Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY, INTELLECTUALLY, REPETITION (AIR) TERHADAP PENINGKATAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Berbasis Soft Skill

I. PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Salah satu cara memperoleh sumber daya manusia yang

PEMBELAJARAN PENEMUAN UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

PENGARUH STRATEGI PEMECAHAN MASALAH WANKAT-OREOVOCZ DAN PEMBELAJARAN TEKNIK PROBING TERHADAP KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIS SISWA SMP

PENGARUH PEMBELAJARAN STRATEGI REACT TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MAHASISWA PGSD TENTANG KONEKSI MATEMATIS

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA DI MTs NEGERI I SUBANG

Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMA

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENDEKATAN EKSPLORATIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

BAB II. Kajian Teoretis

BAB III METODE PENELITIAN

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL. M. Gilar Jatisunda 1)

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

Pendekatan Pembelajaran Metacognitive Scaffolding dengan Memanfaatkan Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Literasi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN. memberikan konstribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari. Mengingat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kuasi

BAB III METODE PENELITIAN

Jaya Dwi Putra. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Riau Kepulauan Batam Korespondensi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN BELIEF SISWA

PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP DENGAN PENDEKATAN OPEN-ENDED UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA

: Perlakuan (Pembelajaran dengan model pembelajaran M-APOS),

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS SCIENTIFIC DISCOVERY

P-34 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, karena pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan tenaga-tenaga

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Bandarlampung. Populasi dalam

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS

Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis melalui Pembelajaran berbasis Masalah

[JURNAL PENDIDIKAN UNSIKA] ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN BELIEF SISWA

Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 3 No. 3 ISSN Kata Kunci : Guided Inquiry dengan Teknik Think Pair Share, Hasil Belajar [1]

Muhamad Soeleman Universitas Suryakancana Cianjur

BAB III METODE PENELITIAN. 2015/2016, dengan pokok bahasan Lingkaran. eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted

BAB III METODE PENELITIAN. matematik siswa dengan menerapkan pendekatan Model Eliciting Activities

PENERAPAN MODEL PBL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Disposisi Matematis Siswa SMA

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diuji suatu perlakuan untuk mengetahui hubungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INVESTIGASI KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kita lakukan. Bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama

BAB III METODE PENELITIAN. masalah (problem solving) matematis siswa dengan menerapkan model

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Menulis Matematika dalam Pembelajaran Berbasis Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SERTA SELF- ESTEEM MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL ADVANCE ORGANIZER

PENERAPAN GEOGEBRA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS SURYAKANCANA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki peningkatan pembelajaran

2015 PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE WEBBED TEMA TEKANAN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMP

Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 299 Bandung

PENERAPAN METODE MIND MAPPING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS MAHASISWA PADA MATA KULIAH KALKULUS I

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen karena pemilihan

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA MATERI PESAWAT SEDERHANA

PENGGUNAAN METODE PROBLEM BASED LEARNING (PBL) PENGARUHNYA TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DI SMP NEGERI 4 KUNINGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang Vol.4 No 1 Pebruari 2017 ISSN

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MTs

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB III METODE PENELITIAN

MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA SD MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN PROBLEM POSING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENGARUH PEMBELAJARAN PROBLEM POSING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA MTS KELAS VIII

BAB I PENDAHULUAN. matematika yaitu memecahkan masalah (problem solving), penalaran dan bukti

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 10 Bandarlampung yang berlokasi di

Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP Dengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB III METODE PENELITIAN O X O

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode pada penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, sebab

Transkripsi:

153 Perbandingan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Antara yang Memperoleh Pembelajaran Means-Ends Analysis (Mea) dan Discovery Learning Nova Nurhanifah Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Setiabudhi No.229 Bandung, novan446@gmail.com Abstrak Tujuan dalam penelitian ini adalah 1) Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran dengan model MEA dan model pembelajaran Discovery Learning; 2) Mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika melalui model pembelajaran MEA dan model pembelajaran Discovery Learning. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol tidak ekuivalen (Non Equivalent Control Group Design) dan populasi yang digunakan adalah seluruh siswa kelas VIII di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Garut tahun ajaran 2016/2017 dengan sampel sebanyak dua kelas. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan instrumen non tes (berupa angket dan lembar observasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP antara yang memperoleh pembelajaran dengan model MEA dan Discovery Learning; 2) Siswa menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika melalui model pembelajaran MEA dan model pembelajaran Discovery Learning. Kata kunci : Kemampuan pemecahan masalah, Means-Ends Analysis (MEA), Discovery Learning. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting guna memajukan kualitas bangsa ini. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Matematika sebagai wahana pendidikan memegang peran penting dalam pendidikan. Belajar matematika merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah dan logis serta mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Matematika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan cara berpikir seseorang khususnya dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran, matematika dinilai dapat memberikan sumbangan yang penting bagi peserta didik dalam mengembangkan nalar, berpikir logis, sistematik, kritis, dan cermat serta terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan. Berkaitan dengan pembelajaran matematika, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menetapkan lima standar kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh siswa, yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi 153

