Hidup dengan Diri Sendiri Patrick Kearney berpengalaman dalam meditasi Buddhis selama 30 tahun, baik dalam tradisi Zen maupun tradisi Theravada. Sejak tahun 1984 ia telah berlatih meditasi Vipassana (pandangan terang) di bawah metode yang dikembangkan Mahasi Sayadaw dari Myanmar. Guru-gurunya adalah Robert Aitken Roshi, Sayadaw U Pandita, Sayadaw U Lakkhana, Sayadaw U Janaka, John Hale dan Christopher Titmuss. Patrick mengajar di retret, lokakarya dan kelas-kelas di sekitar Australia. Ia mengajarkan teknik meditasi maupun teori yang mendasarinya. Dengan mengerti keduanya, siswa dapat menjadi mandiri dan dapat menentukan arahnya sendiri. Dalam bukunya, LIVING WITH THE DEVIL, Stephen Batchelor menulis tentang bagaimana mengenali diri yang mengarah pada pemahaman mengenai sisi gelap kita, sisi yang kejam. Kita menjadi akrab dengan perjuangan antara sisi yang baik dan sisi yang jahat, yang berkobar di dalam diri kita. Dalam mempelajari untuk hidup dengan diri sendiri, kita menemukan bahwa kita "hidup dengan iblis." Perjuangan dalam diri kita ini merefleksikan konflik-konflik luar yang terjadi sepanjang sejarah manusia. Sekarang, "perang teror" menjadi pertempuran antara yang baik dengan yang jahat. Dalam pertempuran ini, pihak musuh berada di luar pagar; pada pertempuran dalam diri kita, kita menjadi musuh bagi diri kita sendiri. Sang Buddha melihat bahwa diri terbagi karena ia terbentuk dari dua kekuatan, kehendak (tanha) dan delusi (avijja). Kedua kekuatan hebat yang buta dan dahsyat ini menciptakan arti mengenai siapa diri kita dan apa yang kita pikirkan tentang dunia. Mengapa usaha mengenali diri memerlukan perjuangan? Kehendak adalah energi dasar keinginan yang mengarahkan, menggerakkan, dan membentuk kita. Kita didorong oleh nafsu. Seluruh aktivitas dalam hidup dimotivasi oleh nafsu. Tapi nafsu-nafsu ini buta, muncul dari dalam diri kita, dan tidak kita ketahui. Latihan meditasi vipassana yang kita lakukan memancarkan cahaya pada kedalaman tersebut. Apa sebenarnya yang kita inginkan? Bagaimana nafsu kita bekerja? Apakah nafsu dalam harmoni atau konflik? Seiring dengan pengetahuan tentang nafsu-nafsu kita, kita menemukan bahwa kita sendiri sedang berperang dengan diri sendiri. Ketika kita berkeinginan, kita tidak menginginkan apa yang ingin kita inginkan. Kadang-kadang kita malah menginginkan apa yang tidak kita inginkan -tetapi meskipun begitu, kita menginginkannya juga. Kita mungkin ingin untuk sadar dan bebas dari belenggu, tapi tetap saja mengejar cinta, kebencian, dan ambisi kita. Nafsu kita itu berlipat ganda, dan sering bertentangan. Nafsu-nafsu yang muncul secara tidak teratur dan tanpa 1 / 6
diinginkan, timbul sebagai dorongan yang menggerakkan kita. Kita dapat melihat ini dalam latihan kita, bagaimana kita ditarik oleh nafsu keinginan untuk keluar dari objek meditasi kita menuju peralihan pikiran yang tidak kita inginkan. Pada saat itulah saat berkehendak. Kita juga melihat bahwa kehendak ini ingin agar kita meninggalkan gangguan (peralihan pikiran) kita dan kembali kepada objek meditasi kita. Ketika kita bertekad untuk menempuh jalur vipassana, kita menemukan bahwa diri kita berperang dengan kehendak kita. Kita melihat bahwa beberapa kehendak lebih mengarah pada kematian daripada kehidupan, mengarah pada penderitaan daripada kesejahteraan. Namun, bagaimanapun juga, kita tetap mempunyai kehendak ini, bahkan saat kita berusaha untuk menghindari