BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Selanjutya keberhasilan pembangunan akan memberi. Manusia & Kebudayaan Republik Indonesia,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Hal tersebut berdampak pada rendahnya angka partisipasi pendidikan (APK)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PERTENGAHAN PASCA PUTUS CINTA DI SMAN 20 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Eem Munawaroh, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kompleksitas masalah-masalah berujung pada konflik-konflik dan rintangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bukunya Resiliency : What We Have Learned. Teori ini digunakan karena sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Hubungan Antara Faktor Risiko Eksternal Dengan Resiliensi Pada Siswa SMK Negeri 1 Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. Tugas akhir atau yang sering disebut skripsi merupakan gerbang terakhir yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alrefi, 2014 Penerapan Solution-Focused Counseling Untuk Peningkatan Perilaku Asertif

BAB I PENDAHULUAN. pribadi atau pun potensi yang dimilikinya. masalah yang cukup besar bagi kemajuan negara ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai individu, bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khaulah Marhamah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Namun, pendidikan di sekolah sampai

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja ditandai oleh perubahan besar diantaranya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia jumlah anak yang memiliki perilaku yang bermasalah

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. suatu sekolah dikatakan berhasil jika ia mendapatkan nilai yang bagus dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kondisi mental remaja dan anak di Indonesia saat ini memprihatinkantebukti

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB I PENDAHULUAN. remaja berkembang gejala yang menghawatirkan bagi para pendidik yaitu krisis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari seorang anak menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-temannya. Jalinan

BAB I PENDAHULUAN. Menikah dan kuliah sama pentingnya, secara sederhana bisa digambarkan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu seringkali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke

"#% tahun untuk membuka diri dan melakukan pemulihan bagi kesehatannya, subjek AA sudah 5 tahun hidup sebagai ODHA dan masih berusaha untuk memaafkan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifatsifat

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. didik, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

2015 KORELASI KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PESERTA DIDIK MTS AT TAUFIQ BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan bertujuan membangun tenaga-tenaga terdidik, berpengetahuan dan terampil yang dibutuhkan dalam setiap aspek pembangunan. Selanjutya keberhasilan pembangunan akan memberi kesempatan dan peningkatan pendidikan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia & Kebudayaan Republik Indonesia, www.menkokesra.go.id, akses 20 November 2016). Untuk itu, pemerintah telah membuat landasan hukum yang mewajibkan seluruh Warga Negara Indonesia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 31 ayat 2 menjelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Selanjutnya pada ayat 3 ditegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dalam mendapatkan pendidikan yang layak (Mahkamah Konstitusi, 2016). Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan. 1

2 Untuk merealisasikan undang-undang tersebut, pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, dan telah menyelenggarakan pendidikan gratis melalui beberapa program bantuan dana seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Melalui program bantuan ini diharapkan siswa dapat termotivasi dan semangat untuk belajar dan berprestasi di sekolah. Namun pada kenyataannya berbagai upaya pemerintah belum dapat mengatasi masalah dalam dunia pendidikan. Beberapa masalah pendidikan tersebut antara lain adalah biaya pendidikan yang relatif mahal, sehingga tidak dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat miskin (Aprianto & Khairunnisa, 2013). Dampak dari masalah tersebut adalah anak putus sekolah dan turut berperan dalam mencari nafkah. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah siswa putus sekolah di Indonesia pada tahun 2016/2017 pada jenjang sekolah dasar mencapai 38.702 siswa. Sedangkan jumlah siswa putus sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama mencapai 39.213 siswa. Dan jumlah siswa putus sekolah pada jenjang sekolah menengah atas mencapai 36.419 siswa. Data tersebut menunjukkan banyaknya siswa putus sekolah berada pada jenjang sekolah menengah pertama. Beberapa faktor disebutkan antara lain oleh alasan ekonomi, karena tidak memiliki biaya maupun harus turut

