IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Teluk Bintuni. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan merupakan daerah yang ada program pembuatan bioetanol dari nipah dan memiliki hutan nipah yang cukup luas. Pemilihan lokasi untuk tingkat distrik dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan merupakan daerah dimana sebagian penduduknya mengusahakan nipah. Selain itu merupakan daerah yang menjadi pusat pengembangan nipah. Distrik tersebut adalah Distrik Bintuni. Pengambilan data dilakukan selama kurang lebih 1 (satu) bulan, yaitu dari bulan April- Mei 2010. 4.2. Sumber dan Jenis Data Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para penyadap nipah yang tergabung dalam kelompok tani, pengusaha bioetanol, dan pihak Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Mengenah Kabupaten Teluk Bintuni. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat dan Teluk Bintuni, Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), literatur yang relevan (buku, jurnal, tesis, skripsi) dan browsing internet. Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif.
54 4.3. Metode Penentuan Sampel Responden yang digunakan dalam penelitian ini penyadap nipah. Jumlah penyadap nipah yang diambil sebagai responden adalah 30 orang yang ditentukan dengan menggunakan metode simple random sampling dari jumlah populasi penyadap nipah di Kelurahan Bintuni Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan asumsi populasi menyebar normal, dimana menurut Cooper dan Emory (1996) untuk ukuran sampel yang cukup besar (n 30) rata-rata sampel akan terdistribusi di sekitar rata-rata populasi yang mendekati distribusi normal. Pengambilan sampel penyadap nipah ini untuk melihat profil kehidupan mereka dari hasil penyadapan nipah dan sebagai anggota kelompok usaha yang mendistribusikan nira nipah untuk keperluan bahan baku pabrik. Kegiatan pengolahan nira nipah menjadi bioetanol dengan kadar etanol 60 70 persen diambil secara purposive, yaitu hanya diambil satu kelompok usaha yang ada, yakni kelompok Bintuni Barat. Hal ini dilakukan karena dari 4 (empat) kelompok usaha yang di bentuk oleh pemerintah untuk membuat bioetanol, hanya kelompok Bintuni Barat yang sudah memberikan respon untuk membuat bioetanol. Sementara untuk proses pembuatan bioetanol dengan kadar etanol 96 98 persen, tidak melakukan pengambilan sampel karena hanya ada satu perusahaan, yaitu PT. Rizki Anugerah Putra. 4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan aspek-aspek kelayakan investasi pengembangan bioetanol berbasis nipah, meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis, aspek sosial, ekonomi dan budaya, aspek
55 lingkungan, dan aspek pola kemitraan. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek finansial dan ekonomi investasi pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi di Kabupaten Teluk Bintuni. Berdasarkan analisis tersebut dapat ditentukan strategi atau kebijakan pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi. Data dan informasi kuantitatif yang diperoleh dikelompokkan ke dalam komponen arus biaya dan manfaat untuk masing-masing komoditi kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi yang digunakan untuk mengklasifikasi data yang ada serta untuk mempermudah analisis data. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan software Microsoft Excell. Selanjutnya, data yang sudah berupa arus kas tunai di analisis menggunakan beberapa kriteria investasi, yaitu Net Present Value, Internal Rate of Return, Net B/C Ratio, dan Payback Period. 4.4.1. Analisis Aspek-aspek Non Finansial Beberapa hal yang perlu dikaji dalam aspek-aspek non finansial seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Penilaian Variabel Aspek-aspek Non Finansial No Aspek Variabel 1. Pasar dan Pemasaran 1. Karakteristik Produk 2. Potensi Pasar (Permintaan dan Penawaran) 3. Harga Jual (Rp) 4. Saluran Pemasaran 2. Teknis 1. Lokasi Produksi Nipah dan Pabrik Bioetanol 2. Luas Produksi 3. Proses Produksi 4. Penggunaan Teknologi
