BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan dalam fiksi memiliki artian tersendiri. Wiyatmi (2006: 30) ia menyatakan bahwa Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Maksudnya, tokoh tersebut merupakan pelaku dalam sebuah cerita fiktif, ia juga harus memerankan karakter yang sama dengan tokoh dalam cerita. Abrams, (Nurgiyantoro, 2013: 247) menjelaskan bahwa Tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadirkan tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Menurut Nurgiyantoro (2013: 247) Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sebagaimana dikemukakan Abrams (Nurgiyantoro, 2013: 147) Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tidak berbeda halnya dengan Abrams, Baldic (Nurgiyantoro, 2013: 247) menjelaskan bahwa Tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa tokoh adalah individu ciptaan atau rekaan pengarang yang mengalami peristiwaperistiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa cerita yang menjadi pelaku dalam sebuah karya fiksi yang mempunyai watak dan perilaku tertentu. 8
9 Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita (Kosasih, 2012: 67). Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk kepada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2013: 247). Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa penokohan adalah cara pandang pengarang dalam menggambarkan karakter, sifat dan watak para tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita Jones (Nurgiyantoro, 2013: 247). Selanjutnya, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis sekaligus. 1) Tokoh utama dan tokoh tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan biasanya diabaikan karena sinopsis hanya berisi intisari cerita (Nurgiyantoro, 2013: 258-259). 2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh penjawantahan normanorma nilai-nilai yang ideal bagi kita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berposisi dengan tokoh protagonos, secara
10 langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin (Nurgiyantoro, 2013: 261). 3) Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja, sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya (Nurgiyantoro, 2013: 265-266). 4) Tokoh statis dan tokoh berkembang Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi Altenbernd & Lewis (Nurgiyantoro, 2013: 272), sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2013: 272). 5) Tokoh tipikal dan tokoh netral Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri (Nurgiyantoro, 2013: 274-275).
11 2.2 Psikologi Sastra Tarigan (1995: 4), menjelaskan bahwa Sastra adalah bagian dari budaya dan kehidupan kita sebagai manusia. Oleh karena itu, tidak usah kita heran kalau masalah kesekalian dan keselaluan tidak hanya berlaku bagi sastra, tetapi juga dalam kehidupan manusia. Ada hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang hanya sekali kita alami dalam kehidupan ini, tetapi ada pula hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang selalu atau berulang-ulang kita alami. Wellek dan Warren (2014: 98) menjelaskan bahwa Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Yaitu sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Psikologi menurut (Walgito, 1986: 7-8) terdiri dari dua kata yakni psyche dan logos. Psyche dari bahasa Yunani yang memiliki arti jiwa dan kata logos yang berarti ilmu, sehingga ilmu jiwa merupakan istilah dari psikologi. Walaupun demikian pengertian antara psikologi dan ilmu jiwa memiliki perbedaan yang pada intinya sesuatu hal yang disebut dengan ilmu jiwa itu belum tentu bisa dikatakan sebagai psikologi, tetapi psikologi dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. Dengan kata lain psikologi merupakan salah satu ilmu yang memiliki kesan meluas. Kesan meluas tersebut dapat dilihat dari adanya hubungan antara ilmu psikologi dengan ilmu-ilmu yang lain seperti biologi, sosiologi, filsafat, ilmu pengetahuan alam, dan salah satunya yaitu hubungan antara psikologi dengan sastra. Psikologi merupakan ilmu yang dapat dihubungkan dengan karya sastra karena psikologi itu sendiri mengarah kepada suatu ilmu yang menyelidiki serta
12 mempelajari tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas di mana tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (Walgito, 1986: 13). Jadi, dalam hal mengkaji sebuah karya sastra, pendekatan psikologi sastra sangatlah membantu. Psikologi diperlukan dalam karya sastra guna mengkaji aspek kejiwaan tokoh-tokoh dan segala hal yang berkaitan dengan proses psikologi yang dihadirkan oleh seorang pengarang. Pentingnya konsep tidak lain dilatarbelakangi adanya harapan hubungan diantara psikologi dan sastra yang kemudian dikenal sebagai psikologi sastra mampu digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah karya sastra terutama untuk mengkaji gejala-gejala kejiwaan. Penggunaan ilmu psikologi dalam sastra pada prinsipnya membantu penelaah dalam upaya memahami dan mendalami segi-segi kejiwaan manusia. Salah satu pendekatan untuk menganalisis karya sastra yang sarat akan aspek-aspek kejiwaan adalah melalui pendekatan psikologi sastra. Rartna, 2015: 349), menjelaskan bahwa Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai memiliki posisi yang lebih dominan. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa psikologi sastra tak hanya menyodorkan model penelitian saja melainkan diikutsertakannya bentuk kreativitas kedalam pendekatannya melalui teks. Wiyatmi (2011: 1), menjelaskan bahwa psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi. Pada dasarnya antara psikologi dan sastra memiliki persamaan yaitu samasama membicarakan manusia dan keberlangsungannya sebagai makhluk individu
