BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempunyai masalah di dalam keluarga. Sebagian besar kasus ditemukan bahwa

dokumen-dokumen yang mirip
Tesis Minat Utama Bidang Psikologi Klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

PELATIHAN BERPIKIR OPTIMIS UNTUK MENINGKATKAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II. Tinjauan Pustaka

PELATIHAN BERPIKIR OPTIMIS UNTUK MENINGKATKAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

PELATIHAN BERPIKIR OPTIMIS UNTUK MENINGKATKAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

PELATIHAN BERPIKIR OPTIMIS UNTUK MENINGKATKAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN Eka Marwati 1

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB I PENDAHULUAN. tidak dekat dengan ustadzah. Dengan kriteria sebagai berikut dari 100

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

Perkembangan Sepanjang Hayat

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KETIDAKPUASAN SOSOK TUBUH (BODY DISSATISFACTION) PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rentang kehidupan, individu berkembang dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khulaimata Zalfa, 2014

Panti Asuhan Anak Terlantar di Solo BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja merupakan masa perubahan dari yang semula anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan, di dalam suatu pembelajaran harus ada motivasi belajar, agar

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

GAYA KELEKATAN ( ATTACHMENT STYLE

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. sebagai gangguan postpartum depression. Depresi postpartum keadaan emosi

BAB I PENDAHULUAN. diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan, sehingga perubahan-perubahan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum penghuni panti asuhan merupakan anak-anak yang mempunyai masalah di dalam keluarga. Sebagian besar kasus ditemukan bahwa para anak asuh berasal dari keluarga miskin dan tidak mengenal orang tua sejak dari bayi. Kurangnya kasih sayang serta dukungan keluarga merupakan faktorfaktor yang sesungguhnya sangat berpengaruh dalam perkembangan anak. Pada dasarnya, anak asuh yang menjalani kehidupan sehari-hari dalam lingkungan panti asuhan adalah anak-anak bermasalah (Diana, 2011). Borualogo (2004) mengemukakan bahwa panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses perkembangannya. Panti asuhan adalah suatu lembaga pelayanan pengganti fungsi keluarga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh serta memberikan bekal dasar yang dibutuhkan anak asuh untuk perkembangannya. Tujuan pengasuhan di keluarga dan di panti asuhan sesungguhnya sama, namun pengasuhannya dapat berbeda. Jika di rumah orang tua melakukan pengasuhan terhadap anak dalam jumlah sedikit, maka pengasuhan di panti asuhan dilakukan oleh pengasuh terhadap anak dalam jumlah banyak. Di panti asuhan terdapat anak asuh dengan berbagai rentang usia, mulai dari bayi, anak, remaja hingga dewasa. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari anak menuju dewasa dan mengalami 1

2 perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah. Remaja rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul akibat terjadinya perubahan sosial yang berpengaruh pada penilaian terhadap dirinya (Hurlock, 1998). Menurut Santrock (2003) berkembangnya pemikiran remaja mengenai diri dan keunikan dirinya merupakan suatu masalah besar dalam hidup, yang salah satunya terkit dengan harga diri remaja. Sebelum dilakukan survei awal, dilakukan wawancara terhadap pengasuh dan 3 remaja penghuni panti. Hasil wawancara terhadap pengasuh menunjukkan, bahwa permasalah yang banyak timbul di kalangan remaja mengarah pada ciri-ciri harga diri rendah. Contoh kasus para remaja lebih banyak diam ketika mengalami masalah, kurang dapat mengekspresikan diri di luar lingkungan panti asuhan. Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan remaja yang tinggal di panti asuhan. Para remaja merasa takut gagal dalam membina hubungan sosial di luar panti asuhan. Selain itu, hasil wawancara dengan remaja yang lainnya menunjukkan bahwa dia merasa diasingkan dan tidak diperhatikan oleh keluarga. Survei dilakukan pada empat panti asuhan di Surakarta, yakni Panti Asuhan Yatim Putri Aisiyah 1 dan 2, Panti Asuhan Keluarga Yatim Surakarta, Panti Asuhan Nur Hidayah Surakarta. Berdasarkan hasil survei menggunakan metode angket terkait dengan ciri harga diri rendah dari Coopersmith (1967) menunjukkan 46% dari 74 remaja mengarah pada ciri-ciri harga diri rendah, seperti perasaan inferior, takut gagal dalam membina hubungan sosial, dan perasaan terasing. Remaja di panti asuhan cenderung menganggap dirinya tidak memiliki pendirian, sumber masalah

