BAB I PENDAHULUAN. Peranan pendidikan menjadi sangat vital jika melihat perkembangan yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional melalui Undang-undang Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

8. Apakah Saudara merasa kesulitan dalam mengajar dan mendidik anak didik terkait dengan berbagai karakteristik khas yang dimiliki anak didik?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAMPIRAN I : KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL. sedang melakukan penelitian mengenai kondisi para dokter muda selama bertugas di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

Angket 1 No Pernyataan SS S TS STS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

Lampiran 1. Hasil Validitas dan Reliabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

Lampiran 1. Uji validitas dan reliabilitas. Hasil try out Penyesuaian diri

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hendaknya memiliki kemampuan untuk memberi kesan yang baik tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini peranan sumber daya manusia berkembang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

Perkembangan Sepanjang Hayat

Skala Agresivitas Petunjuk Pengisian Skala

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

ARTIKEL ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 10 KOTA JAMBI. Oleh: HENNI MANIK NIM:ERA1D009123

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSEP, FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian, teknologi, maupun pendidikan. Perkembangan dunia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. sangat mudah untuk diakses dan dibaca oleh masyarakat luas. Dalam menghadapi

Lampiran 1 Cara pengukuran variabel Tujuan Hidup dan Cita-cita : Variabel ini terdiri dari 10 butir pertanyaan dengan skala likert 1-5.

Kecerdasan Emosional. Adaptasi dari James D.A Parker et al,2011. Kelas :. Umur :...

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi yang dimilikinya.oleh karena itu, sangat diperlukan adanya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan pendidikan menjadi sangat vital jika melihat perkembangan yang terjadi dalam dunia globalisasi saat ini. Dunia pendidikan mampu memotivasi terciptanya teknologi yang bisa diadaptasi, diimitasi bahkan disebarkan dengan cara yang cepat dan mudah. Hal tersebut dapat mendukung laju perkembangan suatu negara (http://re-searchengines.com/). Begitu pentingnya pendidikan untuk kemajuan sebuah bangsa, tahun 1972, The International Comission for Education Development dari UNESCO sudah mengingatkan bangsa-bangsa bahwa jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan sebuah bangsa harus dimulai dengan pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan inilah yang membuat sebagian besar negara di dunia memberi prioritas tinggi akan pendidikan, mengadakan modernisasi dan penyempurnaan lembaga-lembaga pendidikan serta tidak segan-segan mengadakan pembaruan (Sindhunata, 2001). Salah satu jenjang yang ada dalam lembaga pendidikan yaitu jenjang SMP. Siswa SMP yang pada umumnya berusia sekitar 13 tahun hingga 15 tahun, berada pada masa remaja ketika pencarian identitas dan mengejar kebebasan menjadi suatu hal yang sangat penting (Santrock, 2002). Dalam menghadapi karakteristik siswa yang sedang dalam masa pencarian identitas dan pengejaran kebebasan, dibutuhkan peran seorang guru yang bukan hanya mampu mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga mampu mendidik dan membimbing 1

2 siswanya. Guru membimbing siswa agar ketika mereka ingin bebas, mereka tetap paham bahwa kebebasannya juga dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga tidak bisa semaunya melakukan kehendak mereka, ada aturan-aturan yang harus ditaati. Selain itu, siswa SMP yang sedang dalam masa pencarian identitas diri seringkali melakukan modelling (Santrock, 2002). Mereka mencontoh perilaku atau sifat-sifat yang ada dalam diri orang-orang yang signifikan baginya. Dalam hal ini, guru turut berperan untuk menjadi sosok panutan yang patut ditiru dan diteladani siswa. Mendidik dan membimbing siswa bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Ada kalanya siswa yang dibimbing tidak mau menuruti aturan yang dibuat oleh guru, bahkan sampai berani melawan gurunya. Ada beberapa guru yang karena terlalu kesal kepada siswa, pada akhirnya sampai melakukan tindak kekerasan kepada siswa. Berdasarkan pengakuan dari salah seorang siswa di suatu sekolah negeri, ada guru yang suka mencubit, memukul memakai penggaris panjang dan menghukum lari lapangan, hanya karena siswa terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tersebut (http://nuritaputranti.wordpress.com/). Suparlan (2006) menjelaskan bahwa guru memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai pendidik, pembimbing, pengajar dan pelatih. Guru sebagai pendidik lebih banyak sebagai sosok panutan yang memiliki nilai moral dan agama yang patut ditiru serta diteladani oleh siswa. Contoh dan keteladanan itu lebih merupakan aspek-aspek sikap dan perilaku. Guru sebagai pengajar diharapkan memiliki pengetahuan yang luas tentang

