BAB I Pendahuluan. memiliki anak yang sehat baik fisik maupun mental. Namun, tidak semua anak dilahirkan dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna tanpa ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. impian setiap orang. Ketikamenikah, tentunya orang berkeinginan untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang ditunggu-tunggu dan sangat. menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehdiran anak bukan saja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rentang kehidupan, individu berkembang dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah suatu anugerah yang sangat dinanti-nantikan oleh pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

5. DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

5. PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tahun), dan fase remaja akhir (usia 18 tahun sampai 21 tahun) (Monks,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak hanya dilihat secara obyektif, tapi kebahagiaan juga bisa di lihat secara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dimana kedua aspek tersebut terjadi secara bersama-sama. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk terbiasa menghadapai peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus (Miranda, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dalam dirinya seorang remaja sehingga sering menimbulkan suatu hal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisis tentang Gejala Gejala Depresi Yang Di Tampakkan Seorang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. hal

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB ll TINJAUAN TEORI. A. Kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Anak tuna rungu

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan

Transkripsi:

1 BAB I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Memiliki seorang anak adalah dambaan bagi setiap orang tua, kebahagiaan orang tua adalah memiliki anak yang sehat baik fisik maupun mental. Namun, tidak semua anak dilahirkan dalam keadaan normal, ada sebagian anak yang dilahirkan memiliki kekurangan dan keterbatasan baik secara fisik maupun psikis. Maka dari itu, anak yang memiliki keterbatasan harus mendapat perhatian lebih dari orang tua. Salah satunya adalah anak yang mengalami kesulitan belajar, seperti disleksia. Disleksia didefinisikan sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan pikiran secara tertulis (Mangunsong, 2009 dalam Devina & Penny 2016). Sedangkan menurut Jamaris (dalam Mustika, 2011) disleksia adalah kondisi yang berkaitan dengan kemampuan membaca yang sangat tidak memuaskan. Individu yang mengalami disleksia memiliki IQ normal bahkan diatas normal, akan tetapi memiliki kemampuan membaca 1 atau ½ tingkat dibawah kemampuan IQ. Disleksia biasanya terjadi pada anak-anak dengan daya penglihatan dan kecerdasan normal. Anak-anak dengan disleksia biasanya dapat berbicara dengan normal tetapi memiliki kesulitan dalam menginterpretasi spoken language dan tulisan (Mustika, 2011). Jika dilihat banyaknya individu yang mengalami disleksia khususnya anak dan remaja mengalami berbagai macam kesulitan, baik dari dalam individunya maupun lingkungan. Cukup berat seseorang yang mengalami disleksia, karena memiliki kesulitan dalam belajar, seperti mengeja, menulis, khususnya dalam membaca dan hal lain yang mengganggu dalam belajar. Bukan hanya masalah membaca saja, lebih dari itu orang yang mengalami disleksia memiliki

2 masalah dan kesulitan lain juga. Maka orangtua sangat berpengaruh terhadap perkembangan dari anak yang mengalami disleksia. Bukan hal yang mudah bagi orangtua yang dianugerahi anak berkebutuhan khusus karena harus mendapatkan penanganan dan perhatian lebih. Menurut Mira (2012, dalam Faradina 2016) memiliki anak berkebutuhan khusus bisa menjadi salah satu beban yang berat bagi orangtua baik secara fisik maupun mental. Maka akan membuat reaksi emosional muncul, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus harus mampu membiasakan diri menghadapi peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Setiap anak berbeda, begitupun dengan anak yang berkebutuhan khusus berbeda satu dengan yang lainnya, maka dari itu akan berbeda pula penanganan dan cara mendidiknya, begitupun dengan disleksia. Reaksi kurangnya penerimaan diri terhadap anak yang mengalami disleksi bisa ditemui pada orang tua, terutama ibu. Seharusnya, penerimaan sangat penting bagi anak. Menurut Bakwin & Bakwin (1972), rasa aman menjadi bagian dari komunitas yaitu keluarga akan berkembang hanya jika anak merasakan dirinya diterima dan dimengerti. Berdasarkan hasil wawancara kepada 7 orangtua yang memiliki anak disleksia yang tergabung dalam komunitas DPSG (komunitas yang memiliki anak disleksia), menyatakan bahwa pada saat mengetahui anaknya mengalami disleksia mereka kaget, marah, menyalahkan diri, sedih, kecewa, kesal, dan tidak terima dengan keadaan yang ada. Walaupun pada awalnya tidak mengetahui disleksia itu apa, namun tetap saja mereka merasa sedih dan kecewa. Setelah itu, mulailah mencari tahu tentang disleksia dan hal yang mendukungnya. Subjek mengatakan bahwa sulit dalam menerima keadaan, apalagi setiap melihat sikap dan tingkah laku yang dilakukan oleh anaknya, bahkan hal-hal yang kecil ataupun yang menurut kita mudah namun dilakukan oleh anak yang mengalami disleksia adalah hal yang sulit, dan hal tersebut membuat