56 Tabel 6. Lanjutan No Aspek Variabel 3. Sosial Budaya dan Ekonomi Seberapa besar kegiatan pengolahan bioetanol mempunyai dampak terhadap sosial, ekonomi, dan budaya penyadap, masyarakat dan daerah. 4. Lingkungan Bagaimana pengaruh kegiatan pengolahan bioetanol terhadap lingkungan (baik atau rusak) 5. Kemitraan Bagaimana hubungan kemitraan antara penyadap, pemerintah, dan pengusaha terkait permodalan dan pemasaran. 4.4.2. Analisis Finansial Analisis kelayakan finansial digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan proyek berdasarkan kriteria tertentu. Pada penelitian ini analisis finansial dilakukan untuk menganalisis kelayakan perencanaan pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi di Kabupaten Teluk Bintuni yang dibagi menjadi enam skenario, yaitu (1), penyadapan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari (existing), (2) penyadapan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari (existing), (3) pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari, (4) pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari, (5) produksi nipah (skenario pengembangan), dan (6) produksi nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari (skenario pengembangan). Perhitungan analisis finansial menggunakan empat kriteria investasi, yaitu : 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi. NPV menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi, merupakan jumlah nilai penerimaan
57 arus tunai pada waktu sekarang dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan selama waktu tertentu. Rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah sebagai berikut : n NPV = t = 1 Bt Ct (1+i) t dimana : Bt = Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t i = Tingkat DR (%) n = Umur Ekonomis Proyek (Tahun) t = Tingkat investasi (t=0,1,2,,n), tahun awal bisa 0 atau 1 tergantung karakteristik bisnisnya Ada dua kriteria keputusan dalam metode NPV, yaitu : 1. Jika NPV > 0, maka usulan proyek layak dilaksanakan. 2. Jika NPV < 0, maka usulan proyek tidak layak dilaksanakan. 2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) Net B/C ratio adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Dengan kata lain, manfaat bersih yang menguntungkan proyek yang dihasilkan terhadap satu satuan kerugian dari proyek tersebut (Gray et al., 2007). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Net B/C = n Bt Ct (Bt Ct > 0) t = 1 (1+i) t n Bt Ct (Bt Ct < 0) t = 1 (1+i) t
58 dimana : Bt = Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t i = Tingkat DR (%) n = Umur Ekonomis Proyek (Tahun) t = Tingkat investasi (t=0,1,2,,n), tahun awal bisa 0 atau 1 tergantung karakteristik bisnisnya Kriteria keputusan pelaksanaan proyek, yaitu : 1. Jika Net B/C > 1, maka proyek layak untuk dilaksanakan. 2. Jika Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. 3. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol. IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan intern tahunan dinyatakan dalam satuan persen. Rumus yang digunakan dalam menghitung IRR adalah sebagai berikut : dimana : NPV 1 IRR = i 1 + x (i 2 i 1 ) NPV 1 NPV 2 i 1 = Tingkat DR yang meghasilkan NPV positif i 2 = Tingkat DR yang menghasilkan NPV negatif NPV 1 = NPV yang bernilai positif NPV 2 = NPV yang bernilai negatif Kriteria kelayakan proyek : 1. Jika IRR DR, maka proyek layak untuk dilaksanakan. 2. Jika IRR < DR, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. 4. Payback Period Payback Period adalah salah satu metoda dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur periode pengembalian modal atau metoda
59 ini mencoba mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali. Semakin cepat waktu pengembalian, semakin layak proyek tersebut untuk diusahakan. Tetapi semakin lama waktu pengembalian, semakin tidak layak proyek untuk dilaksanakan. Payback period dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Payback Period = I Ab dimana : I = Besarnya biaya investasi yang diperlukan Ab = Manfaat bersih yang dapat diperoleh setiap tahun 4.4.3. Analisis Ekonomi Analisis ekonomi akan menggunakan kriteria investasi seperti pada analisis finansial, yaitu NPV, Net B/C rasio, IRR, dan Payback Period. Perbedaan perhitungan analisis ekonomi dengan analisis finansial terletak pada penggunaan harga, perhitungan pajak, subsidi, biaya investasi dan pelunasan peminjaman, dan bunga (Gray et al., 2007). Salah satu yang digunakan untuk membedakan analisis ekonomi dengan analisis finansial adalah harga. Dalam analisis ekonomi, harga yang digunakan adalah harga bayangan (shadow price). Harga bayangan suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost, yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif yang terbaik. 4.4.3.1. Metode Penentuan Harga Bayangan 1. Harga Bayangan Output Pada umumnya, harga yang digunakan sebagai harga bayangan output adalah harga perbatasan (border price). Harga FOB (Free On Board) adalah salah
