PUTUSAN FINAL MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: Anak Agung Ngr. Wisnu Wisesa Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Kewenangan MPR Dalam Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

Ilham Imaman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Andri Kurniawan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

IMPEACHMENT WAKIL PRESIDEN. Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SEKILAS TENTANG PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) Oleh: Seger Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Jurnal RechtsVinding BPHN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI


PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

2013, No Mengingat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi;

I. UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5493

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang...

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

Jurnal RechtsVinding BPHN

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA SEBAGAI ALASAN PEMBERHENTIAN PRESIDEN DARI JABATANNYA (PEMAKZULAN)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

KEWENANGAN MEMUTUSKAN PENDAPAT DPR TENTANG DUGAAN. PELANGGARAN PRESIDEN dan /atau WAKIL PRESIDEN ABSTRAC

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATRIKS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 75/PUU-XII/2014 Status Hukum Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 8/PUU-VIII/2010 Tentang UU Penetapan Hak Angket DPR Hak angket DPR

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pemakzulan Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Di Indonesia

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 8/Ags/2016

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

IMPLIKASI AMANDEMEN UUD 1945 TERHADAP SISTEM HUKUM NASIONAL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

MPR dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan ( People s Consultative Assembly in Constitutional System)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

Transkripsi:

Putusan Final Mahkamah Konstitusi Dalam Hal Pemakzulan Presiden...( Ali Marwan Hsb ) PUTUSAN FINAL MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN Ali Marwan Hsb. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara Jl. Putri Hijau No. 4 Medan Indonesia E-mail: ali.marwan13@gmail.com (Naskah diterima 09/08/2017, direvisi 29/08/2017, disetujui 29/09/2017) Abstrak Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dalam melaksanakan kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam melaksanakan kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak disebutkan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini mencoba meneliti sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Kata Kunci: Putusan, Mahkamah Konstitusi, Pemakzulan Abstract Article 24C section (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia stated that the decision of the Constitutional Court is final and binding in implementing authority to review the acts against the constitution, resolve authority dispute between state institutions the authority granted by the Constitution, dissolution of political parties and to decide disputes concerning the results of general elections. Further in Article 24C section (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in implementing the obligations of the Constitutional Court to examine, hear and decide upon the views of the House of Representatives regarding the alleged violation by the President and/or Vice President did not mention how the nature of the Constitutional Court's decision. Thus, in this paper to be examined is the nature of the decision of the Constitutional Court in examining, hearing and deciding views of the House of Representatives regarding the alleged violation by the President and/or Vice President and follow up of the decision of the Constitutional Court. Keyword: Decision, Constitutional Court, Impeachment. A. Pendahuluan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang lahir pasca reformasi dan dibentuk setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilaksanakan sebanyak 4 (empat) kali dari tahun 1999 sampai dengan 2002. Ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 tidak mendapatkan porsi pembahasan pada masa pembahasan dan pengesahan Perubahan Pertama UUD 1945 dalam SU MPR 1999. Konsentrasi pembahasan pada masa perubahan pertama lebih banyak pada ketentuan tentang Kekuasaan Kehakiman secara umum serta Mahkamah Agung. Barulah dalam pembahasan 275

Vol. 14 No. 03 - September 2017 : 275-284 tentang Kekuasaan Kehakiman pada masa perubahan kedua, isu tentang Mahkamah Konstitusi mulai bergulir. 1 Setelah dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan angin segar bahwa proses-proses politik seperti pembentukan undang-undang, pembubaran partai politik dan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden berjalan sesuai dengan hukum tanpa muatan politik. Di mana Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penetralisir atau neutralizer bagi lembaga politik. 2 Dalam ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah final, pertama dan terakhir. Ini berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak boleh diadili lagi. 3 Dalam Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa usulan pemberhentian dari Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 24C ayat (2) bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang- Undang Dasar. Ketentuan dalam Pasal 24C ayat (2) tersebut tidak memberikan ketentuan bagaimana sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Dalam Pasal 24C ayat (1) berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final adalah putusan dalam hal melaksanakan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: 1. Bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden? 2. Bagaimanakah seyogianya pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden? B. Pembahasan B.1. Proses Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam hal proses pemakzulan Presiden, kita dapat belajar dari kasus 2 (dua) Presiden Republik Indonesia yaitu Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Dalam kasus Soekarno, proses pemakzulan dimulai ketika pidato 1 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999 2002, Buku VI, Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 441. 2 Ali Marwan Hsb, Mahkamah Konstitusi sebagai Neutralizer terhadap Lembaga Politik, Jurnal Rechtsvinding Volume 2 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 316 317. 3 Wicipto Setiadi, Dukungan Politik dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 Nomor 3, Desember 2013,hlm. 300. 276

