BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Acute Kidney Injury (AKI) merupakan salah satu masalah kesehatan karena kejadian AKI semakin meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang yang dapat meningkatkan angka kematian (Chertow et al., 2005; Ali et al., 2007; Lafrance & Miller, 2010; Tao Li et al., 2013; Sawhney et al., 2015). Di Indonesia kejadian AKI mencapai 17% dari 15.980 pasien yang menjalani hemodialisa (PERNEFRI, 2012). Sekitar 20% kejadian AKI dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronis (Coca et al., 2012), sehingga meningkatkan biaya perawatan. Biaya perawatan AKI di rumah sakit di Belanda mencapai 1.02 triliyun per tahun, 1% melebihi biaya yang dianggarkan National Health Service (NHS) (Kerr et al., 2014). Diagnosis AKI ditentukan berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum dan atau penurunan luaran urin sesuai kriteria Risk Injury Failure Loss End-Stage (RIFLE) dan Acute Kidney Injury Network (AKIN) (Ricci et al., 2011; Mehta et al., 2007; Akcay et al., 2010). AKI dapat disebabkan oleh hipovolemia, gangguan fungsi jantung, peningkatan resistensi vaskuler ginjal (Devarajan, 2006; Akcay et al., 2010; Basile et al., 2012). Penyebab tersebut mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke ginjal bahkan sampai berhenti sama sekali seperti yang terjadi pada kondisi syok. Apabila penyebab tidak segera dihilangkan, maka ginjal akan mengalami iskemia. Berkurangnya aliran darah ke ginjal mengakibatkan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) (Basile et al., 2012) yang ditandai 1
2 dengan peningkatan kreatinin serum, blood urea nitrogen (BUN), dan penurunan luaran urin (Akcay et al., 2010). Jika aliran darah ke ginjal kembali membaik maka akan terjadi peningkatan perfusi ginjal. Reperfusi menyebabkan ginjal semakin mengalami kerusakan. Kerusakan ginjal akibat iskemia dan reperfusi dikenal dengan istilah cedera iskemia-reperfusi (Eltzschig & Eckle, 2011). Ischemia-reperfusion injury (IRI) pada ginjal merupakan penyebab AKI yang paling sering dijumpai (Liano et al., 1996; Mehta et al., 2004) yang menyebabkan inflamasi. Inflamasi merupakan mekanisme utama terjadinya AKI akibat iskemia (Bonventre & Zuk et al., 2004). Aktivasi Toll-like receptor 4 (TLR4) merupakan jalur utama pada renspon imun innate yang mengawali cedera ginjal. Toll-like receptor (TLR) berikatan dengan ligan endogen yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Kerusakan sel epitel pada IRI paling jelas terlihat pada tubulus proksimal (Wu et al., 2007). Supaya kerusakan tidak semakin lanjut, perlu dilakukan penanganan dengan cepat dan segera (Basile et al., 2012). Penatalaksanaan AKI mengacu pada Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) Clinical Practice Guideline (CPG) for AKI yang meliputi monitor hemodinamik, manajemen suportif umum termasuk menejemen komplikasi, kontrol gula darah, suport nutrisi. KDIGO CPG for AKI tidak menyarankan pemberian diuretik untuk mengobati AKI kecuali untuk mengatur volume cairan yang berlebihan. Meskipun furosemid diharapkan dapat mencegah atau memperbaiki AKI, tetapi hanya sedikit data yang mendukung (KDIGO, 2012). Namun demikian, pemberian furosemid pada pasien gagal ginjal akut di Indonesia masih dilakukan baik pada anak maupun dewasa seperti yang tercantum
3 dalam Standar Pelayanan Medik dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tahun 2009 dan Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2011 (PAPDI, 2009; IDAI, 2011; Sinto & Nainggolan, 2010; Rachmadi, 2011). Beberapa data tentang pemakaian diuretik di Indonesia antara lain di RSUP Dr. M. Jamil, Padang (45,83%), rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta (41,4%) (Trisnawati, 2009; Lucida et al., 2011). Terdapat keuntungan dan kerugian penggunaan furosemid pada pencegahan dan pengobatan AKI. Furosemid memperbaiki GFR pada pasien dengan hipertensi portal dan asites, serta menurunkan hiperkalemia, hiperkloremia, asidosis, kelebihan cairan, pada pasien dengan risiko AKI (Kalambokis et al., 2005; Kalambokis et al., 2006). Meskipun demikian, furosemid meningkatkan kreatinin serum pada pembedahan jantung (Lassnigg et al., 2000). Furosemid lebih efektif dari manitol ketika diberikan bersama dengan hidrasi cairan untuk mencegah nefrotoksisitas akibat cisplatin (Solomon et al., 1994; Santoso et al., 2003), akan tetapi furosemid meningkatkan kematian pada pasien AKI dengan penyakit kritis (Mehta et al., 2002). Furosemid pada penelitian preklinik diketahui menurunkan apoptosis dan ekspresi gen terkait pada model mencit IRI (Aravindan et al., 2007). Berdasarkan uraian di atas masih terdapat kontroversi terkait penggunaan furosemid pada pengobatan AKI antara KDIGO CPG for AKI dengan pedoman pelayanan medis di Indonesia. Meskipun furosemid dapat memperbaiki GFR, tetapi furosemid dapat juga meningkatkan kreatinin serum. Meskipun furosemid lebih baik untuk mencegah nefrotoksisitas dibanding manitol, tetapi furosemid
4 dapat meningkatkan kematian. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai efek furosemid terhadap kerusakan ginjal menggunakan model hewan AKI. I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disusun perumusan masalah yaitu: Apakah pemberian furosemid berpengaruh terhadap kerusakan ginjal pada model tikus AKI? I.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: Tujuan Umum: Mengetahui efek pemberian furosemid terhadap kerusakan ginjal pada model tikus AKI. Tujuan Khusus: 1. Mengetahui efek pemberian furosemid terhadap luaran urin pada model tikus AKI. 2. Mengetahui efek pemberian furosemid terhadap kadar kreatinin serum pada model tikus AKI. 3. Mengetahui efek pemberian furosemid terhadap skor cedera tubulus ginjal pada model tikus AKI. 4. Mengetahui efek pemberian furosemid terhadap ekspresi gen TLR4 pada model tikus AKI.
5 I.4 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya yang telah menilai efek furosemid terhadap AKI antara lain: 1. Aravindan et al. (2007) yang menilai efek furosemid dalam mencegah apoptosis dan ekspresi gen yang terkait dengan menggunakan model mencit ischemia reperfusion injury. Didapatkan bahwa furosemid menurunkan apoptosis dan ekspresi gen terkait. 2. Pera et al. (1979) yang menilai efek diuresis furosemid atau manitol terhadap nefrotoksisitas dan disposisi fisiologi cisdichlorodiammineplatinum-(ii) pada tikus. Didapatkan bahwa furosemid dan manitol menurunkan kadar platinum di dalam urin. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini yang akan diteliti adalah efek pemberian furosemid terhadap luaran urin, kadar kreatinin serum, skor cedera tubulus, dan ekspresi gen TLR4 akibat cedera iskemiareperfusi. I.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memecahkan kontroversi mengenai keuntungan dan kerugian penggunaan furosemid pada kasus AKI dengan menggunakan model hewan coba.
6 b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk penelitianpenelitian selanjutnya. 2. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan peneliti terhadap penelitian dan teori terkini terkait dengan penggunaan furosemid pada AKI serta menambah keterampilan peneliti di bidang farmakologi eksperimental.