BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang melalui. pembangunan di segala bidang. Dalam usaha untuk membangun itu dibutuhkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang membangun negara

BAB I PENDAHULUAN. seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa

Data Pribadi. Kelas/No. Absen. Alamat/Telp :... Pendidikan Ayah/Ibu. c. di bawah rata-rata kelas. Kegiatan yang diikuti di luar sekolah :.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas ini mengelola 12 fakultas dan program studi, dan cukup dikenal di

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan sangat penting. Hal ini disebabkan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu terlahir dengan memiliki kapasitas untuk belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan negara,

BAB 1 PENDAHULUAN. bebas, dan otonomi daerah telah mendesak dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu perguruan tinggi terdapat proses belajar dan mengajar, proses ini

BAB I PENDAHULUAN. dunia pendidikan. Perguruan Tinggi sebagai salah satu jenjang pendidikan di

BAB 1 PENDAHULUAN. yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu Fakultas yang berada di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. performance or volitional control self regulation pada mahasiswa angkatan 2014

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejak dahulu tenaga perawat pelaksana di ruang rawat inap dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, setiap orang dituntut untuk memiliki keahlian

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa bertambah, begitu juga halnya di Indonesia (

Studi Deskriptif mengenai Self Regulation dalam Bidang Akademik pada Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang baik maka tidak tersedia modal untuk melangkah ke depan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan salah satu syarat untuk bisa melakukan kegiatan

Lampiran 1 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. ( ISAK_TOROBI/T_ADP _Chapter1.pdf).

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu sarana utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, perhatian masyarakat mengenai hal-hal yang menyangkut

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutlah ilmu setinggi bintang di langit, merupakan semboyan yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan individu dimana mereka dituntut untuk belajar setiap

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi adalah salah satu usaha dari sekelompok orang yang bekerja

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah pelajar yang berada dalam jenjang pendidikan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004, pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. non-formal dan informal. Setiap jenis pendidikan tersebut memiliki tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang semakin canggih, dan persaingan dalam dunia pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan pembangunan nasional. Pendidikan merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. dunia kerja nantinya. Perguruan Tinggi adalah salah satu jenjang pendidikan setelah

Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

2014 GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PROKRASTINASI AKAD EMIK D ALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI PAD A MAHASISWA PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang membutuhkan pendidikan. Pendidikan yang telah diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. perlu dikembangkan sepanjang hidupnya. Dalam menjalani proses belajar setiap

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Penurunan jumlah imam yang ada di Indonesia saat ini seringkali menjadi

BAB I PENDAHULUAN. informal (seperti pendidikan keluarga dan lingkungan) dan yang terakhir adalah

LAMPIRAN. PDF created with FinePrint pdffactory Pro trial version

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pada jaman yang semakin berkembang, Indonesia semakin membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. bidang akademik, dimana hasil akhir pendidikan dapat mempengaruhi masa depan seseorang

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah melalui sekolah menengah kejuruan (SMK). Pendidikan kejuruan adalah bagian sistem pendidikan nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengajar. Teori Self-Regulated Learning dari B.J Zimmerman yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia adalah

STUDI MENGENAI SELF REGULATION PADA SISWA KELAS XI DI KELAS IQ SMA PASUNDAN 1 BANDUNG. Eni Nuraeni Nugrahawati, 2 Yuaninta Sari, 3 Delis Irmawati

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan pendidikan selain ikut mengantarkan manusia ke harkat dan martabat

Studi Mengenai Self Regulator pada Mahasiswa Underachiever di Fakultas Psikologi Unisba

BAB II KAJIAN TEORITIK. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Masa kini semakin banyak orang menyadari arti pentingnya pendidikan.

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Studi Deskriptif Mengenai Self Regulation pada Siswa Atlet SMPN 1 Lembang. Suchi Fuji Astuti,

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. (Kagan & Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977, dalam Steinberg, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini perguruan tinggi di Bandung sudah sangat banyak, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas yang dibutuhkan bagi peningkatan dan akselerasi pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah murid pada pendidikan tinggi dan memulai jenjang. kedewasaan (Daldiyono, 2009). Mahasiswa digolongkan pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. meminimalkan penggunaan tenaga dalam beraktivitas. Dampak positifnya,

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah label yang diberikan kepada seseorang yang sedang menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan siswa sering melakukan prokrastinasi tugas-tugas akademik. Burka dan Yuen

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kata, mahasiswa adalah seorang agen pembawa perubahan, menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa, juga memiliki intelektual akademik yang baik demi menghadapi era

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta cakupan dan batasan masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dyah Kusuma Ayu Pradini, 2014

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan Indonesia bisa lebih tumbuh dan berkembang dengan baik disegala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat menjadi generasi-generasi yang tangguh, memiliki komitmen terhadap

REGULASI DIRI DARI RESIDEN YANG MENJALANI PROGRAM REHABILITASI KETERGANTUNGAN NARKOBA. Shirley Melita Sembiring M. Universitas Medan Area, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. menjalani jenjang pendidikan di universitas atau sekolah tinggi (KBBI, 1991). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab ini akan dibahas beberapa landasan teori sebagai dasar untuk melihat

Bab I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang melalui pembangunan di segala bidang. Dalam usaha untuk membangun itu dibutuhkan berbagai macam sumber daya. Salah satu sumber daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman globalisasi, maka Indonesia diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Meskipun sumber daya manusia yang berkualitas itu tidak hanya diperoleh melalui pendidikan namun pemerintah Indonesia telah mengambil langkah untuk meningkatkan mutu dari pendidikan. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu (Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang-Depdiknas, dalam www.depdiknas.go.id). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bertanggungjawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian sehingga lulusannya dapat mengembangkan kinerja apabila terjun dalam dunia kerja. Hal yang menjadi perbedaan antara sekolah menengah kejuruan dengan sekolah menengah umum adalah jumlah mata pelajaran praktikum yang diberikan di sekolah menengah kejuruan lebih banyak daripada di sekolah menengah umum. Terdapat berbagai

2 macam jenis jurusan atau kejuruan yang tersedia pada sekolah menengah kejuruan di Indonesia. Salah satu jenis sekolah kejuruan adalah sekolah menengah farmasi yang bertujuan mempersiapkan siswanya sebagai lulusan yang dapat bekerja di apotek atau perusahaan obat sebagai apoteker atau peracik obat-obatan. Sekolah Menengah Farmasi Kristen X merupakan salah satu sekolah kejuruan swasta di Bandung. Sekolah Menengah Farmasi Kristen X ini memiliki tiga komponen pendidikan yaitu pendidikan normatif, adaptif, dan produktif. Pendidikan normatif bertujuan untuk membangun norma siswa SMFK melalui pelajaran PPKN, Agama, Sejarah, Olah Raga, dan Bahasa Indonesia. Pendidikan Adaptif bertujuan untuk menunjang pendidikan produktif melalui pelajaran Biologi, Matematika, Kimia, Fisika, dan Bahasa Inggris. Sedangkan pendidikan produktif merupakan pendidikan inti dari Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi karena pelajaran yang diberikan bersifat kefarmasian, yaitu pelajaran Ilmu Resep, Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM), Akuntansi (manajemen perapotekan, dan gudang farmasi), Farmakologi, Farmakognisi, dan Undangundang Kesehatan. Disamping itu, siswa SMFK-pun dibekali dengan praktikumpraktikum yang diberikan sejak kelas satu. Kehadiran siswa dalam mengikuti praktikum harus 95% dengan nilai terendah enam. Siswa SMFK X dipersiapkan untuk terampil dan ahli dalam bidang Farmasi ketika terjun ke dunia kerja. Menurut guru bagian kesiswaan SMFK X, hal ini dikarenakan tujuan dasar dari sekolah menengah kejuruan adalah mempersiapkan siswanya menjadi siap pakai di dunia kerja setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan.

