BAB I PENDAHULUAN. menghambat partisipasi aktif dan efektif dalam masyarakat, artinya individu yang memiliki

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan ibu berperan di dapur

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang penting bagi manusia, namun tidak semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kusta atau Leprae merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Catatancatatan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

BAB I PENDAHULUAN. otak atau ke bagian otak tertentu. Stroke dapat menyebabkan kerusakan permanen

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wanita mempunyai kecenderungan untuk mencari dan menemukan

Angket Optimisme. Bayangkan anda mengalami situasi yang tergambar dalam setiap. persoalan, walaupun untuk beberapa situasi mungkin anda belum pernah

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. dianggap penting. Melalui pendidikan, individu dapat belajar. pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa era globalisasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun atau sistem pertahanan tubuh. Sistem imun ini berupa antibodi, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejak tahun 2004 hingga 2010,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ( Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi gangguan fungsi otak sebagian atau menyeluruh sebagai akibat dari

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif.

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Meningkatkan optimisme siswa menguasai materi pelajaran matematika di Kelas

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut biasanya sudah memikirkan dan merencanakan banyak hal dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan.

BAB I PEDAHULUAN. Banyak orang rela mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak sedikit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sempurna. Ada sebuah. ungkapan yang mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dari golongan ekonomi kelas atas saja, tapi juga sudah masuk kedalam

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pendengaran merupakan sensori terpenting untuk perkembangan bicara

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

DUKUNGAN SOSIAL PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA USIA REMAJA DI BANYUMAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kompas, 30 November 2002 Yayasan Priangan Bandung

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pensiunan adalah seseorang yang (biasanya) dikarenakan faktor usia,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dimana semua bidang industri berkembang pesat. Salah satu bidang

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi merupakan hakhak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berbagai kesempurnaan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. orang, yaitu adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu penyakit serebrovaskuler yang menjadi sebab

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling. 1. Berusia dewasa madya antara tahun.

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), disabilitas merupakan hasil interaksi antara keterbatasan fungsi individu dengan kondisi lingkungan sekitar yang menghambat partisipasi aktif dan efektif dalam masyarakat, artinya individu yang memiliki keterbatasan fungsi (impairment) akan menjadi disabilitas ketika berhadapan dengan hambatan lingkungan, yang salah satunya adalah persepsi negatif masyarakat. Dampak disabilitas di berbagai sektor menjadi sebuah fenomena yang kompleks ketika kebutuhan individu dengan keterbatasan fungsi tidak terakomodasi oleh lingkungannya, sehingga akses untuk mendapatkan pelayanan publik menjadi terbatas dan menghambat partisipasi penyandang disabilitas, salah satunya dalam kegiatan sosial ekonomi. Meningkatnya angka kemiskinan salah satunya merujuk pada rendahnya partisipasi penyandang disabilitas yang tidak memperoleh pendidikan layak dan kesempatan kerja yang sama dengan orang non disabilitas. Disabilitas merujuk pada hambatan dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan individu pada umumnya, misalnya ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Salah satu jenis individu dengan disabilitas adalah penyandang tunarungu. Menurut Moores (dalam Mangunsong, 2009), definisi ketunarunguan adalah kondisi di mana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat dan intensitas. Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, diperkirakan jumlah penyandang tunarungu sebesar 1,25% dari total jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 2,9 juta jiwa dari total kurang lebih 250 juta jiwa. 1

