BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan. 1 Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga. organ pemerintah yang melaksanakan tugas dan kewenangannya agar

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

P U T U S A N No K / Pid / DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara pidana pada

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap kehidupan bernegara tidak mungkin terlepas dari hukum, masing-masing negara tentu memiliki aturan hukumnya sendiri yang berfungsi untuk mengatur kehidupan warga negaranya. Pengertian hukum itu sendiri adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan. 1 Indonesia merupakan negara hukum, hal ini di buktikan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana. Hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidana-pidana yang seharusnya dikenakan. 2 Moeljatno memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 3 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai 1 J.C.T Simorangkir, S.H., dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hlm. 66 2 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm. 13 3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Renika Cipta, Jakarta, 2008, Hlm. 1

2 ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya. 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. Menurut pemberlakuannya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus yang mana dalam penulisan ini lebih difokuskan kepada hukum pidana umum. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku untuk umum dan hanya terbatas pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundangundangan terkait saja. 4 Menurut Andi Zainal Abidin, hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. 5 Sementara itu, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang terletak di luar KUHP dan memiliki sejumlah ketentuan khusus terhadap KUHP. Pada dasarnya, hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana serta kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tetapi hukum pidana juga berkaitan dengan proses peradilan yang harus dijalankan seseorang. Proses penegakan hukum pidana diwujudkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan prosedur pelaksanaannya 4 Frans Maramis, Op.Cit., Hlm. 9 5 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 18

3 diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hasil akhir dari proses penegakan hukum pidana adalah dengan dijatuhkannya putusan pengadilan dalam suatu persidangan di peradilan. Putusan pengadilan sebagai kaidah hukum bersifat kongkret berfungsi untuk menegakan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika apa yang seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut tidak terjadi. 6 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal tiga macam putusan pengadilan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Jenis-jenis putusan hakim pidana yang diatur dalam KUHAP yaitu: 1. Putusan Bebas (Vrijspraak) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). 2. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). 3. Putusan Pemidanaan 6 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia: Sebuah Pemahaman Awal, Mandar Maju, Bandung, 2016, Hlm. 48

4 Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan pengadilan lahir dari suatu proses pengadilan terhadap suatu kasus yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Lembaga peradilan dalam menjalankan kewenangannya memutus suatu kasus, didasarkan pada asas independensi dan asas imparsialitas peradilan. Independensi berarti bahwa kekuasaan mengadili adalah kekuasaan lembaga peradilan yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga negara lain, sedangkan asas imparsialitas peradilan merupakan dimensi khusus dari asas independensi peradilan menyangkut kapasitas lembaga peradilan dalam menempatkan dirinya di antara para pihak dimana hal itu harus tercermin dalam putusannya. 7 Lembaga peradilan dalam menjalankan kewenangannya memutus suatu kasus dipresentasikan dalam suatu persidangan yang proses pelaksanaannya diketuai oleh hakim. Pengertian hakim di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim adalah salah satu elemen dasar 7 Ibid., Hlm. 53

5 dalam sistem peradilan selain jaksa, polisi, dan penasehat hukum. Struktur dari kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan menegakkan hukum. 8 Hakim memiliki kebebasan untuk menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai dengan kewenangannya. Bebas dalam konsep kekuasaan hakim disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua jenis kebebasan yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan. 9 Akan tetapi, seorang hakim dalam memutuskan sebuah putusan tetap harus memperhatikan dan melibatkan unsur manusiawi di dalamnya. Sementara 8 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hlm. 34 9 H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hlm. 170

6 itu, kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita. 10 Hakim diberi kebebasan dalam menjalankan kekuasaannya menjatuhkan putusan dalam suatu persidangan. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu 11 : 1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan. 2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. 3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Hakim dalam menjalankan tugasnya haruslah dilindungi dan dijamin dalam undang-undang. Hal ini bertujuan agar hakim dapat menjalankan profesinya secara profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintahan. Seorang hakim dalam menjalankan tugasnya dan membuat putusan haruslah bebas dari pengaruh-pengaruh 12 : 1. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain. 2. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran kekuasaan kehakiman sendiri. 3. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara. 4. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional. 5. Pengaruh-pengaruh yang bersifat trial by the press. 10 Ibid., Hlm. 171 11 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 104 12 Ibid., Hlm. 169