3 sedih dan terkadang kesal. Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya dengan suami masih sulit menerima, terkadang merasa bahwa ada kesalahan dalam dirinya yang membuat anaknya mengalami seperti itu. Adanya rasa bersalah dan tidak percaya dengan keadaan yang dihadapi, serta merasa kesulitan dalam menghadapi anak yang mengalami disleksia hal tersebut membuat orangtua lebih sulit dalam menerima, bahkan orang tua ada yang saling menyalahkan karena anaknya mengalami disleksia. Hal-hal yang dirasakan oleh setiap ibu berbeda-beda, salah satunya menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpa keadaan anaknya, subjek merasa bahwa dirinya takut akan adanya hubungan genetik walaupun subjek dan suaminya tidak mengetahui apakah mereka memiliki gangguan tersebut, namun keduanya tetap merasa bersalah terhadap apa yang menjadi masalah bagi anak mereka, karena merasa takut. Adapula yang merasa kesal karena kesulitan dalam merawat anak mereka, seperti anak yang kesulitan melakukan hal-hal yang mudah dan biasa dilakukan oleh anak seusianya namun karena keadaan anak tersebut membuat dia kesulitan dalam melakukannya, sehingga membuat ibu terkadang menjadi kesal. Selain itu, terdapat pula ibu yang merasa kecewa dan marah dengan keadaan anaknya, sehingga tidak jarang hal itu membuat subjek dan suaminya berselisih. Dari hasil wawancara beberapa ibu yang memiliki anak disleksia tersebut, memang pada awalnya mereka merasa kecewa, dan kesulitan dalam menerima keadaan. Dengan alasan yang beragam, mereka merasa kesulitan untuk menerima bahwa dirinya memiliki anak disleksia, sehingga hal tersebut membuatnya stress, bingung, takut, marah karena menghadapi anak yang disleksia, dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, walaupun dengan seiring berjalannya waktu, para ibu mulai mampu menerima keadaan karena mulai mencari informasi tentang disleksia sendiri, walaupun terbiasa dengan keadaan yang dialami, ibu masih merasa kesulitan dalam merawat dan menerimanya, karena merasa bahwa

