1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibu merupakan seorang figur yang terdekat dengan seorang anak. Peran seorang ibu dalam perkembangan sang anak sangatlah penting, dimana seorang ibu adalah pengasuh utama bagi anak. Kebersamaan ibu dengan seorang anaknya lebih sering apabila dibandingkan dengan ayah. Ibu orang pertama yang berhubungan, dan juga melakukan kontak fisik dan emosional dengan anak. Kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Kepedulian ibu terhadap anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat mengembangkan hubungan emosional yang kuat dengan anaknya. Sehingga seorang ibu memiliki harapan-harapan yang besar terhadap anaknya (dalam Kartono, 1992). Setiap ibu pasti menginginkan seorang anak yang sehat dan juga sempurna baik secara fisik maupun psikologis. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak terlahir ke dunia dengan keadaan sesuai dengan yang diinginkan oleh orangtuanya (dalam Kartono, 1992). Ketika seorang ibu mengetahui bahwa anaknya memiliki sebuah hambatan dalam perkembangannya dan berbeda dari anak lainnya. Bukanlah suatu hal yang mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima kenyataan bahwa buah hati yang di lahirkan mengalami kekurangan, maka sang ibu akan merasa lebih 1
2 sensitif dan rapuh atas apa yang terjadi pada anaknya. Perasaan kecewa, marah, merasa bersalah semuanya menjadi salah satu dari begitu banyak dampak negatif yang dapat ibu rasakan. Menyadari adanya dampak-dampak negatif baik secara psikis maupun fisik pada diri ibu atas semua keadaan ini merupakan langkah yang penting bagi seorang ibu, agar dampak dan beban yang dihadapi tidak semakin berat. Karena kondisi psikis ibu yang buruk juga akan memberikan pengaruh buruk terhadap diri anak. Dampak negatif yang dirasakan oleh seorang ibu membuat tidak sedikit dari mereka yang menutupi kondisi anaknya dari orang lain. Fokus dari penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak tunagrahita. Orangtua atau ibu yang memiliki anak tunagrahita memiliki beban berat dalam mengurus anak, karena anak tunagrahita memiliki kelemahankelemahan tersendiri dan harus mendapat perhatian lebih yang berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu, beban lain yang dirasakan ibu yang memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari lingkungan sosial. Orang awam yang tidak memiliki pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan memandang anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan acap kali disepelekan. Penilaian-penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi kejiwaan orangtua terutama ibu dari anak tersebut (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010). American Phychological Association (APA) yang dipublikasikan melalui Manual of Diagnosis and Professional Practice in Mental Retardation th. 1996, mengemukakan tentang batasan tunagrahita. Batasan
3 dari APA ini dapat dimaknai, bahwa anak tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki keterbatasan fungsi intelektual, keterbatasan fungsi adaptif. Keadaan ini terjadi sebelum usia 22 tahun (dalam Wati, 2012). Tahun ajaran 2015/2016 SLB C Yakut Purwokerto memiliki siswa tunagrahita berjumlah 170 siswa. Terdiri dari 110 siswa SD, yaitu 69 lakilaki dan 41 perempuan. Kemudian ada 40 siswa SMP yang terdiri dari 24 laki-laki dan 16 perempuan. Untuk siswa SMA terdiri dari 20 siswa, yaitu 10 laki-laki dan 10 perempuang (SLB C Yakut Purwokerto, 2016). Tabel 1.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasar Derajat Keterbelakangannya (dalam Somantri, 2007) Level IQ Keterbelakangan Stanford Binet Skala Weschler Ringan 68-52 69-55 Sedang 51-36 54-40 Berat 32-20 39-25 Sangat Berat >19 >24 Williams & Wright menyatakan bahwa banyak orangtua yang memiliki pikiran negatif saat mengetahui anaknya memiliki kekurangan/ketunaan, seperti rasa bersalah dan ketakutan akan masa depan (dalam Na imah & Septiningsih, 2015). Besarnya tekanan yang hadapi oleh seorang ibu bukanlah tanpa alasan. Seorang ibu merupakan sosok atau figur yang paling dekat dengan anak, sehingga sangat besar tanggung jawab menjadi seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita.
