BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh keberhasilan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki sifat yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini ditentukan oleh status gizi yang baik. Oleh karena itu masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi serta tidak langsung oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi budaya dan politik, dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunaan nasional (Dinkes Propinsi Sumatera Utara, 2006). Status gizi yang baik untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin yakni sejak manusia itu masih berada dalam kandungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah makanannya. Melalui makanan manusia mendapatkan zat gizi yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk tumbuh dan berkembang. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makan pada bayi baik dari jumlah, jenis dan frekuensi makanan secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab terjadinya masalah kurang gizi pada bayi (Husaini, 1999). Bayi adalah anak yang berusia 0-12 bulan dan merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi, oleh sebab itu bayi memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar, tidak saja cara perawatannya, namun pola pemberian makan juga sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan bayi (Husaini, 1999).
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu: (1) Memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir; (2) Memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan; (3) Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan; (4) Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan. Disamping itu juga MP-ASI disediakan berdasarkan bahan lokal bila memungkinkan, MP-ASI harus mudah dicerna, harus disesuaikan dengan umur dan kebutuhan bayi dan MP-ASI harus mengandung kalori dan mikronutrien yang cukup (Depkes RI, 2006). Meski demikian perkembangan pelaksanaan di lapangan menunjukan banyaknya pelanggaran yang merenggut hak bayi atas ASI eksklusif enam bulan tersebut yaitu dengan menjejali bayi yang baru lahir dengan produk makanan pendamping ASI. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, terdapat 32% ibu yang memberikan makanan tambahan kepada bayi berumur 2 3 bulan, seperti bubur nasi, pisang, dan 69% terhadap bayi berumur 4 5 bulan. Selain itu, dari penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, ditemukan bahwa praktek pemberian makan pada bayi sebelum usia 1 bulan mencapai 32,4% dan pada usia tersebut didapatkan 66,7% jenis makanan yang diberikan adalah pisang (Litbangkes, 2003). Aceh Utara merupakan salah kabupaten yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di daerah ini masih memiliki adat yang dapat menyebabkan pemberian
MP-ASI kepada bayi yang terlalu dini. Bayi berumur tujuh hari dirayakan dengan adat peucicap yaitu bayi diperkenalkan makanan dengan mencampur berbagai macam rasa makanan seperti diberikan sari buah (pisang, apel, jeruk, anggur, nangka), gula, garam, madu yang dioleskan pada bibir bayi disertai dengan doa dan pengharapan dengan kata-kata agar si bayi kelak tumbuh menjadi anak yang saleh, berbakti kepada kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa. Setelah adat peucicap selesai berarti bayi sudah boleh diberikan makanan (Norman, 2010). Di Aceh Utara sendiri, selain ibu, nenek juga berperan memberikan makanan kepada bayi. Biasanya bayi diberikan makanan berupa pisang awak yang dikerok maupun yang dilumatkan dan dicampur dengan nasi. Alasan mengapa bayi diberikan pisang awak karena mereka beranggapan bahwa pemberian ASI belum cukup mengenyangkan bagi si bayi, terkadang bayi sering menangis dan dianggap lapar serta ibu menginginkan bayinya cepat gemuk. Memberikan pisang awak ini sudah menjadi tradisi turun temurun. Hasil penelitian Sari (2010) yang dilakukan di Kabupaten Bireuen menunjukkan bahwa 24 anak diberikan makanan tambahan pada usia di bawah 1 bulan dan 83,3% anak diberikan pisang yang dihaluskan. Jenis pisang yang sering diberikan adalah pisang awak dan pisang ayam. Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, cara pembuatannya. Kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, salah satunya adalah pemberian makanan yang terlalu dini. Pemberian makanan terlalu dini dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar yang dapat mempengaruhi
status gizi bayi (Hayati, 2009). Hasil penelitian Pardosi (2009) di Kelurahan Mangga Perumnas Simalingkar Medan menunjukkan bahwa 26,1% bayi mengalami susah buang air besar dan diare 15,2% akibat pemberian makanan tambahan di bawah usia kurang enam bulan. Menurut data dari Puskesmas Dewantara, cakupan pemberian ASI Eksklusif di Desa Paloh Gadeng tahun 2010 hanya mencapai 8,2%. Hal ini menggambarkan bahwa masih ada praktek pemberian MP-ASI dini pada bayi usia di bawah 6 bulan. Angka kejadian diare pada bayi di Desa Paloh Gadeng setiap bulannya rata-rata mencapai 10 kasus (Laporan Bulanan Pustu Dewantara, 2010). Desa Paloh Gadeng adalah salah satu desa di antara 15 desa yang ada di wilayah Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Menurut hasil survei pendahuluan yang peneliti lakukan, di Desa Paloh Gadeng dijumpai masih banyak ibu-ibu yang memberikan makanan berupa pisang awak yang dilumatkan pada bayi sejak usia dini. Secara teoritis diketahui bahwa pemberian makan yang terlalu dini pada bayi dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, sembelit/konstipasi, muntah, dan alergi. Mengacu dari uraian latar belakang di atas, penulis ingin mengetahui pola pemberian pisang awak, status gizi dan gangguan saluran pencernaan pada bayi usia 0-12 bulan di Desa Paloh Gadeng Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2011.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana pola pemberian pisang awak, status gizi dan gangguan saluran pencernaan pada bayi usia 0-12 bulan di Desa Paloh Gadeng Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2011. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pola pemberian pisang awak, status gizi dan gangguan saluran pencernaan pada bayi usia 0-12 bulan di Desa Paloh Gadeng Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2011. 1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui pola pemberian ASI pada bayi yang meliputi waktu pemberian, frekuensi pemberian, dan durasi pemberian di Desa Paloh Gadeng. 1.4. Manfaat Penelitian Memberikan informasi kepada petugas kesehatan di Puskesmas Dewantara tentang gambaran pola pemberian pisang awak, status gizi dan gangguan pencernaan pada bayi usia 0-12 bulan.