BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat dewasa, usia di mana remaja tidak lagi merasa di bawah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Padang, terdapat 24 panti asuhan yang berdiri di Kota Padang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan subjek yang memiliki potensi untuk. mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus menjadi objek dalam

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain. Keluarga. dengan baik maka akan terjadi suatu ketimpangan antar anggota keluarga

BAB I PENDAHULUAN. keadaan bangsa mendatang tergantung dari usaha yang dilakukan bangsa tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sepasang suami istri namun juga keinginan setiap anak di dunia ini, tidak seorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Suatu keluarga itu dapat berbeda dari keluarga yang

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan individu tidak pernah lepas dari peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesuksesan, karena dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan mampu

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Di sekolah siswa mempunyai aktivitas dalam bergaul dengan temantemannya,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. masa estetik. Pada masa vital anak menggunakan fungsi-fungsi biologisnya untuk

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. kembar identik pun masih dapat dibedakan melalui sifat-sifat non-fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak. Masa

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama (Hurlock, 1999). Masa remaja dimulai pada saat remaja secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat individu mencapai usia matang secara hukum. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja berawal di usia 13 tahun dan berakhir pada usia 17-18 tahun. Berbicara mengenai remaja, selalu terkait dengan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang salah satunya adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilakumengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam perkembangan ini (Hurlock, 1999). Masih terdapat lagi tugas-tugas perkembangan lain yang harus dipenuhi oleh para remaja dimana orangtua juga turut berperan dalam membantu remaja untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Selain tugas-tugas perkembangan, self esteem (harga diri) merupakan salah satu konsep sentral dalam kehidupan remaja (Tambunan, 2001). Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju dan 1

menunjukkan tingkat dimana individu meyakini drinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri sering kali dikaitkan dengan berbagai tingkah laku khas remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obatan, pacaran, sampai prestasi olah raga. Perkembangan harga diri pada seorang remaja akan menentukan keberhasilan maupun kegagalannya di masa mendatang (Coopersmith, 1967). Menurut para ahli ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga diri remaja, salah satunya adalah interaksi sosial (Frey & Carlock, 1987). Harga diri dipengaruhi oleh interaksi individu dengan sesama atau dengan orang yang ada di sekitarnya. Sebagian besar harga diri adalah reaksi individu terhadap pendapat orang lain mengenai dirinya, bagaimana cara orang lain di sekitar kita melihat dan menilai perilaku serta semua hal yang ada dalam diri kita pada saat berinteraksi akan membentuk harga diri. Dalam hal ini apakah harga diri itu tinggi atau rendah tergantung penilaian yang diberikan orang tersebut dan juga penilaian yang kita berikan terhadap diri sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi harga diri adalah penerimaan dan penghargaan dari orang-orang yang signifikan (Coopersmith, 1967). Salah satu contoh orang yang signifikan adalah orangtua. Remaja yang merasa bahwa orangtua dan temannya mendukung dan menerimanya akan menyebabkan remaja tersebut menyukai dirinya. Sedangkan remaja yang merasa tidak disukai atau ditolak oleh orang yang penting bagi dirinya akan menyebabkan remaja tersebut tidak menyukai dirinya dan akan menyebabkan remaja tersebut memiliki harga diri yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Henricson dan Roker (dalam 2

Parker 2004) yang berpendapat bahwa pengawasan dan dukungan dari orangtua berhubungan dengan harga diri yang lebih tinggi bagi remaja. Hal lainnya yang mempengaruhi harga diri adalah pengalaman hidup. Pengalaman masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan atau mengalami kejadian-kejadian rendah seperti kematian orangtua, orangtua yang dirawat karena penyakit mental, perceraian, orangtua yang menikah lagi, kekuatiran tentang nilai sekolah, takut akan hukuman orangtua dan konsep diri tentang fisik yang tidak menarik akan menurunkan harga diri individu tersebut ketika ia sudah dewasa (Kaplan & Pokorry, dalam Baron & Byrne, 2000). Mengamati kehidupan sehari-hari, akan terlihat fenomena yang biasa-biasa saja mengenai harga diri remaja. Umumnya orang hanya berpendapat bahwa remaja mengalami ketidakstabilan harga diri di awal masa remaja dan akan kembali stabil di akhir masa remaja. Tetapi jika dikaji secara lebih mendalam, ternyata banyak fenomena yang menyiratkan persoalan yang sangat kompleks, terutama dalam kehidupan yang mengalami perubahan yang cepat seperti sekarang ini. Perubahan yang cepat mengharuskan adanya berbagai upaya terhadap remaja agar mereka memiliki kemampuan, mengakomodasi dan mewarnainya ke arah yang bermakna. Dalam kedudukan ini orangtua mempunyai tanggung jawab kodrati yang sangat strategis posisinya dalam menghadirkan situasi dan kondisi yang beriklim pendidikan. Pengawasan, dukungan dan penerimaan dari orangtua diperlukan dalam memberikan perkembangan yang baik bagi remaja. Melalui perbuatan-perbuatan orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan 3

