BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama didunia (Depkes. RI., 2005). Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka kesakitan dan kematian karena ISPA, terutama pada bayi dan anak usia dibawah lima tahun (balita) (Depkes. RI., 2005). Konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia, pada bulan Juli 1997 menemukan empat juta bayi dan balita di negara-negara berkembang meninggal tiap tahun akibat ISPA (Depkes. RI., 2005). Di Indonesia tiap tahun kematian ISPA sekitar 30% dari total kematian balita (Depkes. RI., 2002). Insiden ISPA (Pnemonia) di Indonesia tiap tahun sekitar 10%-20% atau 2,33 juta 4,66 juta kasus (Depkes. RI., 2002). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, angka kesakitan ISPA menduduki peringkat ketiga sebesar 24%, setelah penyakit gigi dan mulut sebesar 60% dan penyakit Refraksi dan Penglihatan sebesar 31% (Rachmad, 2004). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko ISPA antara lain berat badan lahir rendah (BBLR), imunisasi tidak lengkap, gizi buruk, faktor lingkungan seperti kepadatan tempat tinggal dan terpapar polusi udara (Depkes. RI., 1996). Salah satu faktor resiko yang penting adalah kurang gizi yang merupakan mata rantai yang sukar untuk diputuskan dengan infeksi (Markum, 1991).
Malnutrisi walaupun ringan mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh melawan infeksi (Pudjiadi, 1990). Pada balita dengan riwayat tidak cukup mendapat asupan ASI dan mengalami defisiensi Vitamin A juga akan meningkatkan resiko terjadi ISPA karena menurunnya daya tahan tubuh anak (Depkes. RI., 2002). Faktor resiko ISPA yang lain adalah faktor imunisasi yang tidak lengkap terutama imunisasi campak yang dicurigai dapat menunjang anak terkena ISPA Pnemonia (Depkes. RI., 2002). Anak usia balita merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi (Depkes. RI., 1999). Terutama kurang energi protein (KEP) yang merupakan salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita di Indonesia (Rachmat, 2004). Walaupun angka KEP di Indonesia menurun dari 40% menjadi 30% pada Repelita VI, namun angka tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya (Depkes. RI., 1999). Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi (SUSENAS) terjadi penurunan prevalensi KEP pada balita dari 37,5% tahun 1989 menjadi 24,6% tahun 2000 dan meningkat kembali menjadi 27,3% tahun 2002 (Rachmat, 2004). Presentase tersebut perlu diwaspadai karena saat ini di Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang menjadikan harga kebutuhan pokok naik yang berdampak pada penurunan daya beli dan konsumsi pangan, hal ini akan berakibat pada status gizi yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat secara luas (Depkes. RI., 2002). Tingginya angka kejadian KEP tersebut merupakan gambaran kurangnya gizi pada anak balita. Status gizi balita yang kurang atau buruk sangat erat kaitannya dengan penurunan daya tahan tubuh yang menyebabkan balita rentan terhadap infeksi (Pudjiadi, 1990).
Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah tahun 2003, perkembangan keadaan gizi masyarakat yang dapat dipantau berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan program menunjukkan bahwa keadaan gizi masyarakat Jawa Tengah yang tercermin dari hasil penimbangan balita pada tahun 2003 menunjukkan jumlah balita yang ada 2.816.499 anak, dari jumlah tersebut yang datang dan ditimbang di Posyandu sebanyak 1.993.448 anak dengan rincian yang naik berat badannya sebanyak 1.575.486 anak atau 79,03% dan balita yang berada dibawah garis merah (BGM) sebanyak 46.679 anak atau 2,34% (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2003). Data tersebut menunjukkan bahwa di Jawa Tengah masih banyak balita yang status gizinya berada dibawah standard. Prevalensi KEP pada balita yang dipantau melalui kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) Posyandu menunjukkan bahwa pada tahun 2003 di Jawa Tengah terdapat gizi lebih 2,12%, gizi baik 83,78%, gizi kurang 12,75% dan gizi buruk 1,36% (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2003). Di Kabupaten Temanggung, status gizi balita pada periode tahun 2000-2003 diperoleh dari hasil penimbangan balita di posyandu-posyandu dengan cara membandingkan berat badan terhadap umur anak. Tahun 2000 balita dengan status gizi buruk sebesar 1,76%, gizi kurang 16,84%, gizi baik 79,10% dan gizi lebih sebesar 2,30%. Tahun 2001 gizi buruk sebesar 1,34%, gizi kurang sebesar 15,17%, gizi baik sebesar 82,07% dan gizi lebih 1,42%. Untuk tahun 2002 balita dengan status gizi buruk sebesar 1,32 %, gizi kurang sebesar 14,56%, gizi baik sebesar 83,09%, dan gizi lebih sebanyak 1,03%. Tahun 2003 balita dengan status gizi buruk sebesar 1,00%, gizi kurang sebesar 11,50%, gizi baik sebesar 86,30% dan gizi lebih sebesar 1,20% (Dinas Kesehatan Temanggung, 2004).
