BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat menggembirakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan generasi penerus yang diharapkan dalam suatu kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan Allah SWT kepada manusia (Muzfikri, 2008). Keadaan akan mejadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. familiar dikehidupan masyarakat adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan stress. Banyak

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi kehidupan. Menurut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal (1) ayat 1,

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersamasama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tumbuh dan berkembang baik hanya tertuju pada aspek psikologis saja,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. memasuki dunia pekerjaan. Mendapatkan predikat lulusan terbaik dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

2015 PENGASUHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA YANG MEMILIKI LEBIH DARI SATU ANAK INTELLECTUAL DISABILITY

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, sakit dapat menyebabkan perubahan fisik, mental, dan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perusahaan yang tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia, sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

LAMPIRAN 1. Blue Print Kuisioner. Dukungan Sosial

BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

PERAN KELUARGA INTI DALAM MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kelahiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami istri (Barnet, Clements, Kaplan-Estrin, Fialka, 2003 & Mangunsong, 2011). Anak sebagai buah pertautan cinta suami istri merupakan buah hati yang didambakan kehadirannya. Cohen (1982) mengatakan bahwa kelahiran bayi biasanya diikuti dengan rasa kegembiraan yang sangat besar dan harapan akan masa depannya yang bahagia dan sukses. Luapan rasa kegembiraan tersebut dapat hilang ketika bayi yang lahir tersebut adalah bayi dengan disabilitas (Cohen, 1982). Bagi keluarga, saat kelahiran bayi tersebut dapat bercampur dengan rasa stres dan kehilangan harapan. Kelahiran anak tunagrahita dapat membawa perubahan-perubahan yang sulit dalam dinamika keluarga (Hallahan & Kauffman, 2006). Oleh karena itu orangtua dan keluarga membutuhkan penyesuaian diri dalam berbagai hal. Wikler (1981) menyatakan bahwa keluarga dengan anak tunagrahita lebih sering mengalami stres dibandingkan keluarga dengan anak normal. Pada umumnya karakteristik khusus anak tunagrahita berhubungan dengan stres yang dialami orangtua (Minnes, 1998, dalam Hassal, Rose, & McDonald, 2005). Menurut American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD) anak tunagrahita adalah anak yang secara umum memiliki keterbatasan yang signifikan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang terlihat dari keterampilan konseptual, sosial, dan adaptif. Perilaku adaptif adalah perilaku gabungan dari keterampilan konseptual, sosial, dan praktikal yang telah dipelajari dan dilakukan untuk bertahan dalam kehidupan sehari hari (Schalock et al., 2010. P. 43, dalam Turnbull, Ann P., 2013). Perilaku anak anak tunagrahita hampir selalu di bawah norma anak anak seumurnya. Hal ini dikarenakan 1

2 mereka memiliki keterbatasan yang signifikan atas ketidaktahuan untuk melakukan suatu keterampilan, kapan melakukan suatu keterampilan dan faktor motivasional yang memengaruhi apakah keterampilan dimaksud dapat dilakukan atau tidak. Ketidakmampuan ini terjadi sebelum umur 18 tahun. Dalam hal fungsi intelektual, anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam hal kecerdasan memori dan generalisasi (Schalock et al. 2010). Keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita akan semakin meningkat seiring dengan tingkat ketunagrahitaannya. DSM IV TR membagi tingkat keparahan tunagrahita menjadi empat kelompok, yaitu mild, moderate, severe, dan profound. Klasifikasi ini dibagi berdasarkan tingkat kecerdasan (IQ). Mild mental retardation (tunagrahita ringan) adalah individu yang memiliki IQ 50 55 sampai kurang lebih 70, sedangkan moderate mental retardation (tunagrahita sedang) adalah yang memiliki IQ 25 40 sampai dengan 50 55. Severe mental retardation (tunagrahita berat) adalah individu yang memiliki IQ 20 25 sampai 30-40, dan profound mental retardation (tunagrahita sangat berat) adalah yang memiliki IQ di bawah 20-25 (American Psychiatric Association, 2000). Individu yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orangtua, khususnya ibu karena ibu adalah figur terdekat dan umumnya lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan anak. Saat yang kritis bagi ibu adalah ketika pertama kali menyadari bahwa anaknya tidak normal seperti anak lainnya. Apabila anak menunjukkan gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongol), maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Namun apabila anak tidak memiliki kelainan fisik, maka orangtua hanya akan mengetahui bahwa anaknya adalah anak tunagrahita melalui hasil pemeriksaan. Ibu mungkin saja menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa kondisi tertentu. Reaksi ibu akan bermacam-macam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah derajat ketunagrahitaan anak dan jelas tidaknya kelainan fisik yang dimiliki anak. Perasaan dan tingkah laku ibu akan berbeda-beda dalam menanggapi kehadiran anak

