BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva yang terbentuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling dominan

Gambar 1. Kelenjar saliva 19

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum terjadi di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 90% yaitu kelenjar parotis memproduksi sekresi cairan serosa, kelenjar

BAB I PENDAHULUAN. indeks caries 1,0. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SALIVA SEBAGAI CAIRAN DIAGNOSTIK RESIKO TERJADINYA KARIES PUTRI AJRI MAWADARA. Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M.Si.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PENGARUH PLAK TERHADAP GIGI DAN MULUT. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifactorial yaitu adanya beberapa faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik. Asam amino,

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal.

Bayyin Bunayya Cholid*, Oedijani Santoso**, Yayun Siti Rochmah***

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kerusakan pada gigi merupakan salah satu penyakit kronik yang umum

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang menggalakkan pemakaian bahan alami sebagai bahan obat,

BAB I PENDAHULUAN. Mulut sangat selektif terhadap berbagai macam mikroorganisme, lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. Kismis adalah buah anggur (Vitis vinivera L.) yang dikeringkan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mukosa, albumin, polipeptida dan oligopeptida yang berperan dalam kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manfaat yang maksimal, maka ASI harus diberikan sesegera mungkin setelah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Berbagai macam bakteri ini yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Gambaran Klinis Karies Botol. atau cairan manis di dalam botol atau ASI yang terlalu lama menempel pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 2004, didapatkan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 85%-99%.3

BAB 1 PENDAHULUAN. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang kompleks yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. saliva mayor dan minor. Saliva diproduksi dalam sehari sekitar 1 2 liter,

BAB I PENDAHULUAN. trisomi kromosom 21. Anak dengan Down Syndrome memiliki gangguan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang memiliki peran penting dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir, sebanyak 80% orang didunia bergantung pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 30 mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 diperoleh hasil sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. setiap proses kehidupan manusia agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian analitik observasi dengan desain cross sectional.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula seperti sukrosa.

BAB I PENDAHULUAN. dan mulut yang memiliki prevalensi tinggi di masyarakat pada semua

BAB 1 PENDAHULUAN. (SKRT, 2004), prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%. 1 Riset Kesehatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH VISKOSITAS SALIVA TERHADAP PEMBENTUKAN PLAK GIGI PADA MAHASISWA POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh, baik bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa. 1,2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dapat dialami oleh setiap orang, dapat timbul pada satu permukaan gigi atau lebih dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan akan berlanjut ke dalam lapisan gigi serta diikuti dengan kerusakan bahan

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dari sisa makanan, menghilangkan plak dan bau mulut serta memperindah

BAB I PENDAHULUAN. lengkung rahang dan kadang-kadang terdapat rotasi gigi. 1 Gigi berjejal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang kedokteran gigi, masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. melalui mulut, dan pada kalangan usia lanjut. 2 Dry mouth berhubungan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peran penting dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut (Harty and

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Epidemiologi penyakit gigi dan mulut di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rendah (Depkes RI, 2005). Anak yang memasuki usia sekolah yaitu pada usia 6-12

BAB 1 PENDAHULUAN. saliva yaitu dengan ph (potensial of hydrogen). Derajat keasaman ph dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan gigi dan makanan sehat cenderung dapat menjaga perilaku hidup sehat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSATAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Lampiran 1. Skema Alur Pikir

BAB I PENDAHULUAN. kelamin, usia, ras, ataupun status ekonomi (Bagramian R.A., 2009). Karies

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai. Menurut Dr. WD

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sistemik. Faktor penyebab dari penyakit gigi dan mulut dipengaruhi oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh penggunaan susu botol atau cairan lainnya yang termasuk karbohidrat seperti

BAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah dengan kesehatan gigi dan mulutnya. Masyarakat provinsi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dipisahkan satu dan lainnya karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. protein, berbagai vitamin dan mineral (Widodo, 2003). Susu adalah cairan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi atau yang biasanya dikenal masyarakat sebagai gigi berlubang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. karies gigi (Anitasari dan Endang, 2005). Karies gigi disebabkan oleh faktor

