Jurnal Mutiara Pendidikan Indonesia, 10/08 (2016), 14-18

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan salah satu harapan bangsa demi kemajuan Negara, dengan

Pendidikan seksualitas remaja. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada masa remaja umumnya anak telah mulai menemukan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

Rina Indah Agustina ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN HUBUNGAN PERUBAHAN FISIK USIA REMAJA DENGAN RASA PERCAYA DIRI PADA SISWI KELAS 7

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL (PMS) DENGAN JENIS KELAMIN DAN SUMBER INFORMASI DI SMAN 3 BANDA ACEH TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. WHO mendefinisikan, masa remaja (adolence) mulai usia 10 tahun sampai 19

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. dari masalah-masalah kehidupan. Tanpa berpikir panjang mereka melakukan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI DI SMA N COLOMADU

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berdiri di Gorontalo. Terletak persis di tengah-tengah Kota Gorontalo atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. topik yang menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik mengenai masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktivitas seksual remaja juga cenderung meningkat baik dari segi kuanitas

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. habis-habisnya mengenai misteri seks. Mereka bertanya-tanya, apakah

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2001)

BAB I PENDAHULUIAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkat. Remaja menjadi salah satu bagian yang sangat penting terhadap

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BABI PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial secara kodrat mempunyai berbagai

Pentingnya Sex Education Bagi Remaja

RELATION BETWEEN KNOWLEDGE AND ADOLESCENT POSITION ABOUT HIV-AIDS WITH BEHAVIOR OF SEX BEFORE MARRIEDINDIUM SMA PGRI 1 SEMARANG ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri

Volume 4 No. 2, September 2013 ISSN : GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA KELAS VII TENTANG PERUBAHAN SEKS SEKUNDER DI SMP N 1 MAYONG JEPARA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah seksualitas merupakan salah satu topik yang menarik untuk

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

HUBUNGA SEKSUAL SKRIPSII. Diajukan Oleh: F HUBUNGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja adalah suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB I PENDAHULUAN. (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMA NEGERI 1 PALU Oleh: Rizal Haryanto 18, Ketut Suarayasa 29,

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS DENGAN SIKAP REMAJA SISWA KELAS XI TERHADAP SEKS DI SMA N 1 SOLOK TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Seks bebas adalah hubungan seksual terhadap lawan jenis maupun

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman membuat manusia harus bisa beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. antara 10 hingga 19 tahun (WHO). Remaja merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB 1 PENDAHULUAN. ketertarikan mereka terhadap makna dari seks (Hurlock, 1997). media cetak maupun elektronik yang berbau porno (Dianawati, 2006).

(e) Uang saku rata-rata perbulan kurang dari Rp ,- (64,8%) dan sisanya (35,3%) lebih dari Rp per bulan.

BAB I PENDAHULUAN. akurat khususnya teman (Sarwono, 2006). menarik secara seksual, apakah mereka akan bertumbuh lagi, apakah orang

Dinamika Kebidanan vol. 2 no.2. Agustus 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepulauan Karimunjawa merupakan wilayah Kecamatan dari Kabupaten Jepara,

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa kanak kanak ke masa dewasa, terutama perubahan alat reproduksi.

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanakkanak. menjadi masa dewasa. Masa transisi ini kadang

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tentang kesehatan reproduksi ini penting untuk. diberikan kepada remaja, melihat semakin meningkatnya kasus-kasus remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

Transkripsi:

1, 10/08 (2016), 14-18 Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015 Ruth Donda Eleonora Panggabean Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sari Mutiara Indonesia Email : ruth_panggabean@yahoo.com Abstrak Pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek- aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015. Tujuan penelitian ini adalah Untuk Mengetahui Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015. Jenis rancangan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional, dimana pengukuran dan pengamatan terhadap subjek penelitian dilakukan sekali pengamatan. Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh siswa Kelas II SMA HKBP I Tarutung sebanyak 60 orang yang keseluruhannya dijadikan sebagai sampel. Berdasarkan hasil uji chisquare, diperoleh nilai p value sebesar 0,029 yang artinya ada hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA HKBP 1 Tarutung Tahun 2015. Kepada Remaja agar aktif mengikuti penyuluhan dari tenaga kesehatan tentang pemberian pendidikan seks sejak dini agar tidak mengalami penyakit menular seksual. sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan remaja dalam pendidikan seks sejak dini dan Kepada tenaga kesehatan juga agar dapat meningkatkan penyuluhan tentang Pendidikan seks sejak dini kepada remaja. Kata Kunci : Pendidikan Seks, Perilaku Seksual, Remaja PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Sifat-sifat peralihan tersebut terlihat jelas karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak memiliki status anak-anak dalam menemukan identitas dirinya, para remaja memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar terutama untuk mencoba hal-hal yang baru, termaksud juga informasi seksual. Pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau sumber yang tidak jelas (Glevinno, 2008). Sering kali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan sebagainya. Masalahnya sekarang, kita tidak pernah berhenti dengan hanya menyatakan bahwa mendefinisikan remaja itu sulit. Sulit atau mudah, masalah-masalah yang menyangkut kelompok remaja kian hari kian bertambah. Berbagai tulisan, ceramah, maupun

15 seminar yang mengupas berbagai segi kehidupan remaja, termasuk kenakalan remaja, perilaku seksual remaja, dan hubungan remaja dengan orang tuanya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan oleh masyarakat (Sarwono, 2007). Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada perkembangan jiwa remaja yang adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh sehingga menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks (Sarwono 2007). Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar 20% sampai 30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks (DUTA, Edisi No. 230/ Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (persentase) yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada data yang tercatat (Pasti, 2008). Berdasarkan sumber dari Hanifah (2000), bahwa beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukan adanya penurunan batas usia hubungan seks pertama kali. Menurut 1 Iskandar (1998) sebanyak 18% responden di Jakarta berhubungan seks pertama di bawah usia 18 tahun dan usia termuda 13 tahun. Sedangkan menurut Utomo (1998), menyatakan bahwa remaja Manado yang sudah aktif secara seksual, melakukan hubungan seks pertama pada usia di bawah 16 tahun sebanyak 56,8% pada remaja pria dan 33,3% pada remaja putri (Sarwono, 2007). Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan Ginekologi, menyatakan bahwa penyebabnya antara lain maraknya pengedaran gambar dan VCD porno, kurangnya pemahaman akan nilai-nilai agama, keliru dalam memaknai cinta, minimnya pengetahuan remaja tentang seksualitas serta belum adanya pendidikan seks secara reguler hingga formal di sekolah-sekolah. Itulah sebabnya informasi tentang makna hakiki cinta dan adanya kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah mutlak di perlukan (Pasti, 2008). Harus diakui, sampai saat ini di kalangan masyarakat tertentu, bebicara soal seks masih dianggap masalah yang tabu. Seks belum menjadi wacana publik. Oleh karena itu, jarang sekali di jumpai pembicaraan perihal seks secara terbuka. Namun disisi lain (fakta yang tidak terbantahkan), masalah seks juga berjalan terus. Untuk itu, sosialisasi pemahaman tentang makna cinta dan perlunya kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah sangat perlu sebagai salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk memfilter perilaku destruktif seksual remaja (Pasti, 2008). Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada masa remaja, informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber-sumber yang tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi mengenai aktifitas seksual mereka sendiri.

