II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Pengembangan Rumput Laut Sulawesi Selatan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok


BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

I. PENDAHULUAN. komoditas yang diunggulkan di sektor kelautan dan perikanan.. Tujuan

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

11. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN DATARAN TINGGI KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA DESEMBER 2014

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lampiran.1 Perkembangan Produksi Bayam Di Seluruh Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. pangan, tanaman hias, hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Potensi ekonomi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA MEI 2017

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Pengembangan pohon buah-buahan dalaln kerangka pembangunan pedesaan. bagi masyarakat sekitar hutan mempunyai arti penting, terutama dalam ha1

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

III KERANGKA PEMIKIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bauran Pemasaran 2.2. Unsur-Unsur Bauran Pemasaran Strategi Produk

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahun Bawang

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

BAB III METODE PENELITIAN. ke konsumen membentuk suatu jalur yang disebut saluran pemasaran. Distribusi

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

III KERANGKA PEMIKIRAN

BPS PROVINSI LAMPUNG A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN MEI 2015 SEBESAR 99,24

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN. diperlukan langkah-langkah strategis yaitu mendesain (menyusun) metode. sampai pada beberapa poin simpulan sebagai berikut:

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A

I. PENDAHULUAN *

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Pengembangan Rumput Laut Sulawesi Selatan Rumput laut merupakan salah satu komoditi budidaya laut yang potensial karena mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Rumput laut merupakan salah satu komoditi perdagangan internasional yang telah di ekspor di lebih dari 35 negara disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Potensi budidaya rumput laut di Indonesia terdapat di 15 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Keragaman jenis rumput laut merupakan gambaran potensi rumput laut Indonesia. Dari 782 jenis rumput laut di perairan Indonesia, hanya 18 jenis dari 5 genus yang sudah diperdagangkan. Dari kelima marga tersebut, hanya genus Eucheuma dan Gracilaria yang sudah dibudidayakan. Keberhasilan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh kondisi perairan, contohnya jenis rumput laut Gracilaria sp, dapat dibudidayakan di muara sungai atau di tambak. Hal ini terjadi karena tingkat toleransi hidup yang tinggi. Jenis rumput laut ini dapat dibudidayakan secara polikultur dengan bandeng atau udang karena ketiganya memerlukan kondisi perairan yang sama untuk kelangsungan hidupnya. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia yang mana sekitar 53 persen produksi rumput laut Indonesia berasal dari Sulawesi Selatan. Produksi rumput laut daerah tersebut selain di ekspor, sebagian digunakan untuk memenuhi permintaan industry dalam negeri. Jenis rumput laut yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah jenis Eucheuma cottoni yang dibudidayakan di pesisir pantai dan jenis Gracilaria sp yang dibudidayakan di tambak (Basmal dan Irianto, 2006). Potensi produksi perikanan terutama rumput laut di Sulawesi Selatan cukup besar yakni sekitar 418 345.8 ton per tahun. Selain potensi produksi yang

10 cukup besar, sumberdaya manusianya yang bergerak di bidang budidaya laut dan tambak juga cukup besar yakni mencapai 50 755 rumah tanggga perikanan (BPS, 2008). Pengembangan budidaya rumput laut di Sulawesi Selatan mempunyai prospek yang sangat besar karena rumput laut jenis Gracilaria sp dan Eucheuma cottoni merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya yang sangat luas yang sangat berguna sebagai bahan makanan maupun bahan baku berbagai produk seperti bahan baku industri agar-agar, keragenan, alginat dan fulselaran. Produk hasil ekstraksi rumput laut banyak digunakan sebagai bahan pangan, bahan tambahan atau bahan campuran dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, kertas, cat dan lain-lain, bahkan rumput laut juga digunakan sebagai pupuk dan komponen pakan ternak atau ikan. Semakin meningkatnya penggunaan ekstrak rumput laut di berbagai industry akan meningkatkan pula permintaan produksi rumput laut tersebut. Kendala yang dihadapi dalam memenuhi permintaan tersebut tidaklah cukup hanya mengandalkan hasil panen alam saja, akan tetapi harus diusahakan sistem produksi yang lebih baik melalui cara budidaya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sobari (1993) mengatakan bahwa pada kondisi aktual, usahatani rumput laut belum memberikan tingkat keuntungan maksimum jangka pendek bagi petani yang mana penggunaan input tidak tetap secara keseluruhan belum optimal atau para petani belum memperoleh manfaat terbaik dalam usahanya mengalokasikan biaya yang ada. Keuntungan usahatani rumput laut yang diperoleh petani masih bias ditingkatkan dengan meningkatkan skala usahanya, dan faktor input tetap seperti luas lahan dan modal. Demikian pula dengan prospek lahan budidaya yang dapat diusahakan untuk rumput laut masih sangat besar. Luas lahan yang dapat diusahakan untuk budidaya jenis Gracilaria sp pada lahan tambak seluas 50 021 hektar dan Eucheuma cottoni seluas 193 700 hektar di sepanjang 1 973 kilometer garis pantai. Budidaya rumput laut jenis Gracilaria sp di tambak realisasinya masih sangat rendah yaitu 15 144.8 ton per tahun bila dibandingkan dengan potensi lahan yang ada. Hal ini disebabkan masih adanya kendala yang berkaitan dengan