4 Hal tersebut diatas sesuai dengan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan dilapangan. Studi pendahuluan dilakukan dengan wawancara dengan tiga orang subjek yaitu ibu yang memiliki anak tunagrahita. Subjek pertama yaitu ibu A (56 tahun), dari hasil wawancara di dapatkan informasi bahwa tidak jarang subjek merasa sedih bahkan menangis ketika melihat anaknya yang sudah berumur 14 tahun masih saja bertingkah laku seperti anak kecil. Anak subjek merupakan anak yang sudah bisa belajar mandiri seperti mandi, makan, ganti baju mampu dilakukannya sendiri namun semua itu dilakukan dengan sangat lamban sehingga terkadang subjek bahkan tidak mampu untuk mengontrol emosinya yang membuat subjek memukul anaknya. hal tersebut tidak terjadi hanya semata-mata karena subjek marah terhadap anaknya karena lamban dalam berbagai hal, subjek merasa sudah lelah untuk mengajarkan segala sesuatu kepada anaknya dan anaknya tidak menunjukkan kemajuan. Subjek memiliki dua anak yang mengalami tunagrahita hanya saja anaknya yang lebih besar dan sekarang sudah dewasa sangat berbeda dengan anaknya yang sekarang masih sekolah di kelas 4 SD. Subjek merasa putus asa ketika subjek harus merayu anaknya untuk masuk kelas setelah selesai istirahat, apabila subjek memarahi sang anak maka anaknya akan semakin susah untuk masuk kelas namun apabila tidak dimarahi maka sampai pelajaran selesai belum tentu sang anak mau untuk masuk kelas.
5 Terkadang subjek lebih memilih membawa sang anak pulang daripada harus berdebat dengan anaknya ketika tidak mau masuk ke kelasnya. Subjek merasa putus asa dengan perilaku sang anak yang sangat susah untuk di ajarkan disiplin, namun semua kegiatan ingin dilakukan sendiri oleh sang anak. Subjek pasrah dan putus asa dengan keadaan sang anak dan subjek merasa mungkin sudah cukup menyekolahkan anaknya sampai nanti lulus SD. Semua rasa putus asa tersebut dikarenakan subjek menyerah untuk mengajarkan anaknya melakukan segala susatu dengan benar sehingga tidak menyulitkan orang-orang disekitarnya. Menurut subjek, anaknya sangat rajin ketika di suruh sholat bahkan ketika subjek sholat subuh anaknya selalu ikut namun setelah sholat subuh sang anak selalu tidur lagi sehingga ketika dibangunkan untuk mandi dan berangkat sekolah sangatlah susah. Setelah bangun ketika mandi benar-benar tidak bisa diganggu bahkan apabila disuruh untuk sedikit lebih cepat karena pasti terlambat, sang anak akan marah-marah. Ketika marah sang anak lebih sering memukul kepala subjek, hal tersebut membuat subjek semakin merasa sedih. Subjek sering berpikir seandainya anaknya normal pasti tidak akan sesulit itu menghadapi anaknya. Hasil wawancara dengan subjek kedua yaitu ibu N (44 tahun) diperoleh informasi bahwa anak subjek duduk di bangku kelas 4 SD, beban berat yang subjek rasakan adalah lingkungan sekitar subjek yang tidak bisa menerima keadaan anak subjek yang memiliki kekurangan. Subjek tinggal
6 di lingkungan keluarga suaminya yang hampir semua keluarga dari suaminya tidak senang dengan keberadaan anak subjek yang dianggap tidak normal. Hal tersebut menjadi pukulan berat bagi seorang ibu karena subjek sudah merasa lelah mengasuh anak yang berbeda dari anak normal yang membutuhkan perhatian bahkan perlakuan yang lebih tetapi subjek masih harus menahan semua rasa sakit hati dari perlakuan keluarga suaminya terhadap anaknya. Pernah suatu ketika anak subjek mengalami demam dan meminta bantuan keluarganya untuk mengantarkan subjek ke rumah sakit, namun keluarga terdekatnya menolak apabila harus mengantarkan anak subjek yang tidak normal. Sehingga subjek harus berjalan ditengah hujan dengan menggendong anaknya yang sudah terkulai tak berdaya karena demam tinggi. Sampai saat ini hubungan subjek dengan keluarga suaminya mulai terganggu karena perlakuan mereka terhadap anaknya. Terkadang subjek hanya menangis sendiri melihat perlakuan keluarganya terhadap anaknya ketika sang anak hendak bermain ke rumah saudaranya namun sang anak tidak diijinkan memasuki rumah. Saat ini subjek bahkan tidak pernah ikut berkumpul dengan keluarga besar suaminya karena subjek merasa takut apabila subjek ikut berkumpul dan sang anak melakukan suatu kesalahan maka akan membuat sang anak di marahi oleh saudara-saudara dari suaminya.
