HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Jenis Sampel

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan April Bahan dan Alat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

BAB I PENDAHULUAN.

BAB III BAHAN DAN METODE

Analisa Mikroorganisme

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN...v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN...

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

BAB I PENDAHULUAN. Toko Daging & Swalayan Sari Ecco merupakan salah satu industri

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA

Susu segar-bagian 1: Sapi

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

Antibiotik untuk Mahasiswa Kedokteran, oleh V. Rizke Ciptaningtyas Hak Cipta 2014 pada penulis

Pengkajian Residu Tetrasiklin Dalam Daging Ayam Pedaging, Ayam Kampung Dan Ayam Petelur Afkir Yang Dijual Di Kota Kupang

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM AIR SUSU SAPI

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Alat dan Bahan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

METODE PENELITIAN. Sikap Sikap terkait praktik higiene daging. Peubah Situasional SOP Pengawasan pimpinan. Gambar 4 Kerangka konsep penelitian

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

membunuh menghambat pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

25 Universitas Indonesia

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

BAB I PENDAHULUAN. dari proses pengolahan yang aman mulai dari bahan baku, produk setengah

II. METODELOGI PENELITIAN

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16. NO.1

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AMANKAH PANGAN ANDA???

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

CARA PRODUKSI PANGAN Jejaring Promosi Keamanan Pangan dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu Nasional SIAP SAJI YANG BAIK

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. adanya makanan maka manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Makanan

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. unggul. Telur itik Mojosari banyak digemari konsumen. Walaupun bentuk badan itik

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MAKANAN ENTERAL

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN. mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Kebijakan Pemerintah terkait Logistik Peternakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food

Transkripsi:

33 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Jenis Sampel Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Namun daging sapi berisiko mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat merugikan kesehatan orang yang mengonsumsi daging tersebut. Hasil survei residu antibiotika pada daging sapi yang dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, ternyata masih ditemukan residu antibiotika, oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan terhadap keamanan daging sapi khususnya residu antibiotika. Sampel yang diperoleh dari daging sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok dengan rincian sebagai berikut, 31 sampel berasal dari Australia dan 39 sampel berasal dari Selandia Baru. Daging sapi yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru diangkut menggunakan kapal besar yang didisain khusus sebagai alat pengangkut barang/kontainer. Daging disimpan dalam kontainer dengan suhu -20 ºC, bersama-sama dengan produk hewan lainnya seperti jantung, hati, lidah, dan ekor (buntut). Di dalam kontainer, komoditi tersebut disusun rapi dan disegel menggunakan kunci dengan kode nomor tertentu yang tercatat dalam dokumen impor. Kunci didisain khusus sehingga selama perjalanan kontainer tersebut tidak dapat dibuka. Suhu kontainer tersebut harus tetap terjaga, stabil dan tercatat selama dalam perjalanan sampai dilakukan pembongkaran kontainer di instalasi karantina produk hewan (IKPH). Lama perjalanan daging sapi dari negara pengimpor ke Indonesia tergantung dari negara asalnya. Dari Australia memerlukan waktu 5-6 hari dan Selandia Baru, selama 8-9 hari. Setelah tiba di Indonesia, daging tersebut diperiksa kelengkapan administrasi impornya, kemudian kontainer dibawa ke IKPH milik importir yang telah mendapatkan ijin (berdasarkan studi kelayakan instalasi karantina produk hewan) dari Badan Karantina Pertanian. Pembukaan segel/kunci dilakukan di IKPH yang diawasi oleh dokter hewan karantina yang bertugas, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan kesesuaian jumlah komoditi yang ada berdasarkan dokumen impor.

34 Pengambilan sampel dilakukan terhadap setiap daging impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Priok, dilakukan pengambilan satu sampel untuk setiap satu dokumen impor, hingga terpenuhi 70 sampel yang diinginkan. Kegiatan impor daging dan pengambilan sampel ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 Kegiatan pemeriksaan dan pengambilan sampel daging sapi impor. Hasil Pengujian Sampel dengan Rapid Test Pengujian residu antibiotika pada daging sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok dilakukan dengan menggunakan dua metode yang berbeda, yaitu dengan rapid test dan bioassay berdasarkan SNI No.7424:2008. Pada penelitian ini Premi Test digunakan sebagai rapid test. Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif mengunakan kit Premi Test (rapid test komersial) sebanyak 24 dari 70 sampel atau 34.29% dari yang diperiksa. Hasil pengujian dengan menggunakan Premi Test disajikan pada Tabel 9.