3 tunagrahita di dalam keluarga, tetapi kebanyakan ibu akan mengalami perubahan emosi yang fluktuatif yang dapat mendorong ibu bersikap dingin pada anaknya, menahan anaknya di rumah dengan mendatangkan ahli untuk merawat anaknya, merasa berkewajiban untuk merawat namun melakukan tanpa memberikan kehangatan dan juga merawat dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak. Selain itu ibu juga bisa saja memiliki perasaan bersalah yang berlebihan ketika melahirkan anak sehingga mendorong ibu untuk mengalami depresi dan perasaan kurang mampu mengasuh anaknya sehingga dapat menghilangkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuh anak. Ibu juga merasa bingung dan malu karena memiliki anak tunagrahita yang mengakibatkan ibu menjadi kurang suka untuk bergaul dengan lingkungannya dan lebih senang menyendiri (Soemantri, 2006). Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita maka orangtua mengalami kondisi tertekan yang berbeda dengan ibu yang lain. Orangtua dengan anak tunagrahita mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan orangtua dari anak normal (Quine & Paul, 1985; Roach dkk., 1999; Valentine dkk., 1998, dalam Heiman, 2002). Stres tersebut disebabkan oleh adanya tuntutan yang lebih tinggi pada orangtua baik dari segi waktu, energi, keuangan, emosi, dan adanya ketidakyakinan akan kemampuan mereka untuk menangani kebutuhan anak mereka (Olsen et al., 1999, dalam McConkey, Truesdale- Kennedy, Chang, Jarrah & Shukri, 2008). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Kumar, 2008 dalam Ekantari, 2010) orangtua yang memiliki anak tunagrahita dipastikan lebih mudah mengalami stres psikologis dibandingkan dengan orangtua dari anak yang normal. Stres diakibatkan oleh banyaknya beban yang ditanggung oleh orangtua dari anak tunagrahita. Menurut Friedrich (Perry, 2004) salah satu beban fisik penyebab stres pada orangtua adalah ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga orangtua khususnya ibu harus selalu membantu dan mendampingi anaknya. Tanda-tanda stres pada orangtua akan menurunkan ketanggapan dan sensitivitas terhadap isyarat anak, sehingga

4 akan memperburuk kondisi anak dan mengganggu hasil terapi pada anak (Swartz, 2005). Orangtua dari anak tunagrahita mengalami keadaan yang penuh tekanan, orangtua juga merasa khawatir dengan masa depan dan stigma yang melekat pada anak. Namun di sisi lain orangtua khususnya ibu tetap harus bertanggungjawab untuk mendidik dan mengasuh anaknya sampai besar nanti. Kondisi anak tunagrahita yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata rata, juga membuat anak sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah dan memerlukan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Pemerintah mengadakan pendidikan khusus bagi anak anak berkebutuhan khusus yang disebut sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan ini dikelompokkan atas dasar kebutuhan setiap anak. SLB-C merupakan SLB yang dikhususkan bagi anak tunagrahita. Dalam proses perkembangan anak tunagrahita di SLB-C X, sekolah menuntut kerjasama antara pihak sekolah dengan orangtua. Anak akan dapat berkembang apabila ada dukungan dari orangtua khususnya ibu, karena ibu yang hampir setiap saat berinteraksi secara intens dan mengetahui perkembangan anak tunagrahita secara menyeluruh. Anak sangat membutuhkan dukungan dari ibu karena guru di sekolah hanya dapat berinteraksi dengan anak selama kurang lebih 3 jam per hari sehingga keterampilan yang diajarkan di sekolah akan lebih optimal apabila diajarkan pula di rumah. Walaupun ibu sudah melihat proses yang dijalani oleh anak di sekolah tetapi ibu terkadang masih merasakan kesulitan dalam merawat anaknya. Ibu merasa bahwa dirinya sudah melakukan sesuai dengan apa yang guru lakukan di sekolah tetapi anaknya tidak mau menurut dan melakukan keterampilan yang diajari. Terkadang ibu juga merasa bahwa dirinya kurang sabar dalam mendampingi anaknya apalagi ketika ibu sedang merasa lelah dengan kegiatan di luar merawat anaknya. Karena hal hal tersebut ibu terkadang menghayati bahwa dirinya gagal sebagai seorang ibu. Untuk menghadapi kondisi - kondisi anak tunagrahita tersebut ibu memerlukan hardiness.