3 SMFK X menerapkan kurikulum baru yang terdiri atas dua tujuan, yaitu mempersiapkan siswa agar siap pakai di dunia kerja serta mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi). Menurut salah satu guru bagian kesiswaan dengan adanya dua tujuan ini maka kurikulum baru akan memberatkan siswa karena selain ujian kejuruan siswa juga harus mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang terdiri atas ujian Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Dengan demikian, siswa SMFK X akan mengalami persaingan yang lebih ketat untuk berhasil dalam bidang akademik. Selain keterampilan dan pengetahuan yang memadai untuk menghadapi tantangan ini, siswa diharapkan sedini mungkin dapat mempersiapkan dirinya dengan menanamkan tata nilai dan kerja keras untuk mencapai sukses (Kompas, Senin, 12 Maret 2001) dan juga membentuk beberapa sikap antara lain lebih berorientasi ke masa depan, dalam arti siswa diharapkan lebih mampu belajar mengatur dirinya dan mulai merencanakan hidupnya secermat mungkin agar dapat mencapai setiap tujuan (goal) yang direncanakannya (Pikiran Rakyat, Jum at, 14 Maret 1997). Kemampuan siswa untuk mengarahkan pikiran, perasaan, dan tindakan yang diterapkan secara berulang-ulang untuk mencapai tujuan akademik yang didasari atas keyakinan dan motivasi dari dalam diri disebut kemampuan meregulasi diri dalam bidang akademik (Zimmerman, dalam Boekaerts, 2000). Regulasi diri terdiri atas tiga fase yaitu forethought, performance or volitional control, dan self reflection. Pada fase forethought, siswa mampu menetapkan tujuan dan menyusun strategi perencanaan dalam kegiatan belajarnya. Siswa akan

4 mampu merencanakan kegiatan belajarnya jika ditunjang dengan adanya keyakinan dari dalam diri. Pada fase performance or volitional control, siswa mampu melaksanakan semua rencana-rencana belajar yang telah disusunnya. Kemudian pada fase self reflection, siswa melakukan penilaian terhadap apa yang telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan rencana yang ingin dicapainya. Menurut wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru bagian kesiswaan SMFK X, sebagian besar siswa berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah. Guru bagian kesiswaan juga menambahkan bahwa orang tua atau keluarga yang memasukkan anaknya ke Sekolah Menengah Farmasi X mempunyai tujuan agar anaknya mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah. Siswa yang masuk SMFK X atas keinginan orang tua atau keluarga tersebut sebagian besar menyatakan bahwa awalnya mereka kurang berminat, tapi akhirnya mereka mampu menyesuaikan diri terhadap bidang Farmasi. Namun, ada juga siswa yang masuk SMFK X atas keinginan orang tua atau keluarga menunjukkan penyesuaian diri yang kurang terhadap bidang Farmasi, sehingga siswa kurang berusaha untuk tetap bertahan sekolah di SMFK X. Siswa tersebut menunjukkan sikap tidak mengerjakan tugas, terlambat dalam mengumpulkan tugas, tingkat kehadiran yang rendah di kelas, prestasi yang kurang, bahkan mengundurkan diri dari sekolah. Siswa SMFK X yang mampu meregulasi dirinya akan mampu menyesuaikan tujuan dengan minat yang dimiliki dalam kegiatan belajarnya, sehingga siswa akan belajar sebaik mungkin untuk mencapai tujuan akademik yang diharapkan. Sedangkan siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya akan menunjukkan sikap mempertahankan minat yang