3 bagi lingkungan, diasingkan dari keluarga, mudah menyerah ketika menghadapi hambatan serta kesulitan dalam mengekspresikan perasaan ketika ingin marah, ataupun kecewa. Tabel 1 Hasil angket survei ciri harga diri rendah No. Pertanyaan Jumlah Jawaban Persentase 1. Merasa bersalah dalam setiap kejadian buruk, 30 41% dan malu dengan kondisiku 2. Ada rasa takut atau malu saat berteman 18 24% 3. Menghadapi hal yang sulit aku tidak bisa dan 26 35% membuatku menyerah 4. Tempat tinggalku sekarang rasanya asing dan 11 15% orang-orangnya tida peduli kepadaku 5. Sulit untuk menunjukkan kalo aku sedang 36 49% sedih, senang, ataupun marah pada orang lain 6. Aku butuh ditemani untuk beraktivitas 54 73% 7. Kadang pikiranku berubah-ubah, tidak bisa bersikap sesuai keinginanku 46 62% 8. Sulit untuk menolak keinginan teman, 45 60% meskipun aku tidak setuju 9. Pelanggaran yang ku lakukan karena orang 40 54% lain atau keadaan 10. Aku sering menjadi penyebab kekacauan 18 24% Penelitian yang dilakukan oleh Novianty dan Shanti (2005) menunjukkan adanya perbedaan harga diri dalam dimensi personal, sosial dan general antara remaja yang tinggal bersama orang tua dengan remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Borualogo (2004) menunjukkan semakin positif persepsi tentang attachment, maka semakin tinggi harga diri remaja. Di panti asuhan menunjukkan bahwa orang tua dan sahabat adalah figur attachment remaja, hanya sedikit remaja yang menjadikan bapak asuh sebagai figur

4 attachment. Fadlilah (2007) memberikan sebuah gambaran perkembangan harga diri remaja yang tinggal di panti asuhan membutuhkan dukungan dari pihak panti asuhan maupun pihak di luar panti asuhan. Santrock (2003) mengungkapkan rendahnya harga diri pada remaja menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional dan dapat menimbulkan banyak masalah. Ketika tingkat harga diri yang rendah berhubungan dengan proses perpindahan panti asuhan atau keluarga yang sulit, atau dengan kejadiankejadian yang membuat tertekan, masalah yang muncul pada remaja dapat menjadi lebih meningkat. Remaja yang tinggal di panti asuhan berpotensi memiliki masalah terkait dengan harga diri, berupa hilangnya kepercayaan diri, tidak mampu menilai kemampuan diri, merasa tidak aman terhadap keberadaan mereka di lingkungan (Borualogo, 2004). Munculnya penilaian yang rendah terhadap diri sendiri mengarah pada harga diri remaja yang rendah (Borualogo, 2004). Remaja dengan harga diri yang rendah berasal dari keluarga bermasalah atau kondisi dimana mereka mengalami penganiayaan atau tidak dipedulikan, remaja berada pada situasi-situasi yang tidak mendapatkan dukungan (Santrock, 2003). Berdasarkan kondisi yang dialami remaja di panti asuhan, para pengasuh melakukan intervensi berupa pengajian, olah raga dan nasehat. Namun demikian sering kali intervensi yang dilakukan kurang tepat karena cenderung bersifat fisik, mental keagamaan dan keterampilan. Menurut informasi yang didapat dari pengasuh panti menyebutkan bahan intervensi psikologis yang didesain khusus

