VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA 6.1. Validasi Model Validasi model kebijakan moneter dan kinerja sektor riil dilakukan pada periode 1986-2005. Kriteria statistik yang digunakan dalam validasi model adalah R square (R 2 ) dan Theil s Inequality Coefficient (U) dimana hasilnya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1986-2005 No Variabel Aktual Prediksi R -square RMS% Error Coef U 1 Suku bunga 14.1204 14.1469 0.6308 23.217 0.1005 2 Nilai Tukar 4113.7 4112.2 0.8481 36.5405 0.1207 3 Alokasi Kredit sektor Pertanian 11137.8 11140.2 0.9575 14.8297 0.0731 4 Alokasi Kredit sektor Industri 48774.5 48454.8 0.9129 20.8226 0.1112 5 Alokasi Kredit sektor Lainnya 53559.4 53874.4 0.7965 38.9304 0.1454 6 Investasi Sektor Pertanian 1429.3 1613.4 0.8754 112.6 0.2301 7 Investasi Sektor Industri 7372.1 150809 0.8115 69573.4 0.3524 8 Investasi Sektor Lainnya 2335.5 1969.9 0.8733 108.4 0.2270 9 Ekspor Sektor Pertanian 605.7 618.4 0.5719 19.3732 0.0897 10 Ekspor Sektor Industri 5788.3 7156.8 0.9763 30.7147 0.1140 11 Ekspor Sektor Lainnya 3409.1 3390.1 0.6273 33.4987 0.1029 12 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 39007.7 39867.4 0.9031 4.3692 0.0199 13 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri 8751.7 9553.2 0.9955 11.7792 0.0492 14 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Lainnya 31039.8 30951.9 0.9813 5.8762 0.0282 15 Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian 11044.2 11515.4 0.8793 47.2465 0.1284 16 Produk Domestik Bruto Sektor Industri 15381.4 21045.9 0.9753 65.6755 0.1583 17 Produk Domestik Bruto Sektor Lainnya 38307.8 37776.1 0.9683 33.1705 0.0808 18 Produk Domestik Bruto 64733.5 70337.4-35.8089 0.0815
102 Secara umum, sebagian besar model memiliki R square relatif tinggi yaitu antara 0.6 sampai 0.9. Angka ini mengindikasikan model dapat dengan handal menjelaskan perilaku yang sebenarnya yang disederhanakan dalam sebuah model. Berdasarkan indikator Theil s Inequality Coefficient (U), sebagian besar persamaan berada disekitar 0.019 sampai 0.35. Dengan demikian dapat dikatakan hasil validasi sudah cukup baik dan dapat digunakan untuk simulasi. Simulasi kebijakan dilakukan dengan melakukan simulasi historis terhadap kebijakan yang dapat dilakukan oleh otoritas moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari kinerja sektor riil dengan mempertimbangkan paradigma baru dalam penetapan kebijakan moneter dengan inflasi sebagai landasan (anchor) kebijakan moneter di Indonesia. 6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil Tiga kebijakan moneter yang dianalisis adalah : (1) Penurunan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia sebesar 5 persen, (2) Peningkatan Giro Wajib Minimum sebesar 5 persen, dan (3) Peningkatan alokasi kredit sebesar 10 persen. Penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan cerminan penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia. Rapat Dewan Gubernur sejak bulan September 2006 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 bps setiap bulannya dan sampai bulan November terjadi penurunan BI rate dari 10.75 menjadi 10.25 dan pada 7 Desember 2006 Bank Indonesia kembali memutuskan menurunkan BI rate sebesar 50 bps dari 10.25 persen menjadi 9.75 persen atau sekitar 5 persen yang diikuti dengan penurunan Suku bunga SBI 1 bulan dalam persentase penurunan yang sama. Keputusan tersebut diambil setelah melakukan evaluasi kondisi makroekonomi terkini, mencermati hasil berbagai survei, dan memandang prospek ekonomi moneter ke depan, termasuk