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi dan mulut di Indonesia. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena mereka adalah generasi

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keparahan karies gigi pada anak usia 4-6 tahun merupakan penelitian

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal dan menghasilkan materi genetik ekstra dari kromosom 21. 1-5 Sindrom Down dinama oleh seorang dokter British yaitu, John Langdon Haydon Down, orang pertama yang mengemukakan sindrom Down adalah sejenis kelainan genetik. 1,3 Kondisi tersebut selanjutnya diidentifikasi sebagai kromosom trisomi 21 oleh Jérôme Lejeune pada tahun 1959. 1,3 Trisomi kromosom 21 disebabkan oleh non disjunction, dimana materi genetik gagal untuk dipisahkan selama pembentukan gamet sehingga terjadinya tambahan kromosom. 1-3 Sindrom Down ini telah mempengaruhi sekitar 1 dari 600-700 kelahiran hidup secara global. 2 Setiap tahun kira-kira ada 3000 sampai 5000 orang anak yang lahir dengan kelainan ini. 2 Gambar 1. Kromosom pada sindrom Down 1 Beberapa teori telah menyatakan bahwa abnormalitas hormon, sinar-x, infeksi virus, masalah imunologi, kecenderungan genetik, dan ketidakseimbangan enzim mungkin adalah faktor penyebab kelahiran anak sindrom Down. Selain itu,

usia ibu hamil yang lebih dari 35 tahun mempunyai risiko yang lebih tinggi dalam melahirkan anak sindrom Down. 10 2.2 Kondisi Fisik dan Sistemik pada Anak Sindrom Down Anak sindrom Down mempunyai beberapa penampilan fisik yang khusus seperti profil yang datar, fisura palpebral yang miring, lipatan epikantus, hidungnya datar, nuchal flat pad,dan kepala pendek, mulut mereka kecil, mata miring ke atas, ruang besar antara jari kaki yang pertama dan kedua (sandal gap). 1-13 Mereka juga mempunyai tangan yang luas dengan jari-jari yang pendek. Anak sindrom Down akan mempunyai rata-rata berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah pada waktu lahir. 10,12 Gambar 2. Karateristik fasial anak sindrom Down 9 Manifestasi sistemik yang terdapat dalam sindrom Down adalah seperti, obstruksi saluran pencernaan,hipotonia otot, leukemia, infeksi pernafasan, congenital heart defect, gangguan imunologi, hipotiroidisme dan kelainan mata. 1,3,10-13

Gambar 3. Keadaan tubuh anak sindrom Down 10 Anak sindrom Down biasanya mempunyai perkembangan mental yang tertunda dan memiliki derajat disabilitas belajar bervariasi berdasarkan masingmasing individual. 12 Anak sindrom Down dapat dibagikan berdasarkan tingkat retardasi mental. Retardasi mental dikatakan adalah terkait dengan keterbatasan dalam belajar dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi, dan memiliki efek yang sangat berpengaruh pada kemampuan seorang anak untuk belajar bicara. 14 Penggolongan tingkat retardasi mental berdasarkan pada hasil pengukuran inteligensi. Tes inteligensi digunakan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Sindrom Down dapat didiagnosa dan dibagi atas 5 level intelektual dibawah rata-rata sebagai berikut: 14 1. Mild Mental Retardation Anak golongan ini akan memiliki tingkat IQ antara 50-70. Mereka masih bisa berkembang, menjadi mandiri seperti makan atau berpakaian sendiri dengan bantuan minimal dari orang lain. Mereka mampu berbicara yang dimengerti dengan baik oleh orang lain, menulis kata-kata sederhana, dan mampu bergaul dengan baik. Terkadang mereka mampu beradaptasi dengan sekolah biasa walaupun lambat laun akan sedikit mengalami ketinggalan dibandingkan teman sekelasnya. Anak dengan level IQ ini mampu lulus SMA hingga bekerja pada sektor perkerjaan tidak terlatih maupun semiterlatih. 14