11 jenis tambak di masing-masing daerah. Menurut hasil penelitian bahwa lahan tambak yang cocok untuk budidaya Gracilaria sp adalah lahan dengan jenis tanahnya lempung berpasir dan lokasinya berbatasan dengan pantai sebagai sumber air. Sedangkan potensi lahan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottoni sekitar 193 700 hektar dan baru terealisasi sekitar 6.2 hektar dengan produksi total sekitar 403 201 ton per tahun. Hal ini disebabkan karena kurangnya modal kerja yang miliki oleh petani/nelayan. Masyarakat banyak yang melakukan budidaya rumput laut Eucheuma cottoni karena teknologi yang mudah, cepat panen, tidak padat modal, menyerap tenaga kerja dan harga yang tinggi (Nurdjana, 2006). 2.2. Struktur Pasar Kohls et al (2002), struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari banyaknya jumlah penjual, produk yang homogen, kemudahan perusahaan baru untuk masuk pasar, dan kemampuan dalam menentukan harga. Penelitian untuk melihat struktur pasar sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah kajian Kurniawan (2003), Hukama (2003), Slameto (2003), dan Muslim et al. (2008). Kurniawan (2003) mengemukakan bahwa karakteristik struktur pasar gaharu dapat diketahui melalui beberapa faktor yaitu: (1) jumlah pencari dan pedagang/pengumpul gaharu di setiap level pemasaran, dan (2) kemudahan untuk keluar masuk pasar gaharu. struktur pasar gaharu baik ditingkat kelembagaan pengumpul maupun pedagang kota adalah oligopsoni. Hukama (2003), mengidentifikasi struktur pemasaran jambu mete dengan melihat jumlah penjual dan pembeli (lembaga pemasaran) yang terlibat, praktek penentuan harga dan hambatan keluar masuk pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah oligopsoni. Muslim etal.(2008) menganalisis struktur pasar dengan melihat pangsa pasar dan hambatan masuk pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar industri minyak sawit di Indonesia adalah oligopoli. Delele (2010) mengidentifikasi struktur pasar kapas dengan melihat konsentrasi pasar, dan

12 hambatan masuk pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah oligopoli.slameto (2003) menganalisis struktur pasar dengan melihat lembaga pemasaran dan kondisi keluar masuk pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar yang terbentuk yaitu oligopoli. Menurut Effendi (1998) dalam penelitiannya tentang sistem tataniaga komoditas cabai merah, bahwa sistem pemasran yang terjadi belum efisien. Hal ini disebabkan terdapatnya kesulitan bagi petani maupun pedagang untuk keluar atau masuk dalam sistem tataniaga. Berdasarkan uraian tersebut maka untuk menganalisis struktur pasar digunakan karakteristik: (1) jumlah lembaga pemasaran, dan (2) hambatan masuk pasar. Slameto (2003) melihat struktur pasar dari penentuan harga, seharusnya penentuan harga merupakan ukuran untuk menganalisis perilaku pasar. 2.3. Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan tingkah laku dari perusahaan atau usahatani di dalam struktur pasar, khususnya berkaitan dengan bentuk-bentuk keputusan apa yang harus diambil petani maupun pelaku pemasaran dalam struktur pasar yang berbeda. Pengetahuan dalam pelaksanaan pasar untuk memahami bagaimana proses mengalirnya barang tersebut dari produsen sampai ke tangan konsumen. Ada empat hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan perilaku pasar, yaitu : (1) Bagaimana barang tersebut membentuk harga. Pembentukan harga ini terkait dengan perlakuan-perlakuan tambahan (pemilikan dan standarisasi) sehingga barang tersebut mempunyai nilai yang tinggi, (2) Apakah barang tersebut dikenakan pajak yang sama atau berbeda, (3) Apakah perdagangan sehat terjadi produk yang sama, dan (4) Apakah dalam menganalisis barang dari produsen ke konsumen diperlukan perlakuan-perlakuan khusus agar kualitas produk memenuhi selera konsumen. Slameto (2003) menganalisis perilaku pasar dilihat dari praktek pembelian dan penjualan, proses penentuan dan pembentukan harga, dan praktek-praktek dalam menjalankan fungsi pemasaran. Hukama (2003), perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan serta praktek-praktek dalam menjalankan fungsi pemasaran.