5 untuk para remaja tidak pernah dilakukan, sementara masalah remaja itu sendiri terkait dengan masalah-masalah psikologis. Santrock (2003) menyebutkan sebuah penelitian menunjukkan bahwa harga diri akan tinggi pada masa kanak-kanak, menurun pada usia remaja, meningkat lagi pada masa dewasa sampai masa dewasa akhir, kemudian harga diri kembali menurun. Penurunan harga diri pada masa remaja didorong oleh body image yang negatif, serta ketertarikan yang lebih dalam hubungan sosial sehingga menyebabkan kemungkinan kegagalan. Beberapa penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan harga diri remaja diantaranya dilakukan oleh Sriati dan Hernawaty (2007) dengan menggunakan training pengembangan diri. Training pengembangan diri dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan dan menunjukkan adanya peningkatan harga diri pada 85,71 % responden. Selanjutnya pelatihan yang dilakukan oleh Sipayung (2007) pada mahasiswa yang dilakukan dengan menggunakan pelatihan asertivitas untuk meningkatkan harga diri melalui ketrampilan individu dalam bereaksi. Pelatihan asertivitas yang terdiri dari 6 sesi dan dilaksanakan dalam 3 hari berturu-turut dengan waktu efektif 2 jam setiap hari. Pelatihan untuk meningkatkan harga diri juga dilakukan oleh Lestari dan Koentjoro (2002) menggunakan pelatihan berpikir optimis pada pelacur yang tinggal di panti dan luar panti. Pelatihan berpikir optimis terdiri dari 5 sesi yang berlangsung selama 120 menit setiap sesinya dan diselenggarakan dalam lima hari. Hasil pelatihan yang dilakukan menunjukkan perbedaan yang signifikan

6 antara partisipan yang menerima pelatihan berpikir optimis dan partisipan yang tidak menerima pelatihan berpikir optimis. Harga diri seseorang akan mempengaruhi bagaimana individu menampilkan potensi yang dimilikinya, sehingga harga diri memiliki peran yang besar dalam pencapaian prestasi (Borualogo, 2004). Coopersmith (1967) menjelaskan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian atau penghargaan pribadi seorang individu yang diekspresikan dalam sikap-sikap terhadap dirinya sendiri. Menurut Seligman (1995) harga diri yang dimiliki oleh individu bukan pembawaan melainkan merupakan hasil proses belajar (pengalaman) dan dapat berlangsung sepanjang hidup, sehingga upaya tertentu dapat dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan harga diri. Individu yang mempunyai harga diri yang rendah sering menunjukkan perilaku yang kurang aktif, tidak percaya diri dan tidak mampu mengekspresikan diri. Sebaliknya individu dengan harga diri yang tinggi mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan. Semakin tinggi harga diri seseorang, maka semakin hormat dan bijak dalam memperlakukan orang lain (Branden, 2001). Individu dengan harga diri rendah merasakan dirinya kurang berharga, bermanfaat, dicintai, serta kurang yakin akan kemampuannya. Perasaan dan keyakinan yang kurang menguntungkan seperti ini merupakan salah satu model persepsi umum individu untuk menginterpetasikan kejadian dalam hidupnya yang juga disebut dengan explanatory style (Seligman, 1995). Oleh karena itu untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan tersebut maka explanatory style (gaya penjelasan) harus diubah. Perubahan

7 explanatory style ini dapat dilakukan dengan latihan tertentu (Friedman dan Schustack, 2006). Seligman (1995) menyatakan bahwa explanatory style merupakan inti dari berpikir optimis, sehingga perubahan explanatory style dilakukan dengan memberikan latihan berpikir optimis. Melalui pelatihan berpikir optimis diharapkan individu yang semula explanatory style kurang mendukung menjadi mendukung dirinya sendiri, kurang menghargai dan mempercayai kemampuan sendiri. Cleghorn (1996) juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan harga diri individu kuncinya terletak pada cara berpikir individu, sehingga harus diubah melalui suatu latihan tertentu. Cara berpikir optimis berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seligman (1995) memperoleh bukti bahwa pelatihan berpikir optimis efektif untuk menurunkan sikap pesimis, depresi, serta dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri. Pelatihan yang dilakukan oleh Lestari dan Koentjoro (2002) menggunakan pelatihan berpikir optimis pada pelacur yang tinggal di panti dan luar panti asuhan. Penelitian berpikir optimis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok yang menerima pelatihan berpikir optimis dan partisipan yang tidak menerima pelatihan berpikir optimis. Kemampuan berpikir optimis yang dipelajari membuat individu dapat menghargai diri sendiri karena latihan berlangsung dengan sendirinya, bukan merupakan beban (Seligman, 2008). Goleman (2002) mengemukakan bahwa sikap optimis dalam jangka panjang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik secara mental. Dalam bidang sosial, sikap optimis dapat meningkatkan kepercayaan diri, harga diri,

