Mengapa Indonesia Membutuhkan e-rekapitulasi dan. Harus Menghindari Pemungutan Suara Secara Elektronik



dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BBadan Pengawas Pemilihan Umum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Tata Laku Bisnis Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Sekapur Sirih 3. Apa & Mengapa Pengarusutamaan Penanggulangan 5 Kemiskinan & Kerentanan (PPKK)

Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi

1. PENGANTAR 2. BENTUK UMUM PERSEKONGKOLAN TENDER

Surat dari Direktur Utama dan Pejabat Eksekutif Tertinggi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota

Piagam Sumber Daya Alam. Edisi Kedua

Manajemen Sumber Daya Manusia

Etika Bisnis dan Etika Kerja PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Daftar Isi. Ringkasan Eksekutif. Memperkenalkan Cakrawala Baru. Masa Depan Yang Optimis. Dampak Infrastruktur. Penggunaan Teknologi

Komisi Pemilihan Umum dan Penyediaan Informasi: Studi Banding Mengenai Praktek Global yang Lebih Baik

SISTEM PERIJINAN GANGGUAN

Cara Kerja Kita. Praktik Usaha BT. Bulan Oktober Halaman 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

Pedoman Pelibatan Masyarakat dan Swasta dalam Pemanfaatan Ruang Perkotaan

PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN SEKRETARIAT KABINET

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya MODUL KHUSUS KOMUNITAS C14. Tugas dan Fungsi UP. PNPM Mandiri Perkotaan

KOMITE STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN (KSAP)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG STATUTA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PERCETAKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Mengapa Indonesia Membutuhkan e-rekapitulasi dan Harus Menghindari Pemungutan Suara Secara Elektronik Diskusi Pengalaman Internasional dalam Teknologi Kepemiluan Ramlan Surbakti Hotel Morrissey, 5 Februari 2015 Sebagai bangsa, kita harus bangga atas kemajuan kemampuan kita untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Kualitas Pemilu 2014 meningkat secara signifikan dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya dengan diterapkannya sistem pendaftaran pemilu baru Indonesia: SIDALIH. Daftar pemilih Indonesia telah berubah dari daftar manual yang terdesentralisir dan berserakan menjadi basisdata terkomputerisasi, terpusat, dan dapat diakses oleh banyak pihak. Akan tetapi, Pemilu 2014 belum berhasil menerapkan sistem hasil elektronik (biasanya disebut e- recapitulation atau e-rekap) yang resmi. Melalui e-rekap, hasil resmi yang transparan dan kredibel dapat diperoleh dalam beberapa hari saja. Dalam Pemilu 2014, metode rekapitulasi yang digunakan adalah metode rekapitulasi manual yang sudah digunakan sejak lama, sehingga kembali muncul kecurigaan dan tudingan terjadinya kecurangan. Persaingan politik Pemilu 2014 sangatlah ketat. Margin kemenangan pemilu tersebut sangat tipis, khususnya di Pemilu Presiden. Banyak pemangku kepentingan kepemiluan seringkali mendorong KPU untuk menyediakan transparansi dan akuntabilitas. Merespon dorongan tersebut, KPU melaksanakan sebuah prakarsa yang luar biasa besar: pemindaian (scan) dan pengunggahan (upload) formulir C1 dari 500.000 TPS agar dapat dilihat oleh seluruh lapisan masyarakat. Unggahan hasil scan C1 ini mendorong munculnya prakarsa berbasis masyarakat, Kawal Pemilu, untuk melakukan crowdsourcing terhadap hasil pemilu tak resmi yang kelengkapannya mendekati 100 persen. Hasil scan C1 dan crowdsourcing-nya membantu memvalidasi hasil rekapitulasi resmi yang muncul kemudian. Gabungan dari hasil resmi, hasil scan C1, dan crowdsourcing oleh Kawal Pemilu sangatlah penting dalam meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa Pemilu 2014 menghasilkan hasil yang kredibel walaupun terdapat tuntutan serius dari yang kalah. Masih terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Empat masalah utama yang kita hadapi adalah: 1. Pemilihan umum proporsional dengan daftar calon terbuka yang digunakan dalam pemilihan umum anggota DPR dan DPRD merupakan sistem yang kompleks dan terdapat banyak pelanggaran pemilu 2. Kalender pemilihan umum tidak mendukung pemerintah presidential dan pemerintahan daerah yang efektif. 3. Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara masih melalui banyak tingkatan. 4. Masyarakat sebagai pemberi suara belum dapat menentukan pilihan secara cerfas

Solusi terhadap permasalah tersebut niscaya bukan pada penggunaan elektronik dalam pemungutan dan/penghitungan suara. Permasalahan pemilihan umum yang kompleks dapat diselesaikan dengan mengubah sistem pemilihan umum DPR dan DPRD menjadi proposional divisior Sainte-Lague. Permasalahan mengenai kalender pemilihan umum dan pencerdasan pemilih dapat diselesaikan dengan mengadakan pemilihan presiden dengan anggota DPR secara konkuren terpisah dari pemilihan kepala daerah dan DPRD. Sementara solusi untuk masalah ketiga adalah dengan menghapuskan dua tingkat rekapitulasi, tetapi penghitungan suara pada tingkat TPS harus tetap terbuka sebagaimana dijalankan selama ini. Menuju Pemilu 2019, Indonesia harus terus meningkatkan manajemen hasil pemilu yang sudah dikembangkan berpijak pada pengalaman yang diperoleh selama ini. Indonesia harus terus melakukan upload hasil scan C1 dari tiap TPS sehingga masyarakat dapat melihat dan memeriksa hasil tersebut. Upload hasil scan C1 adalah contoh yang ditunjukkan Indonesia kepada negara lain di dunia terkait pemenuhan transparansi. Kemudian, transparansi ini harus dikembangkan lebih jauh dengan mempercepat proses rekapitulasi hasil melalui penerapan sistem manajemen hasil elektronik: e-rekap. E-rekap adalah sistem di mana penghitungan, pengiriman, dan penayangan hasil pemilu resmi akan dikomputerisasi, aman, akurat, transparan, dan cepat. Hasil resmi yang kredibel dapat dihasilkan beberapa hari setelah pemilu, selayaknya di negara-negara lain yang demokrasinya sudah maju. Terdapat argumen bahwa untuk meningkatkan penggunaan teknologi kepemiluan, kita juga harus menerapkan alat pemungutan suara elektronik (electronic voting machines, e-voting atau EVM) atau mesin penghitungan suara elektronik (e-counting) di TPS. Beberapa merespon pernyataan ini dengan menyatakan bahwa Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan teknologi kepemiluan yang sedemikian dalam pemilu lima tahun ke depan. Kendati demikian, seharusnya pembahasannya bukan tentang kesiapan. Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah penggunaan e-voting atau e-counting akan meningkatkan kualitas kepemiluan Indonesia secara mendasar. Saya yakin bahwa kedua teknologi tersebut tidak akan meningkatkan kualitas pemilu Indonesia. Alih-alih, kedua teknologi tersebut berisiko melemahkan peningkatan kualitas yang sudah kita capai sejauh ini. Hari pemilu di Indonesia patut kita banggakan. Masyarakat berkumpul di TPS di lingkungan mereka untuk merayakan hak demokratis mereka. Mereka memberikan suara di dekat rumah bersama teman-teman, keluarga, dan tetangga. Hanya di Indonesia-lah penghitungan suara dimulai pada jam 1 siang melalui salah satu metode yang paling partisipatif dan transparan di dunia. Tiap surat suara diperlihatkan dan dihitung saat hari masih terang benderang, di hadapan saksi partai, pengawas pemilu, pemantau, dan seluruh anggota masyarakat yang ingin menyaksikan. Ini adalah tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan harus kita banggakan. Penghitungan surat suara yang transparan dan membangun kepercayaan di TPS adalah salah satu yang selalu disebutkan tamu internasional sebagai sesuatu yang mereka inginkan juga agar terjadi di negara mereka. Mari bersama lihat lima faktor utama saat mempertimbangkan alat pemungutan suara dan penghitungan suara:

1. Menerapkan e-voting dan e-counting dapat menghapus rasa kepemilikan masyarakat terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara a) perasaan sebagai rakyat yang berdaulat diambil-alih oleh perangkat teknologi; b) penggunaan elektronik niscaya membawa serta efisiensi: satu TPS/satu mesin mampu melayani ribuan pemilih. Akibatnya banyak pemilih akan harus berjalan jauh ke TPS. Penggunaan elektronik ini akan bertentangan dengan upaya menciptakan adequade polling arrangement (pengaturan pemungutan suara yang nyaman dan aman); c) penggunaan elektronik dalam pemungutan dan/atau penghitungan suara secara potensial tidak bersahabat pada pemilih yang difabel. Penggunaan elektronik dalam pemungutan dan/atau penghitungan suara menjadi tidak sejalan dengan upaya menjamin equitable polling arrangement (pengaturan pemberian suara yang memperhatikan kebutuhan khusus berbagai kelompok pemilih, menjamin Pemilu inklusif); d) mengurangi partisipasi warga masyarakat dalam proses pemungutan dan penghitungan suara karena yang berpartisipasi hanya mereka yang menguasai perangkat elektronik tersebut (participation by expert). Terdapat argumen bahwa e-voting atau e-counting dapat digunakan di pemilu-pemilu tingkat bawah dan bukan pemilu skala nasional, misalnya di beberapa pemilihan kepala daerah. Saya yakin bahwa implementasi parsial malah akan menambah kebingungan, celah tuduhan, sekaligus biaya dan tekanan yang lebih besar bagi KPU yang kemudian harus menangani dua metode pemungutan suara yang sangat berbeda. Ini bukanlah solusi yang baik 2. Kompleksitas dan kelemahan mesin pemungutan dan penghitungan suara dapat mengurangi kepercayaan sosial terhadap proses kepemiluan kita Salah satu aspek fundamental yang membuat masyarakat Indonesia percaya terhadap proses pemilu kita adalah kemampuan masyarakat untuk melihat dan memahami proses dan hasil pemilu di tingkat TPS. E-voting dan e-counting adalah teknologi kompleks yang mungkin sulit digunakan dan dipahami, sehingga juga sulit untuk mendapatkan kepercayaan. Dengan hampir setiap hari mendengar berita mengenai peretasan (hacking) dan manipulasi sistem komputer, teknologi pemungutan ataupun penghitungan suara tidak membangun kepercayaan dan malah berpotensi meningkatkan kecurigaan. Manipulasi alat tersebut, ataupun munculnya persepsi bahwa alat tersebut dimanipulasi, dapat menghancurkan pemilu di masa depan dan mungkin stabilitas politik di Indonesia. 3. Menerapkan mesin pemungutan atau penghitungan suara bukanlah tanda bahwa Indonesia lebih modern atau menjadi lebih maju Implementasi e-voting atau e-counting tidak membuat pemilu kita lebih maju. Kita sebaiknya belajar dari pengalaman dan kegagalan negara-negara lain. Hanya beberapa demokrasi di dunia yang masih menerapkan alat tersebut sementara sebagian besar telah kembali ke penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual. Tidak ada tren internasional terkait meningkatnya penggunaan alat kepemiluan yang kemudian harus diikuti oleh Indonesia. Pada kenyataannya, banyak negara-negara yang high-tech, kaya, dan sudah lebih lama usianya telah pada akhirnya menghentikan penggunaan mesin-mesin tersebut dan kembali ke sistem kertas; beberapa negara

lainnya mempertimbangkan penggunaan mesin tersebut dan kemudian memutuskan untuk tidak menggunakannya. Alasannya banyak, namun utamanya adalah untuk mencegah manipulasi dan kurangnya pemahaman/kepercayaan publik. 4. E-voting dan e-counting dapat meningkatkan biaya pemilu Beberapa berargumen bahwa e-voting dan e-counting akan secara signifikan mengurangi biaya pemilu dibandingkan penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual saat ini. Ini seringkali dinyatakan sebagai nilai plus oleh produsen atau vendor mesin-mesin tersebut saat melakukan promosi secara agresif. Saya belum melihat bukti bahwa penggunaan mesin tersebut akan memungkinkan menurunan biaya pemilu. Jika vendor menyatakan bahwa penggunaan mesin tersebut akan mengurangi biaya pemilu, pengalaman menunjukkan bahwa biaya untuk mengelola mesin tersebut secara mandiri justru berkali-lipat lebih tinggi daripada biaya pembelian mesin itu sendiri. Menghitung biaya mesin harus mencakup biaya pelatihan staf, pendidikan pemilih, pengelolaan, dan penyimpanan. Yang juga dapat meningkatkan biaya beberapa kali lipat adalah fakta bahwa teknologi berevolusi semakin cepat. Mesin yang dibeli hari ini dapat kemudian menjadi usang dan harus diremajakan hanya dalam beberapa siklus pemilu. Sehingga, umur teknologi kepemiluan saat ini bisa saja sangatlah singkat. 5. Dukungan politik akan berkurang seiring waktu saat peserta pemilu yang kalah mulai menyalahkan teknologi tersebut Saat banyak politisi dari berbagai parpol mendorong penggunaan teknologi kepemiluan saat ini, pengalaman menunjukkan bahwa dukungan tersebut tidak akan bertahan lama. Ketika diterapkan dan digunakan di pemilu, kegagalan teknologi sering menjadi alasan favorit para politisi untuk menjelaskan kekalahan mereka. Mereka yang sebelumnya mendukung penerapannya akan kemudian berbalik dan menyerang KPU terkait penggunaan teknologi yang salah, pengadaan yang mencurigakan, implementasi yang buruk, manipulasi hasil, dsb. Alat tersebut, yang awalnya terlihat sebagai harapan, malah akan menjadi mimpi buruk. Dukungan politik penggunaan pemilu elektronik seringkali lemah dan didorong oleh kepentingan jangka pendek para politisi. Lima alasan tersebut adalah lima alasan utama untuk tetap menggunakan sistem surat suara kertas di Indonesia. Seperti dinyatakan di awal presentasi, saya sangat yakin bahwa pengembangan teknologi kepemiluan Indonesia harus difokuskan pada pengembangan e-rekap, sistem manajemen hasil pemilu elektronik yang menghasilkan hasil resmi secara cepat, kredibel, dan transparan. Inilah yang kita butuhkan untuk pemilukada dan pemilu nasional 2019. Ini adalah pengembangan teknologi skala besar yang efektif dari segi biaya dan dapat dilakukan untuk pemilu kita. Pada akhirnya, apa yang saya sampaikan bukanlah satu-satunya hal yang menjadi pertimbangan dalam hal ini. Mari berikan ruang bagi KPU untuk melaksanakan uji kelayakan sebagaimana telah direncanakan. Beberapa pertanyaan yang sepatutnya di dalami sebelum menerapkan e-voting atau e-counting adalah:

(a) Apakah E-Voting Rentan terhadap Serangan Hacker? (b) Apakah E-Voting Ramah bagi Pemilih yang Difabel? (c) Apakah E-Voting Memberikan Kesempatan bagi Pemilih untuk memverifikasi Paper Audit Traits? (d) Apakah E-Voting Mampu secara Akurat mengakomodasi Intensi Pemilih? (e) Apakah betul manufaktur mesin E-Voting Terikat pada Partai Politik tertentu, atau, Kandidat berasal dari Partai Politik tertentu? (f) Apakah E-Voting dapat mengamankan suara secara aman? (g) Apakah betul Software machine E-Voting dapat diprogram untuk mengubah hasil Pemilu? (h) Apakah E-Voting memiliki prosedur yang memadai untuk melindungi diri dari kemungkinan Serangan Pisik terhadap mesin voting elektronik? (i) Apakah mesin voting elektronik lebih rentan terhadap Election Fraud daripada tipe mesin voting lainnya? Mari jaga agar uji kelayakan ini bersifat transparan dan inklusif, mempertimbangkan seluruh pemangku kepentingan yang tertarik agar kesimpulan yang dicapai dapat disepakati dan dimiliki oleh bersama. Sebagai bangsa, mari bermusyawarah dan pertimbangkan pilihan-pilihan yang kita miliki. Mari sama-sama menentukan solusi yang betul-betul sesuai dengan pemilu kita.