Putusan Final Mahkamah Konstitusi Dalam Hal Pemakzulan Presiden...( Ali Marwan Hsb ) pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno tersebut, khususnya halhal yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya G-30S/PKI. Karenanya DPR-GR saat itu mengajukan pernyataan pendapat kepada Presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki dilengkapinya pidato Nawaksara oleh Presiden. Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena pertanggungjawaban Presiden tidak dapat diterima, maka melalui Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno, MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden. 4 Memperhatikan proses pemakzulan Presiden Soekarno dapat dikemukakan bahwa alasan pemakzulan Presiden Soekarno, terutama terkait dengan pertanggungan jawab Presiden Soekarno atas peristiwa percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia pada tanggal 30 September 1965, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak. Presiden Soekarno setidaktidaknya dianggap telah melanggar haluan negara dalam tuduhan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut adalah adanya indikasi serta petunjuk bahwa Presiden Soekarno terlibat terlibat peristiwa G-30S/PKI. Sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Presiden Soekarno dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. 5 Kasus Presiden Abdurrahman Wahid sendiri terjadi ketika namanya dikaitkan dengan adanya kasus dana Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 Miliar pada Mei 2000 juga soal pertanggungjawaban dana Sultan Brunei sebesar USS 2 juta. Hal ini direspon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan. Usul tersebut diterima dan dibentuklah Panitia Khusus (Pansus) untuk mengadakan penyelidikan. 6 Panitia Khusus tersebut menyimpulkan 2 (dua) hal, yaitu: 7 1. Dalam kasus dana Yanatera Bulog, Pansus berpendapat patut diduga bahwa Presiden Abdurrahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog 2. Dalam kasus dana bantuan Sultan Brunei Pansus berpendapat adanya inkonsistensi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang masalah bantuan Sultan Brunei Darussalam, menunjukkan bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat. Berdasarkan laporan dari Pansus dan pendapat dari fraksi-fraksi diambil kesimpulan untuk mengeluarkan memorandum dan disusul memorandum kedua dan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Menjelang sidang Istimewa MPR, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yang berisi pembekuan MPR dan pembekuan Partai Golkar. Pada akhirnya, MPR RI memberhentikan Presiden Abdurahman Wahid karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara yaitu karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden Abdurahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001. 8 Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid terjadi dalam forum pertanggungjawaban. Yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang Presiden sebagai mandataris kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemberi mandat dalam konstruksi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan memiliki aspek yang sangat luas. Demikian pula halnya dengan dasar atau alasan menolak pertanggungjawaban yang berujung pada pemberhentian juga sangat luas, tidak terbatas pada pelanggaran hukum melainkan juga dapat terjadi karena perbedaan pandangan atas kebijakan tertentu. 9 4 Winarno Yudho, dkk., Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung, 2005, hlm. i. 5 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden; Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 142. 6 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden..., hlm. 143. 7 Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010, hlm. 255. 8 Ibid., hlm. 103. 9 Tim Penyusun, Hukum Acara..., Op. Cit., hlm. 255 256. 277

Vol. 14 No. 03 - September 2017 : 275-284 Setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dengan jelas pada Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut: Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B (1) Usulan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat; (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi; (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/ atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat; (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut; (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/ atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diketahui bahwa proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: 10 10 Ibid., hlm. 258 259. 278

Putusan Final Mahkamah Konstitusi Dalam Hal Pemakzulan Presiden...( Ali Marwan Hsb ) 1. Tahapan di Dewan Perwakilan Rakyat. Yaitu tahapan pengusulan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul pemberhentian. Pendapat tentang pelanggaran hukum atau kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat tersebut harus diputus dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui 2/3 dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir; 2. Tahapan di Mahkamah Konstitusi. Apabila pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang pelanggaran hukum atau kondisi tidak memenuhi syarat Presiden dan/atau Wakil Presiden telah disetujui sesuai dengan persyaratan di atas, Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya mengajukan pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini dapat memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terbukti atau tidak; 3. Tahapan di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apabila Mahkamah Konstitusi bahwa pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terbukti, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden diputuskan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pemberhentian itu disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir. Dalam rapat paripurna itu Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan. Menurut Moh. Mahfud MD, jika ditilik dari Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penjatuhan Presiden harus dimulai dari penilaian dan keputusan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (impeachment), kemudian dilanjutkan ke pemeriksaan dan putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi (forum previlegiatum), lalu dikembalikan lagi ke prosedur impeachment (Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat) untuk diputuskan secara politik, apakah putusan Mahkamah Konstitusi itu perlu diikuti dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah tidak. Tepatnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menganut sistem campuran antara mekanisme impeachment dan mekanisme forum frevilegiatum dan kembali ke impeachment lagi. 11 Mekanisme pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang diatur dalam Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum, ini ah suatu langkah maju dalam perspektif ketatanegaraan agar pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang didasari faktor non-yuridis semata tak terjadi kembali di masa yang akan datang. Namun, di lain sisi, prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran serta semangat untuk menjadikan hukum sebagai putusan akhir yang berwibawa dan dihormati seolah dikesampingkan dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena dalam mekanisme impeachment, putusan Mahkamah 11 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 143. 279