5 Menurut Maddi (2004), hardiness adalah karakteristik kepribadian yang terdiri atas pola sikap dan strategi yang bersama-sama menjadi fasilitas untuk mengubah keadaan stres. dari potensi bencana menjadi peluang pertumbuhan. Hardiness memiliki tiga attitudes yaitu control, commitment dan challenge. Control adalah keyakinan bahwa individu dapat memengaruhi apa saja yang terjadi di dalam hidupnya. Bentuk control pada ibu dengan anak tunagrahita adalah tetap berpikir positif bahwa anaknya tetap dapat menguasai keterampilan dasar dan dapat hidup dalam masyarakat. Commitment adalah keyakinan individu bahwa seburuk apapun keadaan, akan lebih baik untuk tetap terlibat dengan apapun yang terjadi. Bentuk commitment pada ibu dengan anak tunagrahita adalah ibu yang tetap mendampingi dan terlibat dalam merawat anak di kehidupan sehari harinya. Challenge adalah keyakinan individu akan pandangan bahwa suatu perubahan dalam hidupnya sebagai sesuatu yang wajar dan individu tersebut dapat mengantisipasi perubahan tersebut sebagai stimulus yang berguna bagi dirinya. Bentuk challenge pada ibu dengan anak tunagrahita adalah dengan memandang kondisi anak sebagai tantangan dan berusaha mencari solusi atas kesulitan yang ia hadapi. Maddi dan Kobasa (1984) menyebutkan bahwa hardiness dapat dipelajari. Salah satu faktor yang memengaruhi pengoptimalan hardiness pada ibu adalah dukungan sosial. Dukungan yang berasal dari orangtua atau lingkungan dapat berguna untuk ibu dalam mempraktekkan pemecahan masalah, interaksi sosial, dan menjaga diri (Khoshaba and Maddi 2004; Maddi 1987,2002). House (1981, dalam Vaux, 1988) mengungkapkan bahwa dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang di dalamnya melibatkan dukungan emosional, dukungan appraisal, dukungan instrumental dan dukungan informasi. Dukungan sosial dapat diperoleh dari orangtua, anggota keluarga, teman sebaya professional, sekolah, komunitas atau masyarakat (Vaux, 1988). Ibu yang memiliki dukungan sosial khususnya yang berasal dari keluarganya percaya bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan memiliki seseorang yang dapat membantu di saat membutuhkan.