13 Adanya pencampuran kacang mete, pengurangan timbangan, pengisian kacang mete yang tidak utuh dalam kemasan merupakan praktek-praktek ketidakjujuran yang dilakukan oleh pedagang. Andarias et al. (2003) melakukan penelitian analisis tataniaga dan pilihan kelembagaan pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung. Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku pasar tembakau ditentukan oleh konsumen yaitu perusahaan rokok dan pedagang besar. Struktur pasar yang terbentuk oligopsoni. Distribusi keuntungan tidak merata. Maka, pemasaran tembakau di kabupaten belum efisien. Kurniawan (2003) mengemukakan bahwa perilaku pasar yang ditunjukkan oleh lembaga pemasaran menghasilkan bentuk kelembagaan pemasaran dengan sistem patron-klien. Sistem ini terjadi karena adanya hubungan ketergantungan dan kontrak dagang. Perilaku patron dalam kelembagaan pemasaran gaharu cenderung eksploitatif kepada kliennya, baik dalam hal tenaga kerja maupun maksimisasi keuntungan. Klien yang diperlakukan tidak adil dalam proses penilaian kualitas gaharu akibat tidak adanya standar baku merespon dengan mengurangi loyalitasnya kepada patron, sehingga perilaku ini telah menimbulkan moral hazard. Uraian diatas menunjukkan bahwa untuk menganalisis perilaku pasar dapat dilihat dari praktek penjualan dan pembelian, praktek dalam menjalankan fungsi pemasaran, adanya hubungan ketergantungan dan kontrak dagang. 2.4. Keragaan Pasar Keragaan pasar adalah hasil akhir yang dicapai sebagai akibat dari penyesuaian pasar yang dilakukan oleh lembaga pemasaran (Dahl et al., 1977). Keragaan pasar timbul akibat adanya struktur pasar dan perilaku pasar biasanya terkait dengan harga, biaya dan volume produksi yang menentukan suatu sistem pemasaran. Keragaan pasar dapat diketahui dari tingkat harga yang terbentuk di pasar serta penyebaran harga ditingkat produsen sampai konsumen. Untuk mengukur keragaan pasar, Dongoran (1998) menggunakan analisis margin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang pengecer di jatinegara memperoleh marjin pemasaran tertinggi yaitu

14 sebesar 30.53 persen dari harga jual. Lalu diikuti oleh pasar pengecer Tanah Abang sebesar 25.50 persen dari harga jual. Marjin terendah diperoleh pedagang grosir di Pasar Induk Kramat Jati sebesar 18.18 persen dari harga jual. Hasil analisis keterpaduan pasar komoditas cabe merah besar dari Pasar Induk Kramat Jati ke pasar pengecer Jatinegara dan Tanah Abang bahwa tidak adanya keterpaduan pasar antara lembaga pemasaran tingkat pedagang grosir dengan pedagang pengecer baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini disebabkan harga yang terbentuk di tingkat pedagang grosir lebih dipengaruhi oleh harga lag ditingkat grosir itu sendiri daripada harga ditingkat pengecer. Penelitian Kumaat (1992), pada sistem pemasaran sayuran dataran tinggi, menggunakan analisis marjin pemasaran, korelasi harga, dan elastisitas transmisi harga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produsen sayuran kubis menerima 53 persen dari harga di tingkat pengecer. Sedangkan pengecer menerima margin bersih sebesar 20 persen dari harga eceran. Kedudukan produsen menghadapi pasar bersaing tidak sempurna, terdapat perubahan harga di tingkat produsen lebih besar dari perubahan harga di tingkat konsumen. Hukama (2003) menganalisis keragaan pasar dari farmer s share dan keterpaduan pasar. Keuntungan pemasaran yang sebagian besar masih dinikmati oleh para pedagang. Hal ini disebabkan karena farmer s share yang belum adil ditinjau dari aspek resiko karena petani masih menanggung resiko yang paling besar dibandingkan dengan pelaku pasar lainnya. Besarnya dominasi pedagang besar dalam menentukan harga ditinjau dari analisis keterpaduan pasar kacang mete sehingga menempatkan petani sebagai penerima harga (price taker). Slameto (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Produksi Penawaran dan Pemasaran Kakao, mengatakan bahwa keragaan pasar dapat diukur dengan menganalisis margin pemasaran, farmer s sharedan keterpaduan pasar. Keragaan pasar yang belum baik dimana hubungan pasar kakao rakyat antara pasar lokal (petani) sebagai produsen dan pasar acuan (eksportir) yang cenderung kurang padu sehingga harga yang terjadi pada pasar eksportir tidak ditransmisikan secara sempurna pada tingkat petani, meskipun demikian saluran tataniaga yang paling efisien bagi petani terjadi pada petani yang menjualnya produknya pada pedagang pengumpul tingkat kecamatan kemudian ke eksportir