kehendak tersebut. Kita mendapati diri kita membentengi, baik bagi diri kita maupun orang lain, memalingkan diri dari apa yang kita ketahui yang bertentangan dengan aspirasi spiritual kita. Kita mendapati diri kita dalam keadaan penyangkalan. Penyangkalan ini dapat memicu hasrat untuk menyalahkan orang lain, karena kita mengetahui mereka melakukan apa yang sebenarnya akan kita lakukan saat tidak ada orang yang melihat. Ini adalah hal-hal yang ingin kita lakukan, tapi tidak dapat kita perbuat pada diri sendiri atau orang lain. Akan tetapi, berkomitmen pada Dharma ialah berkomitmen pada kebenaran. Bagaimana kita dapat mengharapkan untuk mengetahui kebenaran jika kita tidak dapat menghadapi kebenaran mengenai diri sendiri? Intinya ialah dalam berkomitmen pada Dharma, kita berkomitmen untuk hidup dengan diri sendiri. Untuk mengetahui dan memahami diri kita secara lebih dalam, sehingga menjadi lebih mengenali aspek-aspek diri kita yang tidak kita ketahui. Dalam fase Batchelor, kita berkomitmen untuk hidup dengan iblis. Dan semakin kita sadar akan diri kita, semakin kita sadar akan iblis -dalam segala bentuknya dan semua yang ada dalam diri kita. Ada sebuah cerita dari Socrates, yang disampaikan oleh Neitzsche dalam bukunya, TWILIGHT OF THE GODS. Seorang asing yang tahu bagaimana membaca wajah orang berjalan melewati kota Athena. la berkata kepada Socrates bahwa is membawa setiap macam nafsu dan sifat yang buruk. Dan Socrates hanya menjawab: "Anda tahu tentang saya, Pak." 2 / 6
Socrates tahu bahwa ia memiliki semua itu, dan ia hanya dapat mengetahuinya karena ia mengerti dirinya secara utuh. la mengerti kondisi universal manusia melalui dirinya. Cara Buddha dalam latihan vipassana dapat membuat kita mengenal diri kita, dan mengenal dunia melalui diri kita, karena diri kita dan dunia tidak terpisah. Jika kita ingin mengalahkan kejahatan, kita harus berjalan melewatinya. Dan Jika "kejahatan" merupakan kata yang terlalu hebat, maka mari kita bicara tentang kekurangan-kekurangan dan kegagalan kita, terutama yang menjadi kebiasaan yang menganggu kita selama latihan bertahun-tahun. Dalam latihan kita, kita jadi akrab dengan apa yang lebih tidak ingin kita ketahui. Dalam menghadapi kekurangan dan kegagalan kita yang menyakitkan, biasanya kita terus berusaha untuk menghindarinya. Kita iri kepada mereka yang tampaknya tidak mempunyai pemahaman yang timbul dari refleksi akan diri sendiri. Suatu saat saya menerima sebuah kartu dengan kata-kata, "semua yang kau perlukan untuk sukses dalam hidup ialah ketidaktahuan dan kepercayaan diri." Saat kita melihat pertumbuhan dasar dalam berbagai bentuk -agama, ekonomi, politik- kita sedang melihat strategi-strategi penghindaran, strategi penyangkalan. Kita tidak mau mengakui bahwa kita didorong oleh kekuatan buta yaitu keserakahan, kebencian, dan delusi; sehingga kita tidak tahu apa yang sedang terjadi; bahwa kita tidak dalam kendali kita sendiri. Kita menampilkan kekurangan dan sifat jahat yang ada di dalam diri kita ke dalam diri orang lain, yang kemudian orang lain itu justru dijadikan musuh kita. Kita berlindung dalam kepercayaan buta pada doktrin-doktrin yang menjanjikan keselamatan, dalam kepatuhan kepada orang-orang yang berkuasa, menerima apa yang disampaikan oleh mereka yang berkuasa sebagai kebenaran. Apapun selain melihat pada diri kita sendiri, dan apa yang benar-benar sedang terjadi. Satu strategi yang dapat menjebak orang-orang baik dan beragama ialah sebagai aktor. Mungkin kita tergoda untuk berperan -contohnya sebagai umat Buddhis yang baik. Kita tahu bahwa umat Buddhis yang baik tidak berkehendak atau melakukan suatu hal, maka kita membangun suatu citra diri yang tidak berkehendak atau melakukan hal-hal tersebut. Tapi mungkin sebenarnya kita malah melakukannya! Saat kita sedang melakukan peran spiritual, dengan meyakinkan diri sendiri bahwa inilah kita yang sebenarnya, kita menjadi defensif (membela diri) saat melihat diri kita apa adanya, atau saat orang lain untuk melihat kita -atau lebih parah lagi, meminta agar mereka mengatakan apa yang mereka lihat pada diri kita. Siapapun yang mengancam citra diri kita ialah musuh. 3 / 6
Dan musuh ini harus dimusnahkan -agar, seperti yang kita katakan pada diri sendiri, dapat melestarikan Dharma. Hidup dengan diri sendiri adalah hidup dengan kenyataan kita, dengan siapa diri kita yang sebenarnya, berbeda dengan apa yang kita pikir tentang diri kita, atau diri kita yang seharusnya. Kita perlu melihat citra diri kita sendiri untuk hidup dengan diri sendiri -citra yang kita perlihatkan kepada diri kita dan kepada dunia, hanyalah sebagai citra, bukan diri kita yang sebenarnya. Kita belajar untuk melihat citra kita hanya sebagai citra, untuk bersikap skeptis terhadapnya, bukannya menganggapnya secara serius. Ini merupakan aspek dari anatta (tanpa diri). Kita pelajari diri kita sendiri, tapi berhenti menanggapinya secara serius. Kita pelajari diri sendiri, dan belajar bahwa semua citra adalah kebohongan, karena semua citra hanyalah citra, bukan orang yang dicitrakan. Orang itu terus berubah, datang dan pergi setiap saat, tiada hal yang dapat dipegang dan dikenali sebagai diri. Kita belajar untuk hidup dengan diri kita yang sebenarnya, bukan dengan citra diri yang kita buat atau citra diri yang orang lain buat. Hidup dengan diri sendiri memerlukan keraguan moral. Kadang kita sadar bahwa kita telah melakukan kesalahan dalam memperoleh keinginan kita. Kita sadar bahwa jika waktu dapat diulang kembali, kita tetap akan melakukan kesalahan yang sama. Jadi kita sadar akan keterbatasan aturan moral, bahwa dalam situasi-situasi yang kompleks dan berantakan, tidak ada jalan keluar yang tidak menyebabkan penderitaan, baik kepada diri kita dan mungkin orang lain. Meskipun begitu, kita tidak dapat menghindari tindakan. Kita harus memutuskan, dan hidup dengan akibat-akibat dari keputusan kita. Maka kita hidup dengan keragu-raguan, walau kita menginginkan agar semuanya jelas. Terkadang kita tertarik dengan tradisi-tradisi Dharma karena keinginan kita untuk mengatasi keraguan. Semua terlihat sederhana dalam sudut pandang tradisi yang kita anut -benar adalah benar dan salah adalah salah, dan semua apa adanya- dan kepercayaan ini memberikan rasa tenang. Kita tertarik pada orang-orang yang percaya pada kebenaran mereka sendiri, walau keyakinan ini mungkin disebabkan oleh rasa bangga terhadap diri sendiri (narsisme). Tapi penemuan diri pasti akan mengarah kepada keraguan, karena kita menemui fakta bahwa ada keraguan moral di dalam diri kita dan orang lain. Dapatkah kita hidup dalam keraguan? Atau apakah kita akan mundur menuju kepastian yang nyaman? 4 / 6
Dan mungkin sebagian dari ketertarikan terhadap inti ialah penolakan terhadap pengenalan diri, dan terhadap keraguan yang diakibatkannya. Begitu kita mengenali sifat kita yang egois dan bertentangan, dapatkah kita percaya diri sepenuhnya dalam penilaian-penilaian kita? Semakin banyak wawasan yang kita kembangkan, semakin kita memahami tingkat kedalaman delusi kita. Lebih mudah menjadi yang benar, terutama ketika kita berlindung di dalam kekuasaan orang lain. Tentunya saat kita membuang keraguan kita, kita sadar bahwa kita menunjukkan sifat jahat dan kelemahan kita. Kita mencari-cari orang yang berkelakuan buruk. Di luar sana ada banyak iblis, dan kita harus melawan mereka untuk melindungi kemurnian kita, walaupun mungkin yang kita lindungi sebenarnya hanyalah delusi kita. Hidup dengan keraguan moral mengantarkan kita kepada hal-hal seperti kekecewaan dan penyesalan yang mendalam. Berkomitmen kepada pemahaman diri ialah berkomitmen dalam melihat dan hidup dengan ketidaksempurnaan. Kita gagal untuk hidup di dalam idealisme kita. Dengan mengenal diri kita, kita mengenal keterbatasan kita. Hidup dengan diri sendiri adalah hidup dengan kekecewan, terutama saat kita berkomitmen kepada suatu jalan yang benar-benar menuntut sesuatu dari kita. Kita mengecewakan diri sendiri, tapi yang paling sulit ialah mengecewakan orang-orang yang mencintai kita. Memang lebih mudah untuk melepaskan semuanya dan pergi, atau untuk menciptakan suatu citra diri yang menyangkal diri kita yang sebenarnya. Seiring dengan kekecewaan datanglah penyesalan. Penyesalan merupakan keburukan (akusal a ) ketika ia berubah menjadi obsesi, dan dengan demikian digolongkan ke dalam lima rintangan. Tetapi penyesalan itu merupakan kebaikan ( kusala ) saat ia mengajarkan kita untuk memahami diri sendiri. Kita dapat belajar dari penyesalan, seperti juga dari kekecewaan. Kita menemukan siapa kita yang sebenarnya, apa kemampuan kita, dan apa ketidakmampuan kita. Keduanya diperlukan dalam pengenalan diri. Dan kita dapat belajar untuk sabar di hadapan ketidaksempurnaan dan kekeraskepalaan kita -dan juga orang lain. Begitu pula, penyesalan merupakan bagian yang penting dari kehidupan yang didasarkan pada pemahaman diri. Hidup ialah rangkaian pilihan, di mana kita mengambil satu pilihan dan meninggalkan pilihan yang lain. Kita membuat pilihan-pilihan kita selogis mungkin dalam kondisi apapun. Tapi menurut Buddha, logika manusia bekerja dalam suatu konteks yang berada dalam tiga "akar dari keburukan" (akusala mula) yang terdiri atas keserakahan, 5 / 6
kebencian, dan delusi. Dan dengan latihan, kita jadi semakin sadar dan menderita terhadap konteks tersebut. Kita jadi sadar bahwa kita telah dikuasai, dan seiring dengan perkembangan wawasan kita mulai melihat apa yang menguasai kita, dan bagaimana ia menguasai kita. Maka untuk hidup dengan pemahaman diri ialah untuk hidup bersama dengan kesalahan dan penyesalan. Kesalahan merupakan bagian yang wajar dalam kehidupan. Dengan berlatih dan bertambah dewasa, kita semakin bijaksana, yang berarti kita melihat ke masa lalu dan menyadari bahwa beberapa pilihan yang kita lakukan itu salah. Penyesalan, dengan kata lain, ialah aspek yang tidak dapat dihindari dalam pertumbuhan di jalan Dharma. Jika kita berkata bahwa kita tidak punya penyesalan, sama saja kita mengatakan bahwa kita belum dewasa; kita belum bijaksana. Hidup dengan hal ini memang menyakitkan, tapi apa lagi yang dapat kita lakukan? Hidup tanpa Dharma, tanpa latihan, ialah hidup dalam delusi dan penderitaan. Lebih baik menderita dalam pertumbuhan menjadi bijaksana daripada hidup nyaman dalam kegilaan konvensional. 6 / 6