7 Kekuasaan kehakiman yang merdeka tentu selalu seiringan dengan konsep kemandirian hakim, yang dimaksud dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung dan tidak terpengaruh terhadap apapun atau siapa pun. Hakim atau peradilan sebagai tempat orang mencari keadilan haruslah mandiri dan independen. Mandiri dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar putusannya itu objektif, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat menciptakan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Hans Kelsen di dalam bukunya mengatakan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. 13 Memuaskan dalam arti keputusan yang diberikan Hakim dalam putusannya telah memenuhi keinginan para pihak yang berperkara sehingga baik penuntut umum maupun penasihat hukum merasa bahwa mereka telah merasakan keadilan yang seadil-adilnya. Akan tetapi, tidak seluruh putusan pengadilan yang dijatuhkan dalam persidangan untuk menyelesaikan suatu perkara dianggap bersifat objektif dan dapat memberikan rasa keadilan bagi masing-masing pihak yang berperkara, oleh karena itu masing-masing pihak yang berperkara, baik terdakwa maupun penuntut umum, dapat mengajukan upaya hukum terhadap putusan yang dirasa belum memenuhi rasa keadilan. 13 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2011, Hlm. 7

8 Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 12 KUHAP). Upaya hukum dibedakan menjadi dua, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Menurut KUHAP, upaya hukum biasa dapat berupa: 1. Banding, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan pengadilan negeri (Pasal 67 jo Pasal 233 KUHAP). 2. Kasasi, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi karena: a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c. Proses peradilan tidak dijalankan sesuai Undang-Undang. Sedangkan upaya hukum luar biasa dapat berupa: 1. Kasasi demi kepentingan hukum. 2. Peninjauan Kembali Upaya hukum banding diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 244 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Permohonan banding dan kasasi dapat diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum terhadap semua putusan Pengadilan Negeri

9 kecuali putusan tersebut merupakan putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Undang-Undang memberi kesempatan upaya hukum sebagai tindakan koreksi atau perbaikan atas Putusan Pengadilan Negeri. Pemeriksaan banding kemudian dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan tujuan agar Putusan Pengadilan Negeri tersebut dikembalikan ke arah ketentuan Undang-Undang yang sebenarnya dan diharapkan dapat memberi rasa keadilan bagi para pihak berperkara yang sebelumnya tidak dirasakan dalam Putusan Pengadilan Negeri. Jika dalam putusan banding para pihak masih merasa belum mendapat keadilan, terhadap putusan banding tersebut dapat dimohonkan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Seperti kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel. dengan terdakwa Andro Suprianto dan Nurdin Prianto. Dalam putusan tersebut terdakwa Andro Suprianto dan terdakwa Nurdin Prianto yang bekerja sebagai pengamen didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP terhadap korban yang bernama Dicky Maulana dan dituntut pidana masing-masing selama 13 tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar para terdakwa tetap ditahan. Dalam persidangan baik penuntut umum dan penasihat hukum menghadirkan saksi-saksi dari masing-masing pihak, akan tetapi tidak ada satu pun saksi yang melihat langsung bahwa terdakwa telah