Berdasarkan catatan dan laporan pola penyakit rawat jalan balita di seluruh Puskesmas di Kabupaten Temanggung tahun 2003 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung penyakit ISPA (pnemonia) menempati urutan kedua setelah diare, dan Puskesmas Wonoboyo menempati urutan ketiga sebanyak 12,36%, setelah Puskesmas Kecamatan Temanggung sebanyak 31,76% dan Puskesmas Pare Kecamatan Kranggan sebanyak 15,59% (Dinas Kesehatan Temanggung, 2004). Hasil rekapitulasi penimbangan berat badan Puskesmas Wonoboyo tahun 2005 dari seluruh desa di Kecamatan Wonoboyo yang berada di wilayah kerja Puskesmas Wonoboyo, Desa Wonoboyo memiliki prevalensi kekurangan gizi terbanyak dari 13 desa yang ada, yaitu untuk bulan September sebanyak 55,2% balita dengan status gizi baik, 36,2% balita dengan status gizi kurang dan sebanyak 8,6% balita status gizinya buruk. Sementara pada bulan Oktober sebanyak 45,8% balita berstatus gizi baik, 43,8% balita berstatus gizi kurang dan sebanyak 10,4% balita status gizinya buruk (Catatan Gizi Bulanan Puskesmas Wonoboyo, 2005). Bila dilihat dari prevalensi kejadian ISPA maka Puskesmas Wonoboyo menduduki urutan ketiga dari 23 puskesmas yang berada diwilayah kerja Dinas Kabupaten Temanggung, selain itu penyakit ISPA merupakan penyakit terbanyak dari 9 penyakit lain yang sering terjadi pada balita diwilayah kerja Puskesmas Wonoboyo yaitu, sebanyak 360 kasus atau 39,72%, terutama di Desa Wonoboyo sebanyak 157 kasus atau 43,6% (Catatan Tahunan Puskesmas Wonoboyo, 2005). Berdasarkan data statistik diatas, maka penting sekali untuk dilakukan penelitian tentang hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Wonoboyo. Ada dua alasan utama pentingnya dilakukan penelitian di
Desa Wonoboyo dalam rangka mencari hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada anak balita. Yang pertama adalah tingginya angka KEP atau angka kekurangan gizi balita di Desa Wonoboyo dan juga ditemukan kejadian ISPA yang cukup tinggi dibandingkan dengan desa lainnya yang berada di wilayah kerja Puskesmas Wonoboyo. Alasan kedua adalah kemudahan akses bagi peneliti terhadap Desa Wonoboyo dan Puskesmas Wonoboyo, karena jarak tempat tinggal peneliti dekat dengan Desa Wonoboyo dan Puskesmas Wonoboyo, juga karena peneliti merupakan salah satu warga Kabupaten Temanggung, yang tentunya juga ikut bertanggung jawab meningkatkan status kesehatan warganya, salah satunya melalui penelitian di Desa Wonoboyo ini dalam rangka untuk mencari data awal. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian dilatar belakang, maka masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah bagaimana hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Wonoboyo wilayah kerja Puskesmas Wonoboyo Kabupaten Temanggung. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menjelaskan hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Wonoboyo Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung. 2 Tujuan khusus a. Mengidentifikasi status gizi balita di Desa Wonoboyo Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung.
b. Mengidentifikasi kejadian ISPA pada anak balita di Desa Wonoboyo Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung. c. Menganalisa hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Wonoboyo Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak : 1. Peneliti lain: hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar penelitian selanjutnya yang terkait dengan status gizi balita dengan kejadian ISPA. 2. Bidang profesi keperawatan: secara tidak langsung memberi masukan pada program keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan dimasyarakat, khususnya dalam praktek keperawatan balita dalam upaya memperbaiki gizi dan pencegahan ISPA serta upaya perawatan ISPA pada anak balita dan penemuan kasus dini dengan faktor resiko. 3. Institusi pelayanan kesehatan (Puskesmas): sebagai bahan masukan pada petugas kesehatan dalam merencanakan upaya penanggulangan kejadian ISPA pada anak balita serta peningkatan gizi balita diwilayah kerjanya. E. Bidang Ilmu Penelitian ini termasuk dalam bidang ilmu keperawatan khususnya dibidang keperawatan komunitas.