dihayati dan diapresiasi oleh remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan remaja agar mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian dapat dikembangkan di masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam Gunarsa, 1996). Coopersmith (1967) mengungkapkan bahwa selain penghargaan yang diterima dari orang-orang yang signifikan, faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman. Nilai-nilai yang dianut seseorang dipengaruhi oleh orang tua dan orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, orang tua berperan besar dalam mempengaruhi harga diri remaja. Remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya pada umumnya memiliki harga diri yang rendah. Remaja yatim piatu merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak. Mereka juga merasa bahwa mereka terisolasi dan selalu sendirian dan memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain (Grigsby, 2006). Hal ini semakin diperkuat dengan kondisi dimana remaja yatim piatu telah kehilangan orang-orang yang dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam menghadapi kondisi sulit seperti ini. Badan Statistik Nasional Amerika Serikat menemukan bahwa satu dari 20 remaja yang kehilangan kedua orang tuanya sebelum berumur 18 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami simtom withdrawal, kecemasan gangguan perilaku dan harga diri yang lebih rendah (U.S. Bureau of the Census, 1990). 4

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus seorang remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan Tresna Putra yang harga dirinya menjadi negatif setelah peristiwa kehilangan orang tuanya. Zaelani, Azan panggilan akrabnya, sudah tinggal di panti sejak usia sekolah dasar. Ayah dan Ibunya sebagai penopang hidup keluarga telah tiada. Demi sekolahnya, keluarganya menitipkan pengasuhan Azan di panti. Azan senang hidup di panti karena banyak teman. Hampir semuanya dilakukan dengan sistem kebersamaan. Namun Azan canggung dan malu bergaul dengan teman-teman di luar panti (Dharmais, 2004). Azan takut gagal melakukan hubungan sosial yang merupakan salah satu ciri dari harga diri yang negatif (Coopersmith, 1967). Tetapi kehilangan orang tua tidak selalu menyebabkan harga diri yang negatif bagi seorang remaja. Prof. Dr. Laurence Adolf Manullang, seorang anak yatim-piatu dari Desa Narumonda, Porsea, Sumatera Utara. Dia menapaki kehidupan langkah demi langkah, melintasi berbagai tantangan dan meraih berbagai keberhasilan sehingga menjadi seorang ekonom ternama dan top eksekutif keuangan berskala dunia. Dia menjadi seorang yatim piatu ketika berusia 8 tahun. Dunia menjadi terasa gelap baginya. Dia yang masih di bawah usia delapan tahun dan adiknya yang baru berusia tiga tahun telah menjadi yatimpiatu. Untunglah dia masih punya nenek, Martalena boru Marpaung yang telah menjanda 31 tahun. Dia dan adiknya dirawat, diasuh, dibimbing dan dibesarkan oleh nenek tercinta sejak tahun 1949. Sejak itu, Timbul (nama kecil Prof. Dr. Laurence) menjadi pemurung dan pemimpi. Syukur, musibah yang berat itu tidak 5