35 Tabel 9 Hasil pengujian residu antibiotika dalam daging sapi impor menggunakan rapid test Jumlah sampel (n) n positif Persentase 70 24 34.29% Keberadaan residu antibiotika dalam daging sapi dapat dideteksi dengan menggunakan Premi Test sebagai uji tapis. Alat ini memiliki kemampuan mendeteksi residu antibiotika dari beberapa golongan antibiotika antara lain golongan beta laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, dan sulfonamida dengan deteksi limit yang berbeda-beda. Hasil negatif dapat diartikan bahwa sampel yang diuji tidak mengandung antibiotika atau konsentrasi residu yang terkandung di dalam sampel lebih rendah dari limit deteksi Premi Test. Untuk sampel yang menunjukkan hasil positif dapat diartikan bahwa sampel yang diperiksa mengandung residu antibiotika dengan konsentrasi sama dengan atau di atas limit deteksi dari Premi Test. Konsentrasi residu pada sampel yang menunjukkan hasil positif dapat berada di bawah atau dapat pula berada di atas BMR yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000 tentang batas maksimal cemaran mikroba dan batas residu dalam bahan pangan asal hewan. Hasil positif menunjukkan kemampuan antibiotika untuk menghambat pertumbuhan Bacillus stearothermophilus yang sangat peka terhadap antibiotika dan golongan sulfa. Bakteri Bacillus stearothermophilus dalam jumlah tertentu dikultur pada ampul Premi Test dan ditambahkan selected nutrients, serta indikator ph yaitu bromocresol purple. Bakteri Bacillus stearothermophilus akan tumbuh setelah diinkubasi selama 3 jam pada suhu 64 ºC. Pertumbuhan bakteri Bacillus stearothermophilus akan dihambat apabila sampel yang dimasukkan mengandung antibiotika, yang ditandai dengan tidak terjadi perubahan warna (tetap berwarna ungu). Sebaliknya, jika sampel yang dimasukkan tidak mengandung antibiotika, atau konsentrasinya berada di bawah limit deteksi Premi Test, maka bakteri Bacillus stearothermophilus akan tumbuh,

36 memperbanyak diri dan memproduksi asam. Proses ini ditandai dengan perubahan indikator ph yang sebelumnya berwarna ungu berubah menjadi kuning. Metode pengujian yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika sangatlah beragam dengan sensitifitas dan spesifisitas yang bervariasi. Berkembangnya metode pengujian residu antibiotika dengan waktu pengujian yang relatif cepat, mulai digunakan sebagai pilihan uji tapis, karena waktu yang dibutuhkan dan tahapan pengujian yang sederhana. a b c d e Gambar 5 Pengujian Premi Test : (a) starter kit Premi Test; (b) kit Premi Test; (c) sampel dimasukkan dalam ampul Premi Test; (c) inkubasi 3 jam; (e) hasil pengujian. Pengujian dengan menggunakan Premi Test merupakan pengujian screening dengan hasil yang bersifat kualitatif, sehingga hasil positif pada pengujian tersebut harus dikonfirmasi lebih lanjut. Hasil Pengujian Sampel dengan Bioassay Bioassay yang juga dikenal dengan four plate method merupakan metode deteksi residu antibiotika yang banyak digunakan saat ini. Metode ini masih digunakan di laboratorium di Eropa dalam rangka pengawasan bahan pangan asal hewan. Variasi dari metode ini dengan perbedaan pada jumlah dan jenis strain bakteri akan mempengaruhi jumlah cawan yang digunakan, periode inkubasi, ph dari media dan jumlah media yang digunakan sebagai media yang optimal untuk

