan meningkatkan run off air hujan dan akan mempengaruhi kualitas air. Lahan yang telah terdrainase pada musim kemarau akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran lahan gambut. Kebakaran lahan gambut akan mempengaruhi kualitas air yang ada. Seluruh aktivitas yang mempengaruhi kualitas air pada akhirnya akan mempengaruhi komunitas ikan di Sungai Merang. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Kawasan Hutan Gambut Sungai Merang Sebelum tahun 2000 Logging (HPH) Kebakaran hutan Lelang Sungai (Perikanan) tahun 2000 -.. Illegal Logging Lelang Sungai Perikanan Non perikanan (Illegal loging) Illegal fishing (electric fishing) Vegetasi berkurang Parit Drainase rawa gambut erosi sedimentasi pirit subsiden Potensi kebakaran hutan Kualitas Air Komunitas Ikan Gambar 1. Kerangka pemikiran 4
1.3. Perumusan Masalah Kerusakan ekosistem hutan rawa gambut Sungai Merang berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan kepunahan spesies, termasuk yang ada di perairan. Menurut Kottelat et al. (1993), vegetasi berpengaruh dalam kehidupan ikan, selain mengurangi fluktuasi suhu perairan, vegetasi juga merupakan bagian dari kondisi habitat yang mendukung aktivitas ikan, dalam hal berlindung, bertelur, mencari makan dan daerah asuhan. Perairan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lahan gambut. Kondisi perairan dipengaruhi oleh kondisi lahan, baik itu karakteristik tanah gambut, rawa maupun vegetasi yang menaunginya. Dengan demikian kesuburan perairan dipengaruhi oleh kondisi kesuburan tanah gambut. Menurut Mudiyarso et al. (2004), lahan gambut secara alami menyimpan cadangan air permukaan dengan kapasitas 0,8-0,9 m 3 /m 3. Kondisi ini membuat lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan kemarau. Selain itu keberadaan lahan gambut juga berfungsi untuk menghambat teroksidasinya pirit yang dapat menimbulkan keasaman tanah dan keracunan tanaman. Asam sulfat yang terbentuk sebagai akibat dari teroksidasinya pirit akan berpengaruh terhadap kehidupan akuatik perairan. Pembukaan hutan rawa gambut, apalagi dengan pembangunan parit akan mempercepat pengeringan lahan gambut, terutama pada musim kemarau. Pada kondisi ini, rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, pengeringan lahan gambut juga akan membuat penurunan muka tanah (subsidence) sehingga kemampuan gambut menahan air menjadi berkurang, dan air banyak terbuang melalui run off. Penurunan ini bersifat irreversible dan akan terjadi dekomposisi gambut, karena hilangnya air gambut (Waspodo et al., 2003). Limpasan air akan meningkatkan erosi dan sedimentasi di perairan. Secara ekologi, hutan rawa gambut merupakan tempat pemijahan ikan serta berbagai jenis satwa liar lainnya. Kerusakan ekosistem gambut menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan di Sungai Merang. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya orang yang menangkap ikan, dan memaksa mereka untuk ikut dalam merambah hutan. Kondisi ini terjadi pula pada tingkat pemegang lelang sungai (pengemin), dalam hal ini lelang sungai yang pada awalnya untuk hasil perikanan akhirnya beralih ke retribusi atau hasil pajak kayu sedangkan perikanan menjadi kegiatan sampingan. Pada saat ini telah terjadi degradasi hutan rawa gambut yang cukup besar di Sungai Merang. Kegiatan HPH selain eksploitasi hutan juga mengakibatkan 5
terjadinya kebakaran hutan. Hutan gambut primer tersebut terdegradasi menjadi hutan sekunder, semak, belukar dan vegetasi gelam. Berdasarkan kondisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil suatu pertanyaan penelitian yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu : 1. Apakah berkurangnya vegetasi berpengaruh pada kualitas air? 2. Apakah kondisi kualitas air yang ada berpengaruh pada komunitas ikan? 3. Apakah berkurangnya vegetasi berpengaruh terhadap komunitas ikan? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan kondisi permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh berkurangnya vegetasi terhadap komunitas ikan. 1.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : 1. Berkurangnya vegetasi berpengaruh negatif terhadap kualitas air 2. Penurunan kualitas air berpengaruh negatif terhadap komunitas ikan 3. Vegetasi berpengaruh positif pada komunitas ikan 1.6 Manfaat Penelitian 1 Untuk mengetahui pengaruh kerusakan vegetasi gambut terhadap komunitas ikan. 2 Menjadi salah satu acuan dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan sungai dan hutan sekitarnya secara terpadu dan berkelanjutan, yang berkaitan dengan aspek perikanan. 6