6 Dukungan sosial yang berasal dari keluarga sangat diperlukan bagi seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita, dalam hal ini dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh ibu anak tunagrahita (Astuti, 2013). Selain itu juga Hardiness memiliki hubungan positif dengan dukungan sosial. Hardiness dapat menjadi kuat ketika ibu mendapatkan dukungan dan juga semangat dari lingkungan di sekitarnya (Maddi, 2013). Menurut wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada ibu di sekolah, ibu menceritakan beberapa guru yang ada di sekolah sering masuk terlambat dan kurang memerhatikan anak. Selain itu ada juga beberapa guru yang sering tidak masuk sehingga anak harus masuk ke kelas lain atau guru digantikan dengan guru lain padahal jumlah guru yang terbatas sangat menyulitkan ditambah lagi dengan kedisiplinan guru yang seperti itu membuat ibu menjadi kurang percaya dengan guru guru yang ada di sekolah. Karena keadaan di sekolah yang seperti itu, ibu menghayati bahwa dirinya lebih banyak menerima dukungan signifikan dari keluarganya dibandingkan dari sumber sumber yang lain. Keluarga dari ibu dengan anak tunagrahita banyak memberikan saran serta informasi yang berguna dalam cara merawat anak. Selain itu keluarga juga sering menyemangati ibu ketika sedang terpuruk serta membuat ibu percaya diri akan kemampuan yang dimiliki dalam merawat anak. Dukungan yang didapatkan ibu dari keluarganya membuat ibu menjadi lebih tangguh dalam menghadapi kondisi anaknya. Ibu yang memiliki penghayatan dukungan sosial tinggi membuka dirinya akan interaksi dari lingkungan. Dengan begitu ibu juga akan menjadi lebih hardy dalam menghadapi setiap masalahnya. House (dalam Vaux, 1988) menyatakan bahwa dukungan sosial meliputi dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan appraisal. Dukungan emosional adalah penghayatan seseorang akan empati, kepedulian, perhatian, hal positif, dan dorongan yang didapatkan. Dukungan emosional dapat menimbulkan rasa nyaman, perasaan dilibatkan dan dicintai oleh

7 orang lain. Dukungan instrumental melibatkan bantuan secara langsung, seperti ketika orang memberi atau meminjamkan uang kepada orang lain, atau menolong orang lain mengerjakan tugas ketika sedang mengalami stres. Dukungan informasional seperti memberikan nasihat, arahan, sugesti, atau umpan balik tentang bagaimana orang tersebut melakukan sesuatu. Dukungan appraisal mengacu pada penghayatan ibu terhadap penghargaan positif, dukungan atau persetujuan tentang ide-ide atau perasaan, serta kritik dan semangat yang membangun yang diberikan oleh lingkungannya. Berdasarkan paparan yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa ibu dari anak tunagrahita memerlukan dukungan sosial dan hardiness untuk dapat menghadapi permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara dukungan sosial dan hardiness pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui seberapa kuat hubungan antara dukungan sosial dan hardiness pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X di Kota Bandung 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh data dan gambaran mengenai dukungan sosial dan gambaran mengenai hardiness pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui derajat hubungan antara dukungan sosial dan hardiness pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung berdasarkan commitment, control, challenge

8 yang ada pada hardiness dan bentuk dukungan sosial yang dihayati oleh ibu dengan anak tunagrahita. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis 1) Memberikan informasi mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan hardiness ke dalam bidang ilmu Psikologi Klinis. 2) Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai dukungan sosial dan hardiness. 1.4.2. Kegunaan Praktis 1) Memberikan informasi kepada sekolah dan keluarga dari ibu anak tunagrahita mengenai hubungan antara dukungan sosial dan hardiness pada ibu, sehingga sekolah dan keluarga dapat membantu memberikan dukungan sosial yang tinggi agar hardiness pada ibu meningkat 2) Memberikan informasi mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan hardiness kepada ibu dari anak tunagrahita agar dapat mengembangkan kemampuan bertahan dalam tekanan yang dialami dan mencari dukungan sosial yang dapat membantu ibu meningkatkan hardiness. 1.5. Kerangka Pemikiran Ibu dengan anak tunagrahita memiliki tantangan dan tuntutan yang berbeda dengan ibu lainnya. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam bidang intelektual dan perilaku adaptif yang menghambatnya untuk memahami dan memelajari sesuatu. Anak memiliki kesulitan untuk menggunakan pengetahuan atau perilaku yang sudah dipelajari untuk suatu tugas ke tugas maupun setting yang lain. Hal ini dikarenakan kurangnya kapasitas mental

