BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama (Hurlock, 1999). Masa remaja dimulai pada saat remaja secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat individu mencapai usia matang secara hukum. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja berawal di usia 13 tahun dan berakhir pada usia 17-18 tahun. Berbicara mengenai remaja, selalu terkait dengan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang salah satunya adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilakumengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam perkembangan ini (Hurlock, 1999). Masih terdapat lagi tugas-tugas perkembangan lain yang harus dipenuhi oleh para remaja dimana orangtua juga turut berperan dalam membantu remaja untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Selain tugas-tugas perkembangan, self esteem (harga diri) merupakan salah satu konsep sentral dalam kehidupan remaja (Tambunan, 2001). Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju dan 1
menunjukkan tingkat dimana individu meyakini drinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri sering kali dikaitkan dengan berbagai tingkah laku khas remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obatan, pacaran, sampai prestasi olah raga. Perkembangan harga diri pada seorang remaja akan menentukan keberhasilan maupun kegagalannya di masa mendatang (Coopersmith, 1967). Menurut para ahli ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga diri remaja, salah satunya adalah interaksi sosial (Frey & Carlock, 1987). Harga diri dipengaruhi oleh interaksi individu dengan sesama atau dengan orang yang ada di sekitarnya. Sebagian besar harga diri adalah reaksi individu terhadap pendapat orang lain mengenai dirinya, bagaimana cara orang lain di sekitar kita melihat dan menilai perilaku serta semua hal yang ada dalam diri kita pada saat berinteraksi akan membentuk harga diri. Dalam hal ini apakah harga diri itu tinggi atau rendah tergantung penilaian yang diberikan orang tersebut dan juga penilaian yang kita berikan terhadap diri sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi harga diri adalah penerimaan dan penghargaan dari orang-orang yang signifikan (Coopersmith, 1967). Salah satu contoh orang yang signifikan adalah orangtua. Remaja yang merasa bahwa orangtua dan temannya mendukung dan menerimanya akan menyebabkan remaja tersebut menyukai dirinya. Sedangkan remaja yang merasa tidak disukai atau ditolak oleh orang yang penting bagi dirinya akan menyebabkan remaja tersebut tidak menyukai dirinya dan akan menyebabkan remaja tersebut memiliki harga diri yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Henricson dan Roker (dalam 2
Parker 2004) yang berpendapat bahwa pengawasan dan dukungan dari orangtua berhubungan dengan harga diri yang lebih tinggi bagi remaja. Hal lainnya yang mempengaruhi harga diri adalah pengalaman hidup. Pengalaman masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan atau mengalami kejadian-kejadian rendah seperti kematian orangtua, orangtua yang dirawat karena penyakit mental, perceraian, orangtua yang menikah lagi, kekuatiran tentang nilai sekolah, takut akan hukuman orangtua dan konsep diri tentang fisik yang tidak menarik akan menurunkan harga diri individu tersebut ketika ia sudah dewasa (Kaplan & Pokorry, dalam Baron & Byrne, 2000). Mengamati kehidupan sehari-hari, akan terlihat fenomena yang biasa-biasa saja mengenai harga diri remaja. Umumnya orang hanya berpendapat bahwa remaja mengalami ketidakstabilan harga diri di awal masa remaja dan akan kembali stabil di akhir masa remaja. Tetapi jika dikaji secara lebih mendalam, ternyata banyak fenomena yang menyiratkan persoalan yang sangat kompleks, terutama dalam kehidupan yang mengalami perubahan yang cepat seperti sekarang ini. Perubahan yang cepat mengharuskan adanya berbagai upaya terhadap remaja agar mereka memiliki kemampuan, mengakomodasi dan mewarnainya ke arah yang bermakna. Dalam kedudukan ini orangtua mempunyai tanggung jawab kodrati yang sangat strategis posisinya dalam menghadirkan situasi dan kondisi yang beriklim pendidikan. Pengawasan, dukungan dan penerimaan dari orangtua diperlukan dalam memberikan perkembangan yang baik bagi remaja. Melalui perbuatan-perbuatan orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan 3
