PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai dengan tanah berlumpur. Umumnya hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, air bersalinitas payau (kadar garam 2 22 permil) sampai air asin (kadar garam 38 permil), Bengen (2000). Menurut FAO (1994) hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Pertumbuhan mangrove tergantung pada air laut yang diperoleh saat pasang dan air tawar yang banyak mengandung bahan organik dan kaya mineral sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya, maka bentuk hutan mangrove dan keberadaannya sangat tergantung oleh pengaruh darat dan laut. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove, Kusmana (1996). Tumbuhan mangrove juga memiliki bentuk perakaran yang khas. Bentuk perakaran ini memungkinkan tumbuhan mangrove memiliki adaptasi yang bervariasi terutama adaptasi terhadap kadar garam dan kadar oksigen. Dari bentuk dan sistem perakaran ini, tumbuhan mengrove membentuk formasi yang unik dari daerah dengan kadar garam tinggi dan kadar oksigen rendah sampai pada daerah kadar garam rendah dengan kadar oksigen tinggi. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 202 jenis yang terdiri dari jenis pohon, jenis palem, jenis liana, epifit dan hanya satu jenis sikas. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang
2 (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tenger (Ceriops spp) dan, buta-buta (Exoecaria spp). Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Luasan mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya. Hutan mangrove memiliki berbagai macam manfaat baik manfaat ekonomis maupun manfaat ekologis. Secara ekonomis mangrove berperan menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia seperti penyedia kayu bakar, bahan bangunan, penghasil tanin (penyamak kulit) alat penangkap ikan, peralatan rumah tangga serta manfaat non fisik seperti olah raga dan rekreasi dan lainnya. Hutan mangrove memiliki manfaat ekologis sebagai perlindungan bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis -jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis fauna darat (Bengen,2000).
3 Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni biomassa (62,9 398,8 ton/ha/th), guguran serasah (5,8 25,8 ton/ha/th), dan riap volume 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer bersih tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai makanan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 meter, dan perubahan energi gelombang (E) sebesar 19.635,26 joule, Pratikto (2002). Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO 2, dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain, Kusmana (2002). Secara tidak langsung, manfaat ekologi mangrove sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomi. Sumberdaya laut berupa berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan mangrove tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan manusia terutama yang bermukim di daerah pesisir. Tingginya nilai ekonomi berbagai komoditas laut tersebut menggerakkan manusia untuk melakukan budidaya secara intensif. Udang dan bandeng misalnya, pernah menjadi komoditas andalan Indonesia pada dekade 1980-an sampai awal dekade 1990 an. Pada masa itu terjadilah alih fungsi atau konversi besar-besaran daerah pesisir menjadi tambak yang sebagian besar dikelola oleh pengusaha besar. Pola konversi yang memberikan hasil sangat besar tersebut ternyata memberikan dampak pada pola pikir masyarakat pesisir dalam memanfaatkan lingkungannya terutama hutan mangrove. Maka pada waktu yang relatif singkat, terjadi perubahan lingkungan pesisir dari wilayah hutan menjadi areal tambak dan akibat yang ditimbulkan dari perubahan tersebut
4 masih dirasakan oleh masyarakat itu sendiri hingga saat ini, antara lain meningkatnya suhu udara, terjadinya perubahan kadar garam pada air tanah di daerah pemukiman, timbulnya penyakit yang disebabkan oleh serangga misalnya penyakit malaria. Akibat pola pemanfaatan yang berlebihan, saat ini luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Untuk menekan kerusakan yang terjadi, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Departemen Kehutanan secara bersama-sama terus memfasilitasi tersusunnya tata ruang wilayah pesisir pada setiap kabupaten sebagai dasar perencanaan pengelolaan pesisir serta sebagai sarana implementasi pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari, Dahuri (2002). Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung.