103 upaya pencapaian sasaran inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007. Keputusan tersebut juga diambil untuk mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi, mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga stabilitas di pasar keuangan. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menjadi fokus perhatian saat ini terkait dengan perubahan target operasional yang diberlakukan Bank Indoesia sejak Juni 2005 yang sebelumnya menggunakan uang primer (base money) menjadi suku bunga. Pertimbangannya adalah Suku bunga Sertifikat Indonesia lebih memudahkan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi dan mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Keuntungan lain menggunakan suku bunga karena suku bunga sudah biasa dipakai sebagai rujukan di pasar modal dan mempengaruhi alokasi aset masyarakat karena masyarakat bisa menganalisis dananya akan ditempatkan di deposito atau surat berharga. Disamping itu, dalam prakteknya, penggunaan uang primer sebagai target operasional menjadi sulit karena sebagian besar uang primer merupakan uang kartal yang beredar di masyarakat (Laporan Tahunan BI, 2005). Sebagai contoh, setiap akhir tahun permintaan uang kartal pasti naik akibat adanya hari raya, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru dan di saat seperti itu sangat sulit bagi BI mengendalikan inflasi karena berapa pun BI menaikkan suku bunga untuk menyerap uang kartal tetap tidak akan berhasil berhubung masyarakat sangat membutuhkannya untuk transaksi. Kebijakan penetapan cadangan wajib minimum ini adalah mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya merupakan persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank
104 yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum sebesar 5 persen sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meredam nilai tukar yaitu Bank Indonesia menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum (GWM) secara bervariasi sesuai dengan kondisi bank atau berdasarkan Loan to Deposit Ratio (LDR) masing-masing bank. Ketentuan ini berlaku sejak 6 September 2005 dan dalam simulasi kebijakan ini diambil kenaikan yang paling besar yaitu tambahan 5 persen bagi bank dengan LDR kurang dari 40 persen. Kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen merupakan wujud perhatian Bank Indonesia terhadap sektor riil dengan program pengembangan UMKM. Untuk meningkatkan kemampuan bank dalam pembiayaan kepada UMKM dan membantu UMKM dalam proses pengajuan kredit, BI bekerjasama dengan Pemerintah Negara Swiss yaitu Swisscontact and International Finance Cooperation (IFC)- World Bank tentang Access to Finance for SME s in Indonesia. Kerjasama ini direalisasikan dalam bentuk credit line senilai USD 100 juta. Pertumbuhan kredit yang positif ini juga merupakan respon penurunan BI rate yang dalam laporan Bank Indonesia disebutkan bahwa selama tahun 2006 pertumbuhan alokasi kredit meningkat sebesar 10.6 persen (Laporan Bank Indonesia, 2006). Adapun dampak kebijakan moneter ini terhadap kinerja sektor riil disajikan pada Tabel 16. Dua kebijakan yang memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor pertanian dan sektor industri adalah kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 5 persen dan kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen karena dua kebijakan ini mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output kedua sektor. Sedangkan kebijakan peningkatan
105 giro wajib minimum sebesar 5 persen dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden oleh perbankan dengan menurunkan alokasi kredit untuk sektor pertanian dan industri yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi kedua sektor tersebut. Kebijakan meningkatkan giro wajib minimum ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena kebijakan ini mencerminkan langkah cepat otoritas moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian dan menjadi indikator kemampuan perbankan yang lebih baik dalam menjaga likuiditas sehingga memberikan rasa aman bagi dunia industri untuk tetap mempertahankan kinerja ekspor dan selanjutnya meningkatkan pula total produksi sektor industri. Tabel 16. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil, Tahun 2005 Variabel Nilai Dasar ISBI turun 5% Giro Wajib Minimum Alokasi Kredit Sektor Pertanian Alokasi kredit Sektor Pertanian (Miliar Rp) 11061 0.34-0.70 0.37 Investasi Sektor Pertanian (Miliar Rp) 3432 3.20-8.87 3.52 Ekspor Sektor Pertanian (Miliar Rp) 616 0.52-1.58 0.57 Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (Miliar Rp) 9418 1.47-4.20 1.61 Penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian (Ribu orang) 39044-0.03-0.10-0.03 Sektor Industri Alokasi Kredit Sektor Industri (Miliar Rp) 47746 1.00-0.32 1.07 Investasi Sektor Industri (Miliar Rp) 13021 4.55-6.55 4.91 Ekspor Sektor Industri (Miliar Rp) 6138 0.07 0.03 0.07 Produk Domestik Bruto Sektor Industri (Miliar Rp) 14619 0.10 0.14 0.10 Penyerapan tenaga kerja sektor Industri (Ribu orang) 8603 0.04 0.04 0.04
