TATA CARA BERKONTRAK PADA PEKERJAAN KONSTRUKSI M.Hadin Muhjad 1. Pendahuluan Kontrak merupakan dokumen yang penting dalam suatu pekerjaan yang melibatkan dua belah pihak atau lebih. Karena arti kontrak itu sendiri adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang menimbulkan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan secara sebagian dan disebelahnya merupakan hak. Dalam suatu pekerjaan konstruksi dua pihak itu adalah pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa atau pemberi jasa konstruksi dapat berupa perorangan amupun badan hukum baik instansi pemerintah maupun swasta. Pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa ini terikat dalam suatu hubungan kerja jasa konstruksi, dimana hubungan kerja tersebut diatur dan dituangkan dalam suatu kontrak kerja konstruksi. Berdasarkan Pasal 1angka 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Kontrak dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam kesepakatan yang saling menguntungkan. Kontrak tertuang di dalam dokumen tertulis yang berisi persetujuan dari para pihak, dengan syarat dan ketentuan sebagai bukti dari segala kewajiban. (Black s Law Dictionary). Kontrak ini merupakan dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang memuat persetujuan bersama secara sukarela antara pihak kesatu dan pihak kedua. Pihak kesatu berjanji untuk memberikan jasa dan menyediakan material untuk membangun proyek bagi pihak kedua; Pihak kedua berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan untuk jasa dan material yang telah digunakan. Menurut PP No.29 Tahun 2000 pasal 20 ayat 1, Kontrak kerja konstruksi pada dasarnya dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstuksi yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan pelaksanaan, dan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan pengawasan. Pada ayat 2, PP no.29 tahun 2000 pasal 20 dijelaskan bahwa, Dalam hal pekerjaan terintegrasi, kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dituangkan dalam 1 (satu) kontrak kerja konstruksi. Isi kontrak itu menyangkut segala hal terkait hak dan
kewajiban antar pihak serta alokasi risiko diatur dalam kontrak, sehingga kontrak dimaksud untuk memanage pekerjaan maka wajar ada pendapat bahwa kerugian proyek terbesar disebabkan oleh kegagalan dalam mengelola kontrak konstruksi. Permasalahan acapkali terjadi dengan Kontrak pengadaan barang/jasa, antara lain keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan pembayaran yang tidak sesuai dengan prestasi pekerjaan disamping masalah lainnya. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan harus dapat terjadi bukan saja disebabkan oleh penyedia jasa mungkin saja disebabkan karena pengguna jasa. Dalam kasus pengadaan misalnya PPK dan semua pihak yang berwenang (terutama Konsultan Pengawas Konstruksi) seharusnya mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan sejak awal. Jika hal ini benar-benar dilakukan, indikasi keterlambatan dapat diketahui dan ditangani lebih cepat. Dalam praktiknya, seringkali justeru PPK-lah yang lalai dalam melakukan tugas pengendalian Kontrak. Pada akhirnya, Penyedia harus menanggung denda keterlambatan, tindakan pemutusan Kontrak secara sepihak, bahkan pengenaan sanksi pencantuman dalam daftar hitam (blacklist). Singkatnya waktu pelaksanaan juga menjadi alasan yang wajar suatu pekerjaan tidak selesai (terutama pekerjaan konstruksi). Jika secara teknis suatu pekerjaan tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena alasan waktu yang tidak cukup, sebaiknya jangan dipaksakan. Kondisi seperti ini umumnya dialami jika pengadaan barang/jasa dilaksanakan menjelang atau bahkan pada triwulan keempat tahun anggaran berkenaan. 2. Karakter hukum kontrak konstruksi Eman Suparmanmengatakan, rancangan kontrak pengadaan barang/jasa bersifat sui generis atau bersifat spesifik/unik karena tidak hanya diatur oleh satu bidang hukum saja melainkan terkait sejumlah aspek hukum. Aspek hukum kontrak pengadaan barang/jasa yang perlu diketahui adalah aspek hukum perdata dan aspek hukum administrasi. Oleh karena itu kontrak harus dibuat oleh orang yang memiliki ketrampilan hukum. Pada aspek hukum perdata, istilah kontrak pengadaan barang/jasa merupakan perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. sehingga pelaksanaan kontrak antara kedua belah pihak pun perlu memiliki prinsip hukum yang berlaku. Prinsip tersebut adalah pacta sunt servanda
