VI MODEL DINAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

dokumen-dokumen yang mirip
VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

IV METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KAKAO (SUATU PENDEKATAN SISTEM DINAMIS)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Abdul Muis Hasibuan 1, Rita Nurmalina 2 dan Agus Wahyudi 3 ABSTRAK ABSTRACT

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. kelapa sawit dan karet dan berperan dalam mendorong pengembangan. wilayah serta pengembangan agroindustry.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, sabuk

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

Losses_kedelai LOSSES_kedelai_1. RAMP_LOSSES surplus. kebutuhan_kedelai. inisial_luas_tanam produski_kedelai Rekomendasi_pupuk

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROSPEK TANAMAN PANGAN

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas unggulan dari sub sektor perkebunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tahun Harga Kakao Harga Simulasi

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM. hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang

BAB I PENDAHULUAN. besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

I. PENDAHULUAN. melimpah, menjadikan negara ini sebagai penghasil produk-produk dari alam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari pemerintah dalam kebijakan pangan nasional. olahan seperti: tahu, tempe, tauco, oncom, dan kecap, susu kedelai, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

Transkripsi:

VI MODEL DINAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO 6.1 Validasi Model Validasi yang dilakukan terhadap model sistem agroindustri kakao terdiri dari uji validitas struktur dan uji validitas kinerja/output model sesuai dengan pendapat Muhammadi, et al., (2001). Uji validitas struktur yang dilakukan dengan menguji konsistensi dimensi yang dilakukan secara langsung oleh perangkat lunak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model sistem agroindustri kakao yang dikembangkan memiliki dimensi yang konsisten sehingga tidak terdapat kesalahan (error). Tabel 19 Hasil uji validitas kinerja model sistem agroindustri kakao No Kriteria 1 RMSPE (Root Mean Square Percentage Error) 2 AME (Average Mean Error) 3 AVE (Average Variance Error) Produksi biji kakao Variabel Produksi kakao olahan 3,69% 0,51% 2,17% 0.30% 4,44% 0,59% Uji validitas kinerja/output model dilakukan untuk menilai apakah kinerja model tersebut dapat mewakili sistem yang ada di dunia nyata di mana dapat diperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Kriteria yang digunakan untuk menguji kinerja model adalah RMSPE (Root Mean Square Percentage Error), AME (Average Mean Error) dan AVE (Average Variance Error). Sedangkan variabel yang diuji adalah produksi biji kakao dan produksi kakao olahan. Hasil pengujian terhadap kinerja model disajikan pada Tabel 19. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai RMSPE, AME dan AVE untuk produksi biji kakao masing-masing sebesar 3,69 persen, 2,17 persen dan 4,44 persen. Sedangkan nilai untuk variabel produksi kakao olahan adalah sebesar 0,51 persen, 0,30 persen dan 0,59 persen. Nilai tersebut lebih rendah dari batas nilai maksimum yang disyaratkan sebesar 5 persen, sehingga model dinamika sistem agroindustri kakao dinyatakan valid.