154 (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Selain itu, salah satu tujuan pembelajaran matematika menurut Depdiknas (2006) adalah memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan uraian di atas, kemampuan pemecahan masalah termuat pada kemampuan standar menurut Depdiknas dan NCTM artinya kemampuan pemecahan masalah ini merupakan kemampuan yang sangat penting dan harus dikembangkan serta dimiliki oleh setiap siswa. Dalam kurikulum yang berlaku di Indonesia saat ini yakni Kurikulum 2013, pentingnya kemampuan pemecahan masalah terlihat pada kompetensi dasar yang dimuat dalam Standar Isi pada Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013. Kompetensi dasar tersebut menyebutkan bahwa Siswa diharapkan dapat menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, cermat dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah (Kemendikbud, 2014, hlm.26). Turmudi (2008) mengungkapkan bahwa Pemecahan masalah artinya proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui terlebih dahulu. Untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru tentang matematika. Pentingnya kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam matematika ditegaskan juga oleh Branca (1980), menyatakan bahwa: 1. Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika. 2. Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika. 3. Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Pandangan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, mengandung pengertian bahwa matematika dapat membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah ini menjadi tujuan umum pembelajaran matematika.tetapi faktanya dalam pembelajaran matematika, siswa dan guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan serta meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa guru mengalami kesulitan dalam mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan masalah matematis dengan baik, di lain pihak siswa mengalami kesulitan bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan guru. Fakta-fakta yang menggambarkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih sangat kurang, diantaranya: 1. Hasil survey Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang baru dirilis beberapa hari yang lalu, menunjukkan hasil bahwa Indonesia 154

155 menempati peringkat 62 dari 70 negara dengan skor 403. Tetapi capaian skor tersebut masih dibawah skor rata-rata internasionalnya yaitu 500. Soal-soal matematika dalam studi PISA lebih banyak mengukur kemampuan menalar, memecahkan masalah dan berargumentasi daripada soal-soal yang mengukur kemampuan teknis baku yang berkaitan dengan ingatan dan perhitungan semata. Rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika akan mempengaruhi penyelesaian masalah geometri, dan pada umumnya siswa disekolah menengah mengalami kesulitan dalam mempelajarinya.. (OECD, 2016). 2. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Indonesia juga dapat dilihat dari hasil survei PISA (OECD, 2013) tahun 2012 yang menunjukan bahwa indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara yang di survei dengan nilai rata-rata kemampuan matematikanya yaitu 375 dari nilai standar rata-rata yang ditetapkan oleh PISA adalah 500. Pada survei tersebut salah satu Indikator kognitif yang dinilai adalah kemampuan pemecahan masalah. 3. Hasil survei empat tahunan TIMSS. Salah satu indikator kognitif yang dinilai adalah kemampuan siswa untuk memecahkan masalah non rutin. Pada keikutsertaan pertama kali tahun 1999 Indonesia memperoleh nilai rata-rata 403, tahun 2003 memperoleh nilai ratarata 411, tahun 2007 memperoleh nilai rata-rata 411, dan tahun 2011 memperoleh nilai rata-rata 386. Nilai standar rata-rata yang ditetapkan TIMSS adalah 500 (Depdiknas, 2007). Hal ini artinya posisi Indonesia dalam setiap keikutsertaanya selalu memperoleh nilai dibawah rata-rata yang telah di tetapkan. (Mulis, at al: 2007). 4. Hasil survey yang dilakukan oleh JICA Tehnical Cooperation Project for Development of Sicience and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia (IMSTEP-JICA) pada 1999 di Kota Bandung yang menemukan salah satu kegiatan dalam matematika yang dipandang sulit oleh siswa dalam belajar dan guru dalam mengajar adalah pemecahan masalah matematis. Berdasarkan fakta-fakta di atas, siswa kita akan membuat kesalahan jika diberikan soal non rutin. Itu berarti kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia masih kurang, padahal dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan masalah sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Branca (Gani, 2007) bahwa kemampuan pemecahan masalah sebagai jantungnya matematika. Kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, yang dikemudian hari dapat diterapkan dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka ada sesuatu yang harus di perbaiki dalam pembelajaran matematika salah satunya dengan memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat. Russeffendi (2006, hlm.18) mengatakan bahwa salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru matematika sekolah menengah adalah mampu mendemonstrasikan dalam penerapan macam-macam metode dan teknik mengajar dalam bidang studi yang diajarkan. Banyak alternatif yang bisa dilakukan agar penyajian materi pelajaran dan suasana pengajaran lebih menarik, sehingga pembelajaran yang dilakukan bermakna dan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Alternatif yang bisa dilakukan oleh guru adalah dengan menggunakan model Means-Ends Analysis (MEA) dan Discovery Learning. 155