2 Secara ilmiah, keadaan tunarungu dapat disebabkan oleh banyak faktor yang terjadi sebelum kelahiran (pre-natal), saat kelahiran (natal) atau setelah kelahiran (post-natal). Hal-hal yang mempengaruhi saat kehamilan atau sebelum kelahiran misalnya faktor bawaan ibu atau genetik, keracunan atau penyakit yang menyerang ibu selama masa kehamilan. Bayi lahir dalam keadaan prematur atau penggunaan vacuum saat proses kelahiran juga berpotensi menyebabkan gangguan sistem pendengaran. Beberapa penyakit seperti radang selaput otak atau meningitis dan infeksi saluran pernapasan yang menyerang bayi atau ketika usianya telah beranjak juga dapat menyebabkan gangguan (www.bisamandiri.com diakses pada 14 Juni 2016) Secara kasat mata, masalah utama yang dialami penyandang tunarungu adalah masalah komunikasi. Masalah ini berpangkal dari kesulitan penyandang tunarungu untuk menyampaikan ide, pikiran, perasaan, kebutuhan, dan kehendaknya pada orang lain, yang sering mengakibatkan penyandang tunarungu merasa kesepian (Mangunsong, 2009). Jika dikaitkan dengan tugas perkembangan, berbagai hambatan dan keterbatasan penyandang tunarungu tentu saja sedikit banyak berpengaruh pada pemenuhan setiap tugas perkembangan, misalnya mandiri secara ekonomi dan mandiri dalam membuat keputusan di usia dewasa awal (Santrock, 2012). Masalah komunikasi yang dialami penyandang tunarungu umumnya membuat mereka cenderung lebih dependen terhadap orang lain, terpusat pada hal yang lebih konkrit, umumnya mudah marah dan lekas tersinggung, serta kurang mempunyai konsep tentang hubungan sehingga mereka memiliki karakter yang sulit dipahami. Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan seringkali menyebabkan penyandang tuna rungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah, dan ini sering mengakibatkan tekanan bagi emosinya (Van Uden, 2005). Saat berkomunikasi dengan penyandang tunarungu, orang non disabilitas harus menggunakan katakata maupun istilah sederhana yang umum dan gerakan bibir yang jelas. Ketika penyandang

3 tunarungu salah menafsirkan maksud seseorang, mereka dapat menjadi sangat sensitif dan mudah marah yang diekspresikan dengan tindakan agresi, karena tidak mampu mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata, begitupun juga sulitnya orang non disabilitas untuk memahami maksud penyandang tunarungu karena ketidakmampuan penyandang tuna rungu untuk mengungkapkannya secara jelas. Kesulitan memahami dan dipahami yang dialami penyandang tunarungu berpotensi membuat mereka merasa tertekan. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan kepribadiannya dan membuat mereka menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan (Somantri, 2006). Di dunia kerja, keterbatasan penyandang tunarungu dalam mendengar sekaligus berbicara mengakibatkan sulitnya penyampaian dan pemrosesan informasi maupun tugas yang memengaruhi kinerja mereka sehari-hari sehingga membuat mereka seringkali dianggap tidak berdaya, lemah, dan kurang produktif oleh orang non disabilitas. Hal ini bisa jadi mempengaruhi cara pandang penyandang tunarungu terhadap dirinya sendiri menjadi semakin negatif serta tidak terdorong untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik jika terus menerus memperoleh stigma negatif dari masyarakat (Arifin, 2007), misalnya ketika penyandang tunarungu sering ditegur oleh atasan karena kurang maksimal dalam menyelesaikan pekerjaan atau lambatnya memahami tugas yang harus dikerjakan. Stigma negatif dari masyarakat dalam kehidupan sehari-hari juga ditunjukkan melalui seringnya penyandang tunarungu diperlakukan secara berbeda, misalnya sulitnya penyandang tunarungu memperoleh surat izin mengemudi (SIM) karena penyandang disabilitas dipandang tidak layak mendapatkan SIM. Kombinasi antara karakteristik penyandang tuna rungu dan reaksi lingkungan terhadap mereka yang seringkali negatif bukanlah kondisi yang mudah dilalui apalagi dalam upaya