84 6.2 Perilaku Model Pembangunan model sistem agroindustri kakao bertujuan untuk mengetahui perilaku sistem agroindustri beserta submodel-submodel yang menyusunnya di masa yang akan datang. Struktur model secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1, sedangkan persamaan-persamaan model disajikan pada Lampiran 2. Data awal dalam model tersebut menggunakan data pada tahun 2008 yang dipakai sebagai tahun dasar analisis. Sedangkan periode simulasi untuk menganalisis perilaku model adalah tahun 2008 sampai tahun 2025. Perilaku model yang diukur dalam penelitian adalah daya serap industri pengolahan terhadap produksi biji kakao, pangsa ekspor kakao olahan dibandingkan dengan ekspor produk kakao secara keseluruhan (biji dan olahan) dan penerimaan petani. Sebelum menganalisis perilaku model, perlu mengkaji perilaku masing-masing submodel yang menyusun model sistem agroindustri kakao. Hal ini penting karena perilaku submodel merupakan indikator yang sangat penting yang mampu menjelaskan perilaku model secara keseluruhan. 6.2.1 Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku Bahan baku utama untuk industri pengolahan kakao adalah biji kakao, sehingga perilaku submodel penyediaan bahan baku biji kakao menjadi komponen yang sangat penting dalam sistem agroindustri kakao. Penyediaan bahan baku biji kakao dalam sistem agroindustri kakao sangat terkait dengan dua aspek yaitu kuantitas dan kualitas. Untuk itu, komponen submodel penyediaan bahan baku yang dianalisis adalah perkembangan luas areal sebagai faktor utama produksi biji kakao dan produksi biji kakao fermentasi dan nonfermentasi yang mengindikasikan kuantitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Luas areal yang dianalisis dibagi atas 3 jenis pengusahaan yaitu perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PN) dan perkebunan besar swasta (PR). Pembagian status pengusahaan tersebut dilakukan terkait dengan kualitas biji kakao yang dihasilkan serta adanya perbedaan tren pertumbuhan luas areal. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah, seluruh biji kakao yang dihasilkan PN dan PS merupakan biji kakao fermentasi, sedangkan biji kakao fermentasi yang dihasilkan oleh PR hanya sebesar 7,78 persen. Hasil simulasi perkembangan luas areal perkebunan kakao menurut status

85 pengusahaan disajikan pada Gambar 30 dan Tabel 20. Sedangkan hasil simulasi untuk produksi biji kakao (fermentasi, nonfermentasi dan total) disajikan pada Gambar 31 dan Tabel 21. HA 4.500.000 4.000.000 3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 LA PR LA PN LA PS LA Total 1.000.000 500.000 0 01/01/2008 01/01/2009 01/01/2010 01/01/2011 01/01/2012 01/01/2013 01/01/2014 01/01/2015 01/01/2016 01/01/2017 01/01/2018 01/01/2019 01/01/2020 01/01/2021 01/01/2022 01/01/2023 01/01/2024 01/01/2025 Gambar 30 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 Tabel 20 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 (dalam Ha) Tahun Total LA LA PR LA PN LA PS 1/1/2008 1.425.216 1.326.784 50.584 47.848 1/1/2009 1.525.850 1.423.554 54.658 47.637 1/1/2010 1.633.870 1.527.383 59.060 47.428 1/1/2011 1.749.819 1.638.784 63.816 47.219 1/1/2012 1.874.277 1.758.310 68.955 47.011 1/1/2013 2.007.867 1.886.554 74.508 46.805 1/1/2014 2.151.260 2.024.152 80.509 46.599 1/1/2015 2.305.172 2.171.786 86.993 46.394 1/1/2016 2.470.375 2.330.187 93.998 46.189 1/1/2017 2.647.696 2.500.141 101.569 45.986 1/1/2018 2.838.024 2.682.492 109.748 45.784 1/1/2019 3.042.311 2.878.142 118.587 45.582 1/1/2020 3.261.581 3.088.062 128.137 45.382 1/1/2021 3.496.932 3.313.293 138.456 45.182 1/1/2022 3.749.542 3.554.951 149.607 44.983 1/1/2023 4.020.676 3.814.235 161.655 44.785 1/1/2024 4.311.693 4.092.430 174.674 44.588 1/1/2025 4.624.049 4.390.916 188.741 44.392

86 Dari Gambar 30 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan luas areal perkebunan kakao pada periode simulasi yang mengikuti pola exponential growth. Peningkatan luas areal tersebut sebagian besar disumbang oleh PR dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 7,29 persen. Sedangkan pertumbuhan luas areal PN adalah sebesar 8,05 dan PS justru mengalami penurunan. Pada tahun 2025, jumlah luas areal perkebunan kakao Indonesia diprediksi mencapai 3,39 juta ha, dengan komposisi 94,96 persen diusahakan oleh PR, 4,08 persen oleh PN, dan 0,96 persen oleh PS. Gambar 31 Produksi biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Dari Gambar 31 dapat dilihat bahwa terjadi tren peningkatan produksi biji kakao fermentasi dan nonn fermentasi, sehingga produksi total biji kakao juga mengalami peningkatan. Dinamika peningkatan produksi biji kakao total, biji fermentasi dan non fermentasi cenderung mengikuti pola exponential growth. Adanya penurunan produktivitas perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara, serta penurunan luas areal perkebunan besar swasta tidak berdampak pada produksi kakao, karena adanya dorongan peningkatan luas areal perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara, serta peningkatan produktivitas perkebunan besar swasta. Pada tahun 2025, produksi biji kakao Indonesia diperkirakan mencapai 1,61 juta ton, dimana 248,,54 ribu ton merupakan biji kakao fermentasi dan 1,36