60 satu harga perbatasan yang dipakai bila output sedang diekspor atau barang ekspor potensial di masa datang (Suryana, 1980). Harga pasar dalam negeri tidak dipakai karena dengan adanya beberapa peraturan pemerintah harga yang terjadi tidak mencerminkan keadaan pasar bersaing. Diharapkan, harga perbatasan lebih mendekati biaya imbangan sosial dari output yang berarti mendekati harga bayangannya. Bioetanol adalah produk tradeable yang akan menjadi produk ekspor bagi Indonesia bila regulasi pemerintah berjalan baik. Namun, hingga saat ini bioetanol sebagai pengganti bahan bakar minyak belum di ekspor sehingga untuk penilaian harga bayangan output tidak bisa menggunakan harga perbatasan. Untuk itu, penilaian harga bayangan output dalam penelitian ini sama dengan harga aktualnya. 2. Harga Bayangan Lahan Pada dasarnya sebagian besar lahan pertanian di Indonesia masih ditempati oleh pemiliknya sendiri, sehingga penilaian harga bayangan lahan adalah nilai lahan pada penggunaan alternatif yang terbaik. Di lain pihak, apabila di daerah proyek terdapat lahan yang disewakan usahatani, maka nilai sewa lahan dapat digunakan sebagai dasar menghitung tambahan manfaat bersih tanpa adanya proyek (Gray et al., 2007). Dalam penelitian ini, penentuan harga bayangan dilakukan berdasarkan pendekatan nilai sewa lahan melalui pembayaran hak tanah sebagai ganti rugi (kompensasi). Besarnya adalah 80 persen dari keuntungan yang diperoleh dari laba rugi usaha. Nilai 80 persen adalah besaran kompensasi yang harus diberikan khusus untuk investasi bidang perkebunan. Penetapan nilai berdasarkan Undang-undang Otonomi Khusus Pasal 34 Ayat 3 (b).
61 3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga input tradable dan non tradable (faktor domestik). Sarana Produksi dan Peralatan yang digunakan adalah : a. Bibit, nira nipah dan ragi kering merupakan input non tradeable sehingga penentuan harga bayangan didekati dengan harga pasar. Wiji (2007) menuliskan pendekatan ini dilakukan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung dan harga internasional tidak ada maka didekati dengan harga aktualnya. b. Pupuk yang digunakan untuk keperluan budidaya nipah adalah urea, TSP, dan KCL. Sementara untuk kebutuhan fermentasi nira nipah menggunakan pupuk urea, dan NPK. Harga bayangan urea dihitung berdasarkan harga FOB dikali SERnya dikurangi biaya tataniaga, sedangkan pupuk TSP, KCL, dan NPK karena sebagian besar masih impor, maka menghitung harga bayangannya digunakan harga CIF dikali SER ditambah biaya tataniaga. c. Peralatan yang digunakan untuk produksi nipah dan peralatan pabrik bioetanol digunakan harga pasar. Hal ini dilakukan karena peralatan tersebut merupakan produk domestik yang dapat dihasilkan di dalam negeri dan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati persaingan sempurna.
62 4. Harga Bayangan Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam pengembangan nipah meliputi tenaga kerja untuk pabrik bioetanol yang dikelola perusahaan, merupakan tenaga kerja terdidik, dan penyadap nipah sebagai tenaga kerja tidak terdidik untuk kegiatan produksi dan pengelolaan pabrik bioetanol yang dikelola kelompok usaha. Dalam keadaan pasar persaingan sempurna harga faktor produksi sama dengan nilai produk marjinalnya (Gittinger, 1986). Di negara maju keadaan pasar persaingan sempurna berlaku pula untuk tenaga kerja terdidik. Keadaan pasar tenaga kerja terdidik di negara berkembang dianggap berlaku persaingan sempurna. Dengan demikian tingkat upahnya yang diterima sama dengan tingkat upah keseimbangan, sehingga biaya faktor tenaga kerja terdidik itu sudah mencerminkan biaya sosialnya. Penelitian ini menggunakan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebagai harga bayangan tenaga kerja terdidik. Tingkat upah tenaga kerja tak terdidik yang berlaku di negara berkembang pada umumnya tidak mencerminkan tingkat upah sosial yang sesungguhnya. Penyimpangan itu disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah. Ketentuan tentang tingkat upah minimum menyebabkan tingkat upah yang diterima lebih tinggi dari tingkat upah yang sebenarnya. Berarti biaya faktor tenaga kerja tak terlatih atas dasar tingkat upah yang berlaku tidak mengukur biaya sosial yang sesungguhnya dikorbankan dalam aktivitas yang bersangkutan. Harga bayangan tenaga kerja tidak terdidik dalam penelitian ini menggunakan tingkat pengangguran, yaitu sebesar 92.18 persen dari harga aktualnya. Hal ini dilakukan karena dengan menciptakan kesempatan kerja berarti meningkatkan probabilitas