9 untuk menyelesaikan masalah dan gangguan dalam hal short term memory serta working memory. Selain itu, anak tunagrahita juga mengalami keterbatasan dalam hal perilaku adaptif. Anak tunagrahita hampir selalu berada di bawah norma anak anak seumurnya. Hal ini dikarenakan mereka memiliki keterbatasan yang signifikan atas ketidaktahuan cara untuk melakukan suatu keterampilan, kapan untuk melakukan suatu keterampilan, dan faktor motivasional yang memengaruhi apakah keterampilan dapat dilakukan atau tidak (Schalock et al, 2010). Kondisi anak tunagrahita yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata rata, membuat anak sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah dan memerlukan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Maka dari itu anak tunagrahita membutuhkan bantuan dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Anak tunagrahita cenderung memerlukan bantuan dari orang lain dalam kehidupan sehariharinya, bantuan tersebut dapat diberikan oleh ibu. Menjadi seorang ibu dari anak tunagrahita membutuhkan kondisi fisik dan psikis yang prima. Ibu yang merawat anak tunagrahita memerlukan stamina dan energi yang lebih juga untuk membimbing anak dalam memelajari suatu keterampilan. Dalam hal kondisi psikologis, ibu dituntut untuk bersikap lebih sabar, tekun, dan hangat kepada anak. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak, terkadang ibu membutuhkan waktu dan usaha yang lebih untuk mengajarkan sesuatu kepada anak anaknya. Maka dari itu, ibu cenderung membutuhkan usaha dan waktu yang lebih banyak untuk mengajari anak suatu keterampilan sederhana seperti self-help skill. Selain itu dampak kondisi anak tunagrahita pada ibu bisa bermacam macam, menurut Soemantri (2006) ibu dengan anak tunagrahita dapat mengalami perubahan emosi yang fluktuatif, merasa kurang mampu mengasuh anak sehingga menghilangkan kepercayaan pada diri sendiri dalam mengasuh anak, depresi, merasa bingung dan malu yang mengakibatkan ibu tidak bergaul dengan tetangga dan lebih senang menyendiri. Selain

10 kondisi anak tunagrahita, ibu juga harus menghadapi penilaian mengenai anak tunagrahita dari orang orang di sekitarnya seperti keluarga, tetangga, serta masyarakat yang masih kurang mengerti tentang kondisi dari anak tunagrahita dan juga ibu harus memikirkan kondisi keluarganya seperti ayah ataupun saudara dari anak tunagrahita. Untuk menghadapi kondisi-kondisi tersebut ibu memerlukan hardiness. Hardiness adalah karakteristik kepribadian yang terdiri atas pola sikap dan strategi yang bersama sama menjadi fasilitas untuk mengubah keadaan stres dari potensi bencana menjadi peluang pertumbuhan (Maddi, 2004). Hardiness yang ada dalam diri seseorang akan membantunya untuk mengatasi stres terhadap perubahan hidup. Ibu yang memiliki hardiness tinggi memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mengendalikan keadaan tidak menyenangkan yang ia hadapi dan memberi makna positif terhadap kejadian tersebut sehingga tidak menimbulkan stres pada dirinya. Sedangkan ibu yang memiliki hardiness rendah memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak dapat mengendalikan keadaan tidak menyenangkan yang ia hadapi dan memiliki makna negatif terhadap keadaan tersebut sehingga menimbulkan stres pada dirinya. Hardiness memiliki tiga attitudes yaitu control, commitment dan challenge (Khosabba dan Maddi, 1999). Control adalah keyakinan bahwa tidak peduli seberapa buruk hal-hal yang terjadi di dalam hidupnya, individu perlu terus mencoba untuk mengubah tekanan yang semula merupakan potensi bencana menjadi kesempatan untuk berkembang. Ibu dengan anak tunagrahita memiliki keyakinan untuk tetap berpikir positif bahwa anaknya tetap dapat menguasai keterampilan dasar dan dapat hidup dalam masyarakat. Ibu memberikan perhatian kepada perkembangan anak dan juga yakin bahwa perhatiannya dapat membuat anaknya semakin berkembang secara optimal. Selain itu ibu juga mau menerapkan saran yang disampaikan oleh keluarga agar anaknya bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Commitment adalah keyakinan individu untuk tetap terlibat dengan apapun yang terjadi di dalam hidupnya baik itu hal-hal buruk ataupun baik. Perilaku yang ditunjukkan ibu adalah

