BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi pre_treatment

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

HUBUNGAN PRAKTEK PENCEGAHAN PENULARAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JENGGOT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

5. Manifestasi Klinis

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto terbentuk/lahir sejak tahun 1928 yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN PADUKUHAN KRATON KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

C030 PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KABUPATEN MIMIKA

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

KUESIONER. Hari/Tanggal : Waktu : Pukul... s/d... No. Responden : 1. Nama (inisial) : 2. Umur :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Pengertian Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit yang disebabkan karena cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta menyebabkan gejala akut dan kronis dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Secara klinis, penyakit menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan getah bening (adenomalimfangitis) terutama di daerah pangkal, paha, dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali, dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut. Dapat terjadi limfedema dan hidrokel yang berlanjut menjadi stadium kronis yang berupa elenfantiasis yang menetap yang sukar disembuhkan berupa pembasaran kaki (seperti kaki gajah) lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita. (Depkes RI, 2006) Filariasis telah dikenal di Indonesia sejak 1889 (Depkes RI, 2006). Filariasis hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak mematikan namun dapat mengakibatkan kecacatan sehingga memberikan dampak yang cukup besar bagi penderita maupun masyarakat, antara lain menurunnya produktivitas penderita dan memberikan beban sosial bagi penderita keluarga maupun masyarakat. (Nasri Noor, 2006)

2.1.2 Nyamuk sebagai vektor Filariasis a. Siklus hidup nyamuk Dalam siklus hidup nyamuk terdapat 4 stadium dengan 3 stadium berkembang di dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas: 1) Nyamuk Dewasa Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk. (Nurmaini, 2003) 2) Telur Nyamuk Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda -beda tergantung dari jenisnya : - Nyamuk Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhantumbuhan air, dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga. Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air.

- Nyamuk Culex akan meletakkan telur diatas permukaan air secara bergerombolan dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung. 3) Jentik nyamuk Pada perkembangan stadium jentik adalah pertumbuhan dan melengkapi bulu-bulunya, stadium jentik mermerlukan waktu 1 minggu. Pertumbuhan jentik dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, ada tidaknya binatang predator. 4) Kepompong Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang 1-2 hari. b. Tempat Berkembangbiak (Breeding Places) Dalam perkembangbiakan nyamuk selalu memerlukan tiga macam tempat yaitu tempat berkembangbiak (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places). (Nurmaini, 2003) Nyamuk mempunyai tipe breeding places yang berlainan seperti Mansonia senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman airnya (Nurmaini, 2003). Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana tumbuhan yang dominan adalah Isachene

globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan dan merupakan tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk Mansonia annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam keanekaragaman tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat berkembangbiak jenis nyamuk seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia, apalagi jika kolam tersebut mempunyai kedalaman 15-100 cm. Culex dapat berkembang di sembarangan tempat air. (Nurmaini, 2003) c. Kebiasaan Menggigit Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda-beda, nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan aktif pada malam hari. Aktifitas Mansonia uniformis menggigit di luar rumah dimulai pada pukul 18.00 sampai pukul 19.00, kemudian menurun pada pukul 19.00 sampai pukul 20.00. Pada pukul 20.00 sampai pukul 21.00 intensitas menggigitnya kembali meningkat dan dengan kepadatan yang sama pada pukul 21,00 sampai pukul 22.00. Nyamuk yang aktif pada malam hari menggigit adalah Anopheles dan Culex, Pada umumnya nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina.