3 disiplin ilmu yang diajarkannya. Guru harus menguasai materi yang akan diajarkan dan metode mengajar yang akan digunakan. Dalam perannya sebagai pembimbing, guru perlu memiliki kemampuan membimbing siswa dan memberikan dorongan psikologis agar siswa dapat mengesampingkan hal-hal yang akan mengganggu proses belajarnya. Guru sebagai pelatih harus memberikan sebanyak mungkin kesempatan bagi siswa untuk dapat menerapkan teori ke dalam praktik yang akan digunakan langsung dalam kehidupan. Kasus kekerasan guru terhadap siswa, yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, jika dikaitkan dengan peran seorang guru tentunya akan menjadi suatu hal yang berlawanan, terutama dengan perannya sebagai pendidik. Tindakan mencubit dan memukul siswa bukanlah suatu contoh dan teladan yang baik untuk ditiru. Dalam hal ini guru telah gagal menjalankan perannya sebagai pendidik yang seharusnya menjadi sosok panutan yang memiliki nilai moral yang patut ditiru serta diteladani oleh siswa. Guru seharusnya belajar untuk mengendalikan emosinya agar dapat diungkapkan dengan cara yang tepat. Salah satu kecerdasan yang berperan penting dalam pengelolaan emosi yaitu kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memonitor perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain, membedakan emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi ini untuk menuntun atau mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey dalam Goleman, 2001). Kecerdasan emosional meliputi lima area utama yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.

4 Salah satu sekolah yang menarik perhatian peneliti adalah SMP X di Bandung. Berdasarkan penjelasan dari salah seorang guru Bimbingan dan Konseling di SMP X, jumlah siswa SMP X sekitar 117 orang, dengan jumlah kelas sebanyak enam kelas, terdiri dari satu kelas VII, dua kelas VIII, dan tiga kelas IX. Jumlah siswa dalam setiap kelasnya kurang lebih 20 orang. Siswa SMP X jika dibandingkan dengan siswa SMP lainnya dalam hal akademik tergolong kurang mampu, dan sebagian besar dari mereka merupakan siswa yang tidak diterima di SMP lain. Siswa SMP X juga kreatif, dalam arti kemampuan mereka dalam bidang lain, seperti seni, musik, lebih berkembang dibandingkan dengan bidang akademik. Jumlah guru di SMP X ini berjumlah kurang lebih 20 orang dengan usia kurang lebih antara 20 hingga 40 tahun. Pengalaman mengajar sebagian besar guru masih di bawah lima tahun. Dengan usia yang relatif masih muda dan pengalaman mengajar yang belum terlalu lama, beberapa di antara mereka merasa kesulitan untuk menangani siswa SMP X yang pada umumnya kurang dalam hal akademik, sehingga seringkali tingkah laku siswa pun menjadi sulit diatur. Siswa masih banyak yang bertindak sesuka hatinya tanpa memperhatikan aturan-aturan yang berlaku di SMP X ini, seperti sering tidak mengerjakan PR, kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas, melawan perintah guru. Ada guru yang bahkan pernah memukul kepala siswanya memakai buku karena sangat kesal terhadap tingkah laku siswa tersebut. Koordinator Bimbingan dan Konseling di SMP X Bandung mengatakan bahwa sebagian besar guru di SMP X kurang mampu untuk mengendalikan