37 pertumbuhan bakteri, yang seluruhnya memiliki perbedaan terhadap tingkat deteksinya (Kirbiš 2010). a b c d Gambar 6 Pengujian bioassay : (a) sampel yang telah ditimbang; (b) persiapan media agar; (c) meletakkan kertas cakram yang telah ditetesi sampel di atas agar; (d) luas hambatan yang terbentuk pada kontrol dan sampel. Pengujian terhadap 70 sampel daging sapi impor dengan menggunakan bioassay diperoleh hasil bahwa 17 sampel menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan kuman, yaitu 14 sampel mengandung residu dari golongan beta laktam, 12 sampel mengandung residu dari golongan tetrasiklin, 2 sampel mengandung residu dari golongan makrolida, dan 1 sampel mengandung residu dari golongan aminoglikosida. Dari pengujian bioassay juga diperoleh hasil bahwa 1 sampel menunjukkan terjadi hambatan pada empat golongan antibiotika (beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida), 1 sampel menunjukkan terjadinya hambatan pada tiga golongan antibiotika (beta laktam, tetrasiklin, dan makrolida) dan 8 sampel menunjukkan terjadinya hambatan pada 2 golongan antibiotika (beta laktam dan tetrasiklin). Hasil pengujiian bioassay selengkapnya ditampilkan pada Tabel 10.

38 Tabel 10 Hasil pengujian residu antibiotika dalam daging sapi impor dengan bioassay Identitas sampel Konsentrasi hasil uji (ppm) Beta laktam Tetrasiklin Makrolida Aminoglikosida 1 3.5 45 28 36 4-63 - - 5 2.2 25 - - 10-19 - - 11 2.7 41 16-16 2 41 - - 17 2.1 90 - - 19 2.6 48 - - 24 2.5 - - - 42 2.8 25 - - 44 3.3 - - - 45 2.2 42 - - 53 3 - - - 57 2.4 - - - 58 2.1 15 - - 64-34 - - 65 2.3 - - - Bioassay merupakan pengujian yang bersifat semikuantitatif. Luas daerah hambatan yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong, dan dimasukkan dalam kurva standar masing-masing golongan antibiotika, sehingga dapat diperkirakan konsentrasi antibiotika yang terkandung dalam sampel tersebut. Konsentrasi tertinggi dari sampel yang diuji pada antibiotika golongan beta laktam adalah 3.5 ppm, tetrasiklin konsentrasi sampel yang tertinggi adalah 90 ppm, makrolida konsentrasi sampel yang tertinggi adalah 28 ppm, dan antibiotika aminoglikosida adalah 36 ppm. Konsentrasi residu antibiotika dalam sampel yang diuji menunjukkan bahwa kandungan antibiotika masih berada di bawah BMR standar SNI No. 01-6366-2000 tentang batas maksimal cemaran mikroba dan batas residu dalam bahan pangan asal hewan yang ditetapkan, yaitu untuk golongan beta laktam (penisilin) adalah 10 ppm, golongan tetrasiklin

39 sebesar 100 ppm, golongan makrolida adalah 100 ppm, dan golongan aminoglikosida (neomisin) adalah 50 ppm. Adanya residu antibiotika golongan beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida dalam daging sapi impor dari Australia dan Selandia Baru kemungkinan disebabkan tingginya penggunaan antibiotika pada sapi potong di negara tersebut. Hal ini terkait dengan kejadian penyakit yang terjadi di negara-negara tersebut. Konsentrasi residu antibiotika dalam sampel daging sapi impor yang diperiksa, menandakan bahwa telah diperhatikannya waktu henti obat (withdrawal time) sebelum ternak dipotong, sehingga konsentrasi residu antibiotika yang terdapat dalam daging tidak melebihi standar BMR (SNI No.01-6366-2000) yang ditetapkan. Rapid test dan Bioassay dalam Pengujian Residu Antibiotika Hasil pengujian yang diperoleh dengan menggunakan rapid test dan bioassay menunjukkan hasil yang berbeda diantara kedua metode tersebut. Pada pengujian residu antibiotika menggunakan rapid test diperoleh 24 sampel positif, sedangkan pada pengujian menggunakan bioassay diperoleh 17 sampel yang menunjukkan adanya hambatan kuman, sehingga terdapat 7 sampel yang menunjukkan hasil yang berbeda pada pengujian dengan menggunakan rapid test dan bioassay. Berdasarkan perbandingan dari dua metode tersebut menunjukkan bahwa hasil positif lebih banyak diperoleh dengan menggunakan rapid test dibandingkan bioassay. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, pertama Premi Test merupakan alat yang sensitif terhadap residu semua golongan antibiotika. Premi Test tidak hanya sensitif terhadap golongan beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida, namun sensitif juga terhadap residu dari golongan sulfonamid, kuinolon, polipeptida, ionophores, dan oligosakarida. Faktor inilah yang kemungkinan dapat menyebabkan sampel positif menggunakan rapid test namun negatif menggunakan bioassay. Hal ini disebabkan residu yang terkandung