87 juta ton berupa biji non fermentasi. Jumlah ini sebenarnya masih lebih rendah dari sasaran produksi biji kakao Kementerian Pertanian, dimana pada tahun 2014, produksi biji kakao Indonesia ditargetkan mencapai 1,65 juta ton (Kementan, 2010), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil simulasi yang hanya 1,02 juta ton pada tahun yang sama. Namun, target pemenuhan permintaan biji kakao fermentasi untuk industri pengolahan nasional yang direncanakan tercapai pada tahun 2014, diperkirakan sudah dapat dicapai pada tahun 2013. Secara keseluruhan, perilaku submodel penyediaan bahan baku yang diukur melalui perilaku luas areal dan produksi biji kakao menunjukkan peningkatan selama periode analisis dengan pola exponential growth. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani kakao masih cukup menarik untuk diusahakan sehingga mendorong pelaku-pelaku yang terlibat dalam subsistem ini terutama petani perkebunan rakyat terus meningkatkan luas areal dan produksi kakao. Tabel 21 Produksi biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 (dalam ton) Tahun Total Produksi Biji Produksi Biji Fermentasi Produksi Biji Nonfermentasi 1/1/2008 803.594 120.539 683.055 1/1/2009 837.011 125.625 711.386 1/1/2010 871.838 130.946 740.892 1/1/2011 908.135 136.513 771.623 1/1/2012 945.966 142.338 803.628 1/1/2013 985.396 148.436 836.960 1/1/2014 1.026.494 154.818 871.675 1/1/2015 1.069.331 161.500 907.830 1/1/2016 1.113.982 168.497 945.485 1/1/2017 1.160.525 175.824 984.701 1/1/2018 1.209.043 183.499 1.025.544 1/1/2019 1.259.619 191.538 1.068.081 1/1/2020 1.312.343 199.961 1.112.383 1/1/2021 1.367.308 208.786 1.158.521 1/1/2022 1.424.609 218.035 1.206.574 1/1/2023 1.484.349 227.730 1.256.620 1/1/2024 1.546.633 237.892 1.308.741 1/1/2025 1.611.571 248.547 1.363.025 6.2.2. Perilaku Submodel Pengolahan Perilaku submodel pengolahan diindikasikan oleh jumlah produk kakao olahan yang diproduksi oleh industri pengolahan kakao. Komponen yang paling menentukan dalam produksi kakao olahan kapasitas terpasang dan kapasitas

88 terpakai industri, sehingga akan langsung terkait dengan kebutuhan bahan baku berupa biji kakao fermentasi dan nonfermentasi. Hasil simulasi produksi kakao olahan disajikan pada Gambar 32 dan Tabel 22. Gambar 32 Produksi kakao olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Tabel 22 Produksi kakao olahan pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 (dalam ton) Tahun Produksi Kakao Permintaan Biji Permintaan Biji Non Olahan Fermentasi Fermentasi 1/1/2008 178.000 143.504 302.547 1/1/2009 178.854 144.192 303.998 1/1/2010 179.729 144.898 305.486 1/1/2011 180.627 145.622 307.012 1/1/2012 181.547 146.363 308.576 1/1/2013 182.490 147.123 310.178 1/1/2014 183.455 147.901 311.818 1/1/2015 184.443 148.698 313.498 1/1/2016 185.454 149.513 315.216 1/1/2017 186.489 150.347 316.975 1/1/2018 187.547 151.200 318.773 1/1/2019 188.628 152.072 320.611 1/1/2020 189.734 152.964 322.491 1/1/2021 190.864 153.874 324.411 1/1/2022 192.018 154.805 326.373 1/1/2023 193.197 155.756 328.377 1/1/2024 194.401 156.726 330.423 1/1/2025 195.630 157.717 332.512 Dari Gambar 32 dan Tabel 22 dapat dilihat bahwa pada periode 2008-2025 terjadi kecenderungan peningkatan produksi kakao olahan yang diikuti oleh