8 mengurangi sikap pesimis, membuat individu mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial serta dapat menikmati kepuasan hidup dan merasa bahagia. Uraian di atas menunjukkan bahwa salah satu intervensi untuk meningkatkan harga diri adalah dengan memfokuskan pada cara berpikir individu, yaitu dengan merubah explanatory style melalui berpikir optimis. Berdasarkan keterangan dari pengasuh yang memberikan dampingan, para remaja selama ini hanya diberikan nasihat dalam pengajian di setiap sholat berjamaah dan belum pernah diberikan pelatihan yang bersifat psikologis. Hal ini didukung dengan hasil survei yang menunjukkan harga diri remaja di panti asuhan yang tergolong dalam ciri harga diri rendah. Selain itu, adanya penelitian yang telah terbukti efektif untuk meningkatkan harga diri menjadi landasan untuk dikaji lebih jauh apakah bentuk pelatihan berpikir optimis berpengaruh dalam meningkatkan harga diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Oleh karena itu pertanyaan penelitian penelitian yang diajukan adalah Apakah pelatihan berpikir optimis dapat meningkatkan harga diri remaja di panti asuhan?. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk membuktikan secara empiris pengaruh pelatihan berpikir optimis dalam meningkatkan harga diri remaja yang tinggal di panti asuhan.

9 C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Remaja di panti asuhan Bagi partisipan penelitian, diharapkan dapat selalu mempraktekan metode ABCDE dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat membantu meningkatkan harga diri. 2. Yayasan pengelola panti asuhan Bagi pimpinan yayasan, adanya pelatihan berpikir optimis dapat dimanfaatkan sebagai upaya dalam meningkatkan harga diri remaja yang tinggal di panti asuhan. 3. Pengasuh di panti asuhan Pelatihan berpikir optimis diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk remaja di panti asuhan dalam menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh harga diri. 4. Ilmu psikologi dan peneliti selanjutnya Diharapkan dapat memberikan sumbangan modul yang telah teruji untuk meningkatkan harga diri remaja yang tinggal di panti asuhan sebagai sumber informasi.

10 D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai harga diri selama ini memang telah banyak dilakukan. Sriati dan Hermawati (2007) membuktikan bahwa training pengembangan diri efektif untuk meningkatkan harga diri remaja putri homoseksual, pelatihan training pengembangan diri dilakukan dalam 3 sesi yang diberikan selama 3 hari. Helmi, dkk (1998) membuktikan pelatihan pengenalan diri efektif untuk meningkatkan harga diri melalui pengungkapan diri dan umpan balik yang dilakukan pada mahasiswa, pelatihan dilakukan dalam 5 hari dengan waktu masing-masing pertemuan selama 2 jam. Selanjutnya, Sipayung (2007) menggunakan pelatihan asertivitas untuk meningkatkan harga diri, pelatihan asertivitas dilakukan hingga mencapai ketrampilan bereaksi secara tepat dalam situasi sosia yang berlangsung dalam 3 hari berturut-turut yang terdiri dari 6 sesi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seligman (1995) memperoleh bukti bahwa pelatihan berpikir optimis efektif untuk menurunkan sikap pesimis, depresi, serta dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri pada remaja. Penelitian tentang berpikir optimis sendiri belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama dalam bentuk pelatihan. Lestari dan Koentjoro (2002) pernah melakukan penelitian berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri pada pelacur, yang dilakukan dalam satu hari pelatihan yang terdiri dari 5 sesi, dengan waktu 2 jam untuk setiap sesi. Penelitian tentang pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri khususnya partisipan remaja yang tinggal di panti asuhan belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini partisipan yang digunakan adalah remaja yang tinggal di panti asuhan, sedangkan partisipan penelitian terdahulu

11 menggunakan wanita tuna susila. Pada penelitian ini menguji secara empiris pengaruh pelatihan berpikir optimis, sedangkan penelitian terdahulu bertujuan untuk melihat efektivitas pelatihan berpikir optimis pada wanita tuna susila. Oleh karena itu keaslian penelitian ini secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.