BAB I PENDAHULUAN. undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN. yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sains dan teknologi adalah suatu keniscayaan. Fisika adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prima Mutia Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya (2006:2) mengatakan bahwa pendidikan

2014 IDENTIFIKASI KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN SIKAP ILMIAH YANG MUNCUL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM PADA MATERI NUTRISI KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. panas. Pada zaman modern sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan lulusan yang cakap dalam fisika dan dapat menumbuhkan kemampuan logis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abas Hidayat, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dimana kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Di era global ini, tantangan dunia pendidikan begitu besar, hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

PENERAPAN PEMBELAJARAN OSBORN BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KREATIF DAN BERPIKIR KRITIS MATERI KUBUS DAN BALOK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan merupakan suatu kunci pokok untuk mencapai cita-cita suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa.

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. sendiri maupun lingkungannya. Menurut Undang undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan fisika sebagai bagian dari pendidikan formal dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III PEMBAHASAN. pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang bermutu. lagi dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dibandingkan secara rutin sebagai mana dilakukan melalui TIMSS (the Trends in

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK USAHA DAN ENERGI KELAS VIII MTS N-3 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan berfungsi sebagai pencetak SDM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas guna membangun bangsa yang maju. Kesuksesan di bidang pendidikan merupkan awal bangsa yang maju.

PROBLEM BASED LEARNING BERBASIS INQUIRY DITINJAU DARI SIKAP ILMIAH DAN KREATIVITAS MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Danty (2002:21) menyatakan Manusia yang berkualitas berarti manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada rendahnya kualitas pendidikan, dengan adanya kenyataan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 01/Tahun XVIII/Mei 2014 PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN INKUIRI PADA SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Lidia Rahmawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan paparan mengenai pendidikan tersebut maka guru. mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Pada hakikatnya, pendidikan berlangsung pada suatu sistem pendidikan, yang didalamnya terdapat komponen masukan, proses, dan hasil. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh sistem dan pelaksanaannya. Sistem akan beroperasi secara optimal apabila komponen pelaksana memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal. Pendidikan di Indonesia semakin hari kualitasnya semakin rendah. Faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas secara fisik, rendahnya kompetensi guru, dan mahalnya biaya pendidikan. Selain itu, prestasi siswa merupakan indikator kualitas pendidikan di Indonesia juga masih berkategori rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data survei TIMSS (Trend In Mathematics dan Science Study), prestasi sains Indonesia pada tahun

2007 berada di peringkat 35 dari 49 negara dan pada tahun 2011 berada di peringkat 40 dari 45 negara. (Marthin, 2012: 44). Selain itu OECD (2013:5) mempublikasikan hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2012 bahwa dalam bidang sains, Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi sains siswa di Indonesia masih sangat rendah dan semakin menurun dari tahun ke tahun dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada dasarnya sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Fisika adalah salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan matematika, serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. Namun fakta yang ditemukan di lapangan adalah pelajaran sains yang tidak disukai siswa adalah fisika. Berdasarkan hasil observasi peneliti di SMA Swasta Katolik Seminari Menengah Pematangsiantar, ditemukan beberapa permasalahan antara lain siswa kurang menyukai pelajaran fisika karena dianggap sulit dan tidak menyenangkan. Pada dasarnya, sikap dan keterampilan berpikir formal siswa dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Sikap positif dan keterampilan berpikir formal siswa yang tinggi terutama pada mata pelajaran yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa dan

keterampilan berpikir formal terhadap mata pelajaran, apalagi jika diiringi kebencian kepada guru dan mata pelajaran dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Salah satu penyebab kurang tertariknya siswa pada pelajaran fisika adalah pembelajaran yang digunakan guru. Model pembelajaran yang cenderung digunakan guru adalah pembelajaran konvensional yang dilakukan dengan metode ceramah dan presentasi. Dengan menerapkan pembelajaran ini, guru hanya menyajikan materi melalui laptop kemudian dijelaskan kepada siswa tanpa ada pembuktian secara praktek. Padahal, sekolah memiliki laboratorium namun siswa tidak pernah melakukan praktikum sehingga mereka tidak dapat mengembangkan ketrampilan mereka. Pengetahuan konsep fisika yang diperoleh siswa selama pembelajaran hanya secara teori, belum secara praktek. Artinya teori dan eksperimen belum terintegrasi, dan pelaksanaan praktikum yang belum optimal. Hal ini diperkuat dengan hasil observasi terhadap siswa kelas X SMA Swasta Katolik Seminari Menengah Pematangsiantar bahwa mereka tidak pernah melakukan praktikum dalam pembelajaran, dikarenakan minimnya pemanfaatan media/bahan praktikum. Siswa selalu berpikir pasif, hanya bersikap sebagai pendengar sehingga sikap ilmiah mereka juga tidak muncul. Keaktifan siswa hanya terlihat dalam mengerjakan soal-soal fisika saja. Hal ini membuat siswa kurang termotivasi dan pembelajaran fisika kurang bermakna. Inilah yang membawa efek negatif terhadap hasil belajar fisika siswa yaitu masih kurang memuaskan. Hanya beberapa siswa yang memperoleh hasil yang cukup memuaskan, selebihnya siswa harus melakukan remedial.