11 dengan mendampingi dan terlibat dalam semua proses yang dijalani oleh anak di sekolah, ibu juga merasa bertanggung jawab untuk mengajari anak cara merawat dirinya sendiri sehingga ia akan selalu terlibat dengan setiap proses yang dijalani oleh anak. Challenge adalah keyakinan individu untuk menerima bahwa hidup bersifat menekan dan melihat tekanan tersebut sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar dari tekanan tersebut. Para ibu yang menghadapi situasi yang menekan ini berkeyakinan bahwa kondisi anaknya merupakan tantangan yang harus ia hadapi dan berusaha mencari solusi untuk kesulitan yang dihadapi dalam merawat anak. Ibu berusaha mencari informasi informasi tambahan mengenai cara merawat anak tunagrahita dan bertanya kepada orang orang yang lebih ahli mengenai cara pengasuhan yang terbaik bagi anak tunagrahita. Ibu yang hardy cenderung melihat kehidupan sebagai sebuah fenomena yang terus berubah sehingga menggunakannya untuk belajar dan berubah (challenge), berpikir bahwa melalui proses perkembangan ini, mereka dapat mengolah perubahan-perubahan stressful yang terjadi menjadi pengalaman yang berharga (control), dan membagikan usaha dan hasil belajar mereka dengan orang-orang terdekat dan ibu-ibu yang ada di sekolah (commitment). Hardiness yang ada pada ibu bisa dioptimalkan dengan adanya dukungan sosial yang berasal dari keluarga atau bisa juga disebut dukungan sosial. Hardiness terbentuk semenjak ibu kecil, tetapi walaupun begitu hardiness juga dapat dioptimalkan pada masa dewasa. Salah satu faktor yang dapat mengoptimalkan hardiness adalah dukungan sosial. Yang dimaksud dengan dukungan sosial adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga. Dukungan sosial sendiri adalah transaksi interpersonal yang di dalamnya melibatkan dukungan emosional, dukungan appraisal, dukungan instrumental dan dukungan informasi (House 1981, dalam Vaux, 1988). Dukungan sosial dapat diperoleh dari orangtua, anggota keluarga, teman sebaya professional, sekolah, komunitas atau masyarakat (Vaux, 1988). Ibu dengan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, dihargai dan

12 merupakan bagian dari keluarga ataupun komunitas yang dapat membantu mereka pada saat dibutuhkan. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga sangat diperlukan bagi seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita, di mana dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh ibu anak tunagrahita (Astuti, 2013). Dukungan sosial yang dibutuhkan ibu adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga. Menurut House (dalam Vaux, 1988) dukungan sosial meliputi dukungan emosional, dukungan appraisal, dukungan instrumental dan dukungan informasi. Dukungan emosional adalah suatu bentuk dukungan yang diekspresikan melalui empati, perhatian, kasih sayang dan kepedulian terhadap individu lain. Bentuk dukungan ini dapat menimbulkan rasa nyaman, perasaan dilibatkan dan dicintai pada individu yang bersangkutan. Dukungan ini juga meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Ibu yang menghayati dirinya menerima dukungan emosional dari keluarganya akan merasa bahwa keluarganya mau mendengarkan ketika dirinya mengeluh tentang kondisi anaknya dan dapat memberikan semangat ketika ibu mengeluh. Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan langsung yang diwujudkan dalam bentuk dukungan material atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah secara praktis. Dukungan ini didapatkan oleh ibu ketika keluarga membantu mengatasi hambatan keuangan dan keluarga juga bersedia untuk mengantarkan anak ke sekolah ketika ibu berhalangan. Dukungan appraisal adalah suatu bentuk dukungan yang terjadi melalu ekspresi seseorang dengan menunjukkan suatu penghargaan positif terhadap individu, dukungan atau persetujuan tentang ide-ide atau perasaan dari individu tersebut, memberikan semangat dan kritik yang membangun. Bentuk dukungan ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan berharga atas diri sendiri, kompetensi dan bermakna. Ibu yang menghayati bahwa dirinya mendapatkan dukungan appraisal dari keluarganya akan merasa bahwa keluarga memberikan

13 kritik yang sesuai dengan keadaan anak dan juga menyatakan kekaguman apabila anak mengalami kemajuan. Hal-hal tersebut dapat menjadi evaluasi bagi ibu seberapa berhasilkah ibu dalam merawat anaknya. Dukungan informasional adalah suatu dukungan yang diungkapkan dalam bentuk pemberian nasehat atau saran, pemeberian informasi, bimbingan atau pemberian umpan balik mengenai apa yang dilakukan individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Ibu yang menghayati bahwa dirinya mendapatkan dukungan informasional dari keluarganya akan merasa bahwa keluarga bersedia untuk memberitahukan informasi-informasi tambahan yang berkaitan dengan proses merawat anak. Keluarga mau memberitahukan informasi yang telah dibacanya tentang bagaimana sebaiknya merawat anak tunagrahita dan juga mau membantu mencarikan solusi atas masalah yang ibu dapatkan selama merawat anak. Hardiness merupakan karakteristik kepribadian yang dapat diperkuat derajatnya dengan adanya dukungan sosial yang berasal dari keluarga. Hardiness dapat diperkuat dan hardiness tersebut dibentuk oleh ibu di usia yang masih muda melalui interaksi ibu dengan orang tuanya ataupun mentornya (Khoshaba and Maddi 1999; Maddi 2002). Salah satu hal yang terpenting dalam memelajari hardiness adalah dukungan dari orangtua atau lingkungan untuk ibu dalam mempraktekkan pemecahan masalah, interaksi sosial, dan menjaga diri (Khoshaba and Maddi 2004; Maddi 1987,2002). Dukungan sosial yang didapatkan oleh seseorang dari kecil hingga dewasa khususnya dari keluargnya dapat membuat hardiness pada seseorang menguat. Attitudes commitment akan berkembang ketika orangtua memberikan kasih sayang serta mendukung anaknya. Orangtua menyetujui interaksi antara anak dengan orang lain serta selalu memberikan dorongan serta penerimaan pada anak. Selanjutnya untuk control, dapat terbentuk ketika orangtua memastikan bahwa tugas-tugas yang dialami oleh anak mereka hanya sedikit lebih sulit dari apa yang mereka bisa lakukan.

14 Jika ada tugas yang terlalu mudah maka individu akan merasa bahwa mereka berhasil mencapai sesuatu dan jika tugas terlalu sulit individu akan merasa gagal dan tidak berdaya. Untuk mengembangkan challenge, individu perlu dibantu oleh orangtua untuk melihat perubahan yang sedang terjadi sebagai sesuatu yang penting dan memberikan pengaruh yang positif untuk belajar. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa lingkungan berperan sangat penting sebagai persyaratan untuk tumbuh dan berkembangnya hardiness. Selain itu menurut Maddi (2013) hardiness memiliki hubungan positif dengan dukungan sosial. Hardiness dapat menjadi kuat ketika ibu mendapatkan dukungan dan juga semangat dari lingkungan di sekitarnya. Selain itu, dukungan sosial dan hardiness memiliki hubungan yang dapat mengurangi stres yang dialami oleh ibu. Ibu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi akan merasa bahwa dirinya dihargai dan dipedulikan oleh orang lain sehingga ketika menghadapi permasalahan ibu pun akan merasa bahwa orang lain ada untuk dirinya. Selain itu dukungan sosial yang berasal dari keluarga juga berpengaruh terhadap hardiness dengan cara ibu yang memiliki dukungan sosial dari keluarga akan tetap mengikuti semua proses yang harus dijalankan, mencari solusi untuk kekurangan anaknya dan juga terus mencari informasi yang dapat membantu perkembangan anaknya. Uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat melalui bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir

15 Aspek Hardiness : Commitment Control Challenge Ibu dengan Anak Tunagrahita stres Dukungan sosial yang berasal RS dari keluarga Hardiness Bentuk Dukungan sosial : Dukungan emosional Dukungan instrumental Dukungan informasional Dukungan appraisal 1.1. Bagan Kerangka Pikir 1.6. Asumsi Penelitian 1) Hardiness terdiri dari tiga attitudes yaitu commitment, control, challenge 2) Hardiness dapat dikatakan tinggi apabila ketiga attitudes memiliki derajat yang tinggi 3) Empat bentuk dukungan sosial yang berasal dari keluarga adalah dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional dan dukungan appraisal 1. 7. Hipotesis Penelitian 1) Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan hardiness pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung 2) Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan attitudes commitment pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung 3) Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan attitudes control pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung

16 4) Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan attitudes challenge pada ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C X Bandung