4 memenuhi tugas-tugas perkembangan penyandang tunarungu pada masa dewasa awal, padahal pemenuhan tugas-tugas perkembangan sangatlah penting untuk membangun konsep diri seseorang, apalagi di masa dewasa awal yang menjadi tonggak transisi seseorang ke masa dewasa. Keterbatasan penyandang tunarungu dalam mendengar dan berbicara membuat mereka seringkali mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak, umumnya perusahaan atau tempat kerja mau menerima mereka karena pegawai mereka merekomendasikan penyandang tunarungu untuk diterima atau karena rasa kasihan. Selain itu, terkadang penyandang tunarungu dibayar dengan upah yang sangat minim dibawah gaji pegawai lain. Keadaan itu seringkali memberatkan penyandang tunarungu, namun mereka seakan tidak memiliki pilihan lain, karena jika mereka tidak bersedia menerima perlakuan tersebut, mereka pun akan kesulitan mencari pekerjaan di tempat lain. Hal ini terjadi di salah satu yayasan sosial yang menjadi wadah bagi penyandang tunarungu yakni Yayasan Sehjira. Terlepas dari banyaknya kesulitan yang dialami, kekurangan penyandang tunarungu dalam pendengaran bisa jadi memacu mereka untuk berjuang lebih keras dan bukan menjadikan kondisi ketunarunguan alasan bagi mereka untuk gagal dan berputus asa. Menjadi penyandang tunarungu tidak selamanya buruk, mereka tetap berkesempatan mengembangkan diri seperti orang pada umumnya, hanya saja membutuhkan usaha yang lebih. Kurangnya kemampuan pendengaran dapat menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi penyandang tunarungu tergantung cara pandang penyandang tunarungu dalam menghayati kondisi ketunarunguan yang mereka alami. Setiap penyandang tunarungu memiliki cara pandang tertentu menghadapi kejadian baik (good situation) maupun kejadian buruk (bad situation) terkait kondisi ketunarunguan yang dialami. Bagaimana cara pandang individu dalam menghayati berbagai peristiwa atau kejadian

5 disebut explanatory style. Explanatory style adalah cara pandang yang digunakan seseorang dalam menjelaskan kepada diri sendiri mengapa suatu peristiwa terjadi (Seligman, 1990). Cara pandang atau explanatory style individu inilah yang kemudian akan menentukan bagaimana individu menyikapi berbagai kejadian yang dialami. Explanatory style dijelaskan melalui tiga dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Individu yang memiliki optimistic explanatory style memiliki kecenderungan melihat suatu kejadian atau peristiwa buruk sebagai sesuatu yang tidak berdampak luas, tidak berakibat jangka panjang dan tidak diakibatkan oleh dirinya sendiri, melainkan mencari faktor-faktor di luar dirinya. Individu yang optimis cenderung melihat peristiwa baik sebagai hal yang sifatnya menetap, berdampak luas dan terjadi karena dirinya sendiri (Seligman, 1990). Individu yang optimis memiliki pandangan positif serta mampu menangkap hikmah dari setiap peristiwa, dengan begitu menjadikannya pribadi yang yakin dalam mencapai tujuan. Individu yang optimis memandang suatu masalah sebagai tantangan dan akan melakukan usaha untuk mengatasi halhal yang tidak menguntungkan bagi dirinya serta tidak cepat berputus asa apabila usaha yang dilakukan mengalami kegagalan, sehingga umumnya orang yang optimis lebih bahagia dan terhindar dari stress. Individu yang memiliki pessimistic explanatory style memiliki kecenderungan melihat suatu kejadian atau peristiwa buruk sebagai sesuatu yang berdampak luas dan berjangka panjang serta diakibatkan oleh dirinya sendiri (Seligman, 1990), sehingga seringkali individu yang pesimis seringkali menyalahkan dirinya sendiri. Sebaliknya, saat mengalami peristiwa baik, individu pesimis memandang ini sebagai hal yang sifatnya sementara, spesifik dan disebabkan oleh hal-hal di luar dirinya. Pada akhirnya, individu yang pesimis seringkali terhambat oleh cara