89 peningkatan permintaan biji kakao fermentasi dan nonfermentasi. Pola perilaku produksi kakao olahan selama periode analisis cendeung linier. Pada tahun 2025, produksi kakao olahan diperkirakan mencapai 195.630 ton. Hal tersebut juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan biji kakao fermentasi menjadi 157.717 ton, dan biji kakao nonfermentasi menjadi 332.512 ton untuk kebutuhan industri pengolahan kakao. Peningkatan produksi kakao olahan pada periode simulasi disebabkan oleh peningkatan kapasitas terpasang dan utilisasi kapasitas terpasang industri pengolahan kakao. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan produksi kakao olahan, maka diperlukan upaya untuk menarik minat investor untuk berinvestasi pada industri pengolahan kakao sehingga mampu meningkatkan kapasitas industri pengolahan kakao nasional. Di samping itu, diperlukan regulasi dan kebijakan yang mendorong industri pengolahan kakao untuk dapat memaksimalkan kapasitas produksi yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pendapat Mutakin dan Sihaloho (2007) yang menyebutkan bahwa untuk pengembangan industri pengolahan kakao nasional, diperlukan penciptaan iklim usaha yang mendukung mulai dari hulu hingga hilir melalui kebijakan pemerintah. 6.2.3 Perilaku Submodel Konsumsi Dinamika konsumsi kakao olahan terjadi akibat perubahan perilaku konsumsi kakao olahan perkapita serta pertumbuhan penduduk. Perilaku konsumsi kakao olahan dalam penelitian ini diukur dengan jumlah konsumsi kakao olahan. Hasil simulasi pertumbuhan konsumsi kakao olahan disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 23. Dari Gambar 33 dan Tabel 23 dapat dilihat bahwa pada periode simulasi, jumlah konsumsi kakao Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan cenderung mengikuti pola exponential growth. Peningkatan konsumsi ini disumbang oleh peningkatan konsumsi perkapita yang pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 0,15 kg perkapita dengan laju peningkatan sebesar 4,85 persen per tahun. Peningkatan konsumsi juga sangat didukung oleh peningkatan jumlah penduduk yang pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 299,8 juta jiwa. Peningkatan konsumsi perkapita dan jumlah penduduk menyebabkan konsumsi kakao Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 44,26 ribu ton. Jumlah ini meningkat tajam dari konsumsi pada tahun 2008 yang hanya mencapai 15,08 ribu ton

90 ton 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 01/01/2008 01/01/2009 01/01/2010 01/01/2011 01/01/2012 01/01/2013 01/01/2014 01/01/2015 01/01/2016 01/01/2017 01/01/2018 01/01/2019 01/01/2020 01/01/2021 01/01/2022 01/01/2023 01/01/2024 01/01/2025 Gambar 33 Konsumsi kakao olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Tabel 23 Konsumsi kakao olahan, konsumsi perkapita dan jumlah penduduk pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 Tahun Konsumsi Kakao Olahan (Ton) Konsumsi Perkapita (kg/orang) Jumlah Penduduk (orang) 1/1/2008 15.082,52 0,07 228.523.000 1/1/2009 16.068,63 0,07 232.202.220 1/1/2010 17.119,21 0,07 235.940.676 1/1/2011 18.238,47 0,08 239.739.321 1/1/2012 19.430,92 0,08 243.599.124 1/1/2013 20.701,33 0,08 247.521.070 1/1/2014 22.054,80 0,09 251.506.159 1/1/2015 23.496,76 0,09 255.555.408 1/1/2016 25.033,00 0,10 259.669.850 1/1/2017 26.669,68 0,10 263.850.535 1/1/2018 28.413,37 0,11 268.098.529 1/1/2019 30.271,06 0,11 272.414.915 1/1/2020 32.250,21 0,12 276.800.795 1/1/2021 34.358,75 0,12 281.257.288 1/1/2022 36.605,16 0,13 285.785.530 1/1/2023 38.998,43 0,13 290.386.677 1/1/2024 41.548,18 0,14 295.061.903 1/1/2025 44.264,64 0,15 299.812.399 6.2.4 Perilaku Submodel Perdagangan Perdagangan produk kakao yang dianalisis adalah perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan. Dengan demikian, variabel-variabel yang terlibat dalam submodel perdagangan kakao banyak dipengaruhi oleh variabel yang