156 Means-Ends Analysis (MEA) adalah model pembelajaran variasi antara metode pemecahan masalah dengan sintaks yang menyajikan materinya pada pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristik, mengelaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, mengidentifikasi perbedaan, menyusun sub-sub masalahnya sehingga terjadi konektivitas (Suherman, 2007). Permasalahan yang digunakan diambil dari permasalahan nyata di lingkungan sekitar dalam pembelajaran matematika sebagai stimulus untuk memunculkan pemikiran kritis siswa sehingga terjadi proses pemecahan masalah pada siswa. Pembelajaran dengan menggunakan model MEA guru mengajak siswa untuk mengelaborasi, mengidentifikasi, serta memahami suatu permasalahan untuk dipecahkan dan mencari solusi sehingga permasalahan dapat dipecahkan secara terarah. Sedangkan, Amin (dalam Supriadi, 2000, hlm.7) menyatakan bahwa kegiatan discovery atau penemuan ialah suatu kegiatan atau pelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu teori belajar dari J. Bruner. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005, hlm.41). Menurut Bruner dalam mengaplikasikan model pembelajaran discovery learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan sebagai berikut: (1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan); (2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah); (3) Data Collection (Pengumpulan Data); (4) Data Processing (Pengolahan Data); (5) Verification (Pembuktian); (6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi) (Syah, 2004, hlm.244). Salah satu dari keenam tahap tersebut yang bisa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yaitu tahap Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah) dan Data Processing (Pengolahan Data). Terkait dengan pembelajaran yang menggunakan MEA, terdapat penelitian terdahulu yang menggunakan model pembelajaran MEA. Penelitian yang dilakukan oleh Nurul, dkk. (2014) dengan judul penelitian Pengaruh Pembelajaran Means-Ends Analysis dengan Setting Belajar Kelompok pada Pembelajaran Matematika Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Tuntang menyatakan bahwa terdapat pengaruh penggunaan model MEA pada pembelajaran matematika terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Rata-rata hasil kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model MEA lebih tinggi daripada rata-rata hasil kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Kemudian penelitian mengenai model discovery learning diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dezira (2015) yang berjudul Model Pembelajaran Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMP dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model discovery learning lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model konvensional. Namun belum ada 156

157 penelitian yang membandingkan kedua model pembelajaran tersebut terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada tingkat SMP. Selain pembelajaran, sikap siswa terhadap matematika dan proses pembelajaran matematika adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Salah satu elemen utama perbaikan Kurikulum 2013 dalam rekontruksi kompetensi yaitu kompetensi sikap, dimana kompetensi sikap mencakup sikap spiritual (KI-1) dan sikap sosial (KI-2) (Kemendikbud, 2014, hal.15). Sikap spiritual (KI-1) untuk mencapai insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap social (KI-2) untuk mencapai insan yang berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sikap siswa dan proses pembelajaran matematika memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, salah satu karakteristik Kurikulum 2013 adalah adanya keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan hard skills siswa seperti yang diungkapkan Marzano dan Bruner (Kemendikbud, 2014, hal.16). Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika diharapkan memberikan kesan yang positif. Walaupun ada pula siswa yang memberikan kesan negatif. Sikap siswa ini sangat mempengaruhi terwujudnya pembelajaran matematika, termasuk di dalamnya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Maka dari itu perlu dilakukan kajian mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran model MEA dan model discovery learning. Dengan melihat beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, model MEA dan Discovery Learning keduanya dianggap mampu mendongkrak kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam pembelajaran matematika, maka penulis tertarik untuk membandingkan kedua model pembelajaran tersebut dan melakukan penelitian tersebut. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen. Metode ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Desain penelitian yang digunakan adalah Non Equivalent Control Group Design (desain kelompok kontrol tidak ekuivalen). Pada desain kelompok kontrol tidak ekuivalen ini terdiri atas pretest, perlakuan yang berbeda dan posttest. Dalam penelitian ini diambil dua kelompok eksperimen, yaitu kelompok eksperimen 1 dan kelompok eksperimen 2. Kelompok eksperimen 1 diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan model MEA dan kelompok eksperimen 2 diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan model Discovery Learning. Sebelum diberikan perlakuan, kedua kelompok ini diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Kemudian setelah diberikan perlakuan kedua kelompok ini diberikan posttest. Subjek populasi penelitian adalah seluruh siswa di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Garut yang penelitiannya dilaksanakan pada awal semester II (genap). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII di sekolah tersebut. Sampel penelitian dipilih secara purposive. Purposive sampling merupakan penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Informasi awal dalam pemilihan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan dari guru bidang studi matematika di sekolah 157