(janji harus ditepati) dan privity of contract (para pihak yang terikat kontrak yang dapat memenuhi pelaksanaan kontrak). Menurut Mudzakkir mekanisme hukum perdata dapat dilakukan apabila terdapat pelanggaran hukum kontrak pengadaan barang/jasa antara kedua belah pihak. Pada saat setelah penandatanganan kontrak, maka gunakan hukum perdata. Selagi hukum keperdataan masih berlaku, maka tidak boleh masuk hukum pidana. Sanksi pelanggaran hukum perdata adalah ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Selain itu, hukum kontrak harus ada solusi di dalamnya. Diantaranya adalah musyawarah mufakat, mediasi, pengadilan perdata, dan sebagainya. Mudzakkir menyarankan kepada Biro Hukum untuk membuat kontrak secara detail, pasti dan serba mencakup agar terhindar dari pelanggaran hukum perdata. Dalam hukum perdata dikenal beberapa asas, salah satu asas dalam hukum perjanjian, yakni asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterapkan pada pekerjaan Konstruksi, maka dengan asas kebebasan dapat dimaknai sebagai kebebasan berkontrak antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perihal kebebasan berkontrak, Johannes Gunawan menjelaskan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi: 1. Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian. 2. Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian. 3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian. 4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian. Sejalan dengan lingkup asas kebebasan berkontrak di atas, Pasal 46 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2017 mengatur Kontrak Kerja Konstruksi dibentuk dengan mengikuti perkembangan kebutuhan untuk mengakomodasi bentuk-bentuk kerja konstruksi yang berkembang di masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal menarik adalah perihal kesetaraan kedudukan antara Penyedia Jasa dan Pegguna Jasa. Perihal kekurangan kesetaraan Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa diakui secara eksplisit dalam Bagian Umum Penjelasan UU No. 18 Tahun 1999 sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi jasa konstruksi nasional pada saat diundangkannya UU No. 18 Tahun 1999. Adapun dalam UU No.
2 Tahun 2017, walaupun tidak menyatakan hal serupa, namun UU No. 2 Tahun 2017 menempatkan kesetaraan antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, yakni asas kesetaraan yang dimaknai bahwa kegiatan Jasa Konstruksi harus dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Serta menempatkan kesetaraan hubungan kerja Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sebagai salah satu tujuan dari penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 huruf (b) UU No. 2 Tahun 2017 sebagai berikut: Penyelenggaran Jasa Konstruksi bertujuan untuk: 1. mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Sejalan dengan penggunaan asas kesetaraan dan tujuan penyelenggaraan jasa konstruksi, UU No. 2 Tahun 2017 memberikan kewajiban kepada Pemerintah Pusat, melalui Pasal 4 ayat (1) huruf b, untuk menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna jasa dan Penyedia jasa. Dan untuk pelaksanaan kewajibannya tersebut, Pemerintah diberikan kewenangan mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf (b) UU No. 2 Tahun 2017. Bahkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan penyelengaraan jasa konstruksi terkait dengan kesetaraan Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam Pasal 3 huruf (b) UU No. 2 Tahun 2017 di atas, penjelasan Pasal 3 huruf (b) menyebutkan penerapan dokumen kontrak standar sebagai salah satu upaya. Adapun mengenai kontrak standar ini bukanlah hal baru dalam dunia konstruksi. Tercatat beberapa standar kontrak kontruksi yang diterbitkan oleh beberapa negara atau asosiasi profesi seperti FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels), JCT (Joint Contract Tribunals), AIA (American Institute of Architects) dan SIA (Singapore Institute of Architects). Berdasarkan PP No. 29 Tahun 2000, kontrak kerja konstruksi dibedakan berdasarkan: 1. bentuk imbalan, yang terdiri dari lump sum, harga satuan, biaya tambah imbalan jasa, gabungan Lump Sum dan harga satuan, atau aliansi;
2. jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari: tahun tunggal, atau tahun jamak; 3. cara pembayaran hasil pekerjaan, yaitu sesuai kemajuan pekerjaan, atau secara berkala. Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-lurangnya harus mencakup mengenai: 1. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak; 2. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan; 3. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, memuat jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; 4. tenaga ahli, memuat ketentuan jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; 5. hak dan kewajiban, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi; 6. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; 7. cidera janji, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; 8. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; 9. pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; 10. keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; 11. kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; 12. perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; dan
13. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan. Kontrak kerja konstruksi juga harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup: 1. kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan 2. pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten, sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undangundang tentang hak paten. Dokumen kontrak adalah kumpulan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak yang sekurang-kurangnya berisi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000, yaitu: a. Surat Perjanjian b. Dokumen Tender c. Penawaran d. Berita Acara e. Surat Pernyataan Pengguna Jasa f. Surat Pernyataan Penyedia Jasa Isi Perjanjian/Kontrak harus memuat antara lain: a. Uraian para pihak b. Konsiderasi c. Lingkup Pekerjaan d. Nilai Kontrak e. Bentuk Kontrak yang Dipakai f. Jangka Waktu Pelaksanaan g. Prioritas Dokumen Sedangkan Pasal 20 ayat (1) PP No.29 Tahun 2000 menentukan bahwa, Kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibedakan berdasarkan : a. Bentuk imbalan yang terdiri dari : 1) Lump Sum; 2) harga satuan; 3) biaya tambah imbalan jasa; 4) gabungan Lump Sum dan harga satuan; atau
5) Aliansi. b.jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang terdiri dari : 1) tahun tunggal; atau 2) tahun jamak. c. Cara pembayaran hasil pekerjaan : 1) sesuai kemajuan pekerjaan; atau 2) secara berkala. 3. Peran Konsultas Hukum dalam penyusunan kontrak Kepala Biro Hukum, Sistem Informasi dan Kepegawaian Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) R. Fendy Dharma Saputra mengatakan Biro Hukum Kementerian/Lembaga/PemDa/Institusi (K/L/D/) dihimbau agar terlibat dalam pembuatan rancangan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah sejak awal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir permasalahan apabila terjadi sengketa hukum di kemudian hari. Peran Biro Hukum diantaranya adalah membantu pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam membuat rancangan serta memahami isi kontrak, kemudian mendampingi pokja ULP dalam membuat keputusan penyelesaian sanggah. Apabila pengelola pengadaan menghadapi permasalahan hukum, maka biro hukum berkewajiban untuk melakukan pendampingan. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 115 Ayat (3) yang berbunyi Pimpinan K/L/D/I wajib memberikan pelayanan hukum kepada PA/KPA/PPK/ULP/Pejabat Pengadaan/PPHP/PPSPM/ Bendahara/ APIP dalam menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 4. Pasal-pasal Penting Kontrak Berdasarkan pengalaman, terdapat pasal-pasal kontrak yang sering menimbulkan kesalahpahaman (dispute) antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Pasal-pasal ini perlu mendapat perhatian pada saat penyusunan kontrak sebelum ditandatangani.
a. Lingkup pekerjaan : berisi tentang uraian pekerjaan yang termasuk dalam kontrak. b. Jangka waktu pelaksanaan, menjelaskan tentang total durasi pelaksanaan, Pentahapan (milestone) bila ada, Hak memperoleh perpanjangan waktu, Ganti rugi keterlambatan. c. Harga borongan menjelaskan nilai yang harus dibayarkan oleh pemilik proyek kepada kontraktor untuk melaksanakan seluruh lingkup pekerjaan, Sifat kontrak lumpsum fixed price atau unit price, Biaya-biaya yang termasuk dalam harga borongan. d. Cara pembayaran, berisi ketentuan tentang tahapan pembayaran, cara pengukuran prestasi, Jangka waktu pembayaran, Jumlah pembayaran yang ditahan pada setiap tahap (retensi), Konsekuensi apabila terjadi keterlambatan pembayaran (misalnya denda). e. Pekerjaan tambah atau kurang, berisi Definisi pekerjaan tambah/kurang, Dasar pelaksanaan pekerjaan tambah/kurang (misal persetujuan yang diperlukan), dampak pekerjaan tambah/kurang terhadap harga borongan, Dampak pekerjaan tambah/kurang terhadap waktu pelaksanaan, Cara pembayaran pekerjaan tambah/kurang. f. Pengakhiran perjanjian, berisi ketentuan tentang hal-hal yang dapat mengakibatkan pengakhiran perjanjian, Hak untuk mengakhiri perjanjian, Konsekuensi dari pengakhiran perjanjian.