BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 sampai 13 Juni di Rekam Medik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif terhadap semua variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. Di berbagai negara khususnya negara berkembang, peranan antibiotik dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

LARASITA RAKHMI UTARI K

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Keywords: lower respiratory infection, usage, antibiotics evaluation

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

* Dosen FK UNIMUS. 82

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

Analisis Efektivitas Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid Anak di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infeksi merupakan masalah terbanyak yang dihinggapi oleh negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

GE+ Disentri R/ Metronidazole 6 hari. R/ Metronidazole. R/ Metronidazole. 200 mg Q8H i.v. R/ Cotrimoxazole 2x 1 cth

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KETEPATAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA KASUS DIARE AKUT DI SERTAI INFEKSI BAKTERI PADA ANAK USIA 1-6 TAHUN PASIEN RAWAT INAP DI RSI KLATEN TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, demam,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gangguan produksi telur. Faktor-faktor pendukung / penyebab gangguan produksi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan rumah sakit. Penggunaan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. kuman Salmonella Typhi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid banyak ditemukan. mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakir, 2014).

POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL WAHAB SJAHRANIE

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK UNTUK PENYAKIT DIARE PADA PASIEN BALITA DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG TAHUN 2015 ARTIKEL.

DRUG RELATED PROBLEMS (DRP s) OF ANTIBIOTICS USE ON INPATIENTS CHILDREN IN SARI MEDIKA CLINIC AMBARAWA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. untuk meningkat setiap tahun (Moehario, 2001). tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina et al., 2004).

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil dan evaluasi penggunaan

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 sampai 13 Juni di Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. M. Dunda Limboto tahun 2012. Pada uraian bab sebelumnya telah dijelaskan penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif dan menggunakan teknik sampling porposive sampling, dimana yang menjadi populasi penelitian adalah 1030 pasien anak rawat inap yang menggunakan antibiotik tahun 2011 dan yang menjadi sampel adalah 51 pasien anak yang mengidap penyakit terbanyak tahun 2011. Dari penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan 51 sampel yang akan diamati untuk tiga parameter yang akan diteliti, yaitu kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan ketepatan indikasi, ketepatan obat dan ketepatan dosis. Alasan Pemilihan tiga kelompok penyakit yang tergolong dalam 51 sampel tersebut, berdasarkan penyakit terbanyak pasien anak tahun 2011 dan untuk mempermudah penulis dalam mendeskripsikan parameter-parameter yang akan diteliti berdasarkan kelompok penyakit yang dibatasi. Parameter-parameter tersebut akan disajikan dalam tabel-tabel sebagai berikut :

Tabel 2. Kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan ketepatan indikasi No. Antibiotik Jumlah Kriteria Indikasi Sesuai Tidak Sesuai Jumlah Persentase kesesuaian indikasi (%) Persentase ketidaksesuaian indikasi (%) 1. Vicillin 2 9 11 3,92 % 17,65 2. Ceftriaxone 1 22 23 1,96 % 43,14 3. Cefotaxime - 15 15-29,41 4. Gentamicin - 2 2-3.92 Jumlah 51 5,88 % 94,12 % (Sumber : Data sekunder yang diperoleh dari Rekam Medik RSUD Dr. M. M. Dunda) Tabel 3. Kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan ketepatan obat Kriteria Tepat No. Penyakit Terapi Antibiotik Obat Tidak Sesuai Sesuai Jumlah (Pasien) Persentase (%) 1. Gastroenteritis akut Vicillin 11-11 21,57 Ceftriaxone 6-6 11,76 2. Demam Typoid Ceftriaxone 17-17 33,33 3. Pneumonia Cefotaxime 15-15 29,41 Gentamicin 2-2 3,92