7 Subjek sering merasa bingung terutama ketika subjek harus melakukan kegiatan yang tidak bisa membawa serta anaknya. Subjek bingung karena keluarga di sekitar rumahnya tidak ada yang mau untuk dititipi anaknya, sehingga subjek harus menitipkan sang anak kepada keluarganya bukan keluarga suaminya yang jaraknya sangat jauh dari rumahnya. Ketika subjek sudah benar-benar merasa kesal dengan perlakuan keluarga suaminya terkadang subjek bercerita kepada suaminya, namun seperti biasa suaminya menasehati subjek supaya lebih bersabar menghadapi cobaan tersebut. Anak subjek masih susah untuk mengontrol emosinya sehingga sangat sering marah-marah, hal tersebut membuat subjek terkadang memarahi kembali anaknya karena subjek sudah lelah ketika seharian harus mengurus sang anak dan juga mengurus rumah. Namun setelah merasa lebih tenang subjek merasa menyesal telah memarahi sang anak, subjek sadar bahwa anaknya berbeda dari anak lainnya yang dengan mudah akan mengerti apa yang diinginkan oleh ibunya. Wawancara dengan subjek ketiga yaitu ibu D (38 tahun) diperoleh informasi bahwa emosi sang anak masih sering meledak-ledak seperti mengamuk. Sang anak sering mengamuk karena biasanya menginginkan sesuatu namun karena sulit untuk mengungkapkan keinginannya dan subjek juga tidak bisa memahami apa yang diinginkan oleh anaknya sehingga sang anak mengamuk bahkan sampai berguling-guling.
8 Subjek sering ikut terpancing emosi ketika sang anak susah untuk berkomunikasi ketika di tanya keinginannya. Rasa lelah harus mengurusi sang anak dari memandikan, memakaikan baju, menyuapi sang anak, serta harus seharian menunggui sang anak sekolah walaupun usianya sudah seharusnya bisa mandiri terkadang membuat subjek sering merasa bahwa dosa apa yang telah subjek perbuat sehinggan mendapat cobaan berat seperti ini. Keinginan terbesar subjek adalah bisa membuat anaknya mandiri, sehingga kelak tidak selalu merepotkan orang lain. Subjek sering merasa sedih dan juga takut apabila memikirkan nanti di masa yang akan datang ketika subjek sudah tiada maka siapa yang akan merawat anaknya. Subjek menyadari bahwa anaknya sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan segala sesuatunya karena tidak mampu melakukannya sendiri. Sang anak yang sangat manja serta susah untuk di atur membuat subjek merasa terbebani. Untuk mengulang pelajaran yang telah diberikan di sekolah, subjek harus berusaha sekuat tenaga supaya anaknya mau untuk memperhatikan. Sangat jarang sang anak mau untuk mengikuti perintahnya. Waktu yang dihabiskan lebih banyak bersama anaknya yang memang membutuhkan perhatian lebih di bandingkan dengan anak normal. Terkadang subjek menangis ketika sang anak ingin bermain dengan teman di lingkungan rumahnya, namun anak-anak yang normal tidak
9 menginginkan bermain dengan anak subjek. Hal-hal tersebut membuat subjek semakin merasa tertekan, dan tidak jarang merasa putus asa. Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan kita dapat mengetahui seberapa berat menjalani hidup sebagai seorang ibu yang membesarkan anak tunagrahita. Beragam penyesuaian harus dilakukan oleh para ibu dengan anak tunagrahita, mulai dari beratnya beban dan tanggung jawabnya membesarkan anak tunagrahita. Perasaan menyalahkan diri sendiri, merasa khawatir akan masa depan sang anak, masih susah mengendalikan emosi ketika menghadapi anak, serta tidak jarang para ibu merasa sangat putus asa. Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita harus mengurangi segala aktivitasnya dengan lingkungan demi mengurus sang anak. Semua perhatian harus tertuju kepada sang anak. Perasaan lelah mengasuh anak terkadang terbersit pula dalam pikirannya yang hanya di simpan dalam hati. Ibu adalah orang yang kali pertama merasakan suatu tekanan karena ia merasa tidak berharga dan gagal melahirkan seorang anak yang ia lahirkan dengan keadaan normal. Ibu yang paling terpukul karena secara tidak langsung ia yang sangat dekat dengan sang janin saat mengandung sampai pada masa melahirkan. Namun ketiga subjek menyadari bahwa mereka harus mampu bertahan menghadapi berbagai rintangan demi memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Budiarti (dalam Lestari, 2015) berpendapat bahwa ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus lebih rentan dan lebih mudah merasa kecewa, sedih dan malu karena ia merasa yang bertanggung jawab atas
10 semua yang dialami oleh anaknya. Ibu juga memiliki tanggung jawab sebagai advocate, yaitu sebagai pendukung dan pembela kepentingan anaknya yang berkebutuhan khusus. Hadirnya tanggung jawab yang lebih kompleks membuat orangtua anak berkebutuhan khusus mengalami masalah yang lebih besar daripada orangtua dengan anak normal, sehingga berpotensi menimbulkan stress pada orangtua. Menurut Muniroh (2010) tekanan psikologis yang dihadapi oleh orangtua ini berkaitan dengan sejauhmana orangtua memiliki daya lenting atau resiliensi terhadap cobaan yang sedang dihadapinya. Resiliensi adalah faktor penting dalam kehidupan kita sekarang ini. Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, maka seseorang perlu mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk melewati itu semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi makin tinggi. Selanjutnya Muniroh (2010) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat resiliensi yang rendah akan cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mampu menerima segala cobaan yang datang dan sebaliknya jika tingkat resiliensi seseorang itu tinggi maka akan cenderung lebih kuat dan segera bangkit dari keterpurukan serta berusaha mencari solusi terbaik untuk memulihkan keadaannya. Lestari (2015) mengungkapkan bahwa kondisi psikologis yang mengalami tekanan luar biasa bagi seorang ibu dengan memiliki anak
11 berkebutuhan khusus mengharuskan seorang ibu untuk mampu menjadi individu yang dapat menghadapi segala permasalahan. Oleh karenanya sangat penting bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus untuk memiliki resiliensi yang tinggi, demi menghadapi segala tantangan dalam merawat dan membesarkan anak berkebutuhan khusus. Seorang ibu yang memiliki anak dengan kekurangan seperti halnya tunagrahita dituntut untuk mampu bertahan dalam menghadapi segala permasalahan. Ketika ibu memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi setiap masalah, maka akan membuat ibu lebih mudah untuk menjalani hidup serta menghadapi setiap masalah secara positif dibandingkan dengan ibu yang memiliki daya tahan rendah. Daya tahan menghadapi masalah ini dikenal dengan istilah resiliensi. Grotberg (dalam Wijayani, 2011) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Menurut Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatsi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan yang tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.
12 Siebert (dalam Aprilia, 2013) dalam bukunya The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Menurut Puspita (dalam Faradina, 2016), reaksi pertama orangtua ketika mengetahui bahwa anaknya memiliki suatu kekurangan adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi seorang ibu untuk mampu terbuka kepada orang lain tentang kondisi si anak. Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak tunagrahita biasanya merasa tidak bahagia mempunyai anak yang berkelainan, bahkan tidak sedikit orangtua merasa malu mempunyai anak berkelainan, sehingga ada sementara orang tua yang justru menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain. Orangtua yang resilien dapat mengatasi perasaan sedih dan terpuruknya tersebut dengan mencari jalan keluar atas kenyataan bahwa mereka mempunyai anak yang mengalami kekurangan. Dalam wawancara terhadap orang tua anak yang mengalami kekurangan, diperoleh gambaran bahwa kepercayaan yang paling kuat dalam diri orangtua ialah, bahwa anak adalah anugerah dan amanah dari Tuhan. Anggapan bahwa orang tua yang
13 diberikan anak dengan kebutuhan khusus adalah suatu pertanda, bahwa orangtua tersebut dipilih Tuhan agar menjadi lebih kuat dan menjadi salah satu penghuni surga kelak. Perasaan jujur juga harus ada, karena dengan menyembunyikan anak berkebutuhan khusus yang dimiliki maka orang tua akan selalu dikejar perasaan negatif dalam diri mereka. Dengan menerima dan jujur pada diri sendiri dan masyarakat akan memberikan suatu perasaan ikhlas dalam membesarkan anak (dalam Wijayani, 2011). Menurut Wolins (dalam Desmita, 2011) individu yang resilien akan mampu beradaptasi dengan baik disaat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Seorang individu yang resilien memiliki kemampuan untuk insight, mandiri, menjalin hubungan baik dengan orang lain, inisiatif, kreatifitas, humor dan moralitas. Kemampuan resiliensi seorang individu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Everall, dkk. (dalam Puteri & Hartosujono, 2011) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu: faktor individual yaitu faktor dari dalam individu itu sendiri misalnya kemampuan kognitif, regulasi emosi, konsep diri dan harga diri. Sedangkan faktor berikutnya adalah faktor keluarga yaitu dukungan yang berasal dari keluarga terdekat. Faktor komunitas yang meliputi lingkungan masyarakat disekitar subjek. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik meneliti tentang resiliensi dan faktor-faktor yang
14 mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT Purwokerto. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut Bagaimana resiliensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT Purwokerto? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang resiliensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT Purwokerto. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan mengembangkan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Klinis dan juga menambah wawasan baru bagi peneliti lainnya tentang resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.
15 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita mengenai dinamika psikologis yang dihadapi. Ibu diharap mendapat masukan supaya bisa lebih menjadi individu yang resilien serta adanya pelatihan resiliensi untuk ibu-ibu yang memiliki anak tunagrahita.