40 di dalam sampel tersebut merupakan antibiotika di luar golongan yang diuji menggunakan bioassay. Kedua, Premi Test memiliki limit deteksi yang lebih rendah dibandingkan bioassay, sehingga sampel yang positif menggunakan rapid test, namun negatif menggunakan bioassay. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi antibiotika yang terkandung dalam sampel lebih rendah dari limit deteksi bioassay. Ketiga, perbedaan hasil pengujian yang diperoleh dari dua metode tersebut dikarenakan adanya gabungan dari beberapa golongan antibiotika dengan konsentrasi rendah yang terdapat dalam satu sampel sehingga masih dapat terbaca sebagai sampel positif pada rapid test. Pada Tabel 11 dapat sdilihat perbedaan hasil pengujian antara rapid test dan bioassay. Tabel 11 Hasil pengujian residu antibiotika dalam daging sapi impor dengan rapid test dan bioassay Identitas sampel Jenis Uji Rapid test Bioassay 1 + + 3 + - 4 + + 5 + + 10 + + 11 + + 14 + - 16 + + 17 + + 18 + - 19 + + 22 + - 24 + + 25 + - 42 + + 44 + + 45 + + 49 + - 53 + + 57 + + 58 + + 64 + + 65 + + 66 + -

41 Berdasarkan hasil pengujian yang telah diperoleh, rapid test (Premi Test) dapat direkomendasikan untuk digunakan oleh Badan Karantina Pertanian sebagai uji tapis terhadap adanya residu antibiotika dalam daging sapi impor maupun domestik, karena memiliki sensitifitas yang baik. Hal ini terlihat dari semua hasil positif pada pengujian dengan bioassay juga positif pada pengujian dengan Premi Test. Menurut Salman (2008) dalam memilih metode uji untuk keperluan uji tapis, maka metode yang memiliki sensitifitas yang tinggi menjadi pertimbangan utama karena semakin tinggi nilai sensitifitas, maka semakin kecil kemungkinan diperoleh negatif palsu. Keuntungan lain dari penggunaan rapid test sebagai uji tapis, berdasarkan waktu pengujian, rapid test membutuhkan waktu 3.5-4 jam, sedangkan bioassay membutuhkan waktu 20-22 jam, sehingga dengan pengujian menggunakan rapid test dapat menghemat waktu 16.5-18 jam. Disamping itu dari segi ekonomi, pengujian rapid test lebih murah dibandingkan dengan bioassay. Pengujian menggunakan rapid test jauh lebih efisien dibandingkan dengan bioassay dan rapid test tidak membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki keahlian khusus dalam pengerjaannya. Sedangkan, pengerjaan pengujian dengan bioassay memerlukan SDM dengan keahlian khusus dalam melakukan beberapa tahapan yang dibutuhkan, diantaranya persiapan sampel, persiapan media, persiapan larutan baku kerja, dan penanganan kuman yang akan digunakan dalam pengujian. Dalam penggunaan rapid test perlu diperhatikan beberapa hal penting, diantaranya penanganan dan masa kadaluarsa kit rapid test. Bahaya Residu Antibiotika dalam Daging Sapi Impor terhadap Kesehatan Masyarakat Indonesia Berdasarkan pemeriksaan residu antibiotika pada daging sapi impor, dapat memberikan gambaran bahwa di negara pengekspor daging yaitu Australia dan Selandia Baru masih menggunakan antibiotika pada peternakan sapi potong. Antibiotika yang digunakan terutama golongan beta laktam dan tetrasiklin. Daging yang diimpor dari kedua negara tersebut mengandung residu antibiotika