2. Moderate Mental Retardation Sindrom Down golongan ini mempunyai tingkat IQ antara 40-55. Mereka memiliki keterlambatan perkembangan kemampuan berbahasa, seperti hanya mampu menggunakan 4-10 kata saja pada usia 3 tahun. Anak golongan ini tidak mampu beradaptasi dengan sekolah biasa, sehingga perlu dimasukkan ke sekolah khusus untuk kelancaran proses pembelajaran akademiknya. Ketika dewasa, mereka tidak bisa diperbolehkan melakukan aktivitas harian seperti berbelanja atau memasak tanpa didampingi. 14 3. Severe Mental Retardation Golongan ini biasanya memiliki tingkat IQ dari 20-40. Mereka memiliki kosa kata yang sangat terbatas dan hanya mampu berbicara sebatas 2-3 kalimat. Demikian juga dengan kemampuan motorik yang cukup lemah, sehingga tidak bisa bermain dengan mainan mereka ketika kecil. Saat beranjak dewasa, mereka hanya mampu berpakaian sendiri dengan jenis pakaian yang sederhana dan hanya sebagian dari mereka yang bisa bekerja pada bidang pekerjaan yang tidak terlatih. 14 4. Profound Mental Retardation Golongan ini biasanya memiliki tingkat IQ yang kurang dari 20. Mereka harus didampingi penuh dalam setiap aktivitasnya. Anak golongan ini mampu makan sendiri dengan sendok tetapi tidak dengan garpu atau pisau. Ketika dewasa, mereka hanya mampu menguasai 300-400 kosa kata. Kemampuan berinteraksi yang kurang pada anak sindrom Down menyebabkan mereka cenderung tidak bersosialisasi dengan baik tetapi mereka masih mampu mengerti perkataan berupa kalimat-kalimat perintah yang sederhana. 14 5. Mental Retardation, Severity Unspecified Golongan ini diyakini kuat memiliki kriteria adanya retardasi mental, tetapi intelegensianya tidak dapat ditentukan berdasarkan tes standar. Pembagian ini dilakukan berdasarkan hasil tes IQ yang diberikan kepada anak. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan sekolah atau kelas mana yang sesuai ditempati oleh anak agar mampu menyerap materi pembelajaran dengan baik sesuai kemampuannya tanpa berasa tertinggal dibanding teman-temannya. 14

2.3 Keadaan Rongga Mulut pada Anak Sindrom Down Anak sindrom Down mempunyai maksila dan mandibula yang lebih sempit dibandingkan dengan anak yang normal, dan hal ini menyebabkan lidah pada anak sindrom Down akan tampak lebih besar (makroglosia). 3 Retardasi mental pada anak sindrom Down menyulitkan mereka untuk menjaga oral hygiene. 3 Anak sindrom Down mempunyai fissured tongue dan cleft palate. 3,6 Masalah yang sering terjadi pada anak sindrom Down adalah maloklusi, anomali pada gigi sebagai contohnya tidak ada benih gigi, erupsi gigi tertunda, dan penyakit periodontal. 3,6,7 Beberapa penelitian menyatakan anak sindrom Down telah menunjukkan prevalensi karies yang rendah dan hal ini disebabkan oleh kondisi saliva mereka. 4,5,7 Karakteristik yang lain pada anak sindrom Down adalah drooling, yaitu kondisi sekresi saliva yang kelebihan. Produksi saliva yang lebih ini dapat menyebabkan ketidaknyaman. 3 2.4 Karies Gigi Karies gigi didefinisikan sebagai penyakit mikrobiologis struktur keras gigi, penyakit multifaktorial dimana ada interaksi dari empat faktor utama yaitu, host, mikroorganisme, waktu dan substrat. 15 Faktor-faktor tersebut berinteraksi dalam periode waktu tertentu dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam demineralisasi serta remineralisasi antara permukaan gigi dan lapisan plak. 15,16 Terjadinya karies gigi disebabkan oleh Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus species dan lactobacilli yang hidup dalam plak biofilm yang menempel pada permukaan gigi. Bakteri ini akan menghasilkan asam dalam proses metabolisme menfermentasi karbohidrat (gula dan starch). 15,16 Asam yang diproduksi akan menyebabkan perubahan ph plak biofilm. 16 Pada saat istirahat, ph biofilm biasanya adalah netral. Pada saat fermentasi karbohidrat terjadi, ph biofilm plak akan menurun dengan cepat dan akan menciptakan lingkungan yang asam. Asam ini kemudian akan berdifusi ke gigi untuk melarutkan kalsium dan fosfat mineral (carbonated hydroxyapatite). Proses ini disebut sebagai demineralisasi. 16