15 yang ditunjukkan lebih tingginya bagian harga yang diterima petani dan rendahnya nilai margin pemasaran. Ma mun (1985) dalam penelitiannya tentang pemasaran kentang dan kubis diperoleh bahwa pemasaran kentang relatif lebih efisien dibandingkan dengan kubis, khususnya pada tingkat borongan. Efisiensi ini dilihat berdasarkan marjin pemasaran dan koefisien korelasi harga di Jawa Barat. Kenaikan atau penurunan harga di pasar pusat produksi akan diikiuti pula oleh kenaikan atau penurunan harga di pasar pusat konsumsi. Fungsi informasi pasar dalam pemasaran kentang dan kubis sangat penting, khususnya dalam menilai faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pemasaran. Diperoleh pula bahwa faktor-faktor yang berpengaruh positif dan nyata bagi efisien pemasaran kentang adalah ukuran pasar, jumlah pedagang borongan dan jumlah penduduk. Sedangkan bagi kubis adalah persentase yang dipasarkan dan jumlah pedagang borongan. Tobing (1989), dalam penelitiannya mengenai komoditas bawang merah di peroleh hasil bahwa dari harga rata-rata yang berlaku, petani memperoleh bagian yang cukup besar yaitu 48 persen. Namun demikian tingkat harga masih banyak dipengaruhi oleh musim. Dari sudut besarnya margin pemasaran, pedagang grosir memperoleh bagian tertinggi dibandingkan pedagang pengumpul, pedagang perantara dan pedagang pengecer. Hal ini disebabkan pedagang besar dan pengecer di Medan mendapat saingan bawang merah asal impor dari pulau Jawa, Muangthai dan Filipina. Santika (1981), dalam penelitiannya di Jawa Barat menemukan bahwa distribusi marjin pemasaran komoditas tomat antara pedagang dapat dikatakan sudah merata. Hal ini merupakan dasar tercapainya efisiensi pemasaran, dengan syarat bahwa nilai margin yang merata tersebut tidak mengurangi kepuasan konsumen dan produsen. Distribusi margin pemasaran komoditas kentang dan kubis ternyata tidak merata. Hal ini disebabkan karena belum adanya keseragaman dalam penaganan komoditas sayuran terutama dalam hal sortasi, grading dan pengepakan. Yusrachman (2001), menganalisis sistem pemasaran ikan segar di Pangkalan Pendaratan Ikan, hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar yang berlaku yaitu pasar bersaing tidak sempurna (oligopsoni). Penyebaran margin

belum efisien karena marjin pada setiap lembaga pemasaran tidak merata. Pedagang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga yang terjadi di pasar. Hal ini menunjukkan pemasaran yang tidak efisien. Rasuli et al. (2007), dalam penelitiannya mengenai analisis pemasaran telor itik, menemukan bahwa margin yang diperoleh pedagang pengumpul lebih besar daripada yang di terima produsen. Hal ini disebabkan karena adanya pemberian harga yang tidak layak kepada produsen. Andayani (2007) dalam penelitiannya mengenai analisis Efisiensi Pemasaran Kacang Mete, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai margin pemasaran dari semua pola memberikan hasil yang relatif baik. Hal ini dikarenakan harga yang terjadi di tingkat produsen terhadap harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak terlalu tinggi perbedaannya.