5 emosinya ketika menghadapi siswa yang bermasalah di kelas. Beberapa guru menjadi sering marah di kelas karena kelakuan siswa yang dinilai kurang ajar, meskipun hanya sedikit guru yang pernah melakukan hukuman fisik, seperti memukul siswa. Guru membentak siswa sehingga merusak relasi antara guru dengan murid. Hal ini jika dibiarkan tentunya akan berlawanan dengan harapan SMP X, yaitu guru diharapkan dapat mendidik siswa bukan hanya supaya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang baik. Siswa SMP X yang kurang secara akademik sehingga sering bertindak sesuka hatinya tanpa mempedulikan aturan-aturan yang berlaku di sekolahnya, tentunya membutuhkan bimbingan dari guru agar siswa bisa mulai belajar untuk mengendalikan emosinya, yang merupakan salah satu penunjang terciptanya karakter yang baik dalam diri siswa. Oleh karena itu, guru SMP X turut memiliki peran yang cukup besar sebagai pembimbing bagi siswanya. Guru dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana cara mengungkapkan emosinya dengan tepat. Guru sebagai pembimbing diharapkan sudah terlebih dahulu mampu untuk mengungkapkan emosinya dengan tepat, agar dapat menjadi contoh bagi siswa. Dalam hal ini guru SMP X perlu memiliki kecerdasan emosional. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam orang guru SMP X, diperoleh hasil sebanyak dua orang menghayati dirinya kurang mampu untuk mengenali emosi apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Mereka pernah beberapa kali merasa bingung antara sedih, kesal dan benci misalnya, dan tidak mampu mengenali penyebab munculnya emosi tersebut. Empat orang lainnya menghayati bahwa mereka sudah cukup mampu untuk mengenali emosi dalam

6 dirinya karena mereka suka merenungkan kembali setiap hal yang sudah dialaminya sehingga lebih mengenali emosi yang dirasakannya. Dalam hal pengelolaan emosi, empat orang menghayati dirinya kurang mampu mengelola emosinya terutama ketika marah atau kesal kepada siswa. Mereka menghayati dirinya sering kesulitan untuk menghadapi siswa yang tingkah lakunya sangat sulit untuk diatur, berani bersikap kurang ajar dan bertindak semaunya. Mereka jadi sering membentak siswa yang menyebabkan hubungan antara guru dengan siswa tersebut menjadi renggang. Sedangkan dua orang lainnya menghayati dirinya mampu mengelola emosinya. Mereka merasa mampu untuk menahan emosinya dan berusaha untuk tetap sabar menghadapi siswa yang sulit diatur. Dari empat orang guru yang menghayati dirinya kurang mampu mengelola emosi, dua orang di antaranya terkadang menyimpan kemarahan atau kekesalannya kepada siswa di dalam hatinya karena tidak dapat mengungkapkannya secara langsung sehingga ada kalanya kemarahan itu keluar pada saat atau orang yang tidak tepat. Ketika mereka berelasi dengan rekan pengajar lainnya dan ada sesuatu hal yang menyinggung perasaan mereka, emosi mereka langsung terpancing, sehingga menimbulkan pertengkaran di antara sesama rekan pengajar. Dari enam orang guru yang diwawancara, semua menghayati dirinya mampu memotivasi diri untuk bangkit kembali dari rasa kecewanya. Mereka mengaku sempat kaget melihat kondisi siswanya ketika pertama kali mengajar di SMP X ini. Ada yang pernah dilempari pensil oleh siswa ketika sedang menegur salah seorang siswa, ada juga yang kaget karena ternyata sulit sekali

7 membuat para siswa agar patuh pada aturan. Mereka mengatakan bahwa mereka sempat kecewa dan bahkan sampai menangis (di luar kelas) ketika proses belajar mengajar masih berlangsung. Kekecewaan mereka disebabkan oleh ketidaksesuaian antara harapan mereka ketika melamar menjadi guru di SMP X dengan kondisi siswa SMP X yang sebenarnya. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut, mereka tidak terus menerus berada dalam kekecewaannya, tetapi lebih melihat peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pengalaman agar bisa lebih menyiapkan diri ketika hendak mengajar. Sama halnya dalam membina relasi dengan para siswa, semua guru yang diwawancara mengatakan bahwa mereka tidak merasa kesulitan untuk membina relasi dengan siswa-siswinya, bahkan ada beberapa di antara mereka yang sering menjadi teman bicara dan sharing para siswa. Dalam hal pengenalan emosi orang lain atau empati, empat orang guru masih merasa kesulitan untuk berempati. Mereka lebih sering menyarankan agar siswa berkonsultasi dengan guru yang lain, seperti guru BP, ketika ada siswa yang datang untuk menceritakan masalahnya. Hal ini disebabkan mereka merasa kurang mampu untuk memahami masalah yang dihadapi siswanya, kurang mampu untuk menempatkan diri pada posisi siswa tersebut. Bahkan beberapa guru sempat mengatakan bahwa mereka hanya menyediakan telinga saja untuk mendengar keluhan para siswa yang bercerita kepada mereka tanpa melibatkan perasaan atau pikirannya untuk memahami masalah siswanya itu. Seorang dari empat orang guru yang merasa kesulitan untuk berempati ini jika ada siswa yang ingin menceritakan masalahnya, langsung menolak dan menyarankan agar siswa