4 anaknya berbeda dari orang lain, sehingga masih merasa kesulitan dalam menerima kondisi yang dialami, serta kesulitan dalam menerima diri bahwa dirinya memiliki anak yang mengalami disleksia. Bukan hal yang mudah menjadi orang tua dari anak yang mengalami disleksia, namun dengan bertambahnya ilmu dan orang yang mendukung dengan kondisi yang sama, sehingga merasa bahwa tidak sendiri, maka akhirnya mulai menyadari dan berusaha menjadi lebih baik untuk kebaikan anak. Dukungan sangat diperlukan oleh ibu yang memiliki anak disleksia, baik dukungan keluarga, suami, maupun dukungan lingkungan sekitar. Salah satu dukungan yang didapatkan oleh subjek adalah dukungan dari teman yang mengalami kondisi yang sama. Subjek berada dalam satu komunitas, yaitu komunitas DPSG ( komunitas orang tua yang memiliki anak disleksia), dari hasil wawancara didapatkan bahwa, menurut orang tua yang menjadi anggota, mengatakan jika adanya komunitas menjadi suatu wadah dalam belajar, baik dari pakarnya, orang tua dan anak yang mengalami disleksia, berbagi tentang berbagai hambatan yang dirasakan, dan menjadi lebih bersyukur serta belajar lebih sabar dari kisah yang di dapat dari ibuibu lainnya (berbagi kisah, pengalaman, dan kesulitan serta cara menghadapinya), akhirnya merasa mempunyai teman dan tidak sendiri, sehingga setiap ibu lebih mampu menerima keadaan dirinya bahwa memiliki anak yang mengalami disleksia. Para ibu yang menjadi anggota komunitas merasa bahwa dengan adanya komunitas tersebut sangat memberikan manfaat bagi dirinya, karena sangat membantu untuk lebih bisa mengerti terhadap keadaan yang di hadapi. Dengan adanya komunitas para anggota saling mendukung, dan saling membatu satu sama lain, banyak kegiatan positif yang dilakukan, seperti mengadakan seminar tentang disleksia sehingga bisa menambah pengetahuan, kemudian adanya kumpulan rutin yaitu tempat untuk mengobrol dan sharing tentang keadaan yang dialami, kemudian dari hal tersebut bisa memberikan motivasi

5 dan banyak pelajaran yang bisa diambil, misalnya para ibu semakin merasa bersyukur dan lebih sabar dengan keadaan yang dihadapi, baik dari sharing dan dukungan yang dirasakan. Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa memiliki anak yang mengalami disleksia bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi untuk menerima keadaan bahwa sebagai orangtua diberikan amanah untuk membesarkan anak yang mengalami disleksia, dan hal tersebut adalah salah satu kesulitan yang paling sulit dihadapi. Menerima keadaan adalah hal yang dapat dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak disleksia, namun tidak banyak orang yang mampu menerimanya. Masih banyak orang tua khususnya ibu, yang masih sulit menerima keadaan dirinya bahwa memiliki anak yang mengalami disleksia. Penerimaan diri (self-acceptance) adalah sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasanketerbatasan sendiri (Chaplin, 2006). Menurut Ryff (1989 dalam Wangge dan Hartini 2013) penerimaan diri adalah keadaan dimana seseorang memiliki sikap yang positif terhadap dirinya, dapat menerima berbagai macam aspek diri baik maupun buruk, serta mampu memandang segala macam hal secara positif. Menurut Shereer (dalam Paramita & Margaretha 2013) Penerimaan dirir\ adalah suatu sikap yang digunakan dalam menilai diri dan keadaanya secara objektif, dan dapat menerima kelebihan-kelebihan maupun kelemahannya.bukan hal yang mudah bagi orang tua untuk mampu menerima keadaan seorang anak yang berbeda dengan orang lain. Banyak hal yang dilalui oleh setiap orang tua yang memiliki anak disleksia, marah, kesal, merasa bersalah bahkan menolak. Faradina (2016) mengatakan bahwa terkadang orangtua memiliki masa untuk merenung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau tidak mengetahui tindakan apa yang tepat untuk dilakukan, dan tidak sedikit pula orang tua kemudian memilih

