BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. keperibadiannya. Orang tua dan anak yang memiliki hubungan positif dan adaptif

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Makna hidup (the meaning of life) adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

RESILIENSI REMAJA KORBAN PERCERAIAN ORANGTUA ARTIKEL E-JOURNAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

RESILIENSI REMAJA KORBAN PERCERAIAN ORANGTUA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

( ) Perguruan Tinggi lulus / tidak lulus, semester

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

diambil kesimpulan sebagai berikut: rendah sebesar 20%.

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB l PENDAHULUAN. berikut : pernikahan adalah ikatan lahir batin antara suami istri denga tujuan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam setiap proses kehidupan, manusia mengalami beberapa tahap

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

"#% tahun untuk membuka diri dan melakukan pemulihan bagi kesehatannya, subjek AA sudah 5 tahun hidup sebagai ODHA dan masih berusaha untuk memaafkan

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

SUSI RACHMAWATI F

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Pentingnya kehidupan keluarga yang sehat atau harmonis bagi remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

perkawinan yang buruk dimana apabila antara suami istri tidak mampu lagi mencari jalan penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. yang damai, tentram, bahagia, penuh kasih sayang antara suami dan istri.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

PUTUSAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

Bab I Pendahuluan. adalah memiliki keturunan. Namun tidak semua pasangan suami istri dengan mudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Remaja merupakan fase yang penting bagi individu untuk pembentukan keperibadiannya. Orang tua dan anak yang memiliki hubungan positif dan adaptif akan membantu anak dalam pencapaian tugas perkembangan yang optimal. Sebaliknya hubungan yang tidak harmonis antara anak dengan orang tua dapat berpengaruh negatif bagi kehidupan remaja. Salah satu bentuk hubungan yang negatif dapat berasal dari perceraian yang terjadi dalam sebuah keluarga (Hurlock, 1999). Badrus (2003) mengemukakan bahwa perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan, menyempurnakan cinta antar suami isteri. Farida (2007) mengemukakan perceraian adalah terputusnya sebuah keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian maka berhenti melaksanakan kewajiban ataupun perannya sebagai suami isteri. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999). Berdasarkan catatan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Sekar Sari Provinsi DIY, kasus perceraian di Bantul terjadi di atas 1.000 kasus tiap tahunnya. Ketua Umum LK3 Sekar Sari Propinsi DIY, H Muhammad Ikbal SH mengatakan, ada beberapa penyebab faktor perceraian, diantaranya karena 1

2 adanya pihak ketiga dan ekonomi keluarga (KPH, 2016). Tabel 1. Data perceraian di Kabupaten Bantul dari tahun 2013 s/d 2016 Jenis Perkara No Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah 1 2013 425 perkara 915 perkara 1,340 perkara 2 2014 420 perkara 976 perkara 1,396 perkara 3 2015 379 perkara 984 perkara 1,363 perkara 4 2016 430 perkara 941 perkara 1,371 perkara 5 2017 398 996 1440 Sumber: Pengadilan Agama Bantul Tabel di atas menunjukkan tingginya angka perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Bantul. Jika dilihat dari kasus cerai telak maupun dari kasus cerai gugat, jumlah kasus perceraian di Kabupaten Bantul terjadi di atas 1.000 kasus tiap tahunnya dan kian memprihatinkan. Hal itu terlihat dari tingginya angka perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Bantul sepanjang tahun 2013 hingga tahun 2017. Ariyanti (2015) menuliskan hakim sekaligus Humas Pengadilan Agama Bantul, Yuniati Faizah, mengungkapkan tingginya angka cerai gugat sudah terjadi semenjak beberapa tahun lalu. Jika dilihat dari jumlah kasus perceraian di Kabupaten Bantul, dari tahun 2014 ke 2015 angka perceraian sempat mengalami penurunan dengan jumlah kasus perceraian pada tahun 2014 mencapai angka 1.396 perkara, sedangkan pada tahun 2015 angka perceraian lebih kecil yaitu 1.363 perkara. Tahun 2016 angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Bantul kembali meningkat, yaitu mencapai angka 1.371 perkara. Hal ini menunjukkan tingkat perceraian di Wilayah Kabupaten Bantul mengalami penaikan sebesar 2,5% dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2017 angka perceraian mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 1440 perkara, yang berarti

3 kembali mengalami penaikan sebesar 3,6% dari tahun 2016. (Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Agama Bantul) Menurut Dagun (2002), perceraian akan berdampak mendalam bagi setiap anggota keluarga. Kejadian ini akan menimbulkan dampak fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga. Salah satu individu yang terkena dampak perceraian yaitu anak dalam keluarga terutama bagi remaja yang sedang mengalami masa pubertas. Maka dari itu, semakin banyaknya kasus perceraian yang ada, secara tidak langsung akan menyebabkan semakin banyak pula anak-anak maupun remaja yang terkena dampak atas perceraian orang tuanya. Perihal dampak perceraian terhadap anak-anak dari hasil-hasil penelitian sebelumnya ada yang buruk dan ada remaja yang merespon dengan baik. Dampak buruk dari perceraian terhadap anak-anak menurut Gardner (1977), yaitu anak merasakan kepedihan yang luar biasa dan sangat mendalam. Tidak jarang, anak malah menyalahkan dirinya sendiri serta menganggap bahwa merekalah penyebab perceraian kedua orang tua mereka sebagai anaknya. Anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka karena orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Hal itu menimbulkan kepedihan yang dapat dirasakan anak seperti terluka, bingung, marah dan tidak aman karena percerai merupakan peristiwa traumatis yang sangat berdampak besar sehingga anak merasa sangat kehilangan orang tua dari kehidupan yang dijalaninya. Selain itu, anak akan merasa tidak nyaman di rumah dan sebagai kompensasi, anak akan mencari tempat yang nyaman yang sekiranya dapat menerimanya dan membuat nyaman (Colle, 2004).

4 Anak-anak seringkali terjebak dalam kesulitan orang tua seperti pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga hingga berujung pada perceraian. Anak tidak memiliki siapapun untuk menolong dan mendukung mereka sehingga merasa tak seorang pun memahami tekanan yang mereka rasakan akibat perceraian orang tua. Di sisi lain anak sangat memerlukan dukungan dan kasih sayang dari orang tua serta lebih tergantung pada orang tua dalam hal perasaan aman dan bahagia (Hurllock, 1999). Perasaan-perasaan itu oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku kasar dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi, dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orang tuanya akan bersatu lagi (Wordpress, 2013). Menurut Colle (2004), anak-anak yang orang tuanya bercerai akan mengalami trauma emosional, mereka merasa malu dan terluka karena merasa berbeda dari anak-anak lain. Situasi tersebut membuat anak mempunyai keluhan mengenai faktor ketidakpastian yang berhubungan dengan pengasuhan serta keselamatan sehingga dapat merusak pribadi anak, kecuali apabila mereka tinggal dalam lingkungan yang sebagian besar dari teman bermainnya juga berasal dari keluarga bercerai. Hal tersebut tentunya akan sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan pribadi anak atau perkembangan psikologis anak. Kondisi kebutuhan psikologis pada anak yang orang tuanya bercerai, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Resyanto (1998), menunjukkan bahwa kebutuhan psikologis anak yang orang tuanya bercerai

5 adalah adanya rasa aman, kasih sayang, serta kebutuhan percaya diri. Rasa aman dibutuhkan pada saat berhubungan dengan teman lawan jenis, menghadapi masa depan, dan bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya. Anak punya rasa takut disebabkan kekhawatiran bahwa orang lain akan memandang rendah terhadap diri dan keluarganya. Hal ini mengakibatkan seorang anak merasa sakit hati terhadap keputusan yang diambil oleh orang tuanya untuk bercerai. Selain dampak negatif yang muncul dari perceraian orang tua terhadap anak, sebagian anak justru mampu untuk merespon perceraian orang tuanya secara sehat dan positif. Bagi anak yang merespon secara positif, perceraian atau perpisahan orang tuanya bukanlah satu hal yang dapat menghambat cita-cita ataupun keberhasilan dalam hidupnya. Hal ini justru akan dijadikan sebagai penyemangat atau motivasi dalam mencapai kesuksesan (Asriandari, 2015). Hasil wawancara peneliti dengan beberapa remaja yang orang tuanya bercerai menemukan bahwa perceraian yang terjadi diantara orang tua mereka bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilalui. Seperti pada subjek Ecak (nama samaran), perceraian yang terjadi antara orang tua Ecak, membuat Ecak menjadi pribadi yang berbeda, mulai dari merokok, sering keluar malam hingga sempat mengalami penurunan prestasi belajar dan perubahan sikap ke arah yang negatif lainnya. Perceraian orang tuanya tentu bukan hal yang mudah, pelampiasan demi pelampiasan sudah dilakukan hingga Ecak menyadari bahwa hal tersebut tidak berguna dan tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Salah satu cara yang dilakukan Ecak, yaitu berusaha menganalisis penyebab masalah yang ada dalam kehidupannya dan mencoba bangkit dari permasalahan tersebut yang

6 dilampiaskan dalam bermusik, Ecak juga berusaha meregulasi emosinya dan memiliki sikap optimisme yang kuat. Contoh lain remaja yang merespon perceraian orang tua dengan pandangan positif dapat dilihat pada kejadian Azka, anak korban perceraian dari pasangan Dedi Corbuzier dan Calina. Azkacorbuzier (2015), mengunggah sebuah video komik yang dibuat dan diunggah sendiri oleh Azka di akun pribadi youtube miliknya Azka Corbuzier dengan judul Story of a Broken Home Kid menjelaskan bagaimana perceraian tidak selalu berdampak buruk bagi anak. Video itu bercerita mengenai orang tua Azka yang memutuskan untuk bercerai karena seringnya berbeda pendapat, namun hal itu justru membawa dampak baik bagi Azka dan kedua orang tuanya. Pada video tersebut Azka mengungkapkan bahwa setelah bercerai kedua orang tuanya menjadi tidak pernah bertengkar dan mereka tetap dapat pergi bersama seperti keluarga yang normal. Kejadian ini menunjukan bahwa individu diharapkan dapat memahami bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. Individu dapat mengambil makna dari kesalahan dan menggunakan pengetahuan untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi. Hakikatnya setiap anak memiliki kemampuan untuk bangkit dan pulih dari kondisi tersebut disaat anak mampu untuk resilien (Asriandari, 2015). Contoh lain dapat dilihat dari hasil penelitian yang diteliti oleh Asriandari (2015), yang berjudul Resiliensi Remaja Korban Perceraian Orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima subjek yang diteliti mampu menganalisi masalah yang terjadi pada dirinya dan memiliki efikasi diri serta reaching out yang baik.

7 Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian orang tua yang dialami oleh remaja bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilalui. Ada remaja yang merespon perceraian orang tuanya tersebut dengan cara yang negatif seperti menjadi nakal, sering berkelahi, atau berbagai hal negatif lainnya. Ada pula remaja yang merespon masalah perceraian orang tuanya dengan cara positif yang secara tidak langsung mendorong anak untuk menjadi berprestasi, atau menyalurkan emosi kepada hobi yang positif. Oleh karena itu anak yang menjadi korban perceraian membutuhkan jiwa dan semangat yang kuat dalam menjalani kehidupannya. Setiap remaja memiliki cara tersendiri dalam merespon masalah yang terjadi pada dirinya. Ada remaja yang mampu merespon masalahnya secara positif namun tak jarang remaja yang merespon masalahnya dengan cara yang negatif. Hal ini karena respon dari remaja dipengaruhi oleh kemampuan resilience yang dimilikinya. Resiliensi adalah kemampuan insani yang dimiliki seseorang, kelompok, maupun masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi dampak-dampak dari suatu masalah (Desmita, 2006). Pengertian lain resilience dikemukakan oleh Reivich dan Schatte (dalam Desmita, 2006) yang menyatakan bahwa resilience adalah kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi serba salah. Hal ini berarti individu yang resilien akan mampu menyesuaikan diri saat berada dalam situasi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya, anak akan mampu beradaptasi terhadap kondisi yang sedang terjadi dan mampu bertahan dalam kondisi yang kurang menyenangkan.

8 Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan bahwa individu yang resilien mengerti bahwa halangan dan rintangan bukanlah akhir dari segalanya. Berdasarkan hal itu penting bagi seorang individu yang menjadi korban perceraian untuk memiliki resiliensi dalam dirinya agar dapat melanjutkan kehidupan. Remaja dengan resiliensi yang tinggi adalah individu yang optimis, percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik, mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Remaja dengan resiliensi yang rendah akan mengalami stress yang cukup besar ketika orang tua bercerai, sehingga akan menghadapi risiko masalah perilaku. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukannya sikap yang baku dari remaja korban perceraian orang tua. Hal itu karena setiap remaja memiliki cara sendiri dalam menanggapi masalahnya serta pengaruh dari faktor pendukung resiliensi. Brankin dan Khanlou (dalam Karina, 2014) menyebutkan, terdapat dua faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu faktor protektif dan faktor resiko. Faktor protektif merupakan faktor yang bersifat menunda, bahkan mampu meminimalisir hasil akhir dari kejadian yang negatif. Faktor protektif dibagi menjadi dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal individu. Faktor resiko adalah faktor-faktor yang secara langsung mampu memperbesar potensi resiko bagi individu dan meningkatkan kemungkinan perilaku negatif. Faktor resiko dibagi menjadi tiga kelompok yaitu berasal dari individu, keluarga, dan lingkungan.

9 Tingkat kesuksesan individu dalam mengatasi dan bertahan dalam situasi mereka tergantung pada pola-pola faktor resiko dan faktor protektif di lingkungan sosial individu, serta pada kekuatan dan kemampuan internal individu. Kerentanan meningkat ketika seorang individu menghadapi berbagai resiko dalam kehidupannya. Faktor protektif lebih penting dibandingkan dengan faktor resiko (Knight dalam Geldard, 2012) dan resiliensi akan meningkat ketika individu memiliki lebih banyak faktor protektif dibandingkan faktor resiko. Penelitian terdahulu mengenai resiliensi yang diteliti oleh Swastika (2013), dengan judul Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Broken Home, menemukan bahwa subjek yang diteliti memiliki resiliensi yang positif karena subjek mampu meregulasi emosi, menahan implus negatif yang muncul, memiliki cita-cita serta optimis untuk bangkit dari masalahnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri subjek dan juga faktor luar subjek yang menyebabkan subjek dapat menjadi pribadi yang resilien. Subjek juga memiliki keyakinan dan harapan yang baik bagi kehidupannya dimasa yang akan datang. Resiliensi dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari perceraian orang tuanya dan menjadi kekuatan penyesuaian dalam menghadapi masalah yang lebih besar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain yang sudah ada dan telah peneliti baca dengan kasus yang sama, yaitu resiliensi remaja dengan orang tua bercerai adalah penelitian ini akan mengidentifikasi dan mendeskripsikan dinamika resiliensi. Selanjutnya, peneliti ingin mencari tahu faktor apa saja yang mendukung remaja tersebut untuk dapat resilien dalam kehidupannya yang memiliki orang tua yang bercerai,

10 sehingga dapat mengetahui faktor protektif dan faktor resiko apa saja yang dialami oleh partisipan dalam menjalani kehidupannya. Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai resiliensi pada remaja yang memiliki orang tua bercerai. Rumusan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut bagaimana dinamika resiliensi yang terbentuk pada diri remaja yang orang tuanya bercerai, dan apa saja yang menjadi faktor protektif dan faktor resiko untuk dapat resilien dalam kehidupannya? B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebagaimana penelitian pada umumnya, penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat. Berdasarkan atas permasalahan yang peneliti angkat, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan tentang dinamika resiliensi yang terbentuk pada diri remaja yang orang tuanya bercerai, dan untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor resiko faktor protektif untuk dapat resilien dalam kehidupan remaja yang memiliki orang tua bercerai. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1. Manfaat secara Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran terkait remaja yang memiliki orang tua bercerai bagi pengembangan teori resiliensi, khususnya di bidang psikologi perkembangan, psikologi klinis dan psikologi sosial.

11 2. Manfaat secara Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan yang positif bagi para pembaca, masyarakat umum, para orang tua, dan khusunya bagi remaja yang memiliki orang tua bercerai agar tetap bisa merespon masalah perceraian orang tuanya dengan cara yang positif. Serta semua lembaga yang mendedikasikan diri membantu keluarga yang akan bercerai untuk dapat bersatu kembali, agar mengetahui bahwa angka perceraian semakin tinggi dan tidak sedikit anak yang terkena dampak negatif dari perceraian tersebut.