d. Kebiasaan Beistirahat (Resting Places) Biasanya setelah nyamuk betina menggigit orang/hewan, nyamuk tersebut akan beristirahat selama 2-3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berisitirahat. (Nurmaini, 2003) Penelitian dan pengamatan perilaku dan kebiasaan istirahat nyamuk Mansonia menurut Krafsur dalam Boesri (2012) di Gambela (Ethiopia) mendapatkan kepadatan populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian di Afrika menemukan Mansonia uniformis dan Mansonia africanus selalu mengisap darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3-4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 3,8 hari untuk Mansonia Indiana. (Nurmaini, 2003) 2.1.3 Gejala klinis Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut dan gejala klinis kronis (Depkess RI, 2006): a. Gejala klinis Akut Keadaaan terlihat pada kondisi gejala klinis akut adalah berupa pandangan kelenjar limfe (limfadenitis) atau saluran limfe (limfangitis) sedangkan untuk pandangan yang terjadi pada kelenjar dan saluran limfe sekaligus disebut adenomalimfangitis. Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau

kelelahan dan dapat pula disertai abses (bisul) yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh akan meninggalakn bekas parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat dan di temukan di daerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat di daerah penularan filariasis dengan golongan species cacing filaria Brugia malayi dan Brugia timori. (Dinkes SUMUT, 2011) Kemudian untuk gejala species filaria Wuchereria bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis). a. Gejala klinis Kronis Pembagian gejala klinis kronis secara umum dapat dibagi empat kelompok, yaitu: 1. Limfedema Pada infeksi Wuchereria bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal. 2. Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi terjadinya infeksi ualang oleh bakteri dan

jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda scrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal, kadang-kadang besar. 3. Kiluria Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filarial dewasa species Wuchereria bancrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut: - Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang disertai (haematuria). - Sukar kencing - Kelelahan tubuh - Kehilangan berat badan 4. Hydrocele Adalah pelebaran kantong buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua kantong buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: - Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan bersembunyi. - Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus - Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi yantu komplikasi dengan Chycle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat di gunakan untuk

membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang telah di latih. - Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan di gunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti. (Dinkes SUMUT, 2011) 2.1.4 Penetuan Stadium Limfedema Limfedema terbagi dalam 7 stadium (table 1.1) menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan) mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita. (Depkes RI, 2006) Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut (Depkes RI, 2006): 1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai 2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi dibuat dalam satu stadium limfedema. 3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus.

Tabel 2.1 Stadium limfedema/tanda Kejadian bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis Gejala Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Bengkak dikaki Lipatan kulit Menghilang waktu bangun tidur pagi Tidak ada Menetap Menetap Menetap Menetap, meluas Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam, kadang dangkal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Menetap, meluas Dangkal, dalam Menetap, meluas Dangkal, dalam Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadangkadang Mossy Tidak ada Tidak Tidak ada Ada Kadangkadang lessions ada Hambatan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya berat Sumber: Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Depkes RI 2006 2.1.5 Patogenesis Filariasis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk kedalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat di bagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil terdapat di kulit. (Depkes RI, 2006) Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan

pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik: 1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekana hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan odema jaringan. Adanya odema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 3. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut: a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri yaitu: - Limfangitis : peradangan di saluran limfe - Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe - Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe - Abses (lanjutan ADL) - Peradangan oleh species Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis

b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah. 4. Kerusakan sisitem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di kulit, menyebabkan kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 5. Pada penderita limfedema serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pergesaran kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis, dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap (non piting). (Oemijati, 2006) 2.1.6 Rantai Penularan Filariasis Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu (Depkes RI, 2006): 1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya a. Manusia Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang

terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya. b. Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua species cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. 2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. 3. Manusia yang rentan terhadap filariasis Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapa dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembapan sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembapan berpengaruh terhadap umur nyamuk. Sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodic nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. (Depkes RI, 2006)

2.1.7 Diagnosis Filariasis Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Depkes RI, 2006): 1. Diagnosis Parasitologi a. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi Knott, membrane filtrasi. Pengembilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang di curigai sebagai tumor. b. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasite dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (polymerase Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection. 2. Radiodiagnosis a. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti.

b. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. 3. Diagnosis Imunologi Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan antibody monoclonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria. 2.2 Epidemiologi Filariasis 2.2.1 Distribusi Menurut Orang (Person) Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010). Penelitian Juriastuti dkk (2010) di kelurahan Jatisempurna ditemukan penderita

filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin laki-laki (58,1%) berada pada kelompok usia produktif (71%) dan berjenis pekerjaan tidak berisiko (71%). 2.2.2 Distribusi Menurut Tempat (Place) Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di perkotaan, pantai, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis Wuchereria bancrfti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bebrapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di Kepulauan Flores, alor, Rote, Timor, dan Sumba, umumnya endemic di daerah persawahan (Depkes, 2009). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nangroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku utara (27 orang) dan Sulawesi Utara (30 orang) (Kemenkes RI, 2010). Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) responden tinggal di perkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan tinggal di pedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal di perkotaan.