Pada hakikatnya, pembelajaran fisika lebih menekankan proses. Untuk itu, percobaan merupakan bagian terpenting dalam fisika. Dalam pembelajaran fisika. siswa berperan seolah-olah sebagai ilmuan. Siswa menggunakan metode ilmiah untuk mencari jawaban terhadap suatu permasalahan yang sedang dipelajari. Model pembelajaran menurut Joyce (1980 : 1) adalah pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran dan member petunjuk kepada pengajar dikelasnya. Penggunaan model pembelajaran yang inovatif dapat membuat pembelajaran fisika menjadi lebih menyenangkan dan bermakna. Salah satu model pembelajaran yang inovatif adalah model pembelajaran scientific inquiry. Model pembelajaran ini dapat digunakan untuk mengembangkan sikap ilmiah dan meningkatkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Model pembelajaran inkuiri tak hanya mengembangkan kemampuan intelektual teteapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan pengembangan ketrampilan. (Gulo, 2002: 93). Schwab (dalam Joyce, 1980: 10) mengemukakan bahwa Scientific Inquiry designed to teach the research system of a discipline, but also expected to have effects in the other domains, sociological methods may be taught in order to increase social understanding and social problem solving (model pembelajarans

scientific inquiry dirancang untuk pembelajaran system penelitian dari suatu displin, dan juga memiliki efek dalam domain lainnya, metode sosial dapat diajarkan untuk meningkatkan pemahaman sosial dan pemecahan masalah sosial). Dalam model pembelajaran scientific inquiry, siswa dibimbing oleh guru dalam memahami konsep melalui serangkaian percobaan. Dhakaa (2012: 81) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa belajar konsep biologi pada siswa kelas IX melalui model scientific inquiry lebih efektif dari pada pembelajaran konvensional. Ini berarti model pembelajaran scientific inquiry memiliki implikasi yang sangat penting bagi pembelajaran di dalam kelas sehari-hari dan juga kepentingan siswa. Model ini membuat proses pengajaran menjadi efektif dan lebih menarik. Siddiqui (2013: 77) juga berpendapat bahwa model pembelajaran scientific inquiry diterapkan untuk menghadapi emosional yang tinggi, membuat penyelidikan akademis, membantu semua tingkat kelas, memberikan teknik penelitian, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, meningkatkan tingkat penalaran, meningkatkan tingkat berpikir formal, mengembangkan tingkat pemahaman, menerapkan penyelidikan perilaku manusia dan meningkatkan tingkat interaksi. Model pembelajaran inkuiri bertujuan untuk menolong peserta didik dalam mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan serta mengajak peserta didik untuk aktif dalam memecahkan satu masalah. Penggunaan model pembelajaran inkuiri dalam proses pembelajaran dapat mendorong peserta didik untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersifat objektif, jujur,