13 dan makhluk sosial. Selain itu, keduanya juga memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah (Minderop, 2013: 2). Perbedaan diantara keduanya hanya terletak pada objek yang dibahas saja. Jika psikologi membicarakan manusia sebagai sosok yang riil sebagai ciptaan Tuhan, dalam karya sastra objek yang dibahas adalah tokoh-tokoh yang diciptakan oleh seorang pengarang atau disebut sebagai tokoh imajinasi semata. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misal, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpanganpenyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya kaitannya dengan psike (Ratna, 2011: 342). Teori psikologi banyak dikaitkan dengan kesastraan khususnya untuk keperluan kajian berbagai teks kesastraan sehingga muncul istilah psikologi sastra. Sebagaimana dikemukakan Wellek & Warren (Nurgiyantoro, 2013: 102) psikologi dalam sastra dapat dikaitkan dengan psikologi pengarang, penerapan prinsip psikologi dalam teks-teks kesastraan, dan psikologi pembaca. Dengan demikian, antara psikologi dan sastra (novel) mempunyai hubungan yang fungsional, yaitu sama-sama berfungsi sebagai sarana untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Bedanya, gejala kejiwaan manusia yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh novel bersifat imajiner. Sedangkan dalam ilmu psikologi, gejala kejiwaan yang dipelajari bersifat nyata atau riil. Jadi dalam
14 dunia sastra, ilmu psikologi digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah karya sastra terutama untuk mengkaji gejala-gejala kejiwaan. 2.3 Novel Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang dalam bahasa Jerman disebut novelle. Secara harfiah, novella berarti sebuah barang baru yang kecil. Kemudian dalam perkembangannya, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelet di Indonesia (Inggris novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2013: 11-12). Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Jadi novel berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistika menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam (Nurgiyantoro, 2013 : 18). Menurut Clara Reeve (Wellek dan Warren, 2014: 260) Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Sedangkan menurut Kosasih (2012: 60) Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Dari beberapa pengertian yang diungkapkan oleh beberapa pakar tersebut, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa novel adalah sebuah karya sastra
15 yang bersifat fiksi dalam bentuk tulisan/kata-kata dan berkisah tentang kehidupan tokoh dengan segala unsur instrinsik dan ekstrinsiknya. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian pada novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan oleh Ihwah Publishing House dan percetakan Ilwah Printing House, cetakan 1: Mei 2011, desain isi oleh Abdul Basith El Qudsy, sampul diolah dari Idiglobal.com, dengan ISBN 978-602-98221-6-8, Jakarta, tebal 292 halaman. 2.4 Konflik Batin Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting, akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau terkenal dalam pengkategorian di atas. Konflik merupakan unsur yang ensensial dalam pengembangan plot sebuah teks fiksi. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan dipengaruhi, untuk tidak dikatakan ditentukan, oleh wujud dan isi konflik, kualitas konflik, dan bangunan konflik yang ditampilkan. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan, suspense, cerita yang dihasilkan. Peristiwa-pwristiwa manusiawi yang seru, yang sensasional, yang saling berkaitan satu dengan yang lain yang menyebabkan munculnya konflik yang kompleks, biasanya cenderung disenangi pembaca. Konflik mungkin terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, perebutan sesuatu (misal: perempuan, pengaruh, kekayaan), pengkhianatan, balas dendam, dan lain-lain khas karakter manusia (Nurgiyantoro, 2013: 178-179).
16 Konflik juga merupakan salah satu sumber frustasi. Menurut Walgito (Ihsanto, 2014: 1), Frustasi dapat timbul karena adanya konflik antara motif keinginan manusia. Memang dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang atau sering individu menghadapi keadaan adanya bermacam-macam motif yang timbul secara berbarengan dan motif-motif itu tidak dapat dikompromikan satu dengan yang lain, melainkan individu harus mengambil pemilihan dari bermacam-macam motif tersebut. Keadaan ini dapat menimbulkan konflik dalam diri individu yang bersangkutan. Konflik-konflik yang dialami manusia dalam kehidupannya, seringkali menggugah sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra. Karya sastra menjadi sarana sastrawan untuk menyampaikan konflik-konflik yang dialami oleh manusia dalam kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pandangan mimetik yang mengatakan bahwa karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan Wiyatmi (Ihsanto, 2014: 1). Peristiwa dan konflik berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bakhan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa juga. Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, sebagaimana telah dikemukakan, dapat berupa peristiwa sifik maupun batin. Peristiwa fisik melibatkan aktivitas fisik, ada interaksi antara seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang di luar dirinya yang secara konkret dapat berwujud tokoh lain atau lingkungan. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, dalam hati dan pikiran seorang tokoh. Kedua bentuk peristiwa tersebut saling berkaitan. Bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik
17 batin, konflik eksternalv (external conflict) dan konflik internal (internal conflict) Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 181). Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin lingkungan manusia atau tokoh lain. Konflik eksternal dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: konflik fisik (physical conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik (atau disebut juga: konflik elemental) adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dan lingkungan alam. Sementara itu, konflik internal (atau: konflik kejiwaan, konflik batin), dipihak lain, adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam jiwa seorang tokoh (atau: tokoh-tokoh) cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri. Konflik itu lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pihak yang berbeda, harapan-harapan, atau masalahmasalah lainnya (Nurgiyantoro, 2013: 181). Dengan demikian, penelitan mengarah kepada identifikasi bentuk konflik yang dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal (external conflict) dan konflik internal (internal conflict) Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 181). Akan tetapi, peneliti hanya memfokuskan penelitian terhadap konflik batinnya saja.