16 Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008). Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang. Faktor ini ditambah dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar seks, VCD porno, situr porno di internet, dan lainnya akan membuat pemahaman dan persepsi anak tentang seks menjadi salah. Pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu pendidikan seksual dalam arti luas yang meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, diantaranya aspek biologis, orientasi, nilai sosiokultur dan moral serta perilaku. Di era globalisasi sekarang ini pengenalan seks sejak dini dirasa cukup penting, mengingat anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah, buku, TV, VCD dan Internet. Sebagai orang tua, tentunya tidak menginginkan anak-anaknya mencari pengetahuan tentang seks dengan caranya sendiri seperti mengakses situs-situs porno atau menonton VCD porno dan lain-lain (Dianawati, 2007). Berdasarkan hasil pra survei dan wawancara tentang pemberian pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja yang peneliti lakukan kepada 20 siswa dan siswa/i SMA HKBP I Tarutung secara keseluruhan di dapat sebanyak 8 orang mengetahui tentang arti pentingnya pendidikan seks, dan 12 orang mengatakan belum pernah mendapatkan informasi tentang pendidikan seks dan mereka mengatakan tabu untuk tidak membicarakan hal tersebut. Pendidikan remaja dapat dilakukan dimana saja asalkan nyaman buat pendidik sebaya dan kelompoknya. Kegiatan tidak harus dilakukan di ruangan khusus tetapi bisa dilakukan di teras mesjid, di bawah pohon yang rindang, di ruang kelas yang sedang tidak di pakai dan sebagainya. Tempat pendidikan sebaya sebaiknya tidak ada orang lalu lalang dan jauh dari kebisingan sehingga diskusi bisa berlangsung tanpa gangguan. METODE PENELITIAN Jenis rancangan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional, dimana pengukuran dan pengamatan terhadap subjek penelitian dilakukan sekali pengamatan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Kelas II SMA HKBP I Tarutung sebanyak 60 orang. Untuk mengukur perilaku seksual pada remaja diberi 10 pertanyaan, setiap jawaban yang benar diberi skor 1 dan setiap jawaban yang salah diberi skor 0. Maka skor tertinggi 10 dan skor terendah 0 (Sudjana, 2005). Pengolahan data Editing data Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan pada setiap pertanyaan pada kuisioner yang telah di isi, apakah jawaban telah lengkap, jelas, dan relevan. Coding data Merupakan kegiatan mengubah data dari berbentuk huruf menjadi data berupa angka. Tujuannya adalah untuk memberkan kode pada setiap pertanyaan yang sudah terkumpul, yang dilakukan oleh peneliti sendiri untuk mempermudah pada saat analisis data. Variabel yang dikoding adalah umur : 1=16 tahun, 2=17 tahun, 3=18 tahun. Jenis kelamin yaitu 1=laki-laki, 2 = perempuan

17 Entry data Merupakan proses memasukkan data ke dalam program komputer untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Analisa Data Analisis Univariat Analisis univariat yaitu melakukan analisis pada setiap variable hasil penelitian dengan tujuan untuk mengetahui distribusi pada setiap variabel penelitian. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel bebas dan variabel terikat, dengan melakukan uji statistik Chi Square. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015 No Umur Frekuensi % 1 16 tahun 14 23.3 2 17 tahun 33 55.0 3 18 tahun 13 21.7 No Jenis Frekuensi % Kelamin 1 Laki-laki 24 40.0 2 Perempuan 36 60.0 Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa umur responden mayoritas 17 tahun sebanyak 55,0%, jenis kelamin responden mayoritas perempuan sebanyak 36%. Pemberian Pendidikan Seks Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015 No Pemberian Frekuensi % Pendidikan Seks 1 Diberikan 23 38.3 2 Tidak diberikan 37 61.7 Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa pemberian pendidikan seks mayoritas tidak diberikan sebanyak 61,7%. Perilaku Seksual Pada Remaja Tabel 3. Distribusi Frekuensi Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015 No Perilaku Seksual Frekuensi % Pada Remaja 1 Baik 9 15.0 2 Cukup 21 35.0 3 Kurang 30 50.0 Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa perilaku seksual pada remaja mayoritas kurang sebanyak 50,0%. Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Tabel 4. Distribusi Frekuensi Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja di SMA HKBP I Tarutung Tahun 2015