6 untuk tidak terbuka kepada teman, tetangga bahkan keluarga dekat, kecuali dokter yang menangani anak tersebut. Orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak yang mengalami disleksia. Meskipun tidak mudah, namun perkembangan dari seorang anak, mendapat pengaruh besar dari orang tua. Oleh karena itu, yang harus lebih dulu menerima keadaan yang terjadi adalah orang tua. Yang mampu memberikan dukungan kepada orang tua adalah lingkungan, apalagi lingkungan yang mampu mendukung dan menerima orang tua yang memiliki anak yang mengalami disleksia. Dukungan dari orang-orang terdekat ataupun lingkungan, baik keluarga maupun teman, seharusnya mampu memberi motivasi lebih kepada orang tua yang sedang berjuang untuk menerima keadaan. Apalagi lingkungan yang sama dengan orang tua tersebut, sehingga mampu merubah pola pikir dari setiap orang tua yang memiliki anak disleksia. Karena, orang tua yang belum mampu menerima keadaan bahwa anaknya mengalami disleksia sangat membutuhkan dukungan serta semangat dari lingkungannya. Gollieb (dalam Setiawan & Pratitis, 2015) menyatakan bahwa dukungan sosial digunakan sebagai informasi verbal dan non-verbal yang dimunculkan dalam bentuk bantuan atau tingkah laku yang diberikan oleh orang terdekat yang dapat memberikan keuntungan dalam emosional dan berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Sarafino (dalam Okhtavia, 2014), nenyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, bantuan, dan penghargaan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu, adanya dukungan sosial berarti adanya penerimaan dari orang tua atau sekelompok orang terhadap individu yang menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa ia disayang.

7 Sarason (dalam Marni & Yuliawati, 2015) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah dukungan yang didapat dari keakraban sosial (teman, keluarga, anak ataupun orang lain) berupa pemberian informasi, nasehat verbal atau non verbal, bantuan nyata atau tidak nyata, tindakan yang bermanfaat sosial dan efek perilaku bagi penerima yang akan melindungi diri dari perilaku yang negatif. Menurut Sarafino (dalam Putri, 2013), menyatakan bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial akan meyakini bahwa ia dicintai, dirawat, dihargai, berharga dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Utami (2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri individu yang mengalami asma, dimana dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Marni & Yuniawati (2015), menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada lansia di Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Adapun hasil penelitian Devina dan Penny (2016), menyatakan bahwa penerimaan diri dilihat dari fase-fase menurut Kubler-Ross dan faktor-faktor yang memperngaruhi menurut Hurlock. Hasil yang didapat adalah proses penerimaan diri dari ketiga partisipan cenderung beragam, dan mengalami kelima fase tersebut. Proses penerimaan diri ibu didukung adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambatnya. Faktor yang mempengaruhi seperti pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak adanya hambatan lingkungan, tidak adanya stress emosional, kenangan akan keberhasilan, dan identifikasi dengan yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa suami partisipan cenderung bersikap denial dan tidak menerima mengenai kondisi anaknya yang disleksia. Adapun saran untuk

8 penelitian selanjutnya adalah dapat dilakukan dengan proses penerimaan yang dialami oleh suami, terutama dengan individu yang menduga dirinya mengalami disleksia. Selain itu, dapat juga memperhatikan kriteria-kriteria yang turut mendukung hasil penelitian, seperti latar belakang pendidikan, status sosial ekonomi, lamanya mengetahui gangguan disleksia anaknya, dan kegiatan yang mendukung proses belajar anaknya (terapi). Jika dilihat dari data yang ada, bahwa data tersebut menyatakan jika menjadi orang tua yang memiliki anak disleksia bukan hal yang mudah, para ibu masih merasa kesulitan dalam menerima keadaan dirinya sebagai orang tua yang memiliki anak disleksia, namun mengetahui masih banyak yang mengalami hal tersebut, salah satunya karena mengikuti komunitas orang tua yang memiliki disleksia, membuat orang tua lebih merasa bahwa dia tidak sendiri, karena orang lain pun merasakan kondisi yang sama. Maka, dari hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Dislekisa. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak disleksia? Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari peneltian ini adalah untuk mengetahui hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak disleksia Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah :

9 Kegunaan Teoritis Untuk keilmuan psikologi, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi serta sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi, khsusunya Psikologi Klinis, Psikologi Sosial. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi manfaat dan berguna bagi seluruh orang tua, sehingga dapat mengetahui pentingnya dukungan dengan penerimaan diri bagi orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus salah satunya disleksia.