158 tersebut. Mengingat di sekolah tersebut ada beberapa kelas yang merupakan kelas unggulan. Agar penentuan sampel tidak bersifat subjektif, maka pertimbangan dalam menentukan sampel juga didasarkan pada perolehan nilai matematika siswa pada semester sebelumnya. Pada penelitian ini diambil dua kelas yang merupakan sampel penelitian untuk dijadikan kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Kelas eksperimen 1 memperoleh pembelajaran dengan model Means-Ends Analysis (MEA), sedangkan kelas eksperimen 2 memperoleh pembelajaran dengan model Discovery Learning. Ketiga data tersebut diolah dengan mengikuti serangkaian pengujian statistik untuk melihat bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara kedua kelas. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS versi 21 for windows, sedangkan data kualitatif diolah hanya dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel. Hasil dan Pembahasan Dari 74 siswa yang menjadi subjek penelitian, 70 siswa memberikan datanya secara lengkap dan sesuai penelitian yang dibutuhkan. Sebanyak empat siswa tidak diikutsertakan data-datanya dalam penelitian ini, disebabkan data siswa yang bersangkutan tidak lengkap, dikarenakan tidak mengikuti pretest, posttest, tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, izin, maupun alfa. Data yang diperoleh dari 70 siswa, terdiri dari 35 siswa pada kelompok yang memperoleh model pembelajaran Means- Ends Analysis (MEA) dan 35 siswa pada kelompok yang memperoleh model pembelajaran Discovery Learning. Kedua kelas tersebut diberikan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest), diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Statistik Deskriptif Data Pretest dan Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Keterangan Kelas MEA Kelas DL Pretest Posttest Pretest Posttest Jumlah Siswa 35 35 35 35 Skor Ideal 100 100 100 100 Maksimum 41,67 100 61,11 100 Minumum 5,56 47,22 2,78 63,89 Rata-rata 21,90 83,09 26,27 83,65 Standar Deviasi 8,95 16,72 15,61 10,85 Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa standar deviasi skor pretest untuk kelas MEA dan DL berturut-turut adalah 8,95 dan 15,61. Sedangkan standar deviasi skor posttest untuk kelas MEA dan DL berturut-turut adalah 16,72 dan 10,85. Itu artinya, skor pretest kelas DL lebih beragam daripada siswa kelas MEA, sebaliknya skor posttest kelas MEA lebih beragam daripada kelas DL. Kemudian rata-rata skor pretest dan posttest untuk kedua kelas eksperimen tersebut terlihat berbeda.. Berdasarkan hasil pretes dan postes, diperolehlah data indeks gain yang mengukur seberapa besar 158

159 peningkatan kemampuan membuat model matematika pada kelas ekperimen maupun kelas kontrol. Hasilnya sebagai berikut. Tabel 2. Statistik Deskriptif Data Indeks Gain Indeks Gain Kelas N Min. Maks. Jumlah Ratarata Standar Deviasi Varians MEA 35 0,367 1,000 27,69 0,785 0,20157 0,04 DL 35 0,536 1,000 27,42 0,770 0,14228 0,02 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa deviasi standar kelas MEA dan DL masingmasing sebesar 0,20157 dan 0,14228. Itu artinya data indeks gain siswa kelas MEA lebih beragam dibandingkan dengan siswa kelas DL. Selain itu, dari tabel tersebut diperoleh pula rata-rata indeks gain kelas MEA dan DL masing-masing sebesar 0,785 dan 0,770. Nilai rata-rata dari kedua kelas tersebut terlihat berbeda. Berdasarkan perhitungan hasil penelitian, diperoleh bahwa hasil pretest untuk kedua kelas berdistribusi normal, sehingga dilakukan uji homogenitas varians dengan taraf signifikansi α = 5%. Dari uji tersebut diperoleh bahwa data skor pretest kedua kelas tersebut bervarians tidak homogen. Karena data skor pretest kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians tidak homogen, maka pengujian rata-rata data pretest dilakukan menggunakan uji t. Dari uji tersebut diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal yang signifikan antara siswa yang mendapatkan pembelajaran MEA dengan DL. Setelah melakukan pretest, pertemuan selanjutnya adalah memberikan perlakuan pembelajaran pada masing-masing kelas. Kelas eksperimen satu memperoleh pembelajaran Means-Ends Analysis, dan kelas eksperimen dua memperoleh pembelajaran Discovery Learning. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan sebanyak empat kali pertemuan. Pada masing-masing kelas eksperimen siswa diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) pada setiap pertemuannya. Setelah pelaksanaan pembelajaran selesai, maka dilakukan posttest. Berdasarkan hasil perhitungan data skor posttest, diperoleh bahwa data skor posttest berdistribusi tidak normal. Karena data skor posttest kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney U. Dari hasil uji tersebut, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan akhir yang signifikan antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran MEA dengan DL. Setelah melakukan uji data skor pretest dan posttest, maka data yang dianalisis selanjutnya adalah data indeks gain. Dari hasil perhitungan tersebut, diperoleh bahwa data indeks gain kedua kelas tersebut berdistribusi tidak normal. Karena data indeks gain kedua kelas penelitian berdistribusi tidak normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Mann- Whitney U. Dari hasil perhitungan tersebut, diperoleh bahwa tidak terdapat 159

160 perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa antara yang memperoleh pembelajaran MEA dengan DL. Setelah mengetahui bagaimana hasil data kuantitatif, selanjutnya akan dibahas hasil analisis data kualitatif. Secara umum, siswa kelas MEA memberikan respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA). Hal ini dilihat dari minat siswa dan antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Dari hasil perhitungan angket didapat bahwa skor rata-rata siswa terhadap pembelajaran MEA adalah sebesar 81,84%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruhnya siswa kelas MEA memberikan sikap yang positif terhadap kegiatan pembelajaran PLDV yang menggunakan model MEA. Tidak jauh berbeda dengan kelas MEA, siswa kelas DL juga memberikan respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran Discovery Learning (DL). Hal ini dilihat dari minat siswa dan antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Dari hasil perhitungan angket didapat bahwa skor rata-rata siswa terhadap pembelajaran DL adalah sebesar 75,94%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas DL memberikan sikap yang positif terhadap kegiatan pembelajaran PLDV yang menggunakan model DL. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan secara keseluruhan terhadap data penelitian mengenai perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) dengan model pembelajaran Discovery Learning, maka sesuai rumusan masalah peneliti memperoleh kesimpulan, yaitu: 1. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) dengan model pembelajaran Discovery Learning. 2. Siswa pada umumnya menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dan Discovery Learning. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut. 1. Dalam mengimplementasikan pembelajaran model MEA maupun Discovery Learning memerlukan waktu yang cukup lama setiap pertemuannya, oleh karena itu hendaknya peneliti dapat mengatur waktu sebaik mungkin agar proses pembelajaran tidak tergesa-gesa. 2. Dalam membuat bahan ajar seperti LKS hendaknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami siswa agar pada saat proses pembelajaran siswa tidak merasa bingung. 160

161 Daftar Pustaka Budiningsih, C. Asri. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional [online]. Tersedia: http://usu.ac.id/public/content/files/sisdiknas.pdf [09 November 2016] Dezira, N.H. (2015). Model Pembelajaran Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMP. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan. Kemendikbud. (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 Tahun 2014. Jakarta: Tidak diterbitkan. Nurul, L., Ratu, N., & Nova, T. (2014). Pengaruh Pembelajaran Means-Ends Analysis dengan Setting Belajar Kelompok pada Pembelajaran Matematika Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Tuntang. [online]. Tersedia: http://repository.uksw.edu. [13 Desember 2016] OECD (2013). PISA 2012 Assesment and Analytical Framework: Mathematics, Raeding, Science, Problem Solving and Financial Literacy, Paris: OECD Publisher. OECD. (2016). PISA 2015 Assesment and Analytical Framework. Paris: OECD Publisher. Ruseffendi,E. T. (2006). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung:Tarsito. Suherman, E. (2008). Strategi Pembelajaran Matematika. [Hands-out Perkuliahan: Belajar dan Pembelajaran Matematika]. Bandung: Tidak diterbitkan. Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA UPI. Supriadi, K. (2000). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode Penemuan. (Tesis). SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Turmudi. (2008). Pemecahan Masalah Matematika diakses tanggal 9 Januari 2017 dari: http://file.upi.edu/direktori/fpmipa/jur_pend_matematika/1961011219870 31-TURMUDI.F20-PEMECAHAN_MASALAH_MATEMATIKA-1-11-2008.pdf 161