63 mendapat pekerjaan bagi tenaga kerja yang menunggu. Pengorbanan tersebut yang disebut dengan social opportunity cost (Gray et al., 2007) 5. Harga Bayangan Nilai Tukar Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi persaingan sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan niali tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang, semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung mengunakan Standart Converson Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Tsakok (1990) mengemukakan formula sebagai berikut : SCF = SER = OER SER OER SCF atau SCF = Nilai dari barang dagang pada border price Nilai dari barang dagang pada harga domestik atau SCF = dimana : SER OER X t TX t M t TM t X t + M t (X t TX t ) + (M t + TM t ) = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan tahun ke-t) = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi pemerintah) = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp) = Nilai Impor tahun ke-t (Rp) = Pajak Impor tahun ke-t (Rp)
64 4.4.4. Analisis Sensitivitas Setelah dilakukan analisis kelayakan finansial dan ekonomi, selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk melakukan proyeksi dalam menghadapi ketidaktentuan yang dapat terjadi dari hal-hal yang telah diperkirakan (Gittinger, 1986). Menurut McConell and Dillon (1997), Sensitivitas dihitung dengan menguji efek variasi dalam variabel-variabel biaya dan manfaat yang dipilih terhadap hasil yang dianggarkan terhadap keputusan. Variasi ini mungkin melintasi rentang tertentu dari nilai yang dirasakan cukup relevan untuk setiap variabel atau mungkin beberapa perubahan persentase sewenang-wenang di atas dan di bawah nilai yang digunakan sebagai (non parametrik) anggaran dasar. Anggaran dasar ini umumnya akan didasarkan pada apa yang diharapkan atau kemungkinan besar nilai dari variabel-variabel yang masuk anggaran. Pada bidang pertanian, proyek-proyek sensitif berubah-ubah akibat empat masalah utama, yaitu harga, masalah keterlambatan, kenaikan biaya, dan hasil (Gittinger, 1986). Dalam penelitian ini, analisis dilakukan terhadap perubahan harga bioetanol, harga pupuk, dan upah tenaga kerja dengan menggunakan 6 (enam) indikator perubahan, yaitu : 1. Analisis sensitivitas harga output naik 10 persen. Hal ini dilakukan karena dengan pertimbangan perubahan harga bioetanol yang disesuaikan jika harus dilakukan penyesuaian terhadap harga bieotanol karena kebijakan pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni. Kenaikan harga sebesar 10 persen merupakan persentase minimal harga dapat dinaikkan (Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah Kabupaten Teluk Bintuni, 2010).
65 2. Analisis sensitivitas harga output turun 10 persen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan adanya subsidi bagi bahan bakar nabati sebesar 10 persen tahun 2009 dan 20 persen tahun 2010. Namun dalam penelitian ini, menggunakan penerapan subsidi sebesar 10 persen karena penerapan subsidi pada tahun 2010, yaitu sebesar 20 persen belum mencapai suatu kesepakatan resmi dari pemerintah (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009). 3. Analisis sensitivitas harga pupuk naik 20 persen. Nilai 20 persen merupakan nilai rata-rata kesanggupan petani untuk membayar jika harga eceran tertinggi pupuk urea dan NPK naik (Maulana dan Rahman, 2009). 4. Analisis sensitivitas upah tenaga kerja naik 10 persen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan persentase kenaikan upah minimum Provinsi Papua dan Papua Barat antara 2 9 persen dari tahun 2009 2010, sehingga dalam penelitian ini mencoba menawarkan kebjiakan menaikkan upah tenaga kerja dengan maksimal 10 persen (Statistik Tenaga Kerja Papua Barat, 2010). 5. Analisis sensitivitas dimana harga output naik 10 persen dan harga pupuk naik 20 persen. 6. Analisis sensitivitas dimana harga output naik 10 persen dan upah tenaga kerja naik 10 persen.