6 pandangnya yang negatif, yang membuatnya kurang berani mengambil resiko dan merasa tidak percaya diri. Individu yang pesimis seringkali mudah menyerah, putus asa, merasa gagal dan tidak mau bangkit lagi ketika mengalami kegagalan hingga menghasilkan perasaan helplessness (Seligman, 1990). Melalui penjelasan di atas, explanatory style menjadi hal yang sangat penting bagi penyandang tunarungu usia dewasa awal, karena masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial yang baru, individu dihadapkan pada peran-peran baru, diantaranya sebagai pencari nafkah dan pasangan hidup (Seligman, 1990). Individu diharapkan mampu mengembangkan sikap dan nilai-nilai baru sesuai tugas baru ini. Kondisi tunarungu yang walaupun dihayati secara berbeda oleh tiap-tiap penyandang, sedikit banyak akan membawa dampak bagi penyesuaian sosial individu. Penyandang tunarungu yang memiliki cara pandang optimis tentu akan bereaksi lebih positif terhadap berbagai kesulitan atau masalah yang dihadapi di usia dewasa awal, dibandingkan penyandang tunarungu yang memiliki cara pandang pesimis, karena nantinya akan berdampak pada berbagai keputusan yang diambil. Penyandang tunarungu yang memiliki optimistic explanatory style diharapkan mampu melihat masalah sebagai suatu tantangan bukan sebagai hambatan menuju kesuksesan, sehingga mampu menyikapinya dengan lapang dada dan percaya diri, misalnya saat penyandang tunarungu kesulitan memperoleh pekerjaan, seharusnya hal ini membuat penyandang tunarungu berusaha lebih keras melihat kemungkinan-kemungkinan lain, bukan membuat mereka merasa terpuruk. Explanatory style penyandang tunarungu dijelaskan melalui tiga dimensi yakni permanence, pervasiveness, dan personalization (Seligman, 1990). Dimensi permanence menitikberatkan kurun waktu, apakah suatu peristiwa atau kejadian bersifat temporer atau

7 menetap, pada peristiwa baik (permanence good (PmG)) atau peristiwa buruk (permanence bad (PmB)). Dimensi pervasiveness menitikberatkan ruang lingkup, apakah dampak suatu peristiwa atau kejadian bersifat spesifik atau menyeluruh, pada peristiwa baik (pervasiveness good (PvG)) atau peristiwa buruk (pervasiveness bad (PvB)). Dimensi personalization menitikberatkan penyebab, apakah suatu peristiwa atau kejadian disebabkan oleh diri sendiri (internal) atau halhal diluar diri (eksternal), pada peristiwa baik (personalization good (PsG)) atau peristiwa buruk (personalization bad (PsB)). Peneliti melakukan wawancara awal terkait bagaimana cara pandang penyandang tunarungu usia antara 20-40 tahun di Yayasan Sehjira mengenai kehidupannya terkait tugastugas perkembangan. Awalnya peneliti menyampaikan beberapa pertanyaan dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami kepada pimpinan Yayasan Sehjira yaitu Pak Bowo, yang kemudian akan disampaikan oleh Pak Bowo kepada anggota-anggota yayasan menggunakan bahasa isyarat sehingga mereka dapat memahami pertanyaan yang diajukan. Di Yayasan Sehjira, yang menjadi masalah utama bagi para anggotanya adalah pekerjaan. Sulitnya mencari pekerjaan selain dilatarbelakangi oleh kondisi ketunarunguan ditambah rendahnya pendidikan mereka karena diskriminasi yang mereka alami di sekolah, dimana tidak semua SLB mengajarkan bahasa isyarat sehingga kebanyakan dari mereka putus sekolah karena tidak mampu mengikuti standar kurikulum di sekolah. Berdasarkan wawancara awal yang telah dilakukan kepada 8 penyandang tunarungu, 2 orang di antara mereka mengatakan tidak menganggap kondisi ketunarunguan mereka mengganggu aktivitas sehari-hari, mereka masih dapat beraktivitas dengan lancar, walaupun sering ditegur di tempat kerja. Mereka tidak menganggap kekurangan mereka berdampak besar bagi kelangsungan hidup mereka. Sebanyak 6 orang mengatakan sebaliknya, keterbatasan

8 pendengaran yang mereka alami sangat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari, membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan atau jika mendapatkan pekerjaan seperti saat ini, mereka digaji dengan upah dibawah pekerja lain dan hal itu mau tidak mau harus mereka terima. Mereka jadi seringkali menyalahkan kondisinya karena mengakibatkan kesulitan dalam hidupnya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin meneliti explanatory style pada penyandang tunarungu di Yayasan Sehjira Bandung, sehingga dapat diketahui apakah para penyandang tunarungu di Yayasan Sehjira cenderung optimis atau pesimis terkait keterbatasan pendengaran yang mereka alami khususnya dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan usia dewasa awal. 1.2 Identifikasi Masalah Melalui penelitian ini ingin diketahui gambaran explanatory style pada penyandang tunarungu di Yayasan Sehjira Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk mengetahui gambaran explanatory style pada penyandang tunarungu di Yayasan Sehjira Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran explanatory style pada penyandang tunarungu di Yayasan Sehjira Bandung ditinjau dari dimensi permanence, pervasiveness, dan personalization.