91 berada pada submodel lainnya. Perilaku perdagangan kakao yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kinerja ekspor (volume dan nilai) biji kakao dan kakao olahan. Dinamika volume dan nilai ekspor biji kakao dan kakao olahan Indonesia selama periode simulasi disajikan pada Gambar 34, Gambar 35 dan Tabel 24. Gambar 34 Volume ekspor biji kakao dan olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Selama periodee analisis, terjadi peningkatan volume ekspor biji kakao dan produk kakao olahan. Volume ekspor biji kakao meningkat lebih cepat dibandingkan dengann kakao olahan akibat pertumbuhan produksi biji kakao tidak mampu diimbangi oleh peningkatan kapasitas produksi industri pengolahan, sehingga produksi kakao olahan lebih lambat. Sedangkan peningkatan konsumsi kakao olahan domestik tidak berpengaruh signifikan mengingat volume impor kakao olahan Indonesia masih sangat tinggi dan lebih besar dari tingkat konsumsi, sehingga justru berkontribusi terhadap penambahan volume ekspor. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada tahun 2025, konsumsi kakao olahan Indonesia sebesar 44,2 ribu ton, sedangkan volume impor kakao olahan sudah mencapai 156,9 ribu ton, sehingga mengindikasikan adanya peluang reekspor produk kakao olahan.

92 Gambar 35 Nilai ekspor biji kakao dan olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Tabel 24 Volume dan nilaii ekspor kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 Tahun Volume (Ton) 1/1/2008 380.512 1/1/2009 380.508 1/1/2010 407.388 1/1/2011 435.406 1/1/2012 464.611 1/1/2013 495.052 1/1/2014 528.095 1/1/2015 566.774 1/1/2016 607.135 1/1/2017 649.253 1/1/2018 693.204 1/1/2019 739.070 1/1/2020 786.936 1/1/2021 836.889 1/1/2022 889.022 1/1/2023 943.431 1/1/2024 1.000.217 1/1/2025 1.059.484 Bijii Kakao Kakao Olahan Nilai (USD) Volume (Ton) Nilai (USD) 980.617.475 193.156 600.304.572 1.099.210.785 196.098 609.450.410 1.276.347.046 199.311 619.435.957 1.297.554.635 202.822 630.347.556 1.254.449.608 206.662 642.280.754 1.188.125.398 210.864 655.341.274 1.214.619.105 215.467 669.646.077 1.246.903.238 220.512 685.324.541 1.329.626.110 226.045 702.519.761 1.415.370.619 232.116 721.389.983 1.511.184.398 238.783 742.110.185 1.603.781.904 246.108 764.873.827 1.699.780.814 254.159 789.894.775 1.799.310.919 263.012 817.409.425 1.902.506.821 272.752 847.679.054 2.009.508.114 283.471 880.992.405 2.120.459.571 295.272 917.668.541 2.246.106.176 308.268 958.059.994 Nilai perdagangan biji kakao dan produk olahan kakao merupakan multiplikasi volume ekspor dan harga. Asumsi harga biji kakao yang digunakan dalam penelitian ini adalah data harga historis dan ramalan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Sedangkan harga kakao olahan diasumsikan statis. Nilai perdagangan biji kakao menunjukkan tren meningkat pada periode 2013-2025. Sedangkan periode 2008-2013 menunjukkan pola yang meningkat kemudian

