BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian di Unit Perawatan Intensif (UPI), meskipun terdapat kemajuan luar biasa dalam terapi pada pasien sakit kritis dan perkembangan yang maju di semua aspek obat-obatan. Tingkat kematian akibat sepsis sekitar 30-40% dan meningkat sampai 70% pada kelompok pasien seperti orang tua atau dengan adanya penyakit kronik yang menyertainya (1). Pada suatu penelitian didapati tingkat kematian yang disebabkan oleh sepsis berat sekitar 25%- 30% dan syok sepsis40%-70% (2).Oleh karena masih tingginya tingkat mortalitas di UPI yang disebabkan oleh sepsis sehinggadibutuhkan instrument objektif yang dapat menentukan keparahan penyakit dan menilai prediksi mortalitas pasien sepsis yang masuk di UPI. Berbagai cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat dalam perawatan intensif. Ada 4 generasi sistem skor prognostik. Generasi pertama adalahacute Physiologic and Chronic Health EvaluationI ( APACHEI ). Generasi kedua terdiri dari APACHE II, Simplified Acute Physiology Score I ( SAPSI) dan Mortality Probability ModelI ( MPM I ).Generasi ketiga adalah APACHE III, SAPS II, dan MPM II.Generasi terakhir adalah APACHE IV, SAPS III, dan MPM III.Skor APACHE II telah banyak dilaporkan dapat memprediksi mortalitas pasien kritis, dengan alasan ini maka sistem skor ini paling banyak digunakan. Penggunaan sistem skor ini terutama pada pasien dengan infeksi, uji klinis, pemanfaatan sumber daya, peraturan pelayanan kesehatan, dan pada Suviving Sepsis Campaign. (3) Keempat generasisistem skorprognostik ini dihitung berdasarkan nilai parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam menerapkan sistim skortersebut ialah banyaknya parameter laboratorium yang mungkin tidak tersedia di semua unit perawatan intensif ( UPI ) di Indonesia. Selain itu dengan banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa juga akanmeningkatkan 1 1
pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di UPI. Oleh karena itu dibutuhkan parameter lainyang lebih sederhana dan biaya murah dimana dapat menggantikan sistem skor tersebut. Saat ini ada berbagai parameter independen yang telah diteliti untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di UPI seperti ph, defisit basa, laktat, anion gap, strong ion difference (SID) dan strong ion gap (SIG) (4). Pada pasien sepsis terjadi perubahan perfusi pada mikrosirkulasi sehingga terjadi gangguan distribusi oksigen. Kondisihipoperfusi, dan hipoksia jaringan mengakibatkan oksigen deliveri berkurang sehingga terjadi metabolisme anaerob di jaringanyang akhirnya menimbulkan keadaan asidosis metabolik. Keparahan asidosis metabolik telah digunakan untuk memprediksi mortalitas di UPI dan rumah sakit, (6-9) lama rawatan dan morbiditas rumah sakit, (8,10,11) keparahan sepsis dan gagal organ, (12) adanya iskemik usus (13) dan kebutuhan tranfusi (14) pada pasien bedah dan medis atau trauma di UPI.Salah satu parameter yang digunakan untuk mengidentifikasikan dan menilai derajat beratnya asidosis metabolik adalah defisit basa. (6) Defisit basa masih tetap menjadi salah satu marker di UPI untuk mendiagnosa adanya gangguan asidosis metabolik dan petunjuk resusitasi atau terapi (15-17). Nilai defisit basa setelah perdarahan mempunyai korelasi tinggi terhadap produksi asam laktat akibat tidak adekuatnya perfusi jaringan. (18,19) Defisit basa telah direkomendasikan sebagai marker pengganti untuk laktat karena berhubungan kuat antara defisit basa inisial dan laktat pada pasien trauma. (6,20) Defisit basa telah menunjukkan sebagai indikator nyata dari kehilangan darah (21), adekuatnya resusitasi (22,23) dan mortalitas pasien trauma (14,24).Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa defisit basa merupakan indikator yang baik untuk syok dan resusitasi oleh Davis dkk (25). Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pasien dengan defisit basa yang meningkat (DB<-10) angka mortalitasnya meningkat secara bermakna (21). Pada pasien trauma, Dunne dkk.menemukan defisit basa saat masuk merupakan prediktor keluaran, selain kadar laktat, mortalitas meningkat secara bermakna pada pasien dengan defisit basa <-6 mmol/l (26). Smith dkk.menunjukkan bahwa defisit basa dan laktat atau kombinasi keduanya dapat dijadikan sebagai prediktor keluaran pada pasien-pasien yang masuk ke UPI (27). Defisit basa merupakan indikator awal untuk mengidentifikasi pasien dengan hemodinamik tidak stabil, kebutuhan transfusi, dekompensasimetabolik dan 2