Pada saat konsumsi karbohidrat berhenti, ph secara bertahap akan kembali ke netral dalam 30-60 menit. memainkan peranan yang penting dalam proses netralisasi asam dan mengandung mineral dan protein yang dapat melindungi gigi. Mineral dalam saliva dan mineral yang terlarut dari gigi akan deposit kembali sisasisa kristal yang ada pada gigi. Proses deposisi mineral ke daerah yang mengalami demineralisasi disebut remineralisasi, yang memperbaiki lesi karies awal. 16 Mineral saliva memungkinkan host untuk memperbaiki daerah yang mengalami demineralisasi. Sekiranya laju aliran saliva seseorang itu rendah, frekuensi mengonsumsi karbohidrat tinggi, tingkat asam yang diproduksi oleh bakteri tinggi sehingga mineral gigi yang hilang akan sulit mengalami remineralisasi disebabkan oleh serangan asam yang terlalu besar. 16 2.4.1 Etiologi Karies gigi Etiologi terjadinya proses karies gigi dipengaruhi oleh 4 faktor utama, yaitu host, bakteri, substrat, dan waktu. 15 Gambar 4. Empat lingkaran faktor karies gigi 15

2.4.2 Faktor Host Faktor utama host berupa morfologi dan anatomi gigi serta saliva. Faktor risiko host yang akan menyebabkan karies adalah berkurangnya saliva di rongga mulut dan morfologi gigi (ukuran, bentuk permukaan, kedalaman fossa, dan fisura). Fitur morfologi gigi yang mungkin mempengaruhi adalah kehadiran pit fisura yang dalam dan sempit. Akumulasi sisa-sisa makanan, bakteri dan debris pada fisura tersebut adalah sulit dibersihkan dan akan mengarah ke perkembangan karies. 15,16 memiliki peranan yang penting dalam perkembangan karies atau pencegahannya. Perubahan dalam kuantitas dan kualitas saliva memiliki efek pada lingkungan rongga mulut. mempunyai efek netralisasi dan buffering yang dapat mengurangi potensi kariogenik makanan. Laju aliran saliva dapat mempengaruhi kerentanan atau ketahanan karies. 17-19 2.4.3 Faktor Mikroorganisme Rongga mulut merupakan tempat pertumbuhan berbagai bakteri termasuk bakteri yang merupakan flora normal tetapi apabila terdapat sisa makanan yang melekat terus menerus pada gigi akan terjadi penumpukan plak. Plak adalah suatu lapisan lunak terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. 16 Bakteri kariogenik utama penyebab karies adalah Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus yang merupakan bakteri patogen, dapat berkolonisasi di permukaan gigi dan menghasilkan asam dengan menfermentasi karbohidrat (substrat) lalu mengakibatkan penurunan ph rongga mulut, yang akan menyebabkan demineralisasi enamel. 15,16 Lactobacillus acidophilus dan mikroorganisme lain yang bersifat kariogenik di plak atau di lesi karies mungkin mempunyai kemampuan untuk menghasilkan karies sendiri, atau mungkin dapat bertindak secara sinergis dengan Streptococcus mutans pada inisiasi karies. 15,16