93 menurun. Kondisi tersebut terjadi karena adanya peningkatan harga biji kakao pada periode 2008-2011, kemudian terjadi penurunan harga yang cukup signifikan pada periode 2011-2013. Pada periode 2013-2025, walaupun terjadi penurunan harga, namun peningkatan produksi biji kakao yang tinggi tetap mampu meningkatkan nilai ekspor biji kakao secara signifikan. Sedangkan nilai ekspor kakao olahan menunjukkan tren yang meningkat secara linier. 6.2.5 Perilaku Model Sistem Agroindustri Kakao Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, model sistem agroindustri kakao bertujuan untuk mengetahui dinamika daya serap produksi biji kakao oleh industri pengolahan kakao dalam negeri, pangsa ekspor kakao olahan, baik volume maupun nilai terhadap ekspor kakao Indonesia secara keseluruhan serta penerimaan petani kakao. Daya serap biji kakao oleh industri pengolahan kakao dalam negeri merupakan rasio antara permintaan biji kakao oleh industri pengolahan dengan total produksi biji kakao. Dinamika rasio antara permintaan dan total produksi biji kakao disajikan pada Gambar 36 dan Tabel 25. Tabel 25 Daya serap industri, pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan serta penerimaan petani pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 Tahun Daya Serap Biji Kakao oleh Industri Pengolahan (%) Pangsa Volume Ekspor Kakao Olahan (%) Pangsa Nilai Ekspor Kakao Olahan (%) Penerimaan Petani (Rp/Ha) 1/1/2008 55,51 33,67 37,97 8.437.166 1/1/2009 53,55 34,01 35,67 9.180.342 1/1/2010 51,66 32,85 32,67 9.664.466 1/1/2011 49,84 31,78 32,70 8.923.277 1/1/2012 48,09 30,79 33,86 7.847.537 1/1/2013 46,41 29,87 35,55 6.771.064 1/1/2014 44,79 28,98 35,54 6.298.681 1/1/2015 43,22 28,01 35,47 5.848.178 1/1/2016 41,72 27,13 34,57 5.650.906 1/1/2017 40,27 26,34 33,76 5.460.175 1/1/2018 38,87 25,62 32,93 5.300.082 1/1/2019 37,53 24,98 32,29 5.121.084 1/1/2020 36,23 24,41 31,73 4.948.027 1/1/2021 34,98 23,91 31,24 4.780.715 1/1/2022 33,78 23,48 30,82 4.618.960 1/1/2023 32,62 23,10 30,48 4.462.581 1/1/2024 31,50 22,79 30,21 4.311.401 1/1/2025 30,42 22,54 29,90 4.184.991

94 % 50 Daya serap biji oleh industri 40 30 20 01/01/2008 01/01/2009 01/01/2010 01/01/2011 01/01/2012 01/01/2013 01/01/2014 01/01/2015 01/01/2016 01/01/2017 01/01/2018 01/01/2019 01/01/2020 01/01/2021 01/01/2022 01/01/2023 01/01/2024 01/01/2025 Gambar 36 Daya serap biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Dari Gambar 36 dan Tabel 25 dapat dilihat bahwa daya serap biji oleh industri pengolahan pada periode analisis mengalami penurunan. Pada akhir periode simulasi, jumlah biji kakao yang dapat diolah oleh industri pengolahan hanya sebesar 30,42 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode awal analisis yaitu 55,51 persen. Kondisi tersebut terjadi karena produksi biji kakao meningkat lebih cepat dibandingkan dengan permintaan biji kakao oleh industri pengolahan. Lambatnya permintaan tersebut merupakan dampak langsung dari rendahnya penambahan kapasitas industri dalam negeri. Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan tersebut merupakan analisis lanjutan terhadap volume dan nilai ekspor biji kakao dan kakao olahan yang telah dianalisis sebelumnya pada submodel perdagangan. Dinamika pangsa ekspor kakao olahan (volume dan nilai) terhadap total ekspor kakao Indonesia selama periode analisis disajikan pada Gambar 37 dan Tabel 25. Dinamika pangsa ekspor kakao olahan Indonesia selama periode 2008-2025 menunjukkan bahwa pangsa nilai ekspor kakao olahan lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa volumenya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor produk kakao olahan memiliki nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan ekspor biji kakao. Kondisi ini juga mengindikasikan adanya nilai tambah yang diperoleh melalui proses pengolahan kakao. Pada periode 2008-2011, terjadi penurunan pangsa nilai ekspor kakao olahan yang lebih tinggi dibandingkan pangsa volume ekspor. Hasil ini terjadi karena terjadinya peningkatan harga biji kakao yang sangat tinggi pada periode