Jumlah 51 100% (Sumber : Data sekunder yang diperoleh dari Rekam Medik RSUD Dr. M. M. Dunda) Tabel 4. Kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan ketepatan dosis No. Terapi Antibiotik Kriteria Tepat Dosis Tidak Sesuai Sesuai Jumlah (Pasien) Persentase kesesuaian dosis (%) Persentase ketidak sesuaian dosis (%) 1. Vicillin 7 4 11 13,72 7,84 2. Ceftriaxone 9 14 23 17,65 27,45 3 Cefotaxime 8 7 15 15,69 13,73 Gentamicin 2-2 3,92 - Jumlah 51 50,98 % 49,02 (Sumber : Data sekunder yang diperoleh dari Rekam Medik RSUD Dr. M. M. Dunda) 4.2 Pembahasan 4.2.1 Ketepatan Indikasi Gejala dari penyakit gastroenteritis akut, pneumonia dan demam typoid dapat bermacam-macam pada setiap anak seperti yang lampiran. Pada umumnya gejala penyakit ini yaitu kombinasi dari diare, demam, mual/muntah, nyeri perut, cuping hidung, sesak nafas, panas, berat badan menurun, dan batuk. Berdasarkan

data rekam medik, terlihat gejala-gejala yang di alami pasien rawat inap anak 2011. Menurut Anonim (2007) penggunaan antibiotik pada pasien harus didasarkan pada diagnosa etiologi spesifik, karena jika penyebab infeksi diketahui maka akan lebih mudah dalam proses penanganannya. Namun, bila terapi antibiotik spesifik berdasarkan etiologi belum dapat dilakukan, pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan. Seperti pada penelitian sebelumnya pasien rawat jalan di Gadja Mada Medical Center untuk penyakit GEA, didapatkan sekitar 76,47% pemberian antibiotik yang tidak sesuai indikasi, sedangkan pada penelitian rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia pediatri rumah sakit pemerintah Yokyakarta untuk penyakit pneumonia didapatkan sekitar 64,56 % yang tidak sesuai indikasi, dan untuk penyakit demam typoid didapatkan 44,44 % yang tidak sesuai indikasi. Penyebab terbanyak ketidaksesuaian penggunaan antibiotik di atas adalah terapi tanpa indikasi, yaitu pemberian antibiotik tanpa adanya indikasi yang jelas berdasarkan pemeriksaan mikrobiologik. Sesuai dengan hasil penelitian pemberian antibiotik pada RSUD Dr. M.M Dunda yang tidak sesuai dengan indikasi sebanyak 94,12 % sedangkan yang sesuai (tepat indikasi) adalah sebanyak 5,88 %. Penyebab utama ketidaksesuaian penggunaan antibiotik ini juga yaitu terapi tanpa indikasi, yaitu pasien diberikan antibiotik padahal tidak ada indikasi yang jelas, berdasarkan literatur bahwa untuk memberikan antibiotik harus berdasrkan hasil pemeriksaan laboratorium, dan dapat juga dilihat dari tanda adanya darah, lendir pada feses. Namun, pada gejala

pasien yang ditemukan tidak adanya darah atau lendir pada feses sehingga peneliti pengelompokkannya pada penggunaan antibiotik yang tidak sesuai indikasi. Menurut Woodley dan Whelan (1995) pemberian antibiotik untuk gejala klinis penyakit-penyakit ini seharusnya diberikan atas indikasi yang jelas, secara ideal pemberiannya antibiotik harus didasarkan pada hasil pemeriksaan mikrobiologis. Dalam pelaksanaannya pemberian antibiotik tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat didasarkan pada educated guess (berdasarkan literatur ilmiah). Pemberian antibiotik pada pasien rawat inap anak di rumah sakit Dr. M.M dunda sebagian besar didasarkan pada terapi empiris yaitu berdasarkan pengalaman penanganan penyakit dengan melihat kondisi klinis pasien untuk mencegah penyebaran infeksi pada penyakit sehingga langsung diberikan antibiotik yang berspektrum luas. Sesuai dengan teori Mansjoer dkk (2000) ilmu kesehatan anak pemberian antibiotik pada anak tanpa pemeriksaan mikrobiologis disebabkan karena untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologis dibutuhkan waktu sedikit lama untuk mengetahui kultur penyebab infeksi sehingga paling banyak dilakukan terapi empiris berdasarkan gejala atau kondisi pasien untuk mencegah penyebaran infeksi penyakit. 4.2.2 Ketepatan obat Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketepatan antibiotik pada pasien anak tahun 2011 yaitu mencapai 100 % dimana antibiotik yang digunakan yaitu vicillin, ceftriaxone, gentamisin, dan cefotaxime untuk terapi penyakit gastroenteritis akut, demam typoid, dan pneumonia. Ketepatan obat yang dimaksud disini yaitu ketepatan pemberian terapi setelah diagnosis penyakit

ditegakkan, sehingga parameter ini dilakukan dengan melihat diagnosa akhir pasien pada data rekam medik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Ukrida (2004) menyatakan bahwa dari 1100 resep yang diteliti didapatkan sebesar 64,82% meresepkan antibiotik terutama golongan cephalosporin untuk terapi GEA. Hal ini kurang sesuai dengan hasil penelitian dimana ceftriaxone yang termasuk antibiotik golongan cefalosporin adalah yang kedua digunakan. Hasil penelitian FK Ukrida juga mendapatkan bahwa yang terbanyak kedua adalah penicillin, sedangkan pada penelitian penggunaan vicillin merupakan yang paling banyak untuk penyakit GEA. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan pola pemikiran dokter tentang penegakan terapi empiris khususnya penggunaan antibiotik berdasarkan gejala atau kondisi pasien. Dari penelitian yang dilakukan oleh Haczynski J di Polandia diperoleh hasil bahwa efektifitas (cefalosporin) dalam terapi terhadap infeksi Shigella sp mencapai 98%. Dan angka rekurensi serta relaps berkurang jika dibandingkan dengan yang mendapat terapi golongan penicillin. Namun karena mahalnya regimen ini, terapis cenderung jarang menggunakannya dan memilih mengganti dengan golongan cefalosporin yang lebih terjangkau. Menurut anonim (2007), Umumnya GEA disebabkan oleh bakteri Bakteri : Shigella sp, E.coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersiniaenterocolytica, Campylobacter jejuni, V.parahaemoliticus, V.NAG, Staphylococcus aureus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus. Sehingga terapi antibiotik yang digunakan berdasarkan terapi empiris, maka antibiotik yang

digunakan yaitu antibiotik vicillin dan ceftriaxone yang berspektrum luas untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yaitu Shigella sp, E.coli patogen, Proteus mirabilis, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. Dari penelitian didapatkan antibiotik yang terbanyak digunakan untuk penyakit ini pneumonia adalah cefotaxime, dan gentamicin. Pada penelitian yang dilakukan di RS Panti Rapih Yogyakarta (2007), disebutkan antibiotik yang digunakan untuk kasus pneumonia adalah golongan sefalosporin I, II dan III, yaitu sefadroksil, sefprozil, seftriakson, sefotaxime, sefiksim, seftazidim, golongan kuinolon, yaitu levofloksasin, ofloksasin, siprofloksasin, pefloksasin, gatifloksasin, golongan penicillin, yaitu ampisilin, amoksisilin, golongan aminoglikosida, yaitu gentamisin, dan golongan linkosamid, yaitu klindamisin. Golongan ini merupakan first line untuk pneumonia dengan penyebab yang belum jelas. Untuk pneumonia yang penyebabnya bakteri biasanya terapi diberikan dengan golongan beta laktam. Menurut Woodley dan Whelan (1995) untuk penyakit pneumonia yaitu penggunaan antibiotik pada kasus berat golongan cefalosporin (cefotaxime) digunakan sebagai pilihan terutama bila penyebabnya belum diketahui. Pemakaian gentamisin dikhususkan untuk pengobatan pneumonia yang disebabkan oleh kuman gram negatif, sesuai dengan teori penggunaan aminoglikosida (gentamicin) dibawah umur 3 bulan dapat mencakup kuman staphylococcus aureus. Menurut WHO pengobatan pneumonia (adanya nafas cepat tanpa penarikan dinding dada/chest indrawing) sebaiknya diterapi dengan menggunakan antibiotik oral

dengan pneumonia yang ringan. Untuk pneumonia yang berat (didapatkan chest indrawing) merekomendasikan bahwa antibiotik secara intravena diberikan pada anak-anak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak menerima antibiotik oral. Untuk tepat obat pada kasus pada penyakit demam typoid obat pilhan pertama yaitu kloramfenikol, Berdasarkan referensi dan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan penyebab utama infeksi pada demam typhoid adalah Salmonella tyhpi. Namun telah banyak juga penelitian yang menemukan adanya strain-strain S. typhi yang telah resisten pada beberapa antibiotik terutama pada chloramphenicole. Pada penelitian yang dilakukan oleh Musnelina (2002) mengenai pola pemberian antibiotik pada pengobatan demam typhoid di dapatkan bahwa antibiotik terbanyak yang digunakan adalah chlocamphenicole yaitu sebesar 53,55%. Penelitian ini juga membandingkan efektivitas chloramphenicole dengan ceftriaxone dalam pengobatan demam typhoid dan hasilnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua antibiotik tersebut. Sekitar 95,8% pasien yang mendapat terapi chloramphenicole sembuh sempurna. Penelitian lain yang dilakukan di Miami oleh Tamer juga membuktikan sekitar 85,1% terapi menggunakan chloramphenicole dan ceftriaxone. Dari penelitian ini juga didapatkan efektivitas chloramphenicole sebesar 93,7%, dimana sisa 6,2% pasien yang diterapi mengalami kekambuhan. Namun secara keseluruhan dari penelitian tampak antibiotik yang digunakan yaitu golongan sefalosporin yakni ceftriaxone, menurut teori antibiotik ini merupakan antibiotik pilihan terakhir untuk infeksi demam typoid yang berat

yang tidak dapat diobati dengan antibiotik yang lain, sesuai dengan spektrum anti mikrobakterinya yang luas. Meskipun penggunaan antibiotik telah sesuai dengan etiologi penyakit secara empiris, namun menurut WHO (2001) salah satu faktor pemilihan dan penggunaan antibiotik adalah telah dilakukannya kultur terlebih dahulu. Sedangkan dari penelitian diketahui pemberian antibiotik tanpa melakukan kultur terlebih dahulu. 4.2.3 Ketepatan dosis Menurut anonim (2007), kesesuaian dosis adalah kesesuaian pemberian dosis obat sesuai dengan standar WHO (2003) dan menurut ketetapan dari FDA (Food and Drug Administration) 2004. Neonatus bayi dan anak memerlukan pertimbangan khusus dalam perhitungan dosis obat karena perbedaan usia secara fisiologis akan merubah farmakokinetika banyak obat. Menurut anonim (2008), ketetapan dosis penggunaan antibiotik vicillin untuk bayi dan anak 100-200 mg/kg, ketetapan dosis penggunaan antibiotik ceftriaxone pada bayi 14 hari 20-50 mg/kg tidak boleh lebih, untuk bayi 15 hari 12 tahun sehari 20-80 mg/kg secara i.v atau i.m. Ketetapan dosis antibiotik gentamisin pada bayi dan anak < 5 tahun : 2.5 mg/kg BB setiap 8 jam secara i.v. atau i.m. Anak > 5 tahun : Anak 4 8 mg/hari secara i.v atau i.m. Ketetapan antibiotik cefotaxime pada bayi & anak > 1 bulan 100-200 mg/kg.bb, untuk bayi 8-30 hari 150 mg/kg.bb, dan bayi 0-7 hari 100 mg/kb.bb. Seperti pada penelitian sebelumnya pada anonim (2007) ketepatan dosis untuk penyakit GEA yaitu sebesar 100%, kesesuaian dosis antibiotik untuk

penyakit pneumonia yang tidak tepat dosis 65,38% dan yang tepat dosis 34,62%, sedangkan kesesuaian dosis untuk penyakit demam typoid didapatkan yang tidak tepat dosis sebesar 81,48% dan yang tepat dosis sebesar 18,52%. Dari hasil perbandingan dosis terapi antibiotik per berat badan atau umur berdasarkan anonim (2008) maka hasil penelitian didapatkan yaitu antibiotik yang tepat dosis mencapai 50,98 % dan yang tidak tepat dosis 49,02 %, ketidatepatan dosis diklasifikasikan menjadi dua yaitu dosis berlebih dan dosis kurang. Jika selama terapi ada terapi salah satu antibiotik yang dosis penggunaannya tidak tepat maka terapi antibiotik diasumsikan tidak tepat dosis. Ketidaksesuaian dosis terapi mungkin disebabkan karena pembulatan dosis baik melebihi maupun dibawah dosis seharusnya. Hal lain yang juga dapat menyebabkan ketidaksesuaian dosis berdasarkan berat badan adalah adanya pengelompokkan dosis berdasarkan kelompok umur tertentu. Ataupun dapat disebabkan karena perbedaan referensi yang digunakan antara peneliti dengan praktisi medis di lapangan.