karies. 16 Berdasarkan teori asidogenik atau kemoparasitik, karies gigi dapat terjadi 2.4.4 Faktor Substrat Diet berfungsi sebagai substrat difermentasi oleh mikroflora plak, yang dapat membentuk asam organik, sehingga meningkatkan demineralisasi struktur gigi dan mempengaruhi perkembangan karies. Faktor substrat dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. 16 Sisa makanan termasuk golongan karbohidrat (sukrosa, fruktosa, dan glukosa) apabila melekat terus pada gigi, akan difermentasi oleh bakteri menjadi asam. Pada saat rongga mulut adalah dalam kondisi asam (ph 5,5) maka mineral kalsium dan fosfat pada enamel gigi akan terlepas dari gigi lalu gigi menjadi rapuh dan akhirnya terbentuk karies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang banyak mengonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet yang banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau tidak mempunyai karies gigi dan ini membuktikan bahwa Streptococcus mutans akan memetabolisme semua jenis karbohidrat yang akhirnya meningkatkan risiko apabila makanan mengandung karbohidrat. Bakteri dalam plak akan memetabolisme gula dalam makanan dan menghasilkan asam yang dapat melarutkan struktur enamel gigi. Sukrosa adalah paling kariogenik dari semua gula. 15 2.4.5 Faktor Waktu Faktor waktu juga menentukan terjadinya karies dimana ketiga faktor diatas apabila dalam waktu yang lama dan saling berinteraksi, maka akan terjadi karies. Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi sebuah kavitas cukup bervariasi. 15

2.4.6 Indeks Karies Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/ kelompok terhadap karies gigi. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai berat. Beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti Klein dan indeks WHO, namun kebelakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks DMFT WHO. Indeks WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanen pada orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak. Pemeriksaan harus dilakukan dengan kaca mulut datar. 2.5 Karies Gigi pada Anak Sindrom Down Sebuah studi case-control yang melibatkan anak sindrom Down telah menyatakan prevalensi karies pada anak sindrom Down lebih rendah dibandingkan oleh anak normal dan hal ini dikatakan disebabkan erupsi gigi tertunda, mikrodonsia dan diastema. Kondisi gigi ini secara teoritis mengurangi risiko karies dengan mengurangi kemungkinan makanan terperangkap antara gigi. Prevalensi karies gigi juga dipengaruhi oleh kondisi saliva. 4,5,7 2.6 adalah cairan berair jernih diproduksi oleh beberapa kelenjar di daerah mulut. merupakan sekresi eksokrin yang terdiri dari 99% air, yang mengandung berbagai elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida, magnesium, bikarbonat, fosfat) dan protein diwakili dengan enzim, antimikrobial imunoglobulin dan antimikroba, glikoprotein mukosal, albumin dan beberapa polipeptida oligopeptida yang penting untuk kesehatan rongga mulut. 20 Kelenjar yang memproduksikan saliva adalah kelenjar sublingual, kelenjar parotid dan kelenjar

submandibular. 20 Sembilan puluh persen saliva adalah diproduksi oleh 3 pasang kelenjar mayor yaitu: parotid, submandibular, dan sublingual. Kelanjar parotis memproduksi 60-65% saliva yang bersifat serous yang mengandung amilase, kelenjar submandibula mensekresikan 20-30% saliva yang bersifat musin, dan kelenjar sublingual yang berukuran terkecil memproduksi saliva yang bersifat viscous dan kental. 20 Gambar 5. Kelenjar-kelenjar saliva 19 2.6.1 Fungsi Fungsi saliva dapat dikategorikan kepada 5 untuk menjaga kesehatan rongga mulut dan keseimbangan ekologis, yaitu: pencernaan, lubrikasi dan cleansing, menjaga intergritas enamel, antibakterial, dan rasa. 19-21 telah memainkan peranan yang penting dalam sistem pencernaan. Musin dari saliva dapat menfasilitasi pengunyahan dan penelanan makanan dengan melumas makanan, dan menghasilkan satu lapisan serous pada mukosa rongga mulut agar tidak mengalami dehirasi. Enzim amilase saliva membantu dalam pencernaan karbohidrat (starch). 20,21 mengandung zat antibakteri seperti lysozyme, imunoglobulin A (IgA), yang dapat menyerang mikroorganisme seperti bakteri yang hadir pada makanan, dengan menghidrolisis dan memecahkan dinding selular bakteri. 20,21 juga memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan integritas enamel gigi maupun secara fisikal atau kimiawi dengan modulasi remineralisasi dan

demineralisasi. Faktor utama untuk mengendalikan stabilitas enamel hydroxyapatite adalah konsentrasi kalsium, fosfat, fluoride dan ph dalam saliva. 20,21,22 2.6.2 Komposisi Komposisi saliva mengandung 99% air. mengandung konstituen organik dan anorganik. Konstituen organik adalah enzim ptyalin atau amilase saliva yang disekresi oleh kelenjar parotid. 20 Konstituen organik yang lain adalah lipase lingual, yaitu enzim yang bekerja pada trigliserida. Musin merupakan glikoprotein yang disekresi utama dari kelenjar sublingual dan sebagian kecil dari kelenjar submandibular. Musin berfungsi dalam mempertahankan viskositas saliva dan membantu dalam pelumasan makanan. Ion- ion yang termasuk dalam konstituen anorganik pada saliva adalah: Na +, K +, Ca ++, HCO - 3 dan Cl -. juga mengandung lisozim dan imunoglobulin A (IgA). 20-22 2.6.3 Kapasitas Buffer dan ph Kapasitas buffer saliva adalah sangat penting dalam mempertahankan ph saliva dan memainkan peranan yang penting dalam remineralisasi. Kapasitas buffer saliva pada dasarnya adalah tergantung pada konsentrasi bikarbonat, dan berkorelasi dengan laju aliran saliva. Kapasitas buffer dapat mencegah kolonisasi oleh mikroorganisme patogen. Buffer saliva juga dapat menetralkan asam yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang bersifat asam, sehingga dapat mencegah enamel demineralisasi. 19,20 Kapasitas buffer saliva sebagian besar adalah disediakan oleh bikarbonat, dihidrogen dan hidrogen fosfat, dan protein. Konsentrasi ion bikarbonat dalam saliva pada keadaan istirahat mendekati 1 mmol/l dan meningkat sampai lebih dari 50 mmol/l saat distimulasi. Peningkatan konsentrasi ion bikarbonat menyebabkan peningkatan ph. 20 Peningkatan laju aliran saliva dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi urea dan elektrolit seperti Na +, Cl -, Ca 2+, PO 3-4, OH - dan HCO - 3. Ion bikarbonat dapat menyebabkan peningkatan pada ph dan merupakan prinsip sistem

buffer dalam saliva. Kapasitas buffer dapat diperiksa dengan menggunakan tes buffer strip. 21,22 ph saliva bergantung pada laju aliran saliva, jika laju aliran saliva itu tinggi, salivanya akan bersifat basa dan mencapai ph dari 7,5-8,0. 20 ph saliva adalah hampir netral yaitu dengan ph = 7, dan saliva mengandung HCO 3, yang dapat menetralkan zat asam yang ada dalam rongga mulut. 20-22 Sedikit peningkatan ph dan kapasitas buffer akan menfasilitasi remineralisasi serta beberapa pengaruh lain terhadap flora rongga mulut. Secara spesifik, keadaan ini akan mengontrol peningkatan jumlah mikroorganisme, khususnya Streptococcus mutans yang kariogenik serta Candida albicans. 21 2.6.4 Volume dan Laju Aliran Produksi saliva yang tinggi dapat meningkatkan laju aliran saliva, kapasitas buffer saliva dan ph, dan konsentrasi mineral pada jaringan keras. 20 Rata-rata volume produksi saliva yang normal pada seseorang itu sekitar 1-1,5 liter sehari, pada waktu tidur volume saliva yang paling banyak adalah 0,1ml/menit dan saat tidak ada stimulasi volumenya sekitar 0,3 ml/menit. Pada waktu stimulasi, volume akan meningkat menjadi 4 ml/menit. 20,23 Sialometri digunakan untuk mengukur disfungsi saliva, dan sialometri melibatkan pengukuran unstimulated dan stimulated produksi saliva dengan koleksi saliva dalam collection cup dalam jangka waktu 5 menit. Normal volume yang dikoleksi dalam 5 menit untuk unstimulated adalah 1,5-2,5 ml dan stimulated adalah 5-10 ml. Pada penelitian ini akan digunakan unstimulated. 20,23 Laju aliran normal saliva memberikan efek protektif yang kuat terhadap karies gigi. Laju aliran normal untuk unstimulated adalah dalam 0,3-0,5 ml/ menit dan 1-2 ml/menit untuk stimulated. 20,23 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju aliran saliva yang distimulasi adalah stimulus alami, muntah, merokok, ukuran kelenjar, refleks muntah, stimulus unilateral, dan asupan makanan. 20 Laju aliran saliva dapat mempengaruhi pembersihan saliva terhadap substrat bakteri.

2.6.5 Kondisi pada Anak Sindrom Down Sekresi saliva pada anak sindrom Down tidak jauh berbeda dibanding dengan anak normal tapi anak sindrom Down sering mempunyai masalah drooling karena mereka mempunyai mulut yang kecil dan mereka cenderung menjulurkan lidah. 3 Laju aliran saliva erat hubungannya dengan viskositas saliva. Viskositas saliva yang lebih tinggi akan menurunkan laju aliran saliva, sehingga didapatkan penumpukan sisa-sisa makanan yang akhirnya dapat menyebabkan karies. 20 Konsentrasi kalsium, fosforus dan magnesium pada anak sindrom Down tidak menunjukkan perbedaan jika dibandingkan dengan anak yang normal. 7 Konsentrasi bikarbonat ion dari saliva dapat membuat ph saliva yang lebih basa. 4,7 Pada konsentrasi protein dan sodium, anak sindrom Down mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi. 4 Protein dalam saliva berkontribusi terhadap lubrikasi mukosa, remineralisasi gigi dan buffering. Kapasitas buffer dan ph pada anak sindrom Down juga dikatakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang normal. 21 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raurale dkk, dikatakan anak sindrom Down memiliki kapasitas buffer yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal dan ini akan menyebabkan prevalensi karies gigi mereka rendah karena sistem buffer ini adalah untuk memfasilitasi proses netralisasi asam yang diproduksi oleh bakteri dalam rongga mulut ini dikatakan salah satu penyebab dapat menurunkan prevalensi karies gigi. 7 Anak sindrom Down menunjukkan prevalensi karies yang rendah dan hal ini karena konsentrasi salivary Streptococcus mutans-specific IgA dalam saliva mereka adalah lebih tinggi dibandingkan kepada anak yang sehat. 5 ry IgA berfungsi untuk mencegah bakteri Streptococcus mutans melekat pada permukaan gigi dan hal ini dapat menurunkan kolonisasi bakteri sehingga dapat mencegah karies gigi. 5,20

2.7 Kerangka Teori Anak Sindrom Down Keadaan Fisik Keadaan Rongga Mulut Keadaan Gigi Kondisi Status Karies ph Kapasitas Buffer Volume Laju Aliran

2.8 Kerangka Konsep Keadaan Rongga Mulut Anak Sindrom Down Volume Laju Aliran Kapasitas Buffer ph Gigi Status Karies