5 Penerapan sistem tumpangsari/mina hutan di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari. Penerapan mina hutan di kawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem tumpangsari/mina hutan (sylvofishery). Sistem empang parit adalah sistem tumpangsari/mina hutan, dengan hutan bakau berada di tengah dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem tumpangsari/mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam. Keberhasilan dari pelaksanaan sistem empang parit perlu dilakukan pengkajian dan perlu valuasi agar dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan datang. Dengan demikian masyarakat akan mendapatkan informasi yang benar tentang fungsi mangrove bagi kehidupanya baik sekarang maupun yang akan datang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999). Perumusan Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berpijah dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, tanin, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung
6 daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya, Bengen (2000). Manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya adalah kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kayu bakar, membuat arang, pulp dan lain-lain. Selain itu hutan mangrove juga merupakan penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian biota perairan. Hasil tambak secara langsung sangat dipemgaruhi oleh kelestarian biota perairan, sedangkan biota akuatik kehidupannya sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove. Seberapa besar pengaruh keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan biota perairan dapat dilihat dari pengaruh hutan mangrove terhadap hasil perikanan yang langsung dinikmati oleh masyarakat pesisir setiap hari. Dalam mengejar target ekonomi terkadang sisi lingkungan terabaikan. Pada saat usaha tambak memiliki nilai keuntungan secara ekonomi yang sangat besar, maka konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak terkendali, masyarakat tidak pernah berp ikir bahwa tingginya produktivitas tambak tersebut disebabkan karena pasokan pakan dari alam untuk udang dan bandeng masih sangat besar. Petani tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pakan udang dan bandeng, penyakit yang timbul juga sangat jarang karena lingkungan masih bersih dan belum tercemar. Pada tataran masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan khususnya, masih berkembang pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor untuk tempat bersarang dan berkembangbiaknya nyamuk malaria, lalat, dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal tersebut telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mencegah timbulnya wabah penyakit yang ditimbulkan. Akan tetapi sebaliknya, apabila kondisi ekosistem mangrove masih terjaga dengan baik maka akan mampu menjaga keseimbangan habitat malaria dalam kondisi seimbang yang tidak memungkinkan malaria berubah menjadi wabah penyakit bagi manusia.
7 Persepsi lain, bahwa mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya perikanan. Hal tersebut diperburuk dengan hasil-hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah yang hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan, Ditjen RLPS (2002). Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, olehkarena itu harus dijaga kelestariannya. Tumpangsari/Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis, Perhutani (1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai
8 petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem mina hutan. Dalam sistem empang parit ini, tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove. Dengan lebar parit yang bervariasi antara 3 meter sampai lebih dari 5 meter bahkan lebih. Besarnya nilai ekonomi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dipengaruhi langsung oleh kondisi dan komposisi tambak dalam pengelolaan hutan. Di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat, terdapat lima desa yang terlibat dalam kegiatan tambak sistem empang parit yaitu Desa Mayangan, Pangarengan, Anggasari, Legon Wetan dan desa Tegalurung. Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu dari empat kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Subang yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi yang masih baik. Usaha konservasi merupakan langkah penyelamatan hutan mangrove yang memiliki arti sangat besar khususnya bagi masyarakat pesisir dan lingkungan pada umumnya. Pemanfaatan hutan mangrove dengan memperhatikan faktor keseimbangan antara manfaat ekologi dan manfaat ekonomi sangat penting dilakukan.
9 Hutan Mangrove Konservasi Total Eksplorasi Total Jumlah dan luas tambak sedikit Ekosistem pesisir terjaga lestari Produksi tangkapan ikan tinggi Jumlah dan luas tambak naik Ekosistem pesisir terancam rusak Produksi tangkapan ikan rendah Konservasi Moderat Pemanfaatan Terkendali Mina Hutan (Sylvofisheries) Usaha Tambak Sistem Empang Parit Berbagai Pola ANALISIS USAHATANI Gambar 1 Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mendapatkan nilai manfaat ekonomi terbaik dari usaha tani pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit berbagai pola di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. 2. Untuk mencari hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap pendapatan petani tambak dari pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpang sari dengan sitem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang.
10 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengelo la dan pembina program tambak tumpangsari khususnya pengembangan sistem empang parit yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang yang membina petani tambak di areal tanah milik petani, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Perum Perhutani yang membina tambak di areal tanah Perum Perhutani. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengumpulkan permasalahan petani sekitar pengelolaan tambak yang akhir-akhir ini mengalami kesulitan produksi serta dapat memberikan gambaran kepada petani tambak tentang pengelolaan usaha tambak yang berwawasan lingkungan. Dengan hasil yang diperoleh akan dapat mempengaruhi pola pikir petani pada umumnya bahwa tambak yang luas akan mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi bagi mereka.