dihayati dan diapresiasi oleh remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan remaja agar mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian dapat dikembangkan di masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam Gunarsa, 1996). Coopersmith (1967) mengungkapkan bahwa selain penghargaan yang diterima dari orang-orang yang signifikan, faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman. Nilai-nilai yang dianut seseorang dipengaruhi oleh orang tua dan orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, orang tua berperan besar dalam mempengaruhi harga diri remaja. Remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya pada umumnya memiliki harga diri yang rendah. Remaja yatim piatu merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak. Mereka juga merasa bahwa mereka terisolasi dan selalu sendirian dan memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain (Grigsby, 2006). Hal ini semakin diperkuat dengan kondisi dimana remaja yatim piatu telah kehilangan orang-orang yang dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam menghadapi kondisi sulit seperti ini. Badan Statistik Nasional Amerika Serikat menemukan bahwa satu dari 20 remaja yang kehilangan kedua orang tuanya sebelum berumur 18 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami simtom withdrawal, kecemasan gangguan perilaku dan harga diri yang lebih rendah (U.S. Bureau of the Census, 1990). 4
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus seorang remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan Tresna Putra yang harga dirinya menjadi negatif setelah peristiwa kehilangan orang tuanya. Zaelani, Azan panggilan akrabnya, sudah tinggal di panti sejak usia sekolah dasar. Ayah dan Ibunya sebagai penopang hidup keluarga telah tiada. Demi sekolahnya, keluarganya menitipkan pengasuhan Azan di panti. Azan senang hidup di panti karena banyak teman. Hampir semuanya dilakukan dengan sistem kebersamaan. Namun Azan canggung dan malu bergaul dengan teman-teman di luar panti (Dharmais, 2004). Azan takut gagal melakukan hubungan sosial yang merupakan salah satu ciri dari harga diri yang negatif (Coopersmith, 1967). Tetapi kehilangan orang tua tidak selalu menyebabkan harga diri yang negatif bagi seorang remaja. Prof. Dr. Laurence Adolf Manullang, seorang anak yatim-piatu dari Desa Narumonda, Porsea, Sumatera Utara. Dia menapaki kehidupan langkah demi langkah, melintasi berbagai tantangan dan meraih berbagai keberhasilan sehingga menjadi seorang ekonom ternama dan top eksekutif keuangan berskala dunia. Dia menjadi seorang yatim piatu ketika berusia 8 tahun. Dunia menjadi terasa gelap baginya. Dia yang masih di bawah usia delapan tahun dan adiknya yang baru berusia tiga tahun telah menjadi yatimpiatu. Untunglah dia masih punya nenek, Martalena boru Marpaung yang telah menjanda 31 tahun. Dia dan adiknya dirawat, diasuh, dibimbing dan dibesarkan oleh nenek tercinta sejak tahun 1949. Sejak itu, Timbul (nama kecil Prof. Dr. Laurence) menjadi pemurung dan pemimpi. Syukur, musibah yang berat itu tidak 5
sampai menghalanginya menimba ilmu. Ternyata selama SR, Timbul tidak pernah tinggal kelas dan dapat menyelesaikan SR tersebut pada tahun 1954. Semangat hidupnya bangkit terutama berkat pengasuhan neneknya yang penuh kasih sayang. Selain ompung, tulang (paman) atau keluarga laki-laki dari ibu dan nenek yaitu Marpaung turut pula membesarkan Laurence dan adiknya dengan telaten. Ketiadaan ayah dan ibu kandung tidak menghalangi keinginan Laurence mengisi hari-harinya tumbuh dan berkembang menjadi remaja Batak yang terhormat dan dibanggakan. Sikap pemurung tak dapat menyembunyikan kecerdasan Laurence. Mimpi-mimpinya dibiarkan saja terus berkembang bahkan memacunya ingin keliling dunia bergaul sama rata tanpa dibebani rasa rendah diri atau inferiority complex dengan warga bangsa lain (Cepiar, 2007). Prof. Dr. Laurence Adolf Manullang merupakan salah satu contoh yang disampaikan oleh Tambunan (2001), bahwa perkembangan harga diri pada masa remaja akan menentukan keberhasilan di masa yang akan datang. Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang, seorang yatim piatu yang sukses di masa dewasanya, dapat dikatakan memiliki harga diri yang baik dalam masa remajanya. Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan berprestasi di bidang akademik dan tidak pernah merasa inferior dengan kondisinya yang telah menjadi yatim piatu yang merupakan salah satu ciri dari orang yang memiliki harga diri positif (Coopersmith, 1967) Contoh lain yang menunjukkan bahwa kondisi ketiadaan orang tua tidak selalu membuat seseorang memiliki harga diri yang rendah adalah Lia, siswa kelas dua SMP ini sudah tinggal di panti Tresna Putra sejak kelas satu SMP. 6