8 tersebut bercerita ke guru lain saja karena guru ini merasa tidak mampu untuk memahami masalah siswa tersebut, terlebih dengan kondisi dirinya yang sedang bermasalah juga. Sedangkan dua orang sisanya menghayati dirinya mampu untuk berempati Berdasarkan hasil wawancara dengan enam orang guru di SMP X, diperoleh gambaran bahwa ada guru yang menghayati dirinya mampu mengenali emosi, memotivasi diri dan membina relasi, tetapi kurang mampu berempati. Ada juga yang menghayati dirinya mampu mengenali emosi dan memotivasi diri, tetapi kurang mampu mengelola emosinya. Dengan adanya hasil yang berbeda-beda pada setiap aspek kecerdasan emosional yang dimiliki masing-masing guru maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kecerdasan emosional guru SMP X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana gambaran kecerdasan emosional pada guru-guru SMP X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosional pada guru-guru SMP X Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci dan mendalam mengenai gambaran setiap aspek dari kecerdasan emosional pada

9 guru-guru SMP X Bandung sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1. Memberikan informasi mengenai kecerdasan emosional guru, khususnya bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan. 2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti mengenai kecerdasan emosional pada guru. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah SMP X mengenai gambaran kecerdasan emosional guru-guru SMP X sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mengadakan kegiatan atau penyuluhan bagi guru yang berkaitan dengan kecerdasan emosi. 2. Memberikan informasi kepada para guru SMP X mengenai gambaran kecerdasan emosional mereka sehingga dari penelitian ini diharapkan para guru dapat menyadari kelemahan dan kelebihan yang ada dalam dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan emosi.

10 1.5 Kerangka Pemikiran Guru di SMP X rata-rata berada pada tahap perkembangan dewasa awal yang merupakan periode perkembangan yang dimulai dari akhir masa remaja (awal usia 20 tahun) dan berlangsung sampai usia sekitar 30 tahun. Masa dewasa awal ini merupakan saatnya untuk membangun kemandirian ekonomi maupun personal, perkembangan karier dan bagi kebanyakan orang, waktunya untuk memilih pasangan, belajar untuk hidup dengan seseorang secara intim, memulai sebuah keluarga dan mengasuh anak (Santrock, 2002). Berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan di atas, Hurlock (1994) menjelaskan masa dewasa awal merupakan masa untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan. Guru memiliki tugas untuk menyesuaikan diri dengan sifat dan macam pekerjaannya, yang di dalamnya tercakup juga penyesuaian terhadap rekan kerja dan para siswa. Bagi sebagian besar guru, terutama guru yang kurang mempunyai pengalaman kerja, sering mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Kesulitan ini akan berpengaruh juga terhadap perkembangan karier mereka yaitu cenderung akan menghambat para guru untuk dapat berkembang dalam kariernya. Apabila masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, salah satu dampaknya yaitu menimbulkan ketegangan emosional. Hal ini kurang sesuai karena pada masa dewasa awal guru diharapkan mampu memecahkan setiap permasalahan dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Salah satu kecerdasan yang berperan penting dalam hal penyesuaian pekerjaan dan perkembangan karier adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan

11 emosional yaitu kemampuan untuk memonitor perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain, membedakan emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi ini untuk menuntun atau mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey dalam Goleman, 2001). Di dalam diri setiap guru tentunya terdapat komponen emosi sehingga mereka bisa merasakan marah, sedih, bahagia dan jenis-jenis emosi lainnya. Namun yang membedakan adalah bagaimana mereka mengenal emosinya, mengelola emosinya, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain, dimana kelima hal ini merupakan aspek dari kecerdasan emosional (Salovey dalam Goleman, 2001). Kecerdasan emosional tidak dapat dinilai hanya dari satu aspek saja, melainkan dari lima aspek yang membangun kecerdasan emosional tersebut. Aspek yang pertama yaitu mengenali emosi diri. Hal ini berarti mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, yang merupakan dasar dari kecerdasan emosional itu sendiri, karena guru tidak mungkin mampu untuk mengelola dan mengendalikan emosinya jika ia tidak mengenali emosi apa yang harus dikelolanya. Guru yang mampu mengenali emosinya menyadari kapan dia merasa marah, sedih ataupun bahagia, dan mengetahui penyebabnya. Berbeda dengan guru yang kurang mampu mengenali emosinya, mereka kurang mampu mengenali perasaan mereka sendiri ketika sesuatu terjadi dan kurang mampu mengenali penyebab emosi yang mereka rasakan. Aspek yang kedua yaitu mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Guru yang kurang mampu mengelola emosinya