95 tersebut. Adanya penurunan harga biji kakao pada periode 2011-2025 membuat selisih pangsa nilai kakao olahan relatif konstan terhadap pangsaa volume ekspor. Gambar 37 Pangsa nilai dan volume ekspor kakao olahan terhadap total ekspor kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Model sistem agroindustri kakao juga dilakukan untuk melihat dinamika perkembangan penerimaan petani kakao. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penerimaan petani kakao dalam analisis ini didefinisikan sebagai penerimaan petani untuk setiap hektar lahan yang diusahakan, dihitung sebagai multiplikasi volume biji yang dihasilkan dengan harga kakao (fermentasi dan non fermentasi). Dalam perhitungan ini, biaya usahatani tidak diperhitungkan. Perilaku penerimaann petani selama periode analisis disajikan dalam Gambar 38 dan Tabel 25. Dari dinamika perilaku penerimaan petani seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 38 dapat dilihat bahwa hampir selama periode simulasi terjadi penurunan penerimaan petani. Peningkatan penerimaan hanya terjadi pada periode 2008-2009, dimana pada tahun 2009, petani memperoleh penerimaan tertinggi yaitu sebesar Rp. 10.129.805,-/ha/tahun. Peningkatan penerimaan tersebut terjadi karena adanya peningkatan harga kakao yang cukup tinggi. Walaupun pada tahun 2010 masih terjadi peningkatan harga, namun tidak mampu mengangkat penerimaan petani akibat adanya penurunan produktivitas.

96 Sementara itu, pada periode 2011-2025, terjadi penurunan penerimaan petani secara konsisten akibat adanya penurunan harga dan produktivitas yang terjadi secara simultan, dimana pada tahun 2025, penerimaan petani hanya sebesar Rp. 4.184.991,-/ha/tahun. Jika kondisi ini terus terjadi, maka dikhawatirkan petani akan beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, sehingga diperlukan upaya dari pihak-pihak terkait untuk dapat meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat, agar posisi Indonesia sebagai salah satu produsen utama kakao dunia dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Rp/HA 9.000.000 8.000.000 Penerim aan petani 7.000.000 6.000.000 5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000 0 01/01/2008 01/01/2009 01/01/2010 01/01/2011 01/01/2012 01/01/2013 01/01/2014 01/01/2015 01/01/2016 01/01/2017 01/01/2018 01/01/2019 01/01/2020 01/01/2021 01/01/2022 01/01/2023 01/01/2024 01/01/2025 Gambar 38 Penerimaan petani kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Secara umum, perilaku model sistem agroindustri kakao selama periode analisis menunjukkan bahwa perkembangan industri pengolahan kakao cenderung lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan usahatani kakao. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri kakao belum berkembang dengan baik. Supriyati dan Suryani (2008) menyebutkan ada beberapa kendala yang menyebabkan terhambatnya perkembangan agroindustri kakao, antara lain: (i) industri pengolahan kakao kekurangan bahan baku karena biji kakao lebih banyak diekspor; (ii) rendahnya mutu biji kakao karena tidak difermentasi; (iii) harga biji kakao fermentasi dan non fermentasi tidak berbeda jauh; (iv) tidak dapat dihilangkannya biaya ekonomi tinggi sebagai akibat tingginya tingkat suku bunga, pengurusan dokumen yang memerlukan waktu lama dan prosedur yang