9 2. Untuk mengetahui gambaran explanatory style pada penyandang tunarungu di Yayasan Sehjira Bandung ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhi explanatory style, yaitu explanatory style ibu, kritik orang dewasa, dan masa krisis atau traumatis. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1. Sebagai masukan pada ilmu Psikologi, dalam bidang ilmu psikologi positif dan psikologi sosial, mengenai explanatory style penyandang tunarungu usia dewasa awal di Yayasan Sehjira Bandung. 2. Sebagai pertimbangan bagi peneliti lain yang ingin meneliti explanatory style pada penyandang tuna rungu atau individu berkebutuhan khusus lainnya. 1.4.2 Kegunaan Praktis - Memberikan gambaran mengenai explanatory style pada penyandang tunarungu dan menyampaikan penjelasan tersebut kepada mereka. Penyandang tunarungu yang optimis diharapkan bisa menjadi contoh bagi penyandang tunarungu yang pesimis, serta bagi penyandang tunarungu yang pesimis diharapkan menjadi lebih aktif, seperti dengan mengikuti berbagai seminar atau workshop tentang pelajaran-pelajaran hidup agar mampu memandang hidup secara lebih positif. 1.5 Kerangka Pemikiran Penyandang tunarungu usia dewasa awal di Yayasan Sehjira adalah individu tunarungu berusia antara 20-40 tahun yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan

10 mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga individu tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari (Murni Winarsih, 2007). Adanya keterbatasan fisik yang dialami penyandang tunarungu usia 20-40 tahun di yayasan tersebut sedikit banyak akan berpengaruh dalam menjalani kehidupan, beraktivitas, termasuk memenuhi tugas-tugas perkembangan. Ketidakmampuan mendengar dan berbicara menyulitkan penyandang tunarungu dalam memilih pasangan hidup, membentuk keluarga, membesarkan anak, mengelola rumah tangga, mandiri secara ekonomi, dan bergabung dengan kelompok sosial yang sesuai, yang merupakan tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal (Santrock, 2012). Para penyandang tunarungu usia dewasa awal di Yayasan Sehjira memiliki masalah yang kurang lebih sama, khususnya dalam hal mencari kerja dan membina rumah tangga. Penyandang tunarungu bisa saja memiliki masalah yang sama, namun belum tentu penghayatan mereka terhadap penyebab masalah tersebut sama. Hal ini dipengaruhi oleh cara pandang penyandang tunarungu dan Seligman menyebut ini sebagai explanatory style. Explanatory style merupakan cara pandang individu terhadap penyebab peristiwa-peristiwa baik (good situation) maupun buruk (bad situation) yang terjadi dalam kehidupannya (Seligman, 1990). Explanatory style seseorang bisa bersifat positif atau optimistic explanatory style dan bisa bersifat negatif atau pessimistic explanatory style. Individu dengan optimistic explanatory style adalah individu yang tidak mudah menyerah, melihat suatu keadaan buruk sebagai sesuatu yang sifatnya sementara dan disebabkan oleh hal-hal diluar dirinya atau orang lain. Dengan demikian individu dengan optimistic explanatory style akan berusaha mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya. Sementara individu dengan pessimistic explanatory style cenderung melihat suatu keadaan buruk sebagai sesuatu yang sifatnya permanen dan diakibatkan oleh

