BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penuaan merupakan suatu proses alami yang terjadi pada semua mahluk hidup dan dimulai dari semenjak lahir ke dunia ini, sehingga seringkali penuaan dianggap suatu takdir yang tidak dapat diubah dan menjadi penyebab penurunan kualitas hidup saat seseorang mencapai usia yang lanjut. Hal tersebut dikarenakan terjadinya penurunan fungsi tubuh selama proses penuaan. Namun sampai saat ini penuaan masih belum dapat dihindari secara mutlak. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua dapat berasal dari dalam tubuh maupun luar tubuh. Tanpa disadari, tubuh kita secara terus menerus mengalami pembentukan radikal bebas melalui proses metabolisme sel normal, proses peradangan, malnutrisi, polusi, ultraviolet (UV), asap rokok, diet tidak sehat, alkohol, kelelahan, stres, konsumsi obat berlebihan dan olahraga berlebihan. Akumulasi dari pembentukan radikal bebas ini dapat berakibat fatal bagi tubuh (Winarsi, 2007). Ada 4 teori proses penuaan yaitu teori wear and tear, teori neuro endokrin, teori kontrol genetik dan teori radikal bebas. Adapun peningkatan radikal bebas di dalam tubuh manusia merupakan salah satu penyebab proses penuaan yang dapat menyebabkan manusia menjadi tua, sakit dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2011). Sampai saat ini diyakini ada 5 pilar ilmu anti penuaan yaitu: diet, nutrisi, suplementasi, olahraga dan terapi sulih hormon.
Olahraga atau pelatihan merupakan pertahanan utama tubuh melawan proses penuaan. Fungsi tubuh dapat dipertahankan dan ditingkatkan dengan melakukan olahraga meskipun umur bertambah tua (Goldman, 2007). Pelatihan fisik yang semakin berkurang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular, dan juga sejumlah penyakit kronik lainnya seperti kencing manis, kanker, obesitas, hipertensi, kelainan tulang dan sendi dan juga depresi. Mortalitas karena penyakit kardiovaskular dan kanker lebih rendah pada kelompok dengan pelatihan intensif, dan terjadi peningkatan resiko pada kelompok dengan aktivitas fisik rendah. Kebugaran fisik yang lebih tinggi dapat menunda semua penyebab mortalitas primer yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dan kanker (Darren dkk., 2006). Namun sampai saat ini masih banyak orang yang tidak memahami bagaimana cara melakukan olahraga yang baik. Hal ini menyebabkan sering kali terjadi kesalahan saat orang melakukan olahraga, hal ini yang disebut aktivitas fisik berlebih. Pelatihan fisik berlebih dapat terjadi apabila volume dan intensitas pelatihan melebihi kemampuan tubuh melakukan pemulihan yang akan mengakibatkan penurunan kekuatan dan kebugaran. Hal ini sering terjadi pada orang yang banyak melakukan olahraga untuk meningkatkan daya tahan (endurance training). Olahraga yang bertujuan memperpanjang hidup dan kesehatan adalah aktivitas fisik yang dilakukan dengan semangat dan memenuhi syarat tertentu, tetapi bukanlah aktivitas yang berlebihan, tidak bersifat kompetitif tinggi apalagi dengan penyalahgunaan (Pangkahila, 2007).
Aktivitas fisik berlebih dan pengaruh lingkungan secara tidak langsung dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas terbentuk melalui proses pelepasan elektron di mana konsumsi oksigen meningkat saat berolahraga (Sauza, 2005). Radikal bebas sebenarnya merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh oleh bermacam-macam faktor, baik faktor dari luar seperti polusi lingkungan, aktivitas fisik yang berlebih, sinar ultraviolet dari matahari, radiasi, obat-obatan, pestisida. Ataupun dari faktor internal antara lain inflamasi, iskemia dan penyakit (Cooper, 2001; Lei dkk., 2007). Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, misalnya hidrogen peroksida (H2O2), ozon, dan lain-lain. Ke dua kelompok senyawa tersebut sering disebut sebagai Reactive Oxygen Species (ROS) (Iorio, 2007). Pembentukan radikal bebas (stres oksidatif) sebenarnya merupakan kondisi fisiologis yang memegang perananan penting dalam proses terjadinya suatu penyakit degeneratif, serta proses penuaan. Pada umumnya sel bereaksi terhadap stres oksidatif ini dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan serta sistem pertahanan lain. Namun radikal bebas yang berat dapat merusak karena bekerja dengan menyerang komponen seluler seperti protein, asam lemak tak jenuh, lipoprotein, DNA dan RNA sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur maupun fungsi sel (Winarsi, 2007).