97 panjang, banyaknya pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi, serta rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga menyebabkan rendahnya daya saing produk kakao olahan Indonesia untuk masuk ke pasar global. Selain itu, industri pengolahan kakao dalam negeri juga kurang efisien yang ditunjukkan oleh permasalahan idle capacity. Dalam periode 2005-2010, utilisasi kapasitas industri pengolahan kakao Indonesia hanya berkisar antara 55-60 persen dari kapasitas terpasang. Dengan demikian, salah satu upaya yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan agroindustri kakao Indonesia adalah peningkatan efisiensi industri pengolahan kakao. Sebagai salah satu produsen biji kakao terbesar dunia, permasalahan kekurangan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan merupakan masalah yang sangat ironis. Bahan baku yang melimpah justru tidak dapat dimanfaatkan oleh industri pengolahan dalam negeri sebagai salah satu keunggulan komparatif dalam meningkatkan daya saingnya di pasar global. Kondisi tersebut terjadi karena kemungkinan bahwa ekspor biji kakao lebih menguntungkan bagi pedagang dibandingkan menjual ke industri pengolahan dalam negeri yang menyebabkan pedagang lebih memilih untuk melakukan ekspor biji kakao sehingga industri pengolahan mengalami kekurangan bahan baku. Kondisi tersebut menunjukkan adanya permasalahan supply chain biji kakao dari petani ke industri pengolahan. Padahal, seharusnya pedagang memperoleh insentif harga yang lebih tinggi jika menjual kepada industri pengolahan dibandingkan mengekspor karena biaya transportasi yang lebih rendah. Selain itu, permasalahan di atas juga mengindikasikan masih rendahnya efisiensi industri pengolahan kakao dalam negeri sehingga hanya mampu membeli bahan baku biji kakao dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ekspor. Permasalahan supply chain biji kakao dari petani ke industri juga diindikasikan oleh minimnya ketersedian bahan baku biji kakao yang difermentasi. Akibat adanya distorsi perdagangan, petani tidak memperoleh insentif yang memadai untuk melakukan proses fermentasi biji kakao karena selisih harga yang ditetapkan oleh pedagang untuk biji kakao fermentasi dan non fermentasi tidak menarik minat petani untuk melakukan proses fermentasi. Padahal, biji kakao fermentasi seharusnya memiliki tingkat harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao non fermentasi seperti tingkat harga yang diperoleh Pantai Gading di pasar internasional. Rendahnya ketersediaan biji

98 kakao fermentasi di pasar domestik memaksa industri pengolahan mengimpor biji kakao fermentasi dengan harga yang tinggi sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya efisiensi industri pengolahan kakao Indonesia. Berbagai permasalahan yang menyebabkan lambatnya perkembangan agroindustri kakao di Indonesia menuntut upaya dari pemerintah untuk mendorong perkembangan industri pengolahan kakao nasional untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kondisi saat ini. Jika percepatan pengembangan industri kakao tidak dilakukan, maka Indonesia akan lebih cenderung menjadi produsen bahan mentah kakao dan kehilangan daya saing dalam perdagangan kakao olahan. Seperti yang telah diuraikan pada Bab V, bahwa keunggulan komparatif biji kakao Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk kakao olahan akibat masih rendahnya ekspor kakao olahan Indonesia. Namun, Sa id (2010) dan Gandhi and Jain (2011) mengingatkan bahwa dalam pembuatan kebijakan pengembangan agroindustri kakao, pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak, terutama petani kecil yang merupakan komponen terbesar yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao. Sejalan dengan pendapat tersebut, Syam, et al., (2006) juga menyebutkan bahwa prioritas utama dalam penyusunan strategi pengembangan agroindustri berbasis kakao adalah pembangunan agroindustri yang terintegrasi dan bersinergi dengan seluruh komponen yang terkait.