12 akan terus-menerus bertarung melawan perasaan sedih misalnya, sementara guru yang mampu mengelola emosinya dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari rasa sedihnya. Ketika seorang guru dibuat kesal oleh para siswanya, ia menjadi marah dan menunjukkan sikap maupun perlakuan yang kasar kepada siswanya, seperti membentak atau memukul siswanya, dan biasanya rasa kesal itu tidak bisa langsung hilang melainkan terbawa terus dan mungkin saja akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru tersebut kurang mampu mengelola emosinya. Jika ia mampu untuk mengelola rasa kesalnya tersebut, misalnya dengan mengungkapkan rasa kesalnya dengan cara yang lebih tepat, seperti menyampaikan secara verbal dengan nada yang enak didengar bahwa yang dilakukan siswa tersebut telah membuat guru tersebut merasa kesal, maka dapat dikatakan bahwa guru tersebut mampu mengelola emosinya. Guru tersebut tidak terus terperangkap dalam rasa marahnya dan diharapkan hubungan antara guru dan siswa tidak menegang, tetapi tetap dapat terjalin baik. Aspek yang ketiga yaitu memotivasi diri sendiri. Hal ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Guru yang kurang mampu memotivasi dirinya ketika dikecewakan oleh perlakuan siswanya dapat menjadi orang yang terus-menerus tinggal dalam kekecewaannya dan tidak bersemangat, tidak berinisiatif dalam melakukan tugasnya. Guru yang mampu memotivasi dirinya akan cenderung menjadi seorang guru yang mampu untuk memanfaatkan rasa kecewanya menjadi sebuah pengalaman yang berguna untuk kemajuannya di masa mendatang. Dengan adanya pengalaman

13 dikecewakan tersebut, ia mampu untuk tetap melakukan pekerjaannya secara optimal dan memanfaatkan pengalaman kecewanya untuk lebih bisa menyesuaikan diri dengan kondisi siswa yang diajarnya. Aspek yang keempat yaitu mengenali emosi orang lain. Guru yang mampu mengenali emosi orang lain akan mampu mengenali dan memahami hal-hal apa yang dibutuhkan atau dikehendaki para siswanya. Mereka memiliki kemampuan untuk mengenali ketika siswanya sedang merasa takut, jengkel atau putus asa, sehingga akan lebih mudah untuk menjalin atau membangun relasi awal dengan siswanya karena guru dapat memperlakukan siswanya secara tepat sesuai dengan kondisi emosi yang sedang dirasakan oleh siswa tersebut. Guru dengan kemampuan mengenali emosi orang lain juga mampu untuk menerima jika sudut pandangnya berbeda dengan siswa. Lain halnya dengan guru yang kurang mampu mengenali emosi orang lain, mereka kurang mampu untuk mengenali apa yang dirasakan atau sedang dibutuhkan oleh para siswanya sehingga mereka kurang mampu memilih cara yang tepat ketika menghadapi siswa. Hal ini menyebabkan relasi yang tercipta pun kurang baik. Mereka juga kurang mampu untuk menerima sudut pandang siswa yang berbeda dengan sudut pandang mereka. Aspek yang kelima yaitu membina hubungan. Dalam membina hubungan dengan orang lain perlu adanya emosi yang tepat, karena setiap kali guru berinteraksi dengan siswa maupun rekan pengajar yang lain, emosi dalam dirinya akan turut berperan untuk menentukan tingkah laku yang akan dimunculkannya. Guru yang mampu membina relasi akan mampu untuk mengolah hubungan dengan para siswa maupun rekan kerjanya, di antaranya mengusahakan titik temu

