BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks (Spurr, 1973). Hal ini menyebabkan pengelolaan kawasan hutan tidaklah mudah untuk di kelola jika tidak menggunakan sistem silvikultur yang benar. Pengelolaan kawasan hutan pada saat ini mengarah kepada pengelolaan hutan dengan konsep Sustainable Forest Management (SFM). Prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan yaitu suatu prinsip yang mengutamakan keseimbangan antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial hutan. Hal ini dicirikan dengan produktivitas hasil hutan yang berkesinambungan tanpa menurunkan nilai dan produktivitas suatu kawasan. Ekosistem mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut (Anonim, 1978). Ekosistem mangrove selain berperan sebagai penahan abrasi, ekosistem mangrove juga dapat berperan sebagai penyedia makanan bagi mahkluk hidup yang mendiami ekosistem mangrove. Kusmana (2002) menyatakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Ekosistem Mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Menurut Supriharyono (2000), terdapat 38 jenis mangrove yang terdapat di Indonesia, jenis-jenis yang tumbuh di Indonesia antara lain Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Barringtonia, Lumnitzera, dan Ceriops. Hutan mangrove memiliki tempat tumbuh yang sangat unik yaitu tumbuh di tempat yang selalu tergenang air dengan salinitas yang tinggi di daerah pantai dan tanah
yang berlumpur di bagian sungai (Indriyanto, 2006). Ekosistem mangrove dibagi berdasarkan zonasi yang dipengaruhi pasang surut air laut. Keberadaan suatu ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi makluk hidup dilihat dari ekologis kawasan maupun sosial ekonomi. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik yaitu menjaga kestabilan pantai, menyerap polutan yang terkandung di dalam air (Gunawan dan Anwar. 2004), pembenihan udang, areal budidaya ikan tambak serta sebagai kawasan ekowisata dan sumber kayu (Anwar et al. 1984). Pengelolaan hutan di Papua telah dimulai sejak tahun 1978 dan pada saat ini umumnya telah dilakukan pada hutan bekas tebangan yang telah memasuki rotasi ke dua, hal ini mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi tegakan serta perubahan potensi tegakan (Marwa, 2009; Kuswandi dan Harisetijono, 2014). Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki banyak keunikan dari segi biologi seperti (Karakter hutan dan biota), dan topografi (Petocs, 1987; Muller, 2005: Kartikasari et al., 2012). Hal ini menyebabkan struktur dan komposisi hutan pada setiap lokasi berbeda beda. Kegiatan inventarisasi merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui sebaran diameter serta permudaan yang terdapat pada suatu kawasan yang erat kaitannya dengan parameter lainnya untuk memprediksikan potensi yang terdapat di dalam kawasan. dengan mengetahui sebaran diameter dan sebaran permudaan perusahaan dapat mendapatkan data profil hutan secara horizontal serta seberapa besar permudaan yang terdapat di suatu kawasan, hal ini dimaksudkan untuk menentukan strategi penebangan agar hutan lestari. Di Papua satu- satunya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang mendapat izin mengelola kawasan hutan mangrove yaitu PT Bintuni Utama Murni Wood (BUMWI). Ijin Pemanfaatan (HPH/IUPHHK) didasarkan atas SK HPH nomor 174/Kpts-IV/1988 tertanggal 21 Maret 1988, dengan addendum Nomor 94/Kpts-II/1995 tanggal 13 Februari 1995 berlaku selama 20 tahun, dengan 2
perpanjangan melalui Nomor : SK. 213/MENHUT-II/2007 tanggal 28 Mei 2007 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2052 (45 tahun) atas areal seluas 82.120 ha. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh IUPHHK-HA PT. BUMWI tidak sepenuhnya menggunakan sistem silvikultur hutan payau pada umumnya, perusahaan menggunakan sistem tebang rumpang. Hal ini disebabkan dalam proses pemanenan perusahaan tidak memilih pohon yang akan ditebang melainkan menebang habis dengan luasan antara 1 2 ha. Dalam melakukan kegiatan eksploitasi, perusahaan melakukan dengan cara manual. Perusahaan hanya menggunakan alat chainsaw untuk penebangan dan pembagian batang. 3
1.2. RUMUSAN MASALAH Pengelolaan hutan Mangrove di Papua yang dilakukan oleh IUPHHK-HA PT. BUMWI dan hampir semua unit lahan telah memasuki siklus tebangan kedua. Hal ini menyebabkan kondisi hutan bekas tebangan telah mengalami perubahan dari struktur dan komposisi tegakannya, baik pada hutan daratan maupun hutan mangrove. Dampak dari perubahan yang terjadi yaitu menurunnya jumlah unit pengelolaan maupun produksi. Kegiatan penebangan yang dilakukan oleh IUPHHK secara tidak langsung akan berakibat pada perubahan komposisi dan struktur hutan mangrove. Sejalan dengan perubahan tersebut akan mengakibatkan hutan menjadi bentuk semula atau berbeda dari keadaan yang semula sebelum dilakukan kegiatan penebangan. Perubahan komposisi dan struktur hutan dapat diduga dari kondisi permudaan dan komposisi permudaan di dalam lokasi bekas tebangan. Struktur dan komposisi tegakan pada suatu lokasi dapat mencerminkan aspek kelestarian pada suatu kawasan. Analisis vegetasi menjadi salah satu alat penentu untuk strategi tebangan yang mendasarkan kelestarian; oleh karena itu permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini yaitu bagaimana kondisi struktur dan komposisi hutan mangrove bekas tebangan pada beberapa lokasi di IUPHHK-HA PT. Bintuni Utama Murni Wood Industri (BUMWI) dan bagaimana kelestarian ekosistem mangrove pada areal bekas tebangan dan pada hutan primer. 4
1.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengaetahui kelimpahan jenis berdasarkan struktur dan komposisi mangrove pada kawasan hutan primer dan berbagai lokasi bekas tebangan (1 tahun, 10 tahun, 20 tahun). 2. Mengetahui sebaran permudaan, sebaran diameter, dan keanekaragaman jenis pada masing masing tegakan 1 tahun bekas penebangan, 10 tahun bekas tebangan, 20 tahun bekas tebangan dan hutan primer. 1.4. MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kelimpahan jenis pada beberapa lokasi penelitian, baik pada areal hutan primer maupun areal bekas tebangan. 2. Untuk mengetahui kelestarian ekosistem mangrove sebelum dan sesudah penebangan dilakukan. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak perusahaan untuk pengelolaan kawasan bekas tebangan. Serta sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan potensi kawasan khususnya kawasan mangrove setelah dilakukan penebangan. 5
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai struktur dan komposisi hutan mangrove bekas tebangan masih jarang dilakukan, khususnya untuk hutan mangrove di Papua. Penelitian yang hampir sama telah dilakukan tetapi ada perbedaan dari objek dan metode atau sebaliknya objek penelitian sama tetapi metode yang digunakan berbeda. Berikut merupakan beberapa penelitian terdahulu yang menjadi pembanding serta acuan bagi penelitian ini dapat dilihat dari Tabel 1.1. 6
Tabel 1.1. Penelitian yang berhubungan dengan permudaan, diameter dan keragaman jenis pada hutan mangrove bekas tebangan. No Nama, Tahun 1 Agusrinal, Nyoto Santoso, Lilik Budi Prasetyo, 2015 2 Fredericko Bayu Komponen Pembanding Judul Tujuan Hasil menganalisis, menguraikan struktur, dominasi vegetasi mangrove, zonasi, dan permudaan alami di Pulau Kaledupa TNW. Tingkat Degradasi Ekosistem Mangrove Di Pulau Kaledupa,Taman Nasional Wakatobi. Identifikasi Pola Sebaran Horizontal, mengidentifikasi struktur horizontal tegakan hutan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa pada strata pohon didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza, strata tiang didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata, dan pada strata sapihan dan semai didominasi oleh spesies Ceriops tagal. Zonasi mangrove di Pulau Kaledupa terdiri atas empat zona, yaitu Zona R. mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal, dan C.decandra. Tinggi penggenangan air laut merupakan faktor pengendali terjadinya zonasi mangrove di Pulau Kaledupa. Spesies C.tagal dan C.decandra memiliki tingkat permudaan alami baik, sedangkan spesies R.mucronata, R.apiculata, B.gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, Sonneratiaalba, dan Avicennia marina memiliki permudaansecara alami rendah. 90,91% sebaran diameter hutan alam mangrove di PT. BUMWI dapat 7
Khrisnayoga Saka, Ronggo Sadono, Djoko Soeprijadi, 2015 3 Abdullah Syarief Mukhtar, N.M. Heriyanto, 2012 4 Dian sulastini, 2011 Hutan Alam Mangrove Dengan Weibull Berparameter Tiga di PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat) Keadaan Suksesi Tumbuhan Pada Kawasan Bekas Tambang Batubara di Kalimantan Timur (Plant Succession at Ex Coal Mine Area in East Kalimantan) Struktur Dan Komposisi Hutan Mangrove Di Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo alam mangrove dengan menerapkan model sebaran Weibull berparameter-3. Mengetahui percepatan suksesi di hutan tanaman revegetasi masing-masing berumur enam tahun, 10 tahun, dan 12 tahun. mengetahui struktur populasi maupun komunitas dan komposisi jenis penyusun hutan mangrove di Teluk Pangpang, TN Alas Purwo. digambarkan secara luwes dengan Weibull berparameter tiga. Struktur horizontal pada areal bekas tebangan tahun 1990, 1994, 2007, 2008, dan 2013 memiliki pola sebaran yang paling menyerupai hutan primer. Proses suksesi alami secara ekologis hutan revegetasi bekas tambang akan mengalami suksesi dengan jenis pohon pionir di atas enam tahun. Dengan demikian semakin bertambah umur hutan tanaman revegetasi, semakin banyak jenis yang tumbuh secara alami. Nilai indeks keanekaragaman mangrove di Teluk Pangpang, TN Alas Purwo ini dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon Wiener dengan nilai berkisar antara 0,9718 (pada tingkat semai) hingga 1,6448 (pada tingkat pohon). Distribusi spasial yang didapatkan ada 2 pola, yaitu pola mengelompok dan seragam/teratur. Jenis-jenis yang memiliki jumlah individu yang relatif banyak memiliki pola penyebaran mengelompok (Bruguiera 8
9 gymnorrhiza, Bruguiera sexangula, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba), sedangkan jenis-jenis yang memiliki jumlah individu yang relatif sedikit memiliki pola penyebaran seragam/teratur (Aegiceras corniculatum, Avicennia lanata, Avicennia marina, Ceriops decandra, Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Lumnitzera rasemosa, Xylocarpus mollucensis), kecuali X. granatum yang memiliki jumlah sedikit tetapi memiliki pola mengelompok.