3 bekerja membantu ekonomi keluarga (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan adalah kondisi kehidupan serba kekurangan yang dialami seseorang sehingga ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (Ritonga, 2003). Kemiskinan seringkali menjadi kendala bagi seorang anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Schoorr (dalam Goldstein & Brooks, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan menjadi faktor risiko terbesar terhadap kegagalan di sekolah. Selain putus sekolah, kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah psikologis seperti depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja lebih banyak terjadi pada siswa miskin (Gibs & Huang dalam Santrock, 2003). Hal ini terjadi karena orang tua cenderung memusatkan tenaga dan perhatiannya untuk memperbaiki kondisi keuangan daripada melakukan pengasuhan dan bimbingan kepada anak (Orthner, et.al, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Daniel dan Sherk (2003) mengenai Economic Stress, Psychological Well-being and Problem Behavior in Chinese Adolescent with Economic Disvantage, stress ekonomi berhubungan signifikan dengan keadaan psikologis pada siswa remaja di Cina. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa remaja yang memiliki pengalaman stress ekonomi yang tinggi memiliki kesehatan psikologis yang rendah. Penelitian lain dilakukan oleh Laura

4 dan Macdermid (2000) tentang Identity Development as a Protective Factor Between Urban Poverty and Behavioral Outcomes for Junior High Students, dalam penelitian ini dijelaskan bahwa kesulitan ekonomi dan kemiskinan dapat mengganggu perkembangan identitas diri. Perkembangan identitas diri dalam penelitian ini dikaitkan dengan penyesuaian diri remaja. Dijelaskan bahwa kesulitan ekonomi dan kemiskinan dapat menjadikan remaja sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Keadaan tersebut berdampak negatif bagi perkembangan psikologis remaja dan pada akhirnya berpengaruh pada rendahnya kesejahteraan psikologis remaja. Dari beberapa penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor risiko terbesar yang dapat menghambat perkembangan individu. Beberapa fenomena kemiskinan juga terjadi di Kabupaten Karawang, khususnya di Kecamatan Rawamerta. Menurut data yang diperoleh dari Dinas Sosial, Kecamatan Rawamerta memiliki pendaftar bantuan miskin terbanyak pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama yaitu sebanyak 1.102 siswa. Siswa tersebut terdaftar sebagai penerima Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sebagian besar dari siswa yang terdaftar berasal dari jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan orang tuanya bermatapencaharian sebagai petani dengan penghasilan tidak menentu.

5 Menurut studi dokumentasi yang telah dilakukan disalah satu SMP Negeri di Kecamatan Rawamerta, pada tahun ajaran 2016/2017 terdapat 205 siswa penerima program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan 188 siswa penerima Bantuan Siswa Miskin (BSM). Menurut informasi dari guru Bimbingan dan Konseling, meski pemerintah sudah memberikan program sekolah gratis dan beberapa bantuan dana akan tetapi fenomena putus sekolah masih terjadi di sekolah tersebut. Seperti pada tahun ajaran 2016/2017 terdapat 68 siswa dari total 288 siswa tidak dapat melanjutkan sekolah ke SMA/sederajat. Penyebab utamanya adalah karena faktor ekonomi dan kurangnya motivasi dari orang tua sehingga siswa kurang mempunyai keinginan untuk bersekolah. Selain itu, beberapa kasus seperti nilai akademis rendah, membolos, merokok, bullying, dan masalah seksual seperti hamil diluar nikah dominan terjadi pada siswa miskin. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang tua, faktor ekonomi dirasakan menjadi faktor pemicu stress dalam keluarga. Beberapa dari orang tua merasa kurang mampu memfasilitasi anaknya untuk memiliki karir yang baik di masa depan. Mereka cenderung kurang mendorong dan memotivasi anak untuk menyelesaikan sekolah. Mereka juga memperbolehkan jika anaknya ikut serta sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Menurut orang tua,

6 pemberian program bantuan dari pemerintah sering mengalami keterlambatan, sehingga orang tua harus menanggung kebutuhan anak menggunakan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Wawancara selanjutnya dilakukan dengan siswa miskin di Kecamatan Rawamerta. Dalam wawancara tersebut beberapa siswa mengatakan merasa malu dan tidak percaya diri saat bergaul dengan teman-temannya di sekolah. Faktor ekonomi juga membuat mereka tertekan ketika memikirkan masa depan. Mereka cenderung khawatir tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun masalah psikologis lebih sering terjadi pada siswa miskin yang akan berisiko pada kegagalan di sekolah, tetapi tidak menutup kemungkinan siswa miskin tersebut juga dapat berhasil dan berprestasi di sekolah. Untuk dapat berhasil melewati masa sulit, seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya agar mampu menghadapi masalah secara efektif. Maka dari itu, kemampuan untuk menjadi seseorang yang resilien dengan resiliensi tinggi sangat dibutuhkan. Resiliensi adalah kemampuan untuk mempertahankan kapasitas diri yang kompeten dalam menghadapi stress besar dalam hidup (Kaplan, et al., 2000). Resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy, tentang

7 anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti tersebut menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan (Rutter & Garmezy dalam Klohnen, 2006). Resiliensi juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif dan positif. Resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari suatu kesulitan, tetapi resiliensi dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupan seseorang menjadi lebih positif (Reivich dan Shatte, 2002). Resiliensi yang dimiliki seseorang mempengaruhi kinerja orang tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Istilah resiliensi dalam bidang pendidikan disebut dengan resiliensi edukasi. Siswa yang resilien adalah siswa yang berhasil di lingkungan sekolah meskipun memiliki kondisi yang kurang menguntungkan (Reivich dan Shatte, 2002). Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut dapat berupa ekonomi rendah, kondisi sekolah yang kurang mendukung, maupun kondisi keluarga yang kurang baik.

8 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aydin dan Gizir tahun 2009 mengenai Protective Factors Contributing To The Academic Resilience Of Student. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konselor sekolah bukan merupakan faktor proteksi bagi siswa untuk resilien, tetapi keluarga dan komunitas yang diduga memberikan faktor proteksi kepada siswa miskin untuk resilien. Jika keluarga mampu memberikan perhatian penuh, memiliki kondisi sosial ekonomi yang mencukupi maka siswa akan lebih mampu mengembangkan resiliensinya. Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Reivich selama kurang lebih 15 tahun menjelaskan bahwa resiliensi menjadi peranan penting dalam kehidupan, karena resiliensi merupakan faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan. Dalam penelitiannya, Reivich juga menyebutkan pentingnya resiliensi untuk mengatasi hambatan seperti keluarga yang berantakan, kehilangan orang tua, kemiskinan, diabaikan secara emosional ataupun siksaan fisik (Reivich dan Shatte, 2002). Anak-anak dan remaja lebih rentan dalam menerima dampak yang paling berat dari kejadian traumatis dibandingkan dengan orang dewasa (Vijayakumar dkk, 2006). Oleh karena itu, resiliensi merupakan faktor penting dalam perkembangan anak-anak dan remaja, karena anak-anak atau remaja yang resilien cenderung dapat melewati kesulitan hidup dalam masa perkembangan dan akan terhindar dari

9 masalah yang akan terjadi di masa yang akan datang (Claus-Ehlers, 2008). Uraian diatas menunjukkan bahwa resiliensi merupakan aspek yang sangat penting untuk mampu bertahan dalam kehidupan yang tidak menguntungkan. Berkenaan dengan hal ini, peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul Gambaran Resiliensi Pada Siswa Miskin (Survey di SMP Negeri se-kecamatan Rawamerta). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran resiliensi pada siswa miskin? 2. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kurangnya resiliensi pada siswa miskin? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan paparan penelti pada latar belakang dan identifikasi, maka peneliti membatasi permasalahan pada : 1. Subjek penelitian adalah siswa SMP Negeri se-kecamatan Rawamerta. 2. Fokus penelitian dibatasi pada siswa miskin.

10 D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Gambaran Resiliensi Pada Siswa Miskin?. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian mengenai resiliensi yang merupakan salah satu faktor kesuksesan atau kegagalan akademis pada siswa. b. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat sebagai bahan untuk mengembangkan pengetahuan serta bahan perbandingan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian, khususnya mengenai resiliensi. 2. Manfaat Praktis a. Bagi guru Bimbingan dan Konseling, diharapkan bermanfaat untuk membantu siswa dalam mencapai pengembangan diri yang optimal, khususnya dalam meningkatkan resiliensi siswa. b. Bagi siswa miskin di SMP Negeri se-kecamatan Rawamerta diharapkan bermanfaat sebagai masukan untuk lebih memahami

11 pentingnya resiliensi dalam meningkatkan potensi diri baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.