sampai menghalanginya menimba ilmu. Ternyata selama SR, Timbul tidak pernah tinggal kelas dan dapat menyelesaikan SR tersebut pada tahun 1954. Semangat hidupnya bangkit terutama berkat pengasuhan neneknya yang penuh kasih sayang. Selain ompung, tulang (paman) atau keluarga laki-laki dari ibu dan nenek yaitu Marpaung turut pula membesarkan Laurence dan adiknya dengan telaten. Ketiadaan ayah dan ibu kandung tidak menghalangi keinginan Laurence mengisi hari-harinya tumbuh dan berkembang menjadi remaja Batak yang terhormat dan dibanggakan. Sikap pemurung tak dapat menyembunyikan kecerdasan Laurence. Mimpi-mimpinya dibiarkan saja terus berkembang bahkan memacunya ingin keliling dunia bergaul sama rata tanpa dibebani rasa rendah diri atau inferiority complex dengan warga bangsa lain (Cepiar, 2007). Prof. Dr. Laurence Adolf Manullang merupakan salah satu contoh yang disampaikan oleh Tambunan (2001), bahwa perkembangan harga diri pada masa remaja akan menentukan keberhasilan di masa yang akan datang. Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang, seorang yatim piatu yang sukses di masa dewasanya, dapat dikatakan memiliki harga diri yang baik dalam masa remajanya. Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan berprestasi di bidang akademik dan tidak pernah merasa inferior dengan kondisinya yang telah menjadi yatim piatu yang merupakan salah satu ciri dari orang yang memiliki harga diri positif (Coopersmith, 1967) Contoh lain yang menunjukkan bahwa kondisi ketiadaan orang tua tidak selalu membuat seseorang memiliki harga diri yang rendah adalah Lia, siswa kelas dua SMP ini sudah tinggal di panti Tresna Putra sejak kelas satu SMP. 6

Ketidakmampuan orang tuanya untuk menyekolahkan menyebabkan ia harus tinggal di panti. Walaupun tinggal dengan teman-teman yang latar belakangnya berbeda, Lia tetap betah dan bersyukur karena sekarang dapat hidup lebih layak. Bahkan, ia pun tidak mengalami masalah bergaul dengan teman-teman sekolahnya yang kebanyakan bukan anak panti (Dharmais, 2004). Hasil wawancara peneliti dengan seorang remaja yatim piatu di salah satu panti asuhan di kota Medan menunjukkan bahwa remaja yatim piatu tidak selalu menunjukkan harga diri yang negatif. Berikut petikan dari hasil wawancara peneliti dengan remaja yatim piatu tersebut. Aku sebenarnya ingin masuk PASKIBRA. Tapi karena gak ada duit, yah jadi aku ikut ekskul yang komputer ajalah bang yang juga bermanfaat. Yah. Udah biasa. Aku gak perlu minder. Malah makin banyak kawan. Kasihan kali lah kalau ada orang yang gak punya teman. Mereka gak pernah mengejekku, justru mereka malah membantu. Mereka baik-baik. Lagipula belajarku lumayan juga kok bang. Jadi aku terima kondisiku seperti ini. (P3. V.2/L. 183-188/p.4-5) Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa peristiwa kehilangan orangtua tidak selalu menyebabkan seorang remaja memiliki harga diri yang rendah. Menerima dan menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, menaruh rasa hormat terhadap dirinya, menganggap dirinya berharga, lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi lingkungannya dan merasa sama dengan orang lain merupakan salah satu indikasi perilaku dari seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi (Coopersmith, 1967). Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwa orang tua memiliki peran dalam membentuk kepribadian remaja, harga diri remaja dan kemampuan remaja 7

untuk mengatasi masalah dalam kehidupan mereka. Maka penelitian ini ditujukan untuk melihat bagaimana harga diri pada remaja yang telah kehilangan kedua orangtuanya. Apakah individu menghadapi situasi ini dengan membentuk harga diri yang tinggi atau sebaliknya individu menghadapi situasi ini dengan membentuk harga diri yang rendah. I. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran harga diri remaja yatim piatu. Untuk lebih rinci, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran harga diri remaja yatim piatu yang meliputi: 1. Bagaimana gambaran aspek perasaan diterima pada remaja yatim piatu. 2. Bagaimana gambaran aspek perasaan berharga pada remaja yatim piatu. 3. Bagaimana gambaran aspek perasaan diterima pada remaja yatim piatu. I. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harga diri pada remaja yatim piatu. I. D. Manfaat Penelitian praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan 8

I. D. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkembangan, yaitu memberikan gambaran tentang harga diri remaja yatim piatu. I. D. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai harga diri remaja yatim piatu sehingga para remaja yatim piatu dapat mengenal diri mereka dengan lebih baik. Selain itu melalui hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat yang banyak berhubungan dengan remaja yatim piatu dapat memperlakukan para remaja yatim piatu dengan lebih tepat dan bersosialisasi dengan lebih baik. Juga kiranya hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitian-penelitian sejenis, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan. I. E. Sistematika Penulisan berikut : Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sitematika sebagai BAB I : Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 9

BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Yang meliputi pengertian tentang harga diri. BAB III : Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, subjek penelitian, prosedur penelitian serta prosedur analisis data. BAB IV : Analisa Data Bab ini menguraikan analisa data dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap subjek penelitian. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan, diskusi dan saran dari hasilpenelitian. 10