5 rendah terhadap bidang Farmasi, sehingga siswa cenderung melakukan prokrastinasi dalam kegiatan belajarnya. Menurut Ferrari, tindakan menundanunda menyelesaikan tugas-tugas yang bermanfaat dan penting bagi dirinya, termasuk tugas-tugas prioritas utama dalam kegiatan belajarnya disebut prokrastinasi akademik (dalam Procrastination and Task Avoidance, 1995). Peneliti melakukan survey awal terhadap 50 siswa SMFK X, untuk memperoleh gambaran bahwa siswa SMFK X yang mampu meregulasi dirinya menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah dan siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi. Namun, ada juga siswa yang mampu meregulasi dirinya tapi juga prokrastinator dan siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya tapi tidak prokrastinator, serta alasanalasan siswa melakukan prokrastinasi akademik. Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti, maka diperoleh gambaran bahwa 36% siswa yang mampu meregulasi diri menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah. Siswa yang mampu meregulasi dirinya berarti mampu menyusun perencanaan dalam kegiatan belajar, mengendalikan diri untuk mencapai tujuan akademik, dan mengolah diri terhadap apa yang telah dilaksanakan dalam kegiatan belajarnya, sehingga siswa cenderung tidak akan menunda-nunda menylesaikan tugas-tugas belajarnya. Sedangkan, 28% siswa SMFK X yang kurang mampu meregulasi diri menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi. Siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya akan menjadi kurang terencana dalam melaksanakan kegiatan belajarnya, sehingga siswa cenderung menunda-nunda menylesaikan tugas-tugas belajarnya.

6 Ternyata, terdapat juga 24% siswa SMFK X yang mampu meregulasi diri dalam bidang akademik menunjukkan penundaan yang tinggi dalam kegiatan akademik. Sebagian besar siswa menyatakan bahwa kegiatan belajar mereka dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Siswa lebih memilih menonton televisi atau mengobrol daripada menyelesaikan tugas belajarnya. Sebaliknya, 12% siswa SMFK X yang kurang mampu meregulasi dirinya menunjukkan penundaan yang rendah terhadap kegiatan akademiknya. Siswa menyatakan bahwa tugas yang diberikan akan membantu mereka dalam memahami pelajaran di kelas, sehingga mereka akan menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Gambaran lain yang diperoleh adalah 34% siswa SMFK X yang mampu melakukan forethought menunjukkan penundaan yang rendah dalam menyusun kegiatan belajarnya. Siswa yang mampu melakukan perencanaan terhadap kegiatan belajarnya akan menetapkan tujuan yang ingin diraih serta menyusun strategi belajar sehingga kegiatan belajar siswa menjadi terarah. Sekitar 26% siswa SMFK X yang kurang mampu melakukan forethought menunjukkan penundaan yang tinggi dalam menyusun kegiatan belajarnya. Siswa menyatakan bahwa mereka sulit menentukan target dan strategi perencanaan, sehingga mereka menjadi kurang yakin diri dan menunda-nunda dalam kegiatan belajarnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa siswa SMFK X yang mampu melakukan forethought menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah, sebaliknya siswa yang kurang mampu melakukan forethought menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi.

7 Terdapat juga 32% siswa SMFK X yang mampu melakukan performance or volitional control menunjukkan penundaan yang rendah terhadap kegiatan belajarnya. Siswa melaksanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan rencana yang sudah disusunnya dengan tujuan untuk memperoleh nilai yang lebih baik dan ingin lebih maju dalam berprestasi. Mereka menyatakan bahwa dengan melaksanakan rencana belajar yang telah disusunnya akan membantu mereka untuk tidak membuang-buang waktu dengan percuma dalam belajar. Sedangkan, 30% siswa yang kurang mampu melaksanakan kegiatan belajar sesuai dengan rencana belajarnya (performance or volitional control) menunjukkan penundaan yang tinggi terhadap kegiatan belajarnya. Siswa menyatakan bahwa mereka mengerjakan tugas sekolah berdasarkan rasa suka terhadap pelajaran, sehingga mereka akan menunda-nunda mengerjakan tugas dalam pelajaran yang kurang mereka sukai dan juga tergantung mood pada saat tugas itu diberikan. Hal ini berarti, siswa SMFK X yang mampu melakukan performance or volitional control menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah, sebaliknya siswa yang kurang mampu melakukan performance or volitional control menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi. Diperoleh gambaran juga bahwa 36% siswa SMFK X yang mampu melakukan self reflection menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah. Setelah siswa melaksanakan kegiatan belajarnya, siswa mampu melakukan penilaian terhadap rencana yang telah disusun dengan apa yang telah dilaksanakannya, sehingga siswa dapat menyusun strategi belajar yang baru. Terdapat 28% siswa yang kurang mampu mengevaluasi diri cenderung

8 menunjukkan prorkastinasi akademik yang tinggi. Siswa kurang dapat menjelaskan apakah yang telah dilakukannya dalam kegiatan belajar sesuai dengan tujuan akademik yang ingin dicapai, sehingga siswa cenderung menunda untuk menyusun strategi rencana yang baru. Hal ini berarti siswa SMFK X yang mampu melakukan evaluasi diri menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah, dan siswa yang kurang mampu mengevaluasi dirinya menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi. Gambaran lain menunjukkan bahwa 52% siswa SMFK X memiliki penundaan yang tinggi terhadap tugas belajarnya. Berdasarkan 52% tersebut, 38% siswa menyatakan bahwa mereka menunda mengerjakan tugas belajarnya karena malas, dan 14% lagi menyatakan bosan sehingga mereka lebih memilih untuk mengerjakannya secara mendadak atau menyontek tugas teman di kelas. Sebaliknya, terdapat 48% siswa SMFK X yang menyatakan tidak menundanunda menyelesaikan tugas belajarnya. Siswa merasa bahwa mereka tidak perlu melakukan penundaan terhadap tugas-tugas di sekolah karena tugas itu diberikan oleh guru agar mereka lebih banyak latihan dan mengerti bahan yang diajarkan di kelas. Mereka juga menganggap bahwa dengan adanya tugas maka guru memberikan kesempatan untuk bertanya mengenai materi yang tidak dimengerti. Berdasarkan survey awal tersebut diperoleh gambaran, bahwa siswa SMFK X yang mampu meregulasi dirinya menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah dan siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi. Di samping itu, siswa yang mampu meregulasi dirinya tapi menunjukkan prokrastinasi akademik yang tinggi, dan

9 siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya tapi menunjukkan prokrastinasi akademik yang rendah. Dengan demikian, peneliti merasa tertarik untuk mengetahui hubungan regulasi diri dengan prokrastinasi akademik pada siswa SMFK X di Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Bagaimanakah hubungan kemampuan regulasi diri dan prokrastinasi bidang akademik pada siswa Sekolah Menengah Farmasi Kristen X di Bandung? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan regulasi diri dan prokrastinasi bidang akademik pada siswa di Sekolah Menengah Farmasi Kristen X Bandung. Tujuan dari penelitian adalah ingin mengetahui sejauhmana hubungan regulasi diri bidang akademik dan prokrastinasi bidang akademik pada siswa Sekolah Menengah Farmasi Kristen X di Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan Teoretis Memberikan informasi pada penelitian di bidang Psikologi Pendidikan dan Perkembangan mengenai regulasi diri dan prokrastinasi bidang akademik pada remaja.

10 Kegunaan Praktis - Sebagai bahan informasi bagi instansi atau sekolah yang bersangkutan mengenai regulasi diri bidang akademik dan prokrastinasi bidang akademik, dalam rangka menanggulangi penundaan tugas-tugas belajar yang dilakukan oleh siswa di sekolah. - Sebagai bahan pertimbangan bagi para guru khususnya guru yang menangani bagian kesiswaan atau guru bimbingan dan penyuluhan di Sekolah Menengah Farmasi Kristen X di Bandung, dalam rangka mengatasi permasalahan prokrastinasi yang dilakukan siswa di sekolah. - Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi para siswa di Sekolah Menengah Farmasi Kristen X di Bandung mengenai regulasi diri bidang akademik dan prokrastinasi bidang akademik. Dengan demikian siswa dapat meningkatkan kemampuan regulasi diri bidang akademik sehingga tidak menunjukkan prokrastinasi yang tinggi terhadap kegiatan belajarnya. 1.5 Kerangka Pemikiran Sekolah menengah farmasi merupakan salah satu program pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan pekerjaan di bidang Farmasi. Secara umum pendidikan kejuruan memiliki kesetaraan dengan pendidikan umum, namun pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang

11 berbeda dengan pendidikan umum bila ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran, dan lulusannya. Adapun salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan adalah berorientasi pada kinerja siswa dalam dunia kerja. Oleh karena itu, sekolah menengah farmasi lebih bertujuan untuk mempersiapkan siswanya sebagai lulusan yang siap kerja dan profesional di bidang farmasi. Keberhasilan siswa di sekolah, tidak hanya dipengaruhi oleh tujuan umum yang dimiliki sekolah menengah farmasi tapi juga ditentukan dengan adanya tujuan pribadi yang ingin dicapai dalam bidang akademik. Dalam mencapai tujuan pribadinya, siswa SMFK X perlu memiliki kemampuan regulasi diri yang memadai dalam bidang akademik. Regulasi diri mengacu pada thoughts (pemikiran-pemikiran), feelings (perasaan-perasaan), dan action (tindakan) yang direncanakan dan diterapkan oleh siswa SMFK X secara berulang-ulang untuk mencapai tujuan pribadi (personal goals) yang didasari oleh keyakinan dan motivasi dalam diri (Schunk, 1994; Zimmerman, 1989, 1990, 2000, Zimmerman & Kitsantas, 1996; dalam Boekaerts, 2000). Kemampuan regulasi diri ini tidak muncul dengan sendirinya pada diri setiap siswa, melainkan merupakan pengembangan tingkah laku yang dipelajari siswa dari lingkungan keluarga, teman sebaya, guru, serta aturan yang berorientasi ke dunia kerja. Dalam meregulasi diri, siswa SMFK X mengalami tiga fase yang merupakan siklus yaitu forethought, performance or volitional control, dan self reflection (1998; dalam Pintrich and Schunk,

12 2002). Fase Forethought merujuk pada kemampuan siswa SMFK X dalam meregulasi diri sehingga siswa mampu melakukan task analysis dalam menentukan tujuan akademik yang akan dicapainya secara sistematis sesuai dengan kemampuannya. Task analysis meliputi perencanaan dan pengaturan strategi untuk meraih tujuan tersebut. Dalam task analysis, siswa akan terus menerus melakukan goal setting yaitu menyesuaikan tujuan, dan melakukan strategic planning yaitu menentukan pilihan strategi yang tepat untuk menyelesaikan tugas akademiknya. Siswa SMFK X yang ingin memperoleh nilai yang baik maka akan selalu hadir dalam pelajaran, menambah waktu belajar di rumah, dan mengerjakan tugas yang diberikan agar dapat lulus tepat pada waktunya. Sedangkan, siswa yang kurang mampu meregulasi dirinya biasanya membuat target-target yang ingin dicapainya tapi kurang sistematis dan sesuai dengan kemampuan. Oleh karena itu, siswa tidak menyesuaikan tujuan dan pilihan strategi dengan tepat dalam mengerjakan tugas mereka, misalnya siswa ingin memperoleh nilai yang baik tapi tidak mau melengkapi catatan, mengerjakan tugas tapi dengan penundaan sehingga kualitasnya tidak optimal, atau tidak menyelesaikan mempelajari materi ujian bahkan sampai ujian berlangsung. Tujuan belajar dan strategi perencanaan yang telah ditetapkan hanya akan berhasil kalau disertai dengan self motivation beliefs. Self motivation beliefs meliputi self efficacy, outcome expectations, dan intrinsic interest or valuing dan goal orientation. Self efficacy berkenaan dengan personal beliefs

13 (keyakinan diri) untuk belajar dan bertindak, yaitu keyakinan bahwa siswa dapat memperoleh nilai raport yang baik. Outcome expectations berkenaan dengan keyakinan siswa tentang pencapaian hasil dari kegiatan belajarnya, yaitu pengharapan tentang konsekuensi dari nilai akhir yang akan diperoleh setelah menamatkan sekolah, sehingga memudahkannya untuk bersaing di pasaran kerja. Intrinsic interest or valuing dan goal orientation berkenaan dengan motivasi dari dalam diri untuk mencapai suatu tujuan (goal) dan usaha yang dilakukan oleh siswa agar memiliki performance yang lebih baik. Siswa akan memotivasi diri sendiri dalam menguasai atau memahami mata pelajaran dengan lebih baik lagi dan terus menerus memperbaiki kemampuannya tersebut. Sebaliknya, kekurangan motivasi dalam diri akan menyebabkan siswa menunda-nunda menyelesaikan tugas akademik yang diberikan di sekolah. Siswa SMFK X yang mampu meregulasi diri dalam bidang akademik akan melaksanakan strategi perencanaan yang telah disusun dalam kegiatan belajarnya (performance or volitional control). Pada fase ini, siswa SMFK X memiliki self control, meliputi menetapkan sendiri kegiatan belajarnya, mampu mengabstraksikan materi yang dipelajari, mampu memusatkan perhatian pada pelajaran, dan mampu menetapkan strategi belajar. Siswa akan mengarahkan dirinya sendiri pada tujuan akademik sesuai dengan rencana yang telah disusunnya, sehingga bisa membayangkan keberhasilan dalam meraih tujuan akademik tersebut. Siswa akan memfokuskan perhatiannya pada rencana-rencana yang telah disusunnya dengan mengabaikan gangguan-gangguan dari luar dan

14 melaksanakan strategi-strategi belajar tertentu untuk memahami materi pelajaran lebih baik lagi. Selain self control, siswa juga memiliki self observation (pengamatan terhadap pemahaman diri siswa). Self observation terjadi ketika siswa SMFK X melakukan pengamatan terhadap kegiatan belajarnya yang terdiri atas proses mengingat feedback yang diberikan (self recording) dan mencoba strategi belajar yang baru (self experimentation). Oleh karena itu, self-observation dapat mengarahkan siswa SMFK X pada pemahaman diri yang semakin besar dan performance or volitional control siswa menjadi lebih baik. Siswa SMFK X yang mampu meregulasi diri akan memperhatikan atau mengamati pola tingkah laku mereka yang berulang-ulang, misalnya mengamati gejala-gejala ketika mereka gagal mendapat nilai yang baik waktu latihan di kelas dan mereka berhasil mengatasinya dengan baik. Kemudian siswa akan mencoba menemukan kemungkinan-kemungkinan lain dari penyebab kegagalan tersebut. Fase terakhir dari regulasi diri adalah self reflection, merujuk kepada proses yang terjadi setelah siswa SMFK X berusaha melaksanakan rencanarencana yang telah disusunnya. Langkah ini akan berpengaruh terhadap perencanaan siswa selanjutnya. Dalam self reflection, siswa SMFK X memiliki self-judgement dan self-reaction. Kedua proses ini berkaitan erat dengan selfobservation (pengamatan terhadap pemahaman diri). Siswa SMFK X yang mampu meregulasi dirinya akan melakukan self-judgement yaitu usaha yang dilakukan siswa untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan yang berhasil dilakukannya (self evaluation) dan menjelaskan penyebab dari hasil yang

15 dicapainya (causal attribution). Sedangkan dalam self-reaction, siswa menunjukkan reaksi terhadap hasil yang diperoleh yaitu mempersepsi kepuasan atau ketidakpuasan (Self Satisfaction/Affect) dan menarik kesimpulan dari kegiatan belajarnya (Adaptive-Defensive). Tingkat kepuasan diri siswa SMFK X juga tergantung pada nilai-nilai intrinsik atau pentingnya suatu tugas akademik, misalnya siswa yang menilai bahwa praktikum lebih penting dan bernilai daripada pelajaran teori maka akan merasakan pengalaman ketidakpuasan yang besar dan kecemasan jika mendapatkan penilaian performance yang tidak menyenangkan dalam pelajaran praktikum dan tidak akan merasakan stress yang berlebihan jika penilaian pelajaran teorinya buruk. Siswa SMFK X yang mampu meregulasi diri akan menilai kepuasan diri dari menyelesaikan suatu pekerjaan yang baik lebih tinggi dibandingkan mendapatkan penghargaan-penghargaan berupa materi. Kepuasan diri meningkatkan self-motivational beliefs yang dimiliki oleh siswa SMFK X sebab akan membentuk dasar bagi usaha-usaha yang dilakukan dalam rangkaian regulasi diri yang dilakukan, bahkan siswa mampu mencapai tujuan akademik yang diharapkan. Sebaliknya ketidakpuasan diri menurunkan keyakinan diri dan minat pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugas selanjutnya. Siswa SMFK X yang melakukan adaptive inferences akan menarik kesimpulan-kesimpulan tentang bagaimana mengubah self-regulatory selama usaha-usaha belajar atau bertingkah laku selanjutnya. Adaptive inferences ini penting karena secara langsung mengarahkan siswa pada bentuk-bentuk performance regulasi diri yang baru dan secara potensial lebih baik (Zimmerman

16 & Martinez-Ponz, 1992; dalam Boekaerts, 2000). Sebaliknya, defensive inferences (pertahanan reaksi diri) memberikan dasar-dasar perlindungan bagi diri siswa dari ketidakpuasan di masa depan dan dampak-dampak yang tidak disukai, tapi disayangkan defensive inferences ini dapat menghambat penyesuaian terhadap kesuksesan. Defensive inferences termasuk helplessness (keadaan tidak berdaya), task avoidance (penghindaran tugas), dan apathy (sikap apati), procratination (penundaan). Siswa SMFK X yang mampu meregulasi diri kemudian akan melakukan perubahan pada hirarki goal-nya atau menggunakan strategi yang lebih efektif untuk mencapai goal-nya. Oleh karena itu, self-reaction terus menerus mempengaruhi proses forethought. Reaksi-reaksi kepuasan diri memperkuat keyakinan akan kemampuan diri tentang penguasaan keterampilan akademik, mempelajari orientasi goal (Schunk, 1996; dalam Boekaerts, 2000) dan minat intrinsik terhadap tugas (Zimmerman & Kitsantas, 1997; dalam Boekaerts, 2000). Siswa SMFK X yang telah menetapkan target akademik bahkan telah menyusun rencana-rencana yang akan dilaksanakan untuk mencapai target akademik tersebut dapat menunjukkan adanya prokrastinasi terhadap tugas-tugas akademiknya. Hal ini disebabkan siswa SMFK X termasuk dalam kategori masa remaja yang sangat dipengaruhi oleh emosi dan lingkungan dalam mengambil keputusan dan bertindak. Ferrari (1991a) menyebutkan bahwa penundaan tugastugas yang bermanfaat dan penting, termasuk tugas-tugas prioritas utama dalam bidang akademik disebut prokrastinasi akademik (dalam Procrastination and

17 Task Avoidance, 1995). Unsur-unsur tugas yang menjadi objek prokrastinasi akademik adalah tugas-tugas yang bersifat kurikuler atau akademik, termasuk pelaksanaan administratif hingga persiapan belajar (Green, 1986). Prokrastinasi dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu prokrastinasi pengambilan keputusan (decitional procrastinastion) dan prokrastinasi tingkah laku (behaviour procrastination). Siswa SMFK X yang mampu meregulasi diri akan mengarahkan diri untuk menyelesaikan tugas membuat tulisan-tulisan, mempersiapkan diri menghadapi ujian, mempersiapkan diri sebelum pelajaran dimulai, menyelesaikan administrasi akademik, menghadiri pertemuan, dan meraih nilai raport di atas rata-rata kelas. Tugas membuat tulisan meliputi tugas siswa dalam membuat makalah atau paper, tugas mengerjakan laporan kerja kelompok, dan tugas mengerjakan latihan-latihan soal. Siswa juga akan mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, baik ulangan harian ataupun ujian akhir semester dan mempersiapkan diri sebelum pelajaran dimulai. Selain itu, siswa akan menyelesaikan tugas administrasi akademik termasