BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia telah diperkenalkan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014 dan ditargetkan pada 1 Januari 2019 seluruh penduduk Indonesia memiliki Jaminan Kesehatan Nasional. Program Jaminan Kesehatan Nasional adalah program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap masyarakat Indonesia agar dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Program ini merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada era JKN pelayanan kesehatan tidak lagi terpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun pelayanan kesehatan harus dilakukan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medisnya. Pelayanan kesehatan akan difokuskan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti di puskesmas, klinik pratama atau dokter praktik perseorangan yang akan menjadi gerbang utama peserta JKN dalam mengakses pelayanan kesehatan. Puskesmas merupakan FKTP milik pemerintah, unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota yang berada di wilayah kecamatan yang mempunyai peranan penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Untuk dapat melayani masyarakat dengan baik idealnya 1 (satu) Puskesmas melayani 30.000 penduduk. Penyelenggaraan puskesmas diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas/keterjangkauan, pemerataan, dan kualitas pelayanan dalam rangka 1
2 meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta menyukseskan program Jaminan Sosial Nasional. Dalam rangka mengefektifkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat maka distribusi lokasi pusat pelayanan kesehatan sebaiknya ditempatkan pada lokasi yang tepat dengan mempertimbangkan organisasi keruangan. Hal ini dimaksudkan agar lebih efisien dan merata penyebarannya dalam suatu wilayah sehingga memudahkan akses masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. Akses penduduk ke layanan kesehatan seperti puskesmas merupakan komponen penting dalam sistem kesehatan di suatu wilayah. Setiap penduduk seharusnya memiliki akses yang sama ke layanan kesehatan puskesmas. Menurut Bommier dan Stecklov (2002) akses ke layanan kesehatan merupakan salah satu hak yang mendasar dan oleh karena itu akses ke layanan kesehatan harus didistribusikan secara merata dalam suatu masyarakat yang ideal. Akses ke pelayanan kesehatan memiliki dua pengertian dasar, yaitu akses sebagai kata benda dan akses sebagai kata kerja. Sebagai kata benda mengacu pada penggunaan fasilitas kesehatan, dan kata kerja mengacu pada tindakan menggunakan atau menerima layanan kesehatan. Kedua pengertian akses tersebut memiliki makna tentang kemampuan memperoleh pelayanan, tindakan mencari dan memperoleh pelayanan kesehatan. Konsep ini menjadi lebih jelas jika kita berpikir tentang akses dalam hal tingkatan (stages) dan ukuran (dimensions). Tingkatan terbagi menjadi dua, yaitu potensial (potential) dan aktual (realized/actualized). Potensial menguraikan tentang pelayanan yang dapat
3 tersedia dan diberikan kepada masyarakat, sedangkan aktual menjelaskan tentang kenyataan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan ukuran terbagi menjadi dua, yaitu keruangan (spasial) dan non keruangan (aspasial) (Guagliardo, 2004). Penchansky dan Thomas (1981), menggambarkan konsep akses sebagai tingkat kecukupan antara pengguna dengan sistem kesehatan, dan mengidentifikasikan lima dimensi yang relevan dengan interaksi antara pengguna dengan pelayanan, yaitu : availability (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), acceptability (penerimaan), affordability (keterjangkauan), dan accomodation (akomodasi). Konsep acceptability, affordability, dan accomodation dalam faktor akses dikategorikan sebagai non keruangan (aspasial) yang mencerminkan pada pengelolaan pendapatan atau keuangan dan faktor budaya masyarakat, sedangkan faktor keruangan (spasial) terdiri dari konsep availability dan accessibility. Interaksi availability dan accessibility disebut sebagai spatial accessibility (aksesibilitas keruangan) suatu terminologi yang umum dalam kajian geografis dan ilmu sosial. Wang dan Luo (2005) meneliti faktor spasial dan non spasial dalam memeriksa aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan primer di Illinois. Akses spasial menekankan pentingnya hambatan geografis antara konsumen dan penyedia jasa, seperti lokasi, jarak antara keduanya, dan lama waktu yang ditempuh untuk memperoleh layanan tersebut. Berbeda dengan faktor spasial, faktor non spasial menekankan pada hambatan non geografis, seperti umur, jenis
4 kelamin, suku atau etnis, budaya, tingkat pendapatan, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan. Akses ke pelayanan kesehatan meliputi aspek geografis, ekonomi, kultural dan faktor politik. Dari aspek ini, akses geografis merupakan faktor yang paling signifikan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan (Kumar, 2004). Mengukur akses secara geografis (faktor keruangan) ke pelayanan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan wilayah dan jarak. Pengukuran akses atas dasar wilayah didasarkan bahwa setiap masyarakat di suatu wilayah membutuhkan pelayanan kesehatan, dengan demikian terdapat perbandingan (rasio) jumlah penduduk dengan jumlah fasilitas layanan kesehatan yang tersedia. Perbandingan ini berfungsi memberikan gambaran layanan kepada jumlah penduduk dari jumlah pusat layanan kesehatan yang tersedia. Pengukuran menggunakan perbandingan seperti ini telah banyak digunakan untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan aspek geografis dalam akses menuju layanan kesehatan (Widagdo, 2009). Sejalan dengan hal tersebut, Susi dan Mascarenhas (2002) mengungkapkan bahwa pengukuran akses dapat didasarkan dengan perbandingan suplai fasilitas kesehatan dengan kebutuhan potensial pelayanan kesehatan (jumlah penduduk di suatu wilayah). Dengan demikian, dapat dihasilkan rasio fasilitas kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan di suatu wilayah tertentu. Penelitian ini menitikberatkan akses pelayanan kesehatan pada faktor spasial (keruangan) yaitu mempertimbangkan tentang jarak jangkauan dan ketersediaan puskesmas. Jangkauan pelayanan puskesmas dilihat dari jarak antar
5 puskesmas dan jarak jangkauan maksimal puskesmas terhadap permukiman penduduk, sedangkan ketersediaan puskesmas dilihat dari kebutuhan suatu wilayah akan pelayanan kesehatan, dengan melihat perbandingan (rasio) antara jumlah penduduk dengan jumlah puskesmas yang tersedia. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kota Banjarmasin. Kota Banjarmasin merupakan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekaligus sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di Pulau Kalimantan. Fakta ini menjadikan Kota Banjarmasin sebagai pusat pelayanan bagi kota-kota dan provinsi-provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Sejak dahulu Banjarmasin memegang peranan strategis dalam lalu lintas perdagangan antar pulau, karena terletak dipertemuan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura, juga sebagai kota pusat pemerintahan, serta sebagai pintu gerbang nasional. Kota Banjarmasin merupakan kota penting di wilayah Kalimantan Selatan yang saat ini memiliki posisi yang sangat strategis secara geografis. Kondisi ini membawa berbagai pengaruh dalam persebaran penduduk, ketersediaan sarana prasarana, sosial, ekonomi dan perkembangan pembangunan. Jumlah penduduk tahun 2016 adalah 684.183 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 6.949 jiwa/km 2. Dari angka tersebut, penduduk Kota Banjarmasin merupakan yang terpadat dibandingkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan (BPS Kota Banjarmasin, 2016). Banyaknya penduduk sangat membutuhkan fasilitas kesehatan seperti puskesmas sebagai pelayanan pertama ketika membutuhkan pengobatan, karena puskesmas merupakan unit pelayanan
6 kesehatan yang letaknya berada paling dekat di tengah-tengah masyarakat dan terdapat di tiap-tiap kecamatan serta mudah dijangkau. Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan di puskesmas. Apoteker sebagai kepala ruang farmasi di puskesmas memiliki peran penting dalam menjamin mutu dan ketersediaan obat dengan mengutamakan patient safety. Tugas pokok Apoteker di puskesmas adalah menjamin terlaksananya pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik. Hal ini merupakan kompetensi Apoteker yang tidak dapat tergantikan dalam menjalankan praktek kefarmasian di puskesmas. Untuk bisa melaksanakan fungsinya secara optimal, jumlah Apoteker harus sesuai dengan standar kebutuhan puskesmas. Penelitian ini akan melihat rasio Apoteker di setiap kecamatan di Kota Banjarmasin yang hasilnya akan dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Data lokasi puskesmas yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin masih berbentuk manual, hanya disajikan dalam bentuk tabel, belum dipetakan secara konvensional ataupun digital serta belum adanya basis data yang menyajikan informasi mengenai lokasi puskesmas yang ada secara menyeluruh dengan mudah. Peta diharapkan dapat mempermudah kita untuk melihat sebaran puskesmas di setiap kecamatan di Kota Banjarmasin. Untuk mengetahui pola sebaran puskesmas di Kota Banjarmasin maka dilakukan penelitian berbasis Sistem Informasi Geografis yang bertujuan untuk melihat distribusi serta aksesibilitas masyarakat terhadap puskesmas serta bagaimana jangkauan pelayanan puskesmas. Dengan demikian, diharapkan hasil
7 penelitian ini dapat memberikan informasi yang mendukung dalam perencanaan program maupun pengambilan keputusan tentang kebijakan pembangunan di bidang kesehatan agar tercapai pemerataan fasilitas kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat Kota Banjarmasin. B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa perumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana gambaran distribusi puskesmas di Kota Banjarmasin berdasarkan pemetaan menggunakan software ArcGIS 10.2? 2. Bagaimana aksesibilitas masyarakat terhadap puskesmas jika ditinjau dari rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk serta jangkauan pelayanan puskesmas di Kota Banjarmasin menggunakan software ArcGIS 10.2? 3. Berapakah rasio Apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap kecamatan yang terdapat di Kota Banjarmasin? C. Keaslian Penelitian Penelitian Distribusi Spasial Puskesmas di Kota Banjarmasin belum pernah dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan seperti Tabel 1.
8 Judul/Peneliti Analisis distribusi apotek di Kota Yogyakarta dengan Sistem Informasi Geografis (Sukamdi, 2014) Analisis distribusi apotek di tiga kecamatan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan metode Spatial On Line Analytical Processing (SOLAP) (Adelina, 2013) Analisis persepsi pengguna dan pengembangan terhadap On Line Analytical Processing- Geographic Information System (OLAP- GIS) data Apoteker di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Ardiningtyas, 2010) Distribusi spasial puskesmas di Kota Banjarmasin Subyek penelitian Apotek-apotek yang terdapat di seluruh Kota Yogyakarta Sampel apotek yang berada di Kecamatan Depok, Prambanan, dan Moyudan Tabel 1. Keaslian Penelitian Lokasi Instrumen penelitian penelitian Input Kota Yogyakarta ArcGis 3.2 - Data alamat dan lokasi apotek - Kondisi geografis Kota Yogyakarta - Jumlah penduduk tiap kecamatan di Kota Yogyakarta Tiga kecamatan Spatial On Line - Jumlah apotek per kecamatan di di Kabupaten Analytical Kabupaten Sleman Sleman, Processing - Jumlah apotek tetangga terdekat Yogyakarta (SOLAP) - Sistem jaringan jalan menuju apotek - Jumlah dan distribusi penduduk Apoteker di DIY Kota Yogyakarta - On Line Analytical Processing- Geographic Information System (OLAP- GIS) - Kuesioner 26 puskesmas di Kota Banjarmasin Kota Banjarmasin ArcGis 10.2 di wilayah Kabupaten Sleman - Peta geografis - Data Apoteker di DIY - Data sarana kesehatan dimana Apoteker bekerja - Titik koordinat puskesmas - Peta administrasi wilayah - Peta jaringan jalan - Peta sungai - Jumlah penduduk Kota Banjarmasin Output - Distribusi apotek - Persentasi pencapaian rasio apotek per 100.000 penduduk - Distribusi apotek di tiap-tiap kecamatan - Persentasi pencapaian rasio apotek per 100.000 penduduk - Perhitungan aksesibilitas apotek dari apotek terdekat dengan buffer 500 m dan 1500 m - Sistem informasi data Apoteker yang dapat diakses secara online - Analisis persepsi pengguna terhadap OLAP-GIS - Distribusi spasial puskesmas - Rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk di Kota Banjarmasin - Jangkauan pelayanan puskesmas pada radius 300 m, 1000 m, dan 4000 m - Rasio Apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap kecamatan
9 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Pemerintah Daerah Kota Banjarmasin Sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan pembangunan dan pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada di Kota Banjarmasin. 2. Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin a. Sebagai sumber informasi yang memberikan gambaran distribusi puskesmas di Kota Banjarmasin. b. Sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan. 3. Peneliti Sebagai tambahan wawasan dan informasi khususnya dalam pemanfaatan aplikasi sistem informasi geografis. 4. Peneliti lain Menjadi bahan referensi bagi peneliti lainnya dalam melakukan penelitian mengenai distribusi spasial dan aspasial pelayanan kesehatan. E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran distribusi puskesmas di Kota Banjarmasin berdasarkan pemetaan menggunakan software Arc GIS 10.2. 2. Mengetahui gambaran aksesibilitas masyarakat terhadap puskesmas jika ditinjau dari rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk serta jangkauan pelayanan puskesmas di Kota Banjarmasin menggunakan software ArcGIS 10.2.
10 3. Mengetahui rasio Apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap kecamatan yang terdapat di Kota Banjarmasin.