koagulasi, hingga kematian. Nilai defisit basa yang memburuk dari saat masuk rumah sakit sampai pada saat masuk UPI terdapat peningkatan angka mortalitas oleh Rixen (28). Pada 104 pasien dengan pankreatitis akut, Sanchez-Lozada dkk. (10) melaporkan bahwa defisit basa dapat memprediksi keparahan penyakit dengan sensitifitas 71% dan kematian dengan sensitifitas 100%. Takeuchi dkk. (13) menemukan bahwa defisit basa dapat memprediksi adanya gangren intestinum pada sejumlah pasien dengan obstruksi usus halus dan nilai absolut defisit basa berkaitan dengan ukuran dari segmen nekrosis usus. Pada penelitian lain menyatakan bahwa defisit basa dapat memprediksi mortalitas perioperatif setelah perbaikan dari aneurisma aorta abdominal yang robek (11), memprediksi mortalitas dan perubahan dari disfungsi organ multipel setelah thermal injury (12), dan berkorelasi dengan length of staydi UPI setelah operasi jantung (29). Dalam suatu penelitian dari 438 pasien yang menjalani operasi nonkardiak elektif, Beneath- Guerrero dkk. (30) menemukan bahwa defisit basa dapat memprediksi komplikasi postoperatif dan meningkatnya length of stay (P= 0.008), sedangkan variabel standart seperti denyut jantung, tekanan darah, temperatur dan urin output tidak dapat memprediksi hal tersebut. Defisit basa telah ditunjukkan bahwa lebih baik dari pengukuran konvensional terhadap asidosis, seperti ph atau serum anion gap (7,23,31,32). Dalam penelitian lain juga didapati bahwa peningkatan defisit basa yang menetap berkaitan dengan peningkatan mortalitas (6). Hal ini sesuai dengan yang didapati oleh Randolph dkk. dalam penelitiannya pada pasien trauma anak, mendapatkan bahwa pasien dengan defisit basa awal masuk -5, angka kematian 37% dimana 13 dari yang meninggal, 8 tidak pernah mencapai nilai defisit basa normal dan meninggal dalam waktu 33±18 jam (33).Sementara itu Husain dkk.dalam penelitiannya mendapatkan nilai defisit basa dan laktat mempunyai hubungan bermakna sebagai prediktor mortalitas terutama pada jam ke-24 dibandingkan dengan inisial (8).Lain halnya dengan Surbatovic dkk.dimanadalam penelitiannya mendapatkan bahwa defisit basa dan SAPS III adalah prediktor mortalitas yang baik (35).Berbeda halnya denganpahala Harry Siregar tahun 2006 dalam penelitiannya mendapatkan bahwa defisit basa inisial dan skor SAPS II yang tinggi secara independen berhubungan dengan peningkatan mortalitas di UPI Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).Juga dikatakan dalam penelitiannya bahwa 3
defisit basa inisial dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pada populasi pasien UPI RSCM serta perlu dilanjutkan penelitian yang bersifat prospektif dengan menambah nilai defisit basa pada jam ke-24 setelah pasien masuk UPI dan hubungannya dengan mortalitas (36).Sementara itu Park Macelo dkk.dalam penelitiannya mengatakan bahwa perubahan Standard Base Excess (SBE) dan kadar laktat serum masih menjadi pertanda outcomepada pasien sepsis berat dan syok sepsis yang mendapat Early Goal Direct Teraphy (EGDT) (34). Namun sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara defisit basa arteri pada jam ke-0 dan jam ke-24 dengan skor APACHE II sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di Berdasarkan latar belakang diatas inilah, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan linier antara defisit basa arteripada jam ke-0 dan jam ke-24 dengan skor APHACE II sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di 1.2. Rumusan masalah Apakah ada hubungan linier defisit basa arteripada jam ke-0 dan jam ke-24 dengan skor APHACE II sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di 1.3. Hipotesa Terdapat hubungan linier defisit basa arteripada jam ke-0 dan jam ke-24 dengan skor APHACE II sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat di 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum Mendapatkan alternatif lain yang lebih sederhana, mudah dan murah sebagai prediktor mortalitaspadapasien sepsisberat yangdirawat di 4
1.4.2. Tujuan khusus 1. Mendapatkan nilai defisit basa arteri pada jam ke-0 danjam ke-24 sebagai prediktormortalitas pada pasien sepsis beratyang di UPI RSHAM. 2. Mendapatkan nilai skor APACHE II sebagai prediktor mortalitaspada pasien sepsis beratyang dirawat di 3. Mendapatkan hubungan nilai defisit basa arteripada jam ke-0, jam ke- 24 dengan skor APACHE II sebagai prediktor mortalitaspasien sepsis berat di 4. Mendapatkan cut off point,sensitifitas dan spesifisitas dari defisit basa arteri jam ke-0, jam ke-24 dan skor APACHE II sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat di 1.5. Manfaat Penelitian Bila nilai defisit basa arteri pada jam ke-0 dan jam ke-24 mempunyai hubungan linier dengan skor APACHE II, maka nilaidefisit arteri pada jam ke-0 dan jam ke-24 jam dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di Mengurangi beban biaya dalam melakukan prediksi mortalitas pasien sepsis berat yang dirawat di Sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya. 5