42 dari golongan tersebut. Konsentrasi residu yang terdapat dalam daging sapi yang diperiksa masih berada di bawah standar BMR, menunjukkan bahwa telah diperhatikannya masa henti obat dalam penggunaan antibiotika di negara pengekspor. Konsentrasi yang terdeteksi masih berada di bawah BMR, namun harus mendapat perhatian yang sangat serius karena menyangkut keamanan pangan. Berdasarkan Undang Undang Pangan nomor 7 tahun 1996, keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Indonesia menetapkan standar maksimum residu dalam produk asal ternak yang dituangkan dalam SNI No. 01-6366-2000. Standar tersebut berlaku untuk produk asal hewan baik impor maupun dalam negeri. Penggunaan antibiotika pada ternak dapat mengakibatkan residu pada produk ternak yang dihasilkan seperti daging, susu, dan telur yang dikonsumsi manusia. Antibiotika yang digunakan sebagai terapi akibat penyakit yang disebabkan infeksi bakteri harus memperhatikan waktu henti obat pada saat ternak dipotong. Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan akan menghasilkan akumulasi residu dalam produk hewan, yang akan berakibat buruk terhadap kesehatan manusia karena bersifat racun, mengakibatkan perubahan mikroflora normal dalam saluran pencernaan, dan mengakibatkan munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Nisha 2008). Ancaman yang paling berbahaya dalam hal terapi menggunakan antibiotika adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika. Resistensi bakteri terhadap antibiotika golongan beta laktam adalah kemampuan bakteri menghasilkan enzim beta laktamase (penisilinase). Pada bakteri Gram positif, enzim ini dieksresikan ke dalam media pertumbuhan, tetapi pada bakteri Gram negatif enzim ini tetap berada di dalam sel (Nogrady 1992). Enzim beta laktamase menginaktifkan antibiotika beta laktam dengan cara menghidrolisis cincin beta laktam sehingga dihasilkan produk yang tidak aktif, yaitu asam penisiloat. Enzim ini disekresi di periplasma dan dapat merusak antibiotika beta laktam sebelum mencapai target (Mossova dan Mobashery 1998). Enzim beta laktamase telah

43 mengalami perkembangan dan mutasi yang menyebabkan resistensinya terhadap antibiotika beta laktam semakin kuat. TEM-1 dan SME-1 merupakan salah satu contoh beta laktamase hasil mutasi. Dilaporkan bahwa tiga generasi terbaru antibiotika beta laktam mampu dihidrolisis oleh TEM-1 beta laktamase, sehingga mengakibatkan pengobatan menggunakan beta laktam tidak efektif lagi, proses penyembuhan lebih lama, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi, dan penyakit menjadi semakin parah (Kang et al. 2000). Melihat dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan, WHO sebagai badan kesehatan dunia sejak tahun 2006 telah melarang penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan pada ternak. Antibiotika hanya digunakan sebagai terapi dengan pengawasan dokter hewan. WHO menghimbau untuk meminimalisir penggunaan antibiotika pada peternakan dengan cara peningkatan kesehatan ternak melalui peningkatan biosecurity, pencegahan penyakit melalui program vaksinasi, menerapkan manajemen, praktik, dan higiene yang baik pada peternakan (WHO 2011). Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri, kensumen, dan media. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan, undang-undang dan penegakan hukum, memberikan bimbingan dan pendidikan keamanan pangan, melakukan surveilan dan pengumpulan data. Pelaku industri harus mengetahui dan menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) sebagai suatu pedoman memproduksi makanan yang baik agar dihasilkan produk yang bermutu, serta menerapkan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) yang merupakan manajemen sistem keamanan pangan dengan konsep safe from farm to table yaitu menjamin keamanan pangan sejak di peternakan hingga dikonsumsi oleh konsumen. Keamanan pangan berkaitan erat dengan rantai penyediaan pangan terutama proses pra produksi. Faktor pakan, penyakit hewan, dan penggunaan obat hewan memegang peranan penting. Untuk itu penerapan HACCP pada setiap rantai penyediaan pangan asal hewan akan dapat menjamin keamanan produk yang dihasilkan. Masyarakat sebagai konsumen diharapkan memiliki pengetahuan yang baik tentang keamanan pangan khususnya bahaya residu antibiotika yang terdapat dalam produk peternakan serta

44 teliti dalam memilih produk dan bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi. Media juga ikut bertanggung jawab memberikan informasi yang benar terhadap semua aspek yang berkaitan dengan keamanan pangan. Karantina sebagai institusi yang memiliki peran yang penting dalam kegiatan ekspor dan impor wajib mendukung jaminan keamanan pangan, khususnya komoditi impor hewan dan produk asal hewan yang akan dikonsumsi masyarakat dengan melakukan pengawasan di seluruh tempat pemasukan dan pengeluaran. Untuk itu karantina selalu membutuhkan teknik dan metode pengujian yang cepat, tepat, dan akurat dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia.