BAB III HAK KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT HUKLUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB V PENUTUP. A. Simpulan Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PEWARISAN ANAK DI LUAR NIKAH. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta warisan atau harta

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN. Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. - Putusan perkara perdata Nomor : 216/Pdt.G/1996?PA.YK. Pengadilan Agama Yogyakarta adalah:

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

BAB VI ANALISIS DATA. PELAKSANAAN EKSEKUSI HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERDATA NO 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB ANAK LUAR NIKAH

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

Retna Gumanti 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUUVII/2010, anak tidak sah, hubungan keperdataan.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. dan memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga

Tanya Jawab Edisi 3: Warisan Anak Perempuan: Syari'at "Satu Banding Satu"?

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB I PENDAHULUAN. harta yang banyak dan sebagian lagi ada yang sebaliknya. Setelah tiba. peristiwa hukum yang lazim disebut dengan kematian.

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

BAB I PENDAHULUAN. Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

Nomor : 03/Pdt.P/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RESUME. HAK ISTRI BERBEDA AGAMA ATAS WASIAT WAJIBAH HARTA WARISAN SUAMINYA BERAGAMA ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010)

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV A. ANALIS HUKUM ISLAM TENTANG STATUS HAK WARIS. elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan

PUTUSAN. Nomor : 0397/Pdt.G/2013/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

Transkripsi:

46 BAB III HAK KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT HUKLUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA A. Kasus Posisi Pada kasus hak kewarisan anak dalam kandungan banyak orang tidak mengetahui bahwa anak yang sedang dalam kandungan memiliki hak waris. Menjadi seorang ibu adalah dambaan setiap wanita. Demikian pula bagi Feby, yang sudah demikian lama menanti hadirnya sang buah hati. Setelah menikah selama 4 tahun dengan suaminya, yaitu Didik betapa bahagianya ketika mengetahui tentang kehamilannya tersebut. Sebagai seorang muslim yang taat, mereka tak lupa melakukan sujud syukur atas kehamilan feby tersebut. suaminya dengan penuh suka cita menyambut kehamilan istrinya dengan menyediakan seluruh keperluan kehamilan, dari susu khusus untuk ibu hamil, sampai dengan menemaninya periksa kandungan secara rutin dan melakukan senam hamil di rumah sakit yang telah mereka tetapkan. Berikut identitas pasangan suami isteri tersebut : 1. Identitas Istri a. Nama : Feby Umur : 26 Tahun Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan Agama Alamat : Ibu Rumah Tangga : Islam : Desa LabanJaya Pojok Laban RT 01/01 Kecamatan Pedes Karawang 2. Identitas Suami b. Nama : Didik Umur : 28 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

47 Pekerjaan Agama Alamat : Polisi : Islam : Jalan Kolonel Kertamasuri Cisarua Cimahi 3. Kronologi a. Pada tahun 2017 suami dari feby mengalami kecelakaan saat menuju pulang ke karawang, saat di bawa ke rumah sakit Didik telah meninggal dunia. Didik meninggalkan istri yang sedang dalam kandungan yang berusia 6bulan dan harta warisan yang banyak. Karena feby di anggap tidak mempunyai anak oleh adik dari didik/suaminya maka pihak dari keluarga suami ingin mengambil alih harta dari feby. b. Di beberapa daerah masih banyak yang belum mengetahui bahwa anak yang masih dalam kandungan memiliki hak-haknya menurut hukum perdata maupun hukum islam. Begitu menyedihkan jika seorang ibu yang baru saja di tinggaloleh suaminya lalu harus berurusan dari pihak keluarga suaminya sendiri yang notabenya anak yang di kandung oleh seorang ibu adalah anak dari suami tersebut,jelas anak itu punya hak atas harta waris dan harus diperjuangkan sampai kelahirannya. B. Kedudukan Hak waris anak sah menurut Hukum Islam Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang

48 lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga. Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapasiapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Pembagian itu lazim disebut faraidh, artinya menurut syara ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya. Salah satu dampak tersebut adalah pembagian harta peninggalan orang yang meninggal di kalangan keluarga atau sering disebut dengan pembagian harta warisan. Dalam konteks hukum Islam, pembagian harta warisan merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dalam keilmuan dibahas secara khusus dalam fiqh mawaris. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antar anggota keluarga terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah mati. Ruang lingkup kajian hukum Islam terkait dengan waris sangat luas. Di antaranya meliputi orang-orang yang berhak menerima waris, bagian-bagian atau jumlah besaran waris, dan masih banyak lagi seperti tentang penambahan atau pengurangan bagian waris. Orang yang berhak menerima waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni dzul faraidh, dzul qarabat, mawali. Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang

49 berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan.masalah waris di kalangan umat islam di Indonesia secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa pengadilan berwenang memeriksa,memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: 1. Perkawinan 2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam. 3. Wakaf dan sedekah. C. Kedudukan Hak waris anak sah menurut Hukum Perdata warisan dalam KUH Perdata pada prinsipnya adalah anak dalam kandungan yang memiliki legalitas sebagai anak yang sah. Legalitas tersebut meliputi legalitasyang melekat secara otomatis akibat adanya perkawinan yang sah maupunlegalitas karena adanya proses pengakuan maupun pengesahan.untuk mempermudah dan memusatkan analisa ini, maka proses analisa juga akan disandarkan pada kewarisan anak dalam kandungan berdasarkanstatus anak sebagai berikut: Batasan anak dalam kandungan yang sah secara otomatis menurutkuh Perdata adalah anak yang ditumbuhkan dalam perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan pada Pasal 250 KUH Perdata yang berbunyi: Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dalam ketentuan pasal tersebut secara tidak langsung terkandung esensi keabsahan anak dengan adanya kalimat memperoleh si suami sebagai bapaknya. Hal ini dalam konteks hukum Islam sekilas dapat diterima. Namun jika didasarkan pada penjelasan mengenai batasan perkawinan yang dianggap sah dalam KUH Perdata, maka hal itu akan memunculkan perbedaan yang berujung pada permasalahan. Perkawinan yang dianggap sah dalam KUH Perdata terkait

50 dengan keabsahan anak dalam kandungan adalah perkawinan dari berbagai bentuk perkawinan. Berbagai bentuk perkawinan dalam KUH Perdata dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum perkawinan diindonesia Hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi HukumIslam (KHI). Perkawinan yang didasarkan ketentuan yang termaktubdalam dua hukum perundang-undangan tersebut dapat dianggap sebagai perkawinan yang sah. 2. Perkawinan berdasarkan pada legalitas hukum pelaksanaannya Maksudnya adalah perkawinan warga negara Indonesia yangdilaksanakan tidak di Indonesia melainkan di negara lain dengan berdasarpada ketentuan hukum perundangundangan negara tersebut. Dalam hal ini. KUH Perdata menyatakan tetap dianggap sebagai perkawinan yang sah.meskipun terdapat perbedaan dalam konteks hukum perkawinan yang dapat menimbulkan pertentangan, perkawinan tersebut tetap dianggap sah oleh KUH Perdata. Secara administrasi, perkawinan itu tidak perlu diulang kembali di Indonesia dan hanya cukup mendaftarkannya di catatan sipil. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 83 KUH Perdata berikut ini: Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesamawarga negara Indonesia, maupun antara warga negara Indonesiadengan warga negara lain, adalah sah apabila perkawinan itudilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempatberlangsungnya perkawinan itu, dan suami isteri yang warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian 1 Bab ini Klasifikasi perkawinan yang sah di atas, meskipun ada ketentuan mengenai perkawinan warga negara Indonesia yang muslim dalam KHI,keberadaannya seakan-akan akan pudar manakala dipertemukan dengan ketentuan dalam Pasal 83 di atas. Adanya ketentuan tersebut Pasal 83 akan memberikan kesempatan adanya perkawinan-

51 perkawinan yang kurang sesuai dengan ketentuan dalam hukum Islam yang mungkin dilaksanakan oleh umatislam. Beberapa contoh seperti perkawinan antara umat Islam dengan nonislam atau perkawinan poligami tanpa perizinan dari istri terdahulu.dalam hukum Islam perkawinan antara umat Islam dengan non Islam,meskipun dianggap sah oleh hukum perundangundangan Indonesia, tetap saja dianggap sebagai perkawinan yang tidak sah. Implikasinya, anak dalam kandungan dari hasil perkawinan tersebut tidak dapat mewarisi harta dari orang tuanya yang beragama Islam. Bagi yang tidak beragama Islam tidak adanya hak untuk mewarisi disandarkan pada salah satu sebab penghalang adanya kewarisan adalah adanya perbedaan agama.hal ini ditegaskan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW berikut: Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim (H.R. Bukhari). Selain karena adanya faktor agama yang dapat menyebabkan terhalangnya ahli waris menerima warisan. Terdapat faktor yang yang lebihvital dalam hal keabsahan anak dalam kandungan pada perkawinan antaragama (Islam dengan non Islam). Faktor tersebut tidak lain adalah hilangnya legalitas anak dalam kandungan akibat dari tidak sahnya akad dari pernikahan.hal ini disandarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini: Menceritakan kepada kami Musaddad, menceritakan kepada kamiyahya dari Syu bah dari Muhammad bin Ziyad bahwasanya telahmendengar Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: Anak itu dinasabkan pada orang yang seranjang tidur (HR. Bukhari). tentang kewarisan anak dalam kandungan. Menurut KUH Perdata, pengertian anak dalam kandungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 adalah: Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah ada.

52 Pengertian tersebut akan memberikan gambaran bahwa seorang anak dalam kandungan telah dapat menerima warisan karena telah dianggap hidup. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 836 yang menyebutkan: Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang. Dari kedua pasal di atas dapat diketahui bahwa seorang anak dalam kandungan pada satu sisi dapat mendapatkan warisan karena sudah dianggap hidup. Namun di sisi lain, apabila kemudian bayi tersebut mati sewaktu dilahirkan atau sebelum dilahirkan, maka secara otomatis tidak akan mendapatkan warisan. Selain ketentuan mengenai hakekat kehidupan anak dalam kandungan, dalam KUH Perdata juga diatur mengenai legalitas anak dalam kandungan yang dapat menerima warisan. Pada dasarnya, kewarisan bagi anak didasarkan pada keabsahan anak dalam suatu keluarga. Sebab KUH Perdata tidak memperbolehkan kewarisan bagi anak dalam kandungan akibat dari perzinahan. Meski tidak disebut secara langsung dalam bentuk tekstual, namun hal itu dapat terlihat dari keberadaan Pasal 867 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini tidak berlaku bagi anakanak yang lahir dari perzinaan atau penodaan darah. Undang- Undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 869 KUH Perdata sebagai berikut: Bila bapaknya atau ibunya sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang lahir dari perzinaan atau penodaan darah, maka anak itu tidak mempunyai hak lebih lanjut untuk menuntut warisan dari bapak atau ibunya Dalam penjelasan di atas Hak kewarisan anak dalam kandungan yang diatur menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata banyak perbedaan yang ditemukan dalam aturan hukum islam dan hukum perdata. Mengenai pendapat tentang batasan jumlah

53 warisan yang dapat diterima janin dalam kandungan, juga terdapat khilafiyah di kalangan para ulama mazhab. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa apabila dalam janin tersebut sudah diketahui jenis kelaminnya laki-laki, maka jumlah warisan untuknya adalah sama dengan satu bagian warisan bagi anak laki-laki. Namun apabila disinyalir lebih dari seorang janin, maka tidak dapat ditentukan bagiannya karena masih dalam proses praduga. Pendapat berbeda dinyatakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi i. Kedua imam ini memiliki pendapat yang sama yakni bayi yang ada dalam kandungan akan disisakan warisan sebesar empat bagian anak laki-laki dan empat bagian anak perempuan. Sedangkan Imamiah menyatakan bahwa bagian warisan bagi anak dalam kandungan adalah dua bagian anak laki-laki. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai warisan anak dalam kandungan, dapat ditemukan adanya persamaan tujuan yakni tetap adanya bagian waris bagi anak yang masih dalam kandungan dengan bagian-bagian yang tertentu. Pendapat-pendapat para imam mazhab di atas mungkin akan memiliki banyak perbedaan lagi manakala dipertemukan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang kewarisan anak dalam kandungan. Implikasinya, meskipun kemudian bayi tersebut mendapat pengakuan dari pihak ayah, dalam konteks hukum Islam tetap saja tidak akan mendapatkan hak nasab dari ayahnya. Perbedaan pandangan dalam dua produk hukum di atas mungkin sekilas tidak terlalu penting untuk di bahas. Namun jika dikaji dalam konteks sosio-religius, perbedaan pandangan tersebut akan menjadi penting untuk dibahas.