11 dirinya sendiri, sehingga individu yang memandang masalah secara pesimis seringkali pasrah, kurang tergerak untuk bangkit dan memecahkan masalahnya. Explanatory style penyandang tunarungu digambarkan melalui tiga dimensi yakni permanence, pervasiveness, dan personalization. Permanence menitikberatkan kurun waktu, apakah dampak suatu keadaan atau peristiwa yang dialami penyandang tunarungu bersifat menetap (permanen) atau sementara. Saat menghadapi peristiwa buruk (bad situation), misalnya kendala di tempat kerja, apakah penyandang tunarungu memandang peristiwa tersebut akan berlangsung sementara (PmB temporary) atau disebabkan oleh keterbatasannya yang bersifat menetap (PmB permanent). Sebaliknya, saat mengalami keadaan baik (good situation), seperti dipuji oleh atasan, apakah penyandang tunarungu memandang hal itu terjadi karena sesuatu yang sifatnya sementara (PmG temporary) atau karena sesuatu yang sifatnya menetap (PmG permanent). Dimensi pervasiveness menitikberatkan ruang lingkup, apakah suatu peristiwa yang dialami penyandang tunarungu memiliki dampak yang spesifik atau menyeluruh. Saat menghadapi peristiwa buruk (Pervasiveness Bad), misalnya kendala di tempat kerja, apakah penyandang tunarungu memandang dampak hal tersebut bersifat spesifik (PvB spesific) atau bersifat menyeluruh dalam aspek lain (PvB universal). Sebaliknya, saat mengalami keadaan baik (Pervasiveness Good), seperti dipuji oleh atasan, apakah penyandang tunarungu memandang hal itu disebabkan oleh sesuatu yang sifatnya spesifik (PvG spesific) atau bersifat menyeluruh dalam aspek lain (PvG universal). Dimensi personalization menitikberatkan pihak yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa dalam kehidupan, yaitu diri sendiri (internal) atau hal-hal diluar diri (eksternal). Saat menghadapi peristiwa buruk (Personalization Bad), misalnya kendala di tempat

12 kerja, apakah penyandang tunarungu menganggap hal itu terjadi karena dirinya sendiri (PsB internal) atau karena hal-hal diluar dirinya (PsB external). Sebaliknya, saat mengalami keadaan baik (Pervasiveness Good), seperti dipuji oleh atasan, apakah penyandang tunarungu memandang hal itu terjadi karena dirinya sendiri (PsG internal) atau karena hal-hal diluar dirinya (PsG external). Penyandang tunarungu dengan optimistic explanatory style adalah penyandang tunarungu yang jika mengalami kendala atau mendapatkan perlakuan tidak adil di tempat kerja memandang hal tersebut akan terjadi sementara (PmB temporary), tidak terjadi pada aspek kehidupannya yang lain (PvB spesific), dan hal tersebut tidak disebabkan oleh dirinya sendiri (PsB external). Penyandang tunarungu dengan pessimistic explanatory style adalah penyandang tunarungu yang jika mengalami kendala atau mendapatkan perlakuan tidak adil di tempat kerja akan menganggap bahwa hal tersebut akan berlangsung terus-menerus (PmB permanent), terjadi pada aspek kehidupannya yang lain (PvB universal) dan hal tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri (PsB internal). Sikap pesimis dapat dilihat dari sikap penyandang tunarungu yang cenderung pasif, pasrah dalam menjalani hidup, depresi, merasa rendah diri, dan tertekan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi explanatory style pada penyandang tunarungu adalah explanatory style ibu atau figur signifikan, kritik dari orang dewasa serta masa krisis atau kejadian traumatis yang pernah dialami (Seligman, 1990). Explanatory style figur signifikan memengaruhi explanatory style penyandang tunarungu. Bagaimana figur signifikan menyikapi penyebab peristiwa buruk (bad situation) dan peristiwa baik (good situation) sebagai sesuatu yang sementara (temporary) atau menetap (permanent), spesifik atau menyeluruh (universal), diakibatkan oleh dirinya sendiri (internal) atau hal-hal diluar dirinya (external). Misalnya ketika