106 Dari besaran dampak dapat dikatakan bahwa kebijakan peningkatan alokasi kredit sebesar 5 persen memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap peningkatan investasi, ekspor dan output kedua sektor. Meningkatnya alokasi kredit total sebesar 5 persen meningkatkan alokasi kredit sektor pertanian 0.37 persen dan meningkatkan pula alokasi kredit sektor industri lebih besar lagi yaitu 1.07 persen yang selanjutnya mendorong peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 3.52 persen. Bahkan peningkatan investasi sektor industri akibat kebijakan ini cukup signifikan yaitu 4.9 persen. Kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen juga memberikan dampak positif pada peningkatan ekpor kedua sektor meskipun dalam persentase yang sangat kecil dan akhirnya meningkatkan total produksi sektor pertanian sebesar 1.61 persen dan produksi sektor industri sebesar 0.099 persen. Satu fenomena menarik dari analisis kebijakan ini adalah tidak ada satu pun kebijakan yang mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian sehingga dapat dikatakan kebijakan moneter belum memberikan pengaruh yang berarti bagi peningkatan kinerja sektor pertanian yang benarbenar mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Sedangkan pada sektor industri, ketiga kebijakan dalam analisis ini masih berdampak pada peningkatan penggunaan tenaga kerja meskipun dalam persentase yang sangat kecil. Dampak simulasi kebijakan terhadap kondisi perekonomian secara agregat disajikan pada Tabel 17. Pembahasan kinerja perekonomian dibatasi pada lima indikator utama yaitu nilai alokasi kredit, investasi, ekspor, PDB dan jumlah pengangguran. Dampak simulasi kebijakan terhadap kondisi perekonomian secara umum sejalan dengan dampak kebijakan yang sama terhadap sektor riil dimana rangkaian kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga SBI dan
107 peningkatan alokasi kredit memberikan dampak positif terhadap kinerja investasi, ekspor dan produk domestik bruto (PDB). Sebaliknya, simulasi kebijakan moneter kontraktif yaitu peningkatan giro wajib minimum berdampak pada penurunan output sebesar 0.9 persen yang terjadi terutama karena penurunan investasi sebesar 7.16 persen. Tabel 17. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia, Tahun 2005 Variabel Nilai Dasar ISBI turun 5% Giro Wajib Minimum Alokasi Kredit Alokasi Kredit (Miliar Rp) 112324 0.637-0.3448 5.00 Investasi (Miliar Rp) 19371 4.609-7.1641 4.99 Ekspor (Miliar Rp) 10170 0.120-0.1378 0.13 Produk Domestrik Bruto (Miliar Rp) 62914 0.559-0.9814 0.61 Pengangguran (ribu orang) 4296 0.112 1.0560 0.14 Peningkatan investasi akibat penurunan suku bunga SBI dan akibat peningkatan alokasi kredit tidak menunjukan perbedaan yang mencolok sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam stimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output. Namun peningkatan output yang mampu diupayakan dari dua kebijakan ini masih lebih rendah dibandingkan persentase peningkatan investasi yang mengindikasikan bahwa kontribusi investasi terhadap peningkatan ouput masih sangat kecil. Hal ini pula yang menjadi alasan masih tingginya pengangguran dan bahkan belum ada satu pun kebijakan yang mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Disamping itu, hasil ini juga menunjukkan bahwa upaya mengurangi angka pengangguran tidak cukup diusahakan hanya dari kebijakan moneter karena diperlukan pula dukungan kebijakan lain yang bersifat makro dan mikro.