2.2.2 Distribusi Menurut Waktu (Time) Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisiotas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007 kasus filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699 kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus (proporsi sebesar 0,005% dari jumlah penduduk) (Kemenkes RI, 2010). 2.3 Determinan Filariasis A. Faktor agent (Penyebab Filariasis) Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu (Depkes RI, 2003): a. Wuchereria bancrofti (Cobbold 1877) b. Brugia malayi (Lichtenstein 1927) c. Brugia timori (Partono et al 1977) Cacing filaria (Nematoda: Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthopoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berda di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nocturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pda malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nocturnal maupun diurnal dijumpai pada filarial

limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filariasis. (Depkes RI, 2006) Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu (Depkes RI, 2006): 1. Wuchereria bancrofti tipa perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan, dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Cx.quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2.Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagi spesies nyamuk Anopheles dan Culex 3. Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. 4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia malayi tipe non periodik

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. 6. Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. a. Makrofilaria Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang bewarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. (Notoadmojo S, 1997) b. Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200 600 µm x 8 µm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan: ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor. (Notoadmojo S, 1997)

Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat di Indonesia Dalam Sediaan Darah Dengan Pewarnaan Giemsa no Morfologi/Karakteristik Wuchereria bancrofti Brugia malayi Brugia timori Gambaran umum dalam sediaan darah Melengkung mulus Melengkun g kaku & patah Melengkung kaku & patah Perbandingan lebar dan 1 2 3 panjang ruang kepala Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna Ukuran panjang (µm) 0-300 5-230 5-325 Inti badan Halus tersusun rapi Kasar, berkelompo Kasar, berkelompok k Jumlah inti di ujung Gambaran ujung ekor Seperti pita kea rah Ujung agak Ujung agak ujung tumpul tumpul Sumber: Depkes RI Dirjend P2-PI, Epidemiologi Filariasis, Jakarta, 2006 c. Larva Dalam Tubuh Nyamuk Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan melepaskan dan bergerak menuju oto atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 µm x 15-30 µm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau hari 10-14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh

menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Depkes RI, 2006) B. Faktor Host 1) Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali. (Depkes RI, 2006) 2) Jenis kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya. (Depkes RI, 2006) 3) Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filarial demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis adan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetepi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuhnya. (Depkes RI, 2006) 4) Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar disbanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau dsedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat. (Depkes RI, 2006) C. Faktor lingkungan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi. (Depkes RI, 2007) Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (Depkes RI, 2007) a) Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembapan, dan

sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannnya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempattempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Notoadmojo S, 1997). Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik. (Depkes RI, 2006) 1. Suhu udara Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30 o C. 2. Kelembapan udara Kelembapan berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembapan yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembapan mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat, dan lain-lain dari nyamuk. Tingkat kelembapan 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembapan yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan. 3. Angin

Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk kedalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (fight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles bias terbawa sampai 30 km. (Depkes RI, 2007) 4. Hujan Hujan berhunbungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan jenis vektor dan jenis tempat perkembangbiakan (breeding place). 5. Sinar matahari Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada species nyamuk. Nyamuk An.aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari yang cukup tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An.hycranus spp dan An.barbirostris dapat hidup baik ditempat teduh maupun yang terang. (Depkes RI, 2007)