Vol. 14 No. 03 - September 2017 : 275-284 Konstitusi yang membenarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tidak bersifat final. Dalam tahapan selanjutnya putusan ini dapat saja tidak disepakati dan dianggap angin lalu oleh suara mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Terlebih tidak ada satu pun ketentuan dalam konstitusi maupun peraturan perundangundangan lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Artinya, putusan hukum dapat saja dikalahkan oleh putusan politik. Untuk konsistensi sebagai negara hukum akan lebih terwujud bilamana proses akhir dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah bersifat menguatkan putusan Mahkamah Kontitusi. 12 B.2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan tersebut, yaitu: (1) menguji undangundang terhadap undang-undang dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undangundang dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya kewajiban Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 13 Kewajiban Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut berkorelasi dengan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di mana disebutkan bahwa pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang harus diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi yaitu dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam ketentuan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa ada 3 (tiga) lembaga negara yang terlibat dalam memutuskan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden ini, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keputusan terakhir ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat, apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi diberhentikan atau tidak. Artinya peran Mahkamah Konstitusi diperlukan dalam rangka menjamin agar proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai akibat pendapat yang berisi penuntutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dapat diputuskan secara hukum dan karena alasan hukum. 14 Akan tetapi menurut Harjono bahwa adapun kewajiban dalam impeachment sebetulnya lebih banyak menyangkut peradilan pidana, bukan peradilan tata usaha negara. Semestinya proses impeachment tidak dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi cukup diberikan kepada Mahkamah Agung. Hal ini karena Mahkamah Agung-lah yang memiliki hakimhakim pidana beserta hukum acara pidananya. 15 Persidangan di Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan untuk menjawab 2 (dua) pertanyaan paling mendasar tentang fakta dan hukum yaitu apakah benar secara hukum dan konstitusi Presiden telah melakukan tindakan yang menjadi alasan usulan pemakzulan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan apakah proses pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan hukum dan konstitusi? Sebagai sebuah lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi harus memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat Dewan 12 Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013, hlm. 340 341. 13 Martitah, Mahkamah Konstitusi; Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 125 126. 14 Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang: Setara Press, 2012, hlm. 142. 15 Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa; Pemikiran Hukum Dr. Harjono, SH, MCL Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 171. 280

Putusan Final Mahkamah Konstitusi Dalam Hal Pemakzulan Presiden...( Ali Marwan Hsb ) Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan dan pembuktian yang berlaku di Mahkamah Konstitusi. 16 Memperhatikan proses pemeriksaan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat di Mahkamah Konstitusi dan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya proses pemeriksaan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat di Mahkamah Konstitusi adalah sebuah proses peradilan yang tidak terbatas pada pemeriksaan dokumen semata-mata. Karena itu, pemeriksaan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat itu dapat dilakukan seperti pemeriksaan dalam perkara pidana dalam peradilan pidana. Hanya saja posisi Presiden bukanlah seperti posisi terdakwa dalam perkara pidana, akan tetapi sebagai pihak dalam perkara yang memiliki posisi sejajar dengan pemohon yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang bertindak sebagai penuntut dalam perkara pidana. Dengan proses seperti ini, Mahkamah Konstitusi dapat secara objektif dan mendalam memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan terhindar dari kepentingan dan pandangan politik yang dapat saja subjektif dari Dewan Perwakilan Rakyat. 17 Pada posisi ini Mahkamah Konstitusi memiliki peranan yang sangat strategis karena Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan dua atap di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah perubahan. Pada proses impeachment ini Mahkamah Konstitusi tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pribadi yang melakukan tindak pidana. Tapi objek sengketa yang menjadi fokus pemeriksaan Mahkamah Konstitusi adalah pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas kinerja Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dianggap memenuhi Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian, jika terdapat pengadilan yang memeriksa Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas tuduhan melakukan pelanggaran hukum, maka pengadilan tersebut tetap memiliki kewenangan untuk melakukannya dan tidak bertentangan dengan asas nebis in idem dalam konteks hukum pidana maupun hukum acara pidana. Karena pengadilan tersebut mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam kapasitasnya yang berlangsung ketika digelar persidang di Mahkamah Konstitusi adalah dalam kerangka peradilan tata negara. Sehingga Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana. Hanya jika putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi adalah membenarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat melanjutkan proses impeachment ke Majelis Permusyawaratan Rakyat. Suara terbanyak anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai prosedur yang diatur dalam Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan menjadi kata akhir dalam persoalan impeachment di Indonesia. 18 B.3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Pendapat DPR Mengenai Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden Terhadap perkara pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum atau kondisi Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat terdapat 3 (tiga) kemungkinan putusan yang dapat dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat dari sisi pemohon dan permohonan, amar putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kedua, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, amar putusan Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan membenarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi syarat seperti pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak. 19 16 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden; Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2014, hlm. 110. 17 Ibid., hlm. 110 111. 18 Yudho Winarno, dkk, Mekanisme Impeachment..., Op. Cit. 281

Vol. 14 No. 03 - September 2017 : 275-284 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan membenarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, maka Dewan Perwakilan Rakyat meneruskannya ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden atau tidak. Banyak kalangan yang menilai bahwa dalam konteks ini fungsi Mahkamah Konstitusi menjadi lemah alias sumir. Pertanyaan yang sering diajukan adalah: jika Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah, mengapa Majelis Permusyawaratan Rakyat masih diberi peluang tidak menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden? Kalau begitu, apa gunanya ada Mahkamah Konstitusi? 20 Menurut Moh. Mahfud MD bahwa apa pun pertanyaannya, itulah kenyataan yang berlaku dalam hukum tata negara. Kenyataan ini tidak perlu dibentukan dengan teori atau dengan cara yang dianut di negara lain. Sebab, pada dasarnya hukum tata negara yang mengikat adalah apa pun yang oleh rakyat dan negara yang bersangkutan telah dimuat di dalam konstitusinya. Dengan kata lain, apa pun isi konstitusi, itulah ketentuan hukum tata negara yang berlaku. Dalam hal ini, filosofi yang mendasarinya adalah bahwa negara Indonesia, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) adalah negara demokrasi yang lebih menekankan pada aspek politik dan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) adalah negara hukum (nomokrasi) sehingga dalam hal penentuan nasib jabatan Presiden cara yang diambil adalah kombinasi antara demokrasi dan nomokrasi. 21 Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dalam melaksanakan 4 (empat) jenis kewenangan yaitu untuk (1) menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undangundang dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan untuk melaksanakan kewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Pasal 24C ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak disebutkan sifat putusannya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 19 ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menyatakan bahwa Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan. C. Penutup Putusan Mahkamah Konstitusi tentang adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dikatakan bersifat final sama dengan putusan Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan kewenangan lainnya. Hal ini dikarenakan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak tersedia upaya hukum apa pun lagi. Karena Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan hanya berdiri sendiri dan tidak ada lembaga peradilan lain yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa kembali putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi Dewan Perwakilan Rakyat selaku pihak yang mengajukan permohonan. Agar putusan yang bersifat final tersebut mempunyai kekuatan dalam pelaksanaannya, seyogianya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kemudian mempunyai kewenangan untuk memutuskan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berawal dari permohonan Dewan Perwakilan Rakyat dan semua anggota Dewan Perwakilan 19 Tim Penyusun, Hukum Acara..., Op. Cit., hlm. 269. 20 Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum..., Op. Cit., hlm. 143. 21 Ibid. 282

Putusan Final Mahkamah Konstitusi Dalam Hal Pemakzulan Presiden...( Ali Marwan Hsb ) Rakyat tersebut menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sehingga terasa aneh jika kemudian permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kemudian dianulir kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Agar prinsip negara hukum yang dianut dalam Pasa1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia benar-benar diterapkan dalam pelaksanaan praktik ketatanegaraan di Indonesia. Buku-Buku Daftar Pustaka Hamdan Zoelva, 2005, Impeachment Presiden; Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press. Harjono, 2008, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa; Pemikiran Hukum Dr. Harjono, SH, MCL Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi; Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Jakarta: Konstitusi Press. Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999 2002, Buku VI, Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Winarno Yudho, dkk., 2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung. Makalah Ali Marwan Hsb, 2013, Mahkamah Konstitusi sebagai Neutralizer terhadap Lembaga Politik, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 Nomor 3, Desember 2013. Eko Noer Kristiyanto, 2013, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013. Wicipto Setiadi, 2013. Dukungan Politik dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 Nomor 3, Desember 2013. Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang: Setara Press. 283

284 Vol. 14 No. 03 - September 2017 : 275-284