10 melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan oleh penuntut umum. Penasihat hukum para terdakwa dalam pembelaannya menyatakan bahwa para terdakwa tidak melakukan perbuatannya sebagaimana didakwa oleh penuntut umum dan bahwa penyidikan bertentangan dengan hukum yang kemudian mengakibatkan berita acara pemeriksaan cacat hukum sehingga berita acara pemeriksaan, surat dakwaan, dan surat tuntutan batal demi hukum serta tidak bisa dijadikan dasar untuk memenjarakan para terdakwa dan mengajukan eksepsi atas surat dakwaan tersebut pada tanggal 9 Oktober 2013 dan Majelis Hakim menolak eksepsi penasehat hukum terdakwa. Pada Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel. pada amar putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana 7 tahun penjara kepada masing-masing terdakwa. Pada putusan pengadilan negeri tersebut, baik penuntut umum maupun penasehat hukum merasa belum mendapatkan keadilan yang selayaknya dan memohon upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi terhadap putusan tersebut, yang kemudian oleh Pengadilan Tinggi dikeluarkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI yang pada amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Primair maupun Subsidair dari Dakwaan Penuntut Umum, majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta dalam pertimbangannya mengatakan

11 kurangnya bukti yang menunjukan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana dikatakan oleh penuntut umum dalam dakwaannya, sehingga majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta kemudian membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undangundang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. 14 Alat bukti mempunyai fungsi yang sangat penting dalam persidangan, karena alat bukti merupakan salah satu elemen dasar yang dapat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Penuntut umum kemudian memohon upaya hukum kasasi terhadap putusan banding tersebut dan oleh Mahkamah Agung dikeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055 K/PID/2014. Pada pertimbangannya, majelis hakim agung mengatakan bahwa Judex Facti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan hukum sehingga para terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan. 14 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Hlm. 253

12 Pada praktik peradilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri atau di tingkat Pengadilan Tinggi, hakim bisa saja memberikan putusan bersalah atau putusan bebas kepada terdakwa. Apabila pada putusan hakim menyatakan bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan kemungkinan terdakwa tersebut dapat memperoleh keringanan berdasarkan pertimbangan majelis hakim, namun bisa juga putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum jika perbuatan yang didakwakan tidak merupakan suatu tindak pidana, atau menyatakan bebas, yang artinya terdakwa tidak terbukti bersalah dan akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum, atau dengan kata lain hakim menolak dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Pada kasus ini Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa. Pengertian dan ketentuan mengenai putusan bebas itu sendiri diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Dalam kasus ini, karena kurangnya bukti yang menunjukan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana dikatakan oleh penuntut umum dalam dakwaannya, sehingga

13 akhirnya majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta kemudian membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut. Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara banding tidak selalu memberikan putusan yang sama dengan putusan hakim Pengadilan Negeri. Seringkali putusan hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian mengubah, memperbaiki, atau bahkan membatalkan putusan hakim Pengadilan Negeri, begitu pula dengan Hakim Mahkamah Agung yang mengadili pada tingkat kasasi. Hal ini terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Vonis Bebas Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang akan diketengahkan yaitu, apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis bebas terhadap tindak pidana pembunuhan dalam studi kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014?

14 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap tindak pidana pembunuhan dalam studi kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pidana terutama pembuktian dan pertimbangan hakim dalam memutus tindak pidana pembunuhan. 2. Manfaat Praktis Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran yuridis yang berkaitan dengan alasan pertimbangan Hakim Tinggi dan Hakim Agung yang menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak pidana pembunuhan.

15 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, maka jenis penelitian yang dipakai adalah Yuridis Normatif, karena yang diteliti ialah pertimbangan hakim dan penelitian dilakukan dengan menelaah putusan hakim dikaitkan dengan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum yang sedang penulis amati. 15 2. Jenis Pendekatan Adapun pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang bertitik fokus pada kasus (Case Approach) dimana yang akan diteliti adalah berdasarkan fakta kasus yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Untuk menjawab pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian dibutuhkan data berupa: 15 Peter Mahmud M., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, Hlm. 136

16 a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)/ Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 4) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel 5) Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI 6) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014 7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan sekunder yang dipakai dalam penulisan ini adalah literatur, buku-buku, koran-koran dan wacana-wacana sebagai refrensi yang terkait untuk penulisan skripsi ini. 4. Unit Amatan dan Analisa a. Unit amatan Adapun yang menjadi unit amatan dalam penulisan ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

17 Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Unit analisa Adapun yang menjadi unit analisa dalam penulisan ini adalah pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas pada perkara Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014.