BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menopause adalah masa kritis dari masa kehidupan wanita. Menopause melahirkan diskusi, kontroversi dan perhatian diantara wanita dan penyediaan kesehatan bagi kesehatan mereka, sehingga dapat diketahui bagaimana mengatasi masalah yang mereka hadapi selama masa menopause. Seiring dengan bertambahnya umur, semua fungsi organ tubuh mulai menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang signifikan salah satunya adalah menurunnya fungsi organ reproduksi yaitu ovarium. Wanita yang telah memiliki kesiapan dalam menghadapi menopause tidak akan merasa takut lagi menghadapi menopause. Peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi mengenai menopause dan bagaimana cara menghadapinya sangat penting agar wanita siap menghadapi masa menopause ini (Sastrawinata, 2008). Kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya pembangunan kesehatan antara lain meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi esensial dan komprehensif, meningkatkan keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, penanggulangan HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi (Prawiroharjo, 2002). Ruang lingkup masalah kesehatan reproduksi sesuai dengan siklus hidup wanita, yakni masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja (pubertas), masa subur (reproduksi), masa klimakterium, dan masa senium (lanjut usia). Masing-masing masa itu mempunyai kekhususan. Salah satu keadaan penting yang terjadi pada masa klimakterium (pre-menopause) (Sastrawinata, 2008). Pada masa klimakterium wanita sangat membutuhkan perhatian khusus, karena wanita akan mengalami sejumlah gangguan fisik maupun psikologis yang mengganggu aktivitas sehari-hari serta menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup dan rasa percaya diri. Peran petugas kesehatan reproduksi minim dalam pemberian informasi tentang kesehatan maternal. Informasi serta dukungan petugas sangat dibutuhkan wanita agar mereka siap menghadapi menopause (Siswono, 2004). Tahapan masa pre-menopause, menopause dan post-menopause disebut dengan masa klimakterium yaitu masa peralihan yang dilalui seorang wanita dari
periode produktif ke periode keluhan akibat dari menurunnya produksi hormon estrogen. (Baziad, 2003). Strategi pertama dalam pembangunan kesehatan, yaitu peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan yang berkualitas memegang peran penting dalam mengatasi kesakitan wanita pada masa menopause. Masalah utama yang dihadapi wanita adalah kurangnya hormon estrogen pada masa menopause. Peran petugas sangat dibutuhkan dalam pemberian informasi mengenai masa menopause. Dalam memberikan perannya sebagai edukator, motivator dan fasilitator, petugas kesehatan dituntut untuk memberikan seluruh hal yang dibutuhkan wanita untuk mengatasi gangguan fisik dan mental saat menopause (Wiknjosastro, 2005). Banyak wanita merasa khawatir menghadapi menopause karena mereka beranggapan bahwa wanita yang berusia lanjut akan mengalami hidup yang kurang sehat, kurang bugar dan tidak cantik lagi. Padahal, menopause merupakan suatu fase kehidupan yang harus dialami dan tidak dapat dihindari oleh setiap wanita. Menjadi tua memang hal yang sering ditakuti oleh para wanita, tetapi hal ini tidak berarti wanita kehilangan identitas kewanitaannya. Walaupun demikian, tidaklah dapat dipungkiri adanya aneka perubahan fisik dan emosi yang menyebabkan masa menopause merupakan masa yang membutuhkan penyesuaian diri dan pengertian dari berbagai pihak (Northrup, 2006). Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO, pada tahun 2000, total populasi wanita yang mengalami menopause di seluruh dunia mencapai 645 juta orang, tahun 2010 mencapai 894 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 1,2 milyar orang (Aso, 2008). Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1997 mencapai
201,4 juta dengan 100,9 juta orang wanita. Jumlah wanita berusia di atas 50 tahun mencapai 14,3 juta orang. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 203,46 juta orang yang terdiri dari 101,81 juta perempuan dengan jumlah perempuan yang berusia di atas 50 tahun dan yang telah memasuki usia menopause sebanyak 15,5 juta orang. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause di Indonesia adalah 30,3 juta orang (Kumalaningsih, 2008). Usia wanita yang berada pada kurun usia lebih dari 45 tahun ada sebesar 38.525.092 jiwa di seluruh Indonesia dan sebesar 1.947.704 jiwa di Provinsi Aceh (BPS, 2009), dan jumlah wanita yang berada pada kurun usia 40-45 tahun di Kabupaten Bireuen ada sebanyak 11.328 orang dari 125.739 jumlah wanita di daerah tersebut (Dinkes Kabupaten Bireuen, 2011). Ismail dalam Rachman et al (2004) mengemukakan bahwa tanggapan wanita dan masyarakat terhadap menopause berbeda di setiap komunitas. Perbedaan ini terjadi karena menopause adalah masalah biopsikososial yang sangat berkaitan dengan budaya masyarakat. Wanita barat yang mengeluhkan gejala menopause sekitar 75%. Adapun insidens dan keparahan dari gejala klimakterium ini bergantung terutama pada adanya ketidakstabilan emosi sejak masa pra-menopause. Pada Simposium Nasional Perkumpulan Menopause Indonesia (PERMI) 21-22 April 2007 di Jakarta dikemukakan bahwa profil perempuan Indonesia adalah ratarata umur perempuan menopause di Indonesia 48-53 tahun dan mempunyai lima gejala utama yang dialami dalam menghadapi masa klimakterium seperti, nyeri otot atau sendi (77,7 %), rasa letih dan hilang energi (68,7 %), kehilangan nafsu seksual (61,3 %), kerutan di kulit (60 %), sulit konsentrasi dan hot flushes (29,5 %) (Muharam, 2007). Usia terjadinya menopause pada sebagian besar wanita adalah antara 46-55 tahun. Namun ada kecenderungan dewasa ini untuk terjadinya menopause pada umur yang lebih tua. Misalnya pada tahun 1915 menopause dikatakan terjadi sekitar umur 44 tahun, sedangkan pada tahun 1950 pada umur yang mendekati 50 tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (Statistics Indonesia), pada tahun 2007, proporsi wanita yang mengalami menopause mengalami peningkatan dari 11%
pada wanita umur 40-44 tahun, 22% pada wanita berumur 44-45 tahun, dan 45% pada wanita umur 48-49 tahun (Sastrawinata, 2008). Menurut Mustopo (2005) wanita Indonesia yang memasuki masa menopause saat ini sebanyak 7,4 % dari populasi. Jumlah tersebut diperkirakan menjadi 11% pada 2005, kemudian naik lagi sebesar 14 % pada 2015. Sedangkan yang mengalami perubahan psikologis meliputi mudah tersinggung, terasa takut, gelisah, lekas marah sebanyak 90%, gangguan tidur 50%, depresi 70%. Perhatian pemerintah pada masalah kesehatan wanita menjelang memasuki masa menopause maupun pada masa setelah menopause masih kurang mendapatkan perhatian yang berarti seperti perhatian terhadap masalah kesehatan pada kelompok umur lain, seperti halnya pada kesehatan ibu hamil. Tingkat pendapatan masyarakat yang semakin tinggi akan berdampak pada perubahan gaya hidup dan meningkatnya umur harapan hidup, dimana sudah saatnya perhatian besar harus difokuskan pada masalah kesehatan wanita menjelang usia menopause dan setelah menopause dengan mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatannya pada kurun waktu tersebut sehingga dapat dibuat suatu kebijakan dengan mendirikan dan mengembangkan pelayanan kesehatan reproduksi wanita sampai pada tingkat pelayanan kesehatan dasar (Hanafiah, 1999). Seperti hasil penelitian Syam (2005) dan Ghani (2009) tentang tingkat pengetahuan dan sikap wanita dalam menghadapi menopause di RT 01-02 RW VII Kelurahan Kedurus Surabaya menunjukkan bahwa konseling menopause yang dilakukan petugas kesehatan memberikan efek kepada pengetahuan dan sikap wanita dalam menghadapi menopause. Dengan kata lain, peran petugas kesehatan dalam memberikan konseling tentang menopause sangat penting untuk meningkatkan kesiapan wanita menghadapi masa menopause dan dampak negatif menopause sehingga bisa diantisipasi dan disikapi dengan baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan dalam menghadapi menopause telah diteliti oleh Soedirham (2008) di Surabaya yang menunjukkan hasil bahwa pengetahuan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan wanita sangat berpengaruh terhadap kesiapan mereka menghadapi menopause. Keluhan masalah kesehatan yang di hadapi oleh perempuan menopause yaitu perubahan fisik seperti : keluhan nyeri senggama (93,33%), perdarahan pasca senggama 84,44%, vagina kering 93,33%, dan keputihan 75,55%, gatal pada vagina 88,88%, perasaan panas pada vagina 84,44%, nyeri berkemih 77,77%, inkontenensia urin 68,88% (Dempsey, 2002). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap wanita menopause di Indonesia, ditemukan masih rendahnya pengetahuan ibu tentang penggunaan terapi sulih hormon sebagai upaya mengatasi gejala klimakterium dan kurangnya pengetahuan ibu tentang gejala klimakterium serta berbedanya keluhan sindrom klimakterium yang dialami tiap-tiap wanita. Keadaan ini menyebabkan ibu tidak siap untuk menerima keadaan menopause yang dapat berakibat pada gangguan biopsikososialnya sehingga menyebabkan derajat keluhan sindrom klimakterium semakin serius yang dapat mengganggu kualitas hidupnya (Rachman et al, 2004).
Menurut Fecteau (2002), pada saat menopause muncul perubahan-perubahan fisik dan psikologis ibu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mayoritas ibu menopause akan memiliki kulit yang mulai berkeriput serta pertambahan berat badan yang cukup tinggi. Selain itu untuk gangguan psikologis terlihat dengan semakin mudah tersinggung atau marah. Penelitian Barret et all (2008) tentang sumber multipel kecemasan ibu pada masa menopause menunjukkan adanya korelasi antara gambaran diri serta persepsi menopause dengan tingkat kecemasan ibu masa menopause. Hasil ini menjelaskan bahwa kurangnya pengetahuan ibu tentang menopause, menunjukkan ketidaksiapan ibu menghadapi menopause, sehingga muncullah kecemasan pada masa menopause. Kabupaten Bireuen tidak terlepas dari perhatian terhadap pelayanan kesehatan khususnya kesehatan misalnya Program Kesehatan Reproduksi Lansia (PKRL) dimana akan terjadi berbagai gangguan yang menyerang wanita; yang dihubungkan dengan terjadinya penurunan kadar estrogen pada usia 40 tahun ke atas dengan sindroma klimakterium (Dinkes Kabupaten Bireuen, 2011). Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara terhadap 10 orang wanita di Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen didapat bahwa sebanyak 7 orang (70%) wanita tidak dapat menjawab dengan benar tentang pengertian menopause, tanda dan gejala menopause, cara mengatasi keluhannya, hanya 3 orang yang mengerti tentang menopause dan seluk beluknya. Ketika ditanyakan tentang peran petugas kesehatan sebagai motivator, edukator dan fasilitator sebanyak 6 orang (60%) peran petugas kesehatan masih minim dalam memberikan pengetahuan mengenai menopause dan hal-hal yang perlu dilakukan sehingga wanita siap menghadapi dan mencegah semaksimal mungkin gangguan kesehatan pada masa menopause. 1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita peroleh masih rendahnya pengetahuan wanita tentang menopause dan juga rendahnya petugas kesehatan khususnya pada ibu lansia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh yaitu pengetahuan dan peran petugas kesehatan (motivator, edukator, fasilitator) terhadap kesiapan mental wanita pra menopause menghadapi menopause di Puskesmas Kota Juang Kabupaten Bireuen tahun 2012. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan peran petugas kesehatan (motivator, edukator, fasilitator) terhadap kesiapan mental wanita pra menopause menghadapi menopause di Puskesmas Kota Juang Kabupaten Bireuen tahun 2012. 1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh yaitu pengetahuan dan peran petugas kesehatan (motivator, edukator, fasilitator) terhadap kesiapan mental wanita pra menopause menghadapi menopause di Puskesmas Kota Juang Kabupaten Bireuen tahun 2012. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk pengaplikasian teori dan metode ilmu kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan reproduksi tentang kesiapan menghadapi menopause, yang dipelajari peneliti pada saat perkuliahan.
2. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam menentukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi lansia yang berkaitan dengan masa menopause. 3. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.