Ketidakmampuan orang tuanya untuk menyekolahkan menyebabkan ia harus tinggal di panti. Walaupun tinggal dengan teman-teman yang latar belakangnya berbeda, Lia tetap betah dan bersyukur karena sekarang dapat hidup lebih layak. Bahkan, ia pun tidak mengalami masalah bergaul dengan teman-teman sekolahnya yang kebanyakan bukan anak panti (Dharmais, 2004). Hasil wawancara peneliti dengan seorang remaja yatim piatu di salah satu panti asuhan di kota Medan menunjukkan bahwa remaja yatim piatu tidak selalu menunjukkan harga diri yang negatif. Berikut petikan dari hasil wawancara peneliti dengan remaja yatim piatu tersebut. Aku sebenarnya ingin masuk PASKIBRA. Tapi karena gak ada duit, yah jadi aku ikut ekskul yang komputer ajalah bang yang juga bermanfaat. Yah. Udah biasa. Aku gak perlu minder. Malah makin banyak kawan. Kasihan kali lah kalau ada orang yang gak punya teman. Mereka gak pernah mengejekku, justru mereka malah membantu. Mereka baik-baik. Lagipula belajarku lumayan juga kok bang. Jadi aku terima kondisiku seperti ini. (P3. V.2/L. 183-188/p.4-5) Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa peristiwa kehilangan orangtua tidak selalu menyebabkan seorang remaja memiliki harga diri yang rendah. Menerima dan menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, menaruh rasa hormat terhadap dirinya, menganggap dirinya berharga, lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi lingkungannya dan merasa sama dengan orang lain merupakan salah satu indikasi perilaku dari seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi (Coopersmith, 1967). Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwa orang tua memiliki peran dalam membentuk kepribadian remaja, harga diri remaja dan kemampuan remaja 7
untuk mengatasi masalah dalam kehidupan mereka. Maka penelitian ini ditujukan untuk melihat bagaimana harga diri pada remaja yang telah kehilangan kedua orangtuanya. Apakah individu menghadapi situasi ini dengan membentuk harga diri yang tinggi atau sebaliknya individu menghadapi situasi ini dengan membentuk harga diri yang rendah. I. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran harga diri remaja yatim piatu. Untuk lebih rinci, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran harga diri remaja yatim piatu yang meliputi: 1. Bagaimana gambaran aspek perasaan diterima pada remaja yatim piatu. 2. Bagaimana gambaran aspek perasaan berharga pada remaja yatim piatu. 3. Bagaimana gambaran aspek perasaan diterima pada remaja yatim piatu. I. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harga diri pada remaja yatim piatu. I. D. Manfaat Penelitian praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan 8
I. D. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkembangan, yaitu memberikan gambaran tentang harga diri remaja yatim piatu. I. D. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai harga diri remaja yatim piatu sehingga para remaja yatim piatu dapat mengenal diri mereka dengan lebih baik. Selain itu melalui hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat yang banyak berhubungan dengan remaja yatim piatu dapat memperlakukan para remaja yatim piatu dengan lebih tepat dan bersosialisasi dengan lebih baik. Juga kiranya hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitian-penelitian sejenis, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan. I. E. Sistematika Penulisan berikut : Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sitematika sebagai BAB I : Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 9
BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Yang meliputi pengertian tentang harga diri. BAB III : Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, subjek penelitian, prosedur penelitian serta prosedur analisis data. BAB IV : Analisa Data Bab ini menguraikan analisa data dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap subjek penelitian. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan, diskusi dan saran dari hasilpenelitian. 10