13 orang tua penyandang tunarungu mengalami kesulitan ekonomi (bad situation), bagaimana ia menyikapi hal tersebut diperhatikan oleh penyandang tunarungu. Penyandang tunarungu memang tidak dapat mendengar, namun mereka dapat sepenuhnya menggunakan indera penglihatan untuk mengamati bagaimana perilaku serta cara menyelesaikan masalah yang dilakukan oleh figur yang signifikan baginya. Kritik orang dewasa terhadap penyandang tunarungu saat mengalami good situation atau bad situation berpengaruh pada explanatory style mereka, saat individu mengalami masalah, kritik yang diberikan orang dewasa seiring berjalannya waktu akan menumbuhkan suatu cara pandang tertentu bagi penyandang tunarungu, misalnya saat penyandang tunarungu dihadapkan pada peristiwa buruk (bad situation) seperti gagal dalam pendidikan atau pada peristiwa baik (good situation) seperti menjadi juara kelas, kritik orang dewasa mempengaruhi explanatory style mereka. Jika ketika penyandang tunarungu mengalami kegagalan, ia memperoleh kritik yang membangun, besar kemungkinan penyandang tunarungu menjadi individu yang lebih optimis dibandingkan penyandang tunarungu yang saat mengalami kegagalan memperoleh kritik yang bersifat menjatuhkan. Masa krisis atau kejadian traumatis yang dialami penyandang tunarungu sejak kecil turut berpengaruh pada explanatory style mereka. Jika penyandang tunarungu tidak segera menerima bantuan atau bahkan tidak menerima bantuan sama sekali ketika menghadapi suatu peristiwa buruk (bad situation), akan menumbuhkan suatu perasaan helplessness. Penyandang tunarungu yang mendapatkan pertolongan ketika menghadapi kesulitan akan merasa sangat terbantu, sehingga pandangannya terhadap kehidupan cenderung lebih positif jika dibandingkan dengan penyandang tunarungu yang tidak mendapatkan pertolongan dari orang lain. Salah satu contoh masa krisis yang juga secara nyata dialami oleh beberapa penyandang tunarungu adalah kondisi

14 dimana mereka secara tiba-tiba menjadi tunarungu karena sakit atau jatuh saat masih kecil. Saat itu mereka belum sepenuhnya memahami kondisi mereka, namun saat beranjak dewasa ada beberapa diantara mereka yang menyesali keadaan mereka, menganggap kondisi cacat yang mereka alami sifatnya menetap, tidak bisa sembuh (permanent) dan mengganggu beberapa aspek kehidupan mereka khususnya dalam bekerja (universal), namun ada juga diantara mereka yang menganggap bahwa keterbatasan mereka ini tidak terlalu berpengaruh dalam hidup mereka, dimana mereka masih bisa beraktivitas seperti layaknya orang pada umumnya, sehingga mereka tetap bersemangat dan optimis dalam menjalani hidup mereka. Oleh karena itu, bagaimana explanatory style penyandang tunarungu dipengaruhi oleh explanatory style ibu atau figur signifikan dalam menyikapi good situation atau bad situation, apakah situasi tersebut disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya sementara atau menetap, spesifik atau menyeluruh, internal atau eksternal, kritik orang dewasa saat penyandang tunarungu mengalami good situation atau bad situation, dan apakah penyandang tunarungu segera memperoleh pertolongan saat mengalami masa krisis atau kejadian traumatis. Bagan 1.1 Kerangka Pikir Penyandang Tuna Rungu usia 20-40 tahun di Yayasan Sehjira Bandung Dimensi : - Permanence - Pervasiveness - Personalization Explanatory Style Faktor yang mempengaruhi : Optimistic Explanatory Style Pessimistic Explanatory Style - Explanatory style figur signifikan - Kritik dari orang dewasa - Masa krisis

15 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengasumsikan bahwa : 1. Explanatory style penyandang tunarungu usia dewasa awal di Yayasan Sehjira berbeda-beda. 2. Gambaran explanatory style penyandang tunarungu ditinjau dari cara pandang penyandang tunarungu terhadap penyebab peristiwa baik (good situation) dan peristiwa buruk (bad situation). 3. Explanatory style penyandang tunarungu ditinjau melalui 3 dimensi yaitu permanence, pervasiveness dan personalization. Penyandang tunarungu yang optimis akan memandang penyebab peristiwa baik (good situation) sebagai hal yang sifatnya permanen, menyeluruh, dan internal sementara penyandang tunarungu yang pesimis akan memandang penyebab peristiwa baik (good situation) sebagai hal yang sifatnya sementara, spesifik, dan eksternal. Penyandang tunarungu yang optimis akan memandang penyebab peristiwa buruk (bad situation) sebagai hal yang sifatnya sementara, spesifik, dan eksternal. sementara penyandang tunarungu yang pesimis akan memandang penyebab peristiwa buruk (bad situation) sebagai hal yang sifatnya menetap, menyeluruh, dan internal. 4. Explanatory style penyandang tunarungu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti explanatory style figur signifikan, kritik/saran orang dewasa dan masa krisis yang pernah dialami sejak kecil.