14 dalam perbedaan untuk mencapai kesepakatan, menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama serta bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda karakter sekalipun. Berbeda dengan guru yang kurang mampu membina hubungan, mereka akan kurang mampu bekerjasama dengan rekan kerja maupun para siswa. Kemampuan setiap guru dapat berbeda-beda dalam wilayah atau lima aspek di atas. Beberapa orang guru mungkin amat terampil dalam menangani kecemasan yang ada dalam dirinya, tetapi kurang terampil ketika harus meredam kemarahan siswanya atau rekan kerjanya. Hal ini menyebabkan derajat kecerdasan emosional yang berbeda-beda pada setiap guru. Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, pada umumnya akan memiliki kemampuan yang baik dalam kelima aspek kecerdasan emosional yang dimilikinya. Guru dengan kecerdasan emosional cenderung tinggi, mungkin memiliki kemampuan yang baik hanya pada sebagian besar aspek saja. Misalnya guru yang mampu mengelola rasa kecewanya dan mengetahui penyebab kekecewaannya, serta mampu untuk memotivasi dirinya sendiri untuk bangkit kembali dari kondisinya ini, tetapi ia mengalami kesulitan jika harus berempati kepada siswa, walaupun ia masih mampu untuk membangun relasi dengan siswanya. Guru yang memiliki kecerdasan emosional cenderung rendah, mungkin hanya mampu dalam satu atau dua aspek saja. Sebagai contoh, guru yang mampu untuk mengenali penyebab kemarahannya dan mengelola emosinya tersebut, mungkin saja dia kesulitan untuk mencapai prestasi kerja yang lebih baik di saat kondisi emosinya seperti itu, serta kurang mampu untuk berempati, sehingga mengalami kesulitan juga untuk

15 membangun relasi dengan sesamanya. Guru dengan kecerdasan emosional yang rendah, pada umumnya akan kurang mampu dalam kelima aspek kecerdasan emosional yang dimilikinya. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional ini dapat diperbaiki dan terus dikembangkan. Terbentuknya kecerdasan emosional, khususnya pada guru, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga, sehingga memungkinkan setiap guru mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang berbeda-beda (Salovey dalam Goleman, 2001). Kehidupan keluarga merupakan sarana pendidikan pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan keluarga, seorang guru (pada masa kecilnya) belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi perasaannya itu; bagaimana berpikir tentang perasaannya dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi; serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran emosi ini tidak hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung pada anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang diberikan sewaktu orang tua menangani perasaan mereka sendiri. Misalkan saja seorang anak yang melihat orang tuanya selalu membentak jika anak melakukan kesalahan, maka ada kemungkinan setelah anak itu bertumbuh dewasa, ia akan menjadi seseorang yang mudah membentak orang lain jika ada yang melakukan kesalahan, karena itulah yang didapatkannya selama proses belajar dalam keluarganya. Guru yang pada masa kecilnya mengalami reaksi orang tua yang mau memaafkan ketika anaknya melakukan kesalahan, dan dapat menerima ketika ada

16 perbedaan pendapat, kemungkinan besar akan menjadi guru yang mampu untuk memaafkan siswanya ketika siswa tersebut melakukan kesalahan dan mampu untuk menerima setiap perbedaan pendapat yang mungkin terjadi antara guru dengan siswa ataupun dengan rekan pengajar lainnya. Sebaliknya, guru yang pada masa kecilnya langsung dimarahi oleh orang tua ketika melakukan kesalahan, tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahannya itu, dan pendapatnya selalu dianggap salah, kemungkinan besar akan menjadi guru yang cepat marah dan kurang bisa menerima adanya perbedaan pendapat dengan siswa maupun rekan kerjanya. Hal ini tentunya akan turut berpengaruh terhadap tinggi rendahnya derajat kecerdasan emosional yang dimiliki oleh guru.

17 Faktor yang berpengaruh: Peran orang tua Tinggi Guru SMP X Bandung Kecerdasan emosional Cenderung tinggi Cenderung rendah Rendah Aspek-aspek kecerdasan emosional: 1. Mengenali emosi diri 2. Mengelola emosi 3. Memotivasi diri 4. Mengenali emosi orang lain 5. Membina hubungan Bagan 1.1 Kerangka Pikir

18 1.6 Asumsi 1. Setiap guru di SMP X Bandung memiliki derajat yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan emosionalnya, yang dipengaruhi oleh peran orang tua. 2. Perbedaan di antara kelima aspek yang membangun kecerdasan emosional, yaitu aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan, akan mempengaruhi tinggi rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki guru di SMP X Bandung.