dan terbuka, serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sendiri dan dapat mengembangkan bakat dan kecakapannya individunya. Melalui model pembelajaran scientific inquiry, siswa dihadapkan pada suatu kegiatan ilmiah (eksperimen). Siswa dilatih agar terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi melalui aktifitas berpikir dan mengikuti prosedur (metode) ilmiah, seperti terampil melakukan pengamatan, pengukuran, pengklasifikasian, penarikan kesimpulan, dan pengkomunikasian hasil temuan. Mereka diarahkan untuk mengembangkan keterampilan proses sains yang dimilikinya dalam memproses dan menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Marwoto (2009: 46) menyatakan bahwa pembelajaran sains dengan keterampilan proses penting sekali untuk diterapkan karena melibatkan siswa untuk aktif dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum yang dikembangkan. Implementasi LKS inkuiri membantu siswa dalam mempelajari konsep dan memberikan kesempatan pada siswa untuk berlaku seperti ilmuan sehingga memberikan pengalaman yang lebih mendalam tentang konsep sains fisika. Triwiyono (2011: 82) juga menyimpulkan pada hasil penelitiannya bahwa pembelajaran dengan eksperimen terbimbing dapat memperbaiki kualitas pembelajaran fisika pada topik getaran, gelombang, dan bunyi. Pembelajaran eksperimen terbimbing lebih efektif meningkatkan keterampilan berpikir formal siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang : Efek Model Pembelajaran Scientific Inquiry dan Keterampilan Berpikir Formal Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah yang relevan dengan penelitian ini sebagai berikut : 1. Siswa kurang tertarik pada pelajaran fisika. 2. Model pembelajaran yang digunakan guru yaitu pembelajaran konvensional yang terdiri dari metode ceramah dan presentasi. 3. Hasil belajar fisika siswa masih kurang memuaskan. 4. Belum terintegrasinya teori dan eksperimen. 5. Pelaksanaan praktikum belum optimal 6. Pemanfaatan media ajar dan bahan praktikum yang masih minimum. 1.3 Batasan Masalah Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda dalam penelitian ini dan mengingat keterbatasan kemampuan, materi dan waktu yang tersedia, maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai berikut : 1. Model pembelajaran scientific inquiry belum diterapkan di SMA Swasta Katolik Seminari Menengah Pematangsiantar. 2. Pembelajaran belum mempertimbangkan perbedaan keterampilan berpikir formal terhadap hasil belajar siswa. 3. Pembelajaran belum melihat adanya interaksi antara model pembelajaran scientific inquiry dengan keterampilan berpikir formal siswa.

1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran scientific inquiry lebih baik dibandingkan model pembelajaran Konvensional? 2. Apakah hasil belajar siswa yang memiliki keterampilan berpikir formal tinggi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki keterampilan berpikir formal yang lebih rendah? 3. Apakah ada interaksi model pembelajaran scientific inquiry dan keterampilan berpikir formal dalam meningkatkan hasil belajar siswa? 1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian adalah : 1. Untuk menganalisis hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran scientific inquiry lebih baik dibandingkan model pembelajaran langsung. 2. Untuk menganalisis hasil belajar siswa yang memiliki keterampilan berpikir formal tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki keterampilan berpikir formal rendah. 3. Untuk menganalisis interaksi model pembelajaran scientific inquiry dan keterampilan berpikir formal dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat bermanfaat : 1. Bagi siswa a. Meningkatkan minat belajar siswa pada pelajaran fisika. b. Meningkatkan keterampilan berpikir formal siswa. c. Meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Bagi Guru a. Menambah wawasan guru tentang model pembelajaran yang inovatif b. Mengembangkan ketrampilan guru dalam penggunaaan model pembelajaran. 3. Bagi peneliti selanjutnya Sebagai bahan refrensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya. 1.7 Definisi Operasional 1. Model pembelajaran scientific inquiry adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan ilmiah atau penemuan jawaban dari suatu masalah. Fase-fase dalam model ini adalah penyajian masalah kepada siswa; siswa merumuskan masalah; siswa mengidentifikasi masalah; dan siswa menemukan cara untuk mengatasi kesulitan tersebut. (Joyce & Weil, 2003: 188) 2. Keterampilan berpikir formal mendefinisikan sebagai keterampilan berpikir benar dalam mencapai kebenaran, dapat membedakan kenyataan yang diterima dan harapan yang diinginkan. Keterampilan berpikir formal mengidentifikasi linear operasi logis yaitu : penalaran proporsional,

pengontrolan variabel, penalaran probalistik, penalaran korelasional dan penalaran kombinatorial. (Tobin dan Capie, 1984 :5) 3. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi akibat pembelajaran. Hasil belajar terdiri dari tida ranah yaitu : kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif meliputi : mengingat (C1), memahami (C2), mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Ranah afektif meliputi : jujur, tanggung jawab, kerjasama, dan menyampaikan pendapat. Ranah psikomotorik meliputi : mengamati, menginterpretasi, merumuskan masalah, membuat hipotesis, melaksanakan percobaan, dan mengkomunikasikan data. (Anderson & David, 2010: 6)