I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini isu pencemaran udara sudah menjadi isu lingkungan hidup yang nyata di Indonesia, terutama di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta merupakan tempat tujuan bagi masyarakat pedesaan. Urbanisasi memicu jumlah penduduk di Jakarta semakin meningkat. Jumlah penduduk di Jakarta sampai dengan tahun 2006 sebesar 8,96 juta jiwa dengan luas wilayah 661,52 km 2 berarti kepadatan penduduk mencapai 13,5 ribu/km 2 (BPS, 2007) Seiring dengan pertambahan penduduk yang tinggi (± 100 ribu jiwa/tahun) dan kegiatan pembangunan tersebut, kebutuhan akan alat transportasi penduduk juga meningkat. Moda transportasi yang paling diminati adalah kendaraan bermotor dan kereta api. Berdasarkan studi rencana induk transportasi terpadu (Study on Integrated Transportation Master Plan = SITRAMP) fase II tahun 2004 di Jabodetabek, penggunaan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi kota meningkat dari 52,9% pada tahun 1985 menjadi 62,7% tahun 2002, sedangkan kereta api digunakan sebanyak 0,2% tahun 1985 dan 0,8% pada tahun 2002 dan selebihnya memilih berjalan kaki (JICA, 2004). Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar mencerminkan kurang memadainya sistem transportasi kota. Saat ini jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sekitar 5,4 juta, dengan rata-rata peningkatkan 7% per tahun. Setiap harinya tidak kurang dari 1000 kendaraan mengajukan STNK baru yang memerlukan jalan sepanjang 828 meter (BPS, 2007). Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2005 terdapat 600.000 kendaraan (1,2 juta orang) dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masuk wilayah Jakarta setiap hari. Jumlah kendaraan bermotor yang bergerak setiap harinya mencapai 4,95 juta (terbagi atas kendaraan roda dua 53%, mobil pribadi 30%, bis 7%, dan truk 10%). Rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98% dibanding 2%.
2 Penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor bagi banyak orang didorong oleh ketiadaan transportasi umum yang nyaman, aman, dan tepat waktu. Sistem transportasi belum terintegrasi ke dalam pengembangan wilayah. Pembangunan perumahan di luar pusat kota tidak diikuti dengan pengembangan sistem transportasi yang menghubungkan lokasi perumahan dengan lokasi komersial dan perkantoran di pusat kota, sehingga kendaraan pribadi mengambil porsi transportasi jalan yang lebih besar dibanding moda transportasi lainnya. Rasio penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 49,7% dibanding 50,3% dari total 15 juta perjalanan/hari. Perbandingan antara panjang jalan dan total area di wilayah DKI Jakarta hanya 4%, idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10 15% (Ammari, 2005). Meningkatnya jumlah kendaraan secara terus-menerus, menyebabkan penggunaan bahan bakar minyak menjadi intensif dari sektor transportasi yang akan berdampak pada lingkungan udara. Berdasarkan data Pertamina UMPS III, penjualan bahan bakar minyak didominasi oleh sektor transportasi sebesar 55%, sedangkan sektor industri hanya 14%, electricity dan rumah tangga masingmasing sebesar 12% dan 19% (BPS, 2007). Penggunaan BBM di sektor transpotasi tersebut, 85% digunakan oleh kendaran bermotor baik kendaraan pribadi, bus dan truk sedangkan sisanya untuk pesawat terbang. Proses pembakaran bahan bakar minyak akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NO x ), sulfur dioksida (SO 2 ) dan gas rumah kaca (CO 2, CH 4, N 2 O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia. Besarnya kadar unsur-unsur tersebut akan tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan bakar minyak yang digunakan. Beberapa hasil kajian terdahulu menyimpulkan bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 65%- 75% dari pencemar NOx dan 15%-55% pencemar PM 10 (World Bank, 1997; JICA,1997; Syahril et al., 2002; Suhadi dan Damantoro, 2005)
3 Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta tahun 2007 memperlihatkan persentase kendaraan yang memenuhi standar baku mutu emisi (BME) yaitu sebesar 51,1% dari total 8400 kendaraan. Hal ini menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Kondisi inilah yang berpotensi menghasilkan pencemar utama seperti CO, NO x, SO 2, Particulate Matter (PM) dan juga gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca seperti CO 2, CH 4 dan N 2 O. Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Sementara disisi lain ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-sumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang, sehingga menyulitkan dalam melakukan pembaruan data, estimasi serta evaluasi beban emisi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan pengendalian pencemaran udara. Oleh karena itu penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya efektifitas kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NO x ) dan debu berukuran 10 µm (PM 10 ) di DKI Jakarta.
4 1.2 Perumusan Masalah Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta tiap tahun terus meningkat, hal ini terbukti dengan makin banyaknya jumlah titik kemacetan dan penurunan kecepatan kendaraan di berbagai ruas jalan. Menurut hasil studi pada tahun 1995 rata-rata kecepatan daerah perkotaaan di Indonesia untuk semua jenis kendaraan adalah 22-24 km/jam pada jam puncak dan 32-38 km/jam diluar jam puncak, sementara kecepatan rata-rata angkutan umum hanya 16-18 km/jam pada jam puncak dan 24-28 km/jam diluar jam puncak. Untuk DKI Jakarta terjadi penurunan kecepatan rata-rata dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA,2004). Dengan demikian terjadi pembakaran bahan bakar yang cukup tinggi dari sektor transportasi yang berpotensi meningkatkan pencemaran udara, baik untuk pencemar primer (CO, NO x, PM 10, HC) maupun polutan gas rumah kaca (CO 2 dan CH 4 ). Bila di nilai secara ekonomi kerugian dari kemacetan mencapai 5,5 triliun/tahun di wilayah Jabodetabek. Perlu strategi dan upaya pengendalian yang benar dan efektif agar jumlah emisi yang dikeluarkan dapat sekecil mungkin. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian : 1. Berapa besar beban emisi yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor pada tahun 2008 untuk pencemar CO, PM 10 dan NO x? 2. Bagaimana beban emisi di tahun mendatang (tahun 2014 dan 2020) tanpa adanya pengendalian? 3. Bagaimana pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan beban emisi tersebut? 1.3 Kerangka Pikir Kendaraan bermotor adalah salah satu sumber antropogenik yang langsung mengemisikan pencemar ke atmosfer dan terkait erat dengan sistem transportasi. Besar emisinya ditentukan oleh karakteristik mesin, jenis bahan bakar serta kecepatan tempuh kendaraan. Pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor akan mempengaruhi kualitas udara ambien dan kesehatan masyarakat. Informasi yang tepat tentang pencemaran udara ini sangat diperlukan untuk menyusun strategi dan kebijakan pengendalian pencemaran udara secara efektif. Sampai
5 dengan saat ini ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumbersumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pembaharuan informasi tentang emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Adapun kerangka pemikiran dilakukannya penelitian analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi di DKI Jakarta tersaji dalam Gambar 1. Sumber pencemar antropogenik (Kendaraan bermotor) Reduksi Emisi Emisi pencemar Analisis efektifitas Strategi/kebijakan pengelolaan kualitas udara BMU ambien. Konsentrasi Udara ambien. Perbandingan dgn BMU ambien. Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian tentang analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui beban emisi pencemar CO, PM 10 dan NO x dari sumber pencemar kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2008.
6 2. Menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta 3. Menganalisis besarnya penurunan emisi CO, PM 10 dan NO x tahun 2014 dan tahun 2020 dengan penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta