1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konteks pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles (1992) dan Charles (2001) adalah keberlanjutan yang dilihat secara lengkap, tidak sekedar tingkat pemanfaatan perikanan tangkap atau biomass, tetapi aspek-aspek lain perikanan, seperti ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, komunitas nelayan dan pengelolaan kelembagaannya. Dengan demikian keberlanjutan perikanan tangkap harus dilihat dari empat aspek keberlanjutan, yaitu aspek keberlanjutan ekologi (memelihara keberlanjutan stok/biomass dan meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem), keberlanjutan sosio-ekonomi (kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu), keberlanjutan komunitas (keberlanjutan kesejateraan komunitas) dan keberlanjutan kelembagaan (pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat). Kegiatan perikanan yang hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya, akan menimbulkan ketimpangan dan mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan itu sendiri. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya ikan cukup besar. Provinsi ini memiliki dua perairan utama yaitu perairan Laut Cina Selatan dan perairan Selat Malaka. Potensi perikanan yang tersedia di Laut Cina Selatan sebesar 602.384 ton/tahun dengan potensi lestari 361.430 ton dan tingkat pemanfaatannya 216.960,3 ton, sedangkan untuk Selat Malaka sebesar 141.546 ton/tahun dengan potensi lestari sebesar 84.928 ton dan tingkat pemanfaatannya sebesar 96.513,1 ton (BAPPEDA Provinsi Riau 2007). Ketersediaan sumber daya ikan di Selat Malaka, termasuk wilayah perairan Bengkalis, diperkirakan sudah menipis akibat upaya penangkapan ikan yang berlebih. Ikan yang semestinya belum boleh ditangkap karena masih terlalu kecil, ikut tertangkap. Akibatnya, jumlah ikan terus menurun dan terancam punah karena penangkapan ikan sudah melebihi batas. Tingginya jumlah nelayan di Selat Malaka dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang terbatas, telah menyebabkan wilayah ini menjadi kawasan yang rawan konflik. Aktivitas perikanan tangkap di perairan Selat Malaka khususnya di perairan Bengkalis diduga sudah atau hampir jenuh, yang diindikasikan dengan adanya gejala
overfishing dan timbulnya konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan tertentu, sehingga diperkirakan tidak memungkinkan lagi untuk dikembangkan. Perairan Laut Cina Selatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hilir, terdapat kondisi yang berbeda, aktivitas perikanan tangkapnya masih rendah dengan aktivitas armada penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan yang relatif sedikit, sehingga diperkirakan tingkat pemanfaatannya masih dibawah potensi lestarinya atau underfishing. BAPPEDA Provinsi Riau ( 2007) menyatakan bahwa perairan Laut Cina Selatan masih memiliki potensi atau peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Namun demikian, untuk mengembangkan potensi sumber daya ikan di perairan ini harus dilakukan secara hati-hati dan benar, agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan seperti yang kini banyak terjadi di perairan lainnya, termasuk di provinsi ini. Pengembangan usaha perikanan tangkap yang baik dan ideal dapat dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap komponennya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau yang dilakukan secara optimal, harus mengacu pada suatu pola yang tepat, jelas dan komprehensif yang dapat merancang suatu sistem pengembangan usaha perikanan tangkap yang optimal. Upaya pengendalian dan penataan kembali aktivitas usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau terutamanya setelah terjadinya pemekaran wilayah dan adanya konflik pemanfaatan sumber daya ikan perlu dilakukan dengan menyusun suatu sistem usaha perikanan tangkap unggulan berbasis resolusi konflik. 1.2 Perumusan Masalah Usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, sedangkan untuk Laut Cina Selatan dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Pelalawan. Usaha perikanan di Provinsi Riau masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil yang memerlukan pengelolaan yang komprehensif agar kegiatan perikanan dapat berkelanjutan. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan berlangsung di sekitar pantai dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas. 2
Pemekaran wilayah yang terjadi pada tahun 2004, yaitu berpisahnya Kepulauan Riau, memberikan dampak terhadap penurunan produksi perikanan tangkap di provinsi ini. Tahun 2000, produksi perikanan Provinsi Riau mencapai 300.483 ton yang berasal dari sektor penangkapan dan budidaya perikanan, sedangkan pada tahun 2003 terjadi peningkatan sebesar 360.813,2 ton atau sebesar 20.08%. Produksi perikanan Provinsi Riau tahun 2003 adalah sebesar 360.813,3 ton tetapi sejak berpisahnya Kepulauan Riau, produksi perikanan di provinsi ini menurun sebesar 89,71%, yaitu sebesar 148.009,6 ton, terutama untuk penangkapan laut menurun sebesar 82,21%, yaitu sebesar 133.439,7 ton (DPK Provinsi Riau 2004). Tetapi hingga saat ini belum dilakukan upaya untuk meningkatkan kembali produksi perikanan tersebut. Perairan Selat Malaka telah terjadi penangkapan ikan yang berlebih yaitu sebesar 113,64% (DPK Provinsi Riau 2007). Kondisi ini menyebabkan timbulnya konflik pemanfaatan terhadap sumber daya ikan yang ada di perairan ini. Konflik pemanfaatan yang terjadi di Selat Malaka perairan Bengkalis merupakan suatu keadaan yang membutuhkan adanya upaya penyelesaian yang lebih serius dari berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Kondisi yang tidak kondusif untuk melakukan aktivitas penangkapan telah mengakibatkan kerugian, tidak saja di pihak nelayan, pengusaha perikanan dan juga pemerintah. Resolusi konflik yang sesuai akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengembangan usaha perikanan tangkap, karena tanpa perencanaan pengembangan yang tepat maka konflik dapat menghambat partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap produktivitas nelayan. Menyadari pentingnya mengetahui sifat konflik perikanan tangkap, guna memberikan resolusi optimum, baik konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi tentang tipologi konflik, faktor-faktor penyebab konflik dan kelembagaan yang menangani konflik. Hal ini perlu dilakukan untuk menyusun resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif. Perairan lain yang relatif dekat, yaitu perairan Laut Cina Selatan, jumlah aktivitas perikanan tangkapnya relatif masih rendah yaitu 60,03%, karena jumlah nelayan yang masih sedikit dan sebagian besar ukuran armadanya relatif kecil dengan tingkat teknologi penangkapan yang sederhana. Padahal, perairan Laut 3
Cina Selatan sangat berpotensi karena memiliki sumber daya ikan yang besar, selain memiliki wilayah perairan yang sangat luas, juga merupakan perairan laut dalam. Melihat kondisi ini, dapat diindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan ini berada di bawah potensi lestarinya atau under fishing, sehingga diestimasi masih memiliki peluang pengembangan yang besar (DPK Provinsi Riau 2007). Kondisi yang kontradiktif dalam sub-sektor perikanan tangkap di Provinsi Riau, yakni: (1) peluang pengembangan produksi perikanan tangkap di Selat Malaka sangat terbatas, sehingga sulit diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, hal ini disebabkan oleh adanya gejala overfishing, jumlah nelayan yang tinggi, serta potensi konflik yang tinggi, dan (2) sumber daya ikan di Laut Cina Selatan belum dimanfaatkan secara optimal, namun penuh dengan tantangan dan kendala di bidang prasarana dan sarana, kemampuan nelayan dan armada penangkapan ikan. Mengatasi permasalahan ketidakseimbangan tersebut, dapat dilakukan dengan mengendalikan atau membatasi kegiatan perikanan tangkap di Selat Malaka dan mengembangkan subsektor perikanan tangkap di Laut Cina Selatan. Namun, pengembangan usaha perikanan tangkap ini harus dilakukan secara terencana dan komprehensif yang memperhatikan segala daya dukung atau kapasitas faktor yang terlibat, agar kegiatan perikanan tangkap dapat berjalan efisien, efektif dan berkelanjutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, tentu akan menghadapi beberapa kendala atau permasalahan utama yang perlu dianalisis dan dijawab. Secara spesifik, permasalahan pokok dalam mengembangkan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan, yaitu: (1) Usaha perikanan tangkap apa yang sesuai untuk dikembangkan pasca pemekaran Kepulauan Riau untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau? (2) Faktor apa saja yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap? 4
(3) Komponen apa saja yang menjadi penggerak utama dalam sistem pengembangan usaha perikanan tangkap dan berapa kapasitas atau daya dukung optimalnya? (4) Bagaimana pola usaha perikanan tangkap yang optimal dan komprehensif berbasis resolusi konflik? Permasalahan mendasar yang berkaitan dengan pengembangan usaha perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumber daya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima aspek besar yaitu aspek pasar, teknis, ekonomi, sosial dan keramahan lingkungan. Adanya koflik yang terjadi di perairan Provinsi Riau memerlukan suatu upaya yang lebih serius dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu, penulis merasa sangat penting untuk melakukan penelitian tentang sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau berbasis resolusi konflik sebagai upaya meningkatkan produktivitas daerah dan pendapatan nelayan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menyusun sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan perikanan tangkap setelah mengalami pemekaran wilayah administrasi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, secara lebih spesifik tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Menentukan usaha perikanan tangkap unggulan yang layak dikembangkan. (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap (3) Mengidentifikasi komponen yang berperan sebagai basis pengembangan usaha perikanan tangkap (4) Menyusun pola pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik 5
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam upaya pengembangan usaha perikanan tangkap, baik untuk praktisi, perguruan tinggi, para pengambil kebijakan (pemerintah) baik di tingkat pusat maupun daerah serta pihak lainnya. Secara khusus, penelitian ini sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan sistem pengembangan usaha perikanan tangkap dan dapat dijadikankan sebagai strategi lokal dalam pengembangan usaha perikanan tangkap bagi wilayah lain yang mengalami pemekaran wilayah administrasi dan konflik pemanfaatan sumber daya ikan. 1.5 Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan usaha perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dari daya dukung (carrying capacity) komponen yang menyusun perikanan tangkap. Daya dukung sumber daya perikanan tangkap merupakan faktor yang penting diperhatikan karena sumber daya perikanan tangkap sangat rentan terhadap perubahan. Khususnya sumber daya ikan, karena merupakan sumber daya hayati yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar ekosistem banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan eksternal dan internal. Permasalahan yang ada di perairan Provinsi Riau, khususnya di Selat Malaka perairan Bengkalis, antara lain potensi ikan sudah menipis akibat upaya penangkapan ikan yang berlebih (overfishing). Terbatasnya sumber daya ikan akibat jumlah ikan terus menurun dan terancam punah karena penangkapan ikan sudah melebihi batas. Di samping itu, tingginya jumlah nelayan untuk memanfaatkan sumber daya ikan yang terbatas telah menyebabkan perairan Selat Malaka menjadi kawasan yang rawan konflik. Di sisi lain pada kawasan Laut Cina Selatan termasuk Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan samudera, jumlah tangkapan ikan masih di bawah potensi sebenarnya (under fishing). Langkah pemikiran dalam mengembangkan usaha perikanan tangkap berkaitan dengan permasalahan tersebut, dengan melakukan pemilihan sumber daya ikan unggulan berdasarkan aspek pasar. Analisis potensi lestari sumber daya ikan unggulan dilakukan untuk melihat sejauh mana kemampuan sumber daya ikan unggulan dapat dimanfaatkan tiap tahunnya tanpa mengganggu kelestarian 6
sumber daya ikan tersebut. Analisis potensi lestari sumber daya ikan unggulan dilakukan dengan menggunakan surplus production model. Agar pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka perlu menentukan jenis teknologi penangkapan yang layak untuk dikembangkan berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan keramahanlingkungan. Pemilihan teknologi penangkapan ini dilakukan dengan menggunakan metode skoring dengan fungsi nilai. Alokasi terhadap upaya penangkapan (unit) terpilih yang optimal bertujuan untuk melakukan pembatasan dan pembagian secara proporsional terhadap pemanfaatan sumber daya ikan sehingga kegiatan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau dapat berjalan dengan efisien, lestari dan berkelanjutan serta untuk pengambilan keputusan dalam pola pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau. Analisis ini menggunakan pendekatan linear goal programming (LGP). Resolusi konflik yang akan dikembangkan dalam penelitian ini dengan mengidentifikasi terlebih dahulu terhadap tipologi konflik berdasarkan Charles (1992), teknik resolusi konflik dengan melakukan penahapan konflik, urutan kejadian konflik, pemetaan konflik, segitiga S-P-K, analogy bawang bombay dan pola penanganan konflik berdasarkan Fisher et al. (2000). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya konflik di perairan Bengkalis yang terjadi hampir lebih dari 30 tahun. Usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau yang masih memiliki peluang dalam pengembangan dan merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus dilakukan dengan menyeimbangkan antara pasar dan kemampuan produksi sumber daya ikan dan pada akhirnya perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat tercapai. Pencapaian keseimbangan antara kedua komponen tersebut harus dilakukan dalam berbagai tahapan penelitian agar penetapan kriteria pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau dapat tepat sasaran dan tepat guna sesuai dengan potensi sumber daya perikanan tangkap yang terdapat di Provinsi Riau. Tahapan kajian sistem pengembangan usaha perikanan tangkap disajikan pada Gambar 1. 7
Gambar 1 Kerangka pemikiran sistem pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau 8