BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pemerintah telah menetapkan pola dasar pembangunan yaitu. pembangunan mutu sumberdayamanusia(sdm) di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

TUJUAN. a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian. b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup pasien yang dalam praktek pelayanannya memerlukan pengetahuan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

PERATURAN PERUNDANGAN PRAKTEK APOTEKER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pelayanan kefarmasiaan saat ini telah berubah orientasinya dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI SISTEM PELAYANAN PENGOBATAN PT. ASKES (PERSERO) CABANG DENPASAR BERDASARKAN ATURAN PERUNDANGAN ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pelayanan kesehatan sangat diperlukan bagi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan demi kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat meliputi pelayanan Rumah Sakit (RS), Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), dokter, dan pelayanan kefarmasian. Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2004). Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang digunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Permenkes, 2014). Pelayanan kefarmasian telah ditetapkan secara berbeda dalam setiap negara, tetapi gagasan dasarnya sama yaitu apoteker bertanggung jawab terhadap hasil penggunaan obat oleh pasien sama seperti seorang dokter atau perawat bertanggung jawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang berkaitan (Aslam dkk., 2003). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian, telah terjadi pergeseran orientasi dari obat ke pasien, yang mengacu kepada asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan 1

pemberian informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik (Depkes RI, 2004). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, menyatakan bahwa farmasi dalam hal ini apoteker harus memberikan pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pelayanan obat mencakup pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan pengelolaan obat. Pelayanan klinik mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (MESO) (Permenkes, 2014). Apotek telah lama dianggap menjadi salah satu pilar masyarakat yang menyediakan pelayanan dengan jam buka yang panjang, dimana apoteker selalu siap untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat. Apotek dengan kepemilikan perseorangan atau apotek mandiri cenderung khusus melakukan pelayanan kesehatan rumah, peracikan, dan penyediaan peralatan medis (Pisano, 2003). Fungsi manajemen farmasi komunitas apotek mandiri merupakan tugas dari pemiliknya sendiri yang sekaligus merupakan apoteker penanggung jawab apotek tersebut (Scommer, 2007). Apoteker khususnya yang melakukan pelayanan di apotek sering kali dipandang tidak lebih dari penjual obat saja, yang seolah-olah tidak memerlukan pendidikan khusus. Pandangan masyarakat ini timbul karena kenyataannya pelayanan yang mereka dapatkan di apotek ternyata tidak seperti yang diharapkan. Salah satu kasus yang terjadi adalah ketiadaan pelayanan informasi obat di apotek karena ketidakhadiran apoteker. Hal ini 2

menyebabkan tidak terjadi pelayanan informasi obat dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi obat yang merupakan salah satu fungsi pekerjaan kefarmasian yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Tentunya hal ini sangat merugikan konsumen (masyarakat) karena tidak adanya jaminan terhadap ketepatan, keamanan dan kerasionalan obat yang diberikan (Suksmaningsih, 2002). Penelitian tentang pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek pada tahun 2003 di Jakarta, sebesar 98,5 % apotek tidak memenuhi standar pelayanan KIE (Purwanti dkk., 2004). Penelitian tentang pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek Kota Yogyakarta menunjukkan belum dilaksanakannya Kepmenkes RI Nomor 102/MENKES/SK/IX/2004 karena masih terdapat presentase pelaksanaan dibawah 50% pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 102/MENKES/SK/IX/2004, yaitu pengelolaan sumber daya, pelayanan maupun evaluasi mutu pelayanan (Sukmajati, 2007). Penelitian tentang pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek Kota Medan pada tahun 2008, sebesar 83,82% pasien yang dilayani langsung oleh asisten apoteker. Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek masih dalam kategori kurang dengan persentase sebesar 42,74% (Ginting, 2009). Penelitian tentang pengaruh kehadiran apoteker terhadap pelayanan kefarmasian di apotek pada tahun 2016 di kota Padang menunjukkan persentase kehadiran apoteker di apotek kota Padang sebesar 58.67% dan pelayanan kefarmasian dikategorikan kurang (pemeriksaan resep 57,06%, penyiapan resep 55,12%, dan penyerahan resep 51,89%) (Dominica dkk., 2016). Penelitian di kota Denpasar dan kabupaten Badung tentang kehadiran apoteker menunjukkan bahwa kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah. Dari total 111 apotek di wilayah Denpasar 3

Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%) yang terdapat tenaga ahli apoteker (Gunawan dkk., 2011). Penelitian di Jakarta, Yogyakarta dan Makasar menunjukkan informasi yang didapatkan oleh sebagian besar konsumen baru sebatas harga obat, cara dan aturan pakai obat. Hal ini berarti pelayanan apotek masih berorientasi pada produk, belum berorientasi pada pasien. Padahal menurut standar pelayanan kefarmasian komunitas, informasi yang seharusnya didapatkan pasien antara lain khasiat obat, lama penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek samping yang mungkin timbul, tindakan bila ada efek samping, tindakan bila terjadi salah dosis, pantangan obat untuk penyakit tertentu dan pantangan makanan saat minum obat yang seharusnya diinformasikan oleh apoteker dan merupakan hak pasien. Informasi yang lengkap dan jelas akan mengurangi risiko terjadinya medication error (Handayani dkk., 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2015, Kota Surabaya memiliki jumlah apotek paling banyak diantara kota lainnya yang berada di Jawa Timur dengan jumlah 856 apotek. Kota Surabaya dibagi menjadi 5 wilayah yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan dan Surabaya Barat. Surabaya Selatan sendiri terdiri dari 8 kecamatan yaitu Wonokromo, Wonocolo, Wiyung, Karangpilang, Jambangan, Gayungan, Dukuh Pakis dan Sawahan dengan jumlah penduduk sebanyak 676.840 jiwa. Jumlah apotek di wilayah Surabaya Selatan berjumlah 219 apotek. Kesehatan masyarakat di Kota Surabaya khususnya wilayah Surabaya Selatan diharapkan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat. 4

Berdasarkan data di atas menunjukkan belum optimalnya standar pelayanan kefarmasian di apotek, sehingga peneliti ingin mengetahui pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek mandiri wilayah Surabaya Selatan. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek mandiri kota Surabaya Selatan, serta dapat memberikan informasi pelayanan kesehatan kepada pasien khususnya mengenai obat-obatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan pasien. Oleh sebab itu maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek mandiri wilayah Surabaya Selatan berdasarkan oleh PMK (Peraturan Menteri Kesehatan) nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu : Apakah praktik pelayanan kefarmasian di apotek mandiri wilayah Surabaya Selatan sudah memenuhi PMK nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kesesuaian praktik pelayanan kefarmasian di apotek mandiri wilayah Surabaya Selatan berdasarkan PMK nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) 5

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek mandiri khususnya wilayah Surabaya selatan guna pembinaan bagi anggota IAI. 1.4.2 Manfaat bagi masyarakat Diharapkan dengan penelitian ini, apoteker dapat menerapkan standar pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, terutama dalam penggunaan obat yang rasional, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya bagi masyarakat yang berada pada wilayah Surabaya selatan. 1.4.3 Manfaat bagi pemerintah Memberikan gambaran kepada pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Surabaya untuk kepentingan monitoring tentang praktik pelayanan kefarmasian di apotek. 6