18 Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa dari 38,3% yang diberikan pendidikan seks terdapat 16,7% perilaku seksual pada remaja yang kurang. Dari 61,7% yang tidak diberikan pendidikan seks terdapat 33,3% perilaku seksual remaja yang kurang. Berdasarkan hasil uji chisquare, diperoleh nilai p value sebesar 0,029 yang artinya ada hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA HKBP 1 Tarutung Tahun 2015. Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 38,3% yang diberikan pendidikan seks terdapat 16,7% perilaku seksual pada remaja yang kurang. Dari 61,7% yang tidak diberikan pendidikan seks terdapat 33,3% perilaku seksual remaja yang kurang. Perilaku responden yang kurang ini dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner responden, dimana masih terdapat responden yang kurang mengerti seperti Remaja sebaiknya diberikan pengetahuan tentang pendidikan seks di sekolah supaya terhindar dari penyakit menular seksual, Pendidikan seks adalah merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks dan Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang disorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang. Faktor ini ditambah dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar seks, VCD porno, situr porno di internet, dan lainnya akan membuat pemahaman dan persepsi anak tentang seks menjadi salah. Pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu pendidikan seksual dalam arti luas yang meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, diantaranya aspek biologis, orientasi, nilai sosiokultur dan moral serta perilaku. Di era globalisasi sekarang ini pengenalan seks sejak dini dirasa cukup penting, mengingat anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah, buku, TV, VCD dan Internet. Sebagai orang tua, tentunya tidak menginginkan anak-anaknya mencari pengetahuan tentang seks dengan caranya sendiri seperti mengakses situs-situs porno atau menonton VCD porno dan lain-lain (Dianawati, 2007). Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa perilaku seksual pada remaja mayoritas kurang sebanyak 50,0%. Menurut asumsi peneliti, kurangnya perilaku seksual remaja, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman serta informasi yang diperoleh oleh remaja tentang perilaku seksua pada remaja sehingga masih banyak remaja yang tidak mengetahui tentang dampak dari pola perilaku seksual yang dapat mengakibatkan penyakit menular seksual. Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada masa remaja, informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber-sumber yang tidak jelas.

19 Hal ini sesuai dengan pendapat Glevinno (2008) yang mengatakan bahwa Pemberian informasi masalah seksual sangat penting bagi remaja terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi mengenai aktifitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat. Berdasarkan hasil uji chisquare, diperoleh nilai p value sebesar 0,029 yang artinya ada hubungan pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA HKBP 1 Tarutung Tahun 2015. Hal ini sesuai dengan penelitian Yanti (2008) yang mengatakan bahwa ada hubungan pemberian seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja, dimana nilai p value sebesar 0,034. Dalam penelitiannya ini mengatakan bahwa pemberian pendidikan seks sejak dini sangat penting dan perlu diketahui oleh remaja demi masa depannya dalam menghadapi pergaulan bebas. Hal ini terjadi karena dengan adanya pemberian seks sejak dini ini maka remaja tersebut tidak akan mendapatkan informasi yang salah dari sumber-sumber yang tidak jelas, serta akan mempengaruhi perilaku remaja menjadi baik. KESIMPULAN 1. Pemberian pendidikan seks mayoritas tidak diberikan sebanyak 61,7%. 2. Perilaku seksual pada remaja mayoritas kurang sebanyak 50,0%. 3. Ada hubungan pemberian pendidikan seks Saran sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja dimana nilai p value sebesar 0,029. 1. Kepada remaja agar aktif membaca buku tentang pendidikan seks sejak dini, dan dampak dari pada perilaku seksual sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan remaja itu sendiri. 2. Kepada tenaga kesehatan juga agar dapat meningkatkan penyuluhan tentang Pendidikan seks sejak dini kepada remaja dengan cara datang ke sekolah dan memberikan pengertian dan arahan terkait dengan perilaku seks pada remaja. 3. Kepada pihak sekolah seperti guru agar dapat memberikan sosialisasi kepada siswa/i tentang pentingnya pendidikan seks bagi remaja sehingga pemahaman dan pengetahuan remaja menjadi baik. DAFTAR PUSTAKA Dianawati, 2007, Kesehatan. Pendiikan Seks, Jurnal Glevinno, A. 2008. Remaja dan Seks. Jurnal Kesehatan. Hanifah, 2000, Usia Hubungan Seks Pertama Kali, Jurnal Kesehatan Pasti, Y. P. 2008. Memotret Perilaku Seks Remaja. Jurnal Kesehatan. Sarwono, S. W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sudjana. 2005. Statistik Kesehatan. Bandung : Tartsito. Yanti, 2008, Hubungan Pemberian Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku

20 Seksual Pada Remaja, Jurnal Kesehatan.