6. Arus air An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir lambat, sedangkan An.minimus menyukai aliran air yang deras dan An.letifer menyukai air yang tergenang. An.maculatus berkembang biak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti di laporkan di kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An.subpictus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamu Anopheles lainnya. 7. Tempat perkembangbiakan nyamuk Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangangenangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi gengan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil. 8. Keadaan dinding Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat

kontak dengan insektisida tersebut. Dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk. 9. Pemasangan kawat kasa Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk kedalam rumah. Menurut Davey (1965), penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia. (Depkes RI, 2007) b) Lingkungan Biologik Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair, dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan

tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (Depkes RI, 2009) Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalm bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir. Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing. Lalu, larva dan pupanya melekat pada akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut, kalu pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan terompet. Sehingga, dengan alat kait itu, baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia, dan kita tahu bersama kalau spesies nyamuk ini merupakan salah satu vektor penularan dari penyakit kaki gajah. Adapun tumbuhan air yang dijadikan sebagai inang Mansonia spp, antara lain eceng gondok, kayambang, dan lainnnya. Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini, selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang di jadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (Depkes RI, 2006)

c) Lingkungan Kimia Dari lingkungan ini baru di ketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di Sumatera Utara An.sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar. An.letifer dapat hidup ditempat yang asam/ph yang rendah. (Depkes RI, 2003) d) Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Lingkungan social, ekonomi dan kultur adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karenaberkaitan dengan intensitas kontak vektor (bila vektornya menggigit pada malam hari). Insiden laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya lakilaki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya. (Notoadmojo S, 1997) 1) Kebiasaan keluar rumah Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003)

diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,002). (Kadarusman, 2003) 2) Pemakaian kelambu Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadian filariasis (OR=8,09). (Notoadmojo S, 1997) 3) Obat anti nyamuk Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Astri (2006) di ketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,004). 4) Pekerjaan Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat berisiko untuk terkena filariasis, diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) di ketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,003)

5) Pendidikan Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian filarial tetapi pada umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehatan seseorang. 2.4 Penetapan Endemisistas Microfilaria rate (Mf rate) adalah indicator yang digunakan untuk menentukan endemisistas suatu daerah yang diperoleh melalui survey darah jari pada suatua populasi. Survey darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen. Jumlah sediaan darah mikrofilaria Mf Rate = x 100% Jumlah sediaan darah diperiksa Bila Mf Rate >1% disalah satu atau lebih lokasi survey maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal. Mf Rate < 1% pada semua lokasi survey, maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah. (Depkes RI, 2009)

2.5 Pencegahan dan Pengobatan Filariasis 2.5.1 Pencegahan Filariasis Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu priorirtas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal di daerah endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus filariasis. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai antara sumber penular dengan media transmisi. Contonya dapat dilakukan dengan membersihkan tempattempat perindukan nyamuk, menutup barang-barang bekas, menguras tempat-tempat penampungan air, penyemprotan massal agar dapat mencegah penyebarluasan penyakit, menggunakan pelindung diri disaat bekerja di kebun misalnya menggunakan baju lengan panjang, menggunakan obat anti nyamuk, menggunakan kelambu disaat tidur, tidak keluar disaat malam hari dan lain-lain. (Depkes RI, 2006) 2.5.2 Pengobatan Filariasis Pengobatan filariasis dilakukan dengan cara pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgbb, Albendazol 400 mg dan Paracetamol 500 mg. pengobatan massal bertujuan untuk mematikan semua mikrofilaria yang ada didalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan, sehingga memutuskan rantai penularannya. Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap

semua penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara di tunda bagi anak berusia kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut, anak berusia kurang dari 5 tahun dengan marasmus dan kwashiorkor. Pemberian obat menggunakan Diethylcarbamazine Citrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama 5 tahun. Sebaiknya obat diberikan sesudah makan dan didepan petugas kesehatan. (Depkes RI, 2006)

2.6 Kerangka Konsep 1. Sosiodemografi Umur Jenis kelamin Pekerjaan 2. Lingkungan Fisik Ketersediaan saluran pembuangan air limbah Tempat perindukan nyamuk Tempat peristirahatan nyamuk Kawat kasa pada ventilasi Pencahayaan 3. Lingkungan Sosial Kebiasaan keluar pada malam hari Kebiasaan memakai kelambu Kebiasaan memakai obat anti nyamuk