Tubuh memiliki sistem antioksidan yang ketat untuk menjaga supaya radikal bebas tidak menimbulkan stres oksidatif dan menimbulkan penyakit (Cornelli, 2009), walaupun demikian, konsumsi antioksidan tentu saja dapat membantu sistem antioksidan tubuh dan menurunkan angka kejadian penyakit degeneratif yang disebabkan oleh radikal bebas (Winarsi, 2007). Secara umum, antioksidan dikelompokan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis dibagi dalam 2 kelompok lagi yaitu antioksidan larut lemak seperti tokoferol, karetonoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin; antioksidan larut air seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme (Winarsi, 2007). Penelitian terhadap beberapa kelompok tikus yang mendapatkan perlakuan renang dengan intensitas yang berbeda-beda selama 1 jam, 2 jam, atau 3 jam didapatkan penurunan kadar enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GPx), dan glutathione-s-transferase (GST) bersamaan dengan peningkatan kadar MDA dalam testis tikus (Manna dkk., 2004). Berdasarkan teori penuaan akibat radikal bebas di mana berbagai reaksi oksidasi menghasilkan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan penuaan. Sehingga diperlukan antioksidan yang kuat untuk mengatasi radikal bebas tersebut. Belakangan ramai dibicarakan hormon melatonin yang juga dapat berfungsi sebagai antioksidan yang poten, karena melatonin tetap stabil setelah berikatan dengan radikal bebas, berbeda dengan antioksidan lainnya (Solis- Herruzo dan Solis-Munoz, 2009; Korkmaz dkk., 2009).
Melatonin merupakan suatu hormon dari triptofan yang disintesis di glandula pineal. Fungsi utamanya mengatur siklus tidur. Penurunan sintesis dan sekresi melatonin secara signifikan terjadi di usia pertengahan. Sejak tahun 1993 saat melatonin pertama kali dikenal sebagai penarik radikal bebas, beberapa penelitian bermunculan menyebutkan kemampuan melatonin untuk melindungi DNA dari kerusakan oleh radikal bebas. Melatonin juga dikatakan sebagai antioksidan yang dapat menetralisir radikal bebas dengan cara menyumbangkan gugus asetil dan gugus metoksi yang dimilikinya (Srinivasan dkk., 2011). Ada bukti yang menunjukkan bahwa melatonin dapat meningkatkan sejumlah antioksidan enzimatis seperti SOD, glutation peroksidase, glutation reduktase dan katalase (Karbownik dkk., 2000). Cara melatonin meningkatkan enzim-enzim tersebut, khususnya glutation peroksidase melalui perannya dalam menstimulasi enzim gammaglutamilsistein sintetase sehingga tejadi peningkatan kadar glutation (GSH) yang merupakan substrat bagi enzim GPx untuk memetabolisme H2O2 yang lebih tidak toksik (Kucukakin, 2010). Penelitian ini lebih mengutamakan pada enzim glutation peroksidase karena enzim ini dikatakan antioksidan yang lebih baik dari SOD dan katalase. Penelitian tentang fungsi melatonin sebagai pengatur siklus tidur telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, namun penelitian melatonin sebagai antioksidan masih sangat terbatas. Penelitian pada penderita Nonalcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) selama 12 minggu, melatonin yang diberikan 2x5 mg/hari dan perbaikan gaya hidup memperbaiki enzim hepar, tetapi tidak menurunkan BMI (Body Mass Index), kadar glukosa, trigliserida, dan kolesterol
(Gonciarz dkk., 2010). Efek antioksidan melatonin dalam dosis rendah yaitu berupa perbaikan sistem pembuluh darah, dapat terlihat pada pasien hipertensi usia lanjut yang diberikan melatonin sebesar 5 mg perhari dan pada wanita yang mengalami infertilitas sebesar 3 mg per hari (Rousselot dkk., 2010). Dalam satu penelitian telah digunakan dosis melatonin 0,5 mg/kgbb dan 1 mg/kgbb selama 14 hari pada tikus dengan hiperlipidemia di mana melatonin meningkatkan glutation peroksidase dibandingkan Kelompok Kontrol (Subramanian dkk., 2007). Dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan melatonin oral 0,04 mg dan 0,08 mg, apakah juga dapat menghambat penurunan glutation peroksidase pada tikus yang mengalami pelatihan fisik berlebih. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah pemberian melatonin oral dapat menghambat penurunan enzim glutation peroksidase pada tikus yang mengalami pelatihan fisik berlebih? 1.3. Tujuan Penelitian Untuk membuktikan apakah pemberian melatonin oral sebagai antioksidan dapat menghambat penurunan enzim glutation peroksidase pada tikus yang mengalami pelatihan fisik berlebih. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah data ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk memberikan informasi mengenai terjadinya penurunan enzim glutation peroksidase pada kondisi aktivitas fisik berlebih dan pemberian melatonin sebagai antioksidan dapat
menghambat penurunan enzim glutation peroksidase pada tikus yang mengalami pelatihan fisik berlebih. 2. Memberikan informasi pada masyarakat luas bahwa pada tikus yang diberi pelatihan fisik berlebih terjadi penurunan enzim glutation peroksidase dan asupan antioksidan khususnya melatonin secara oral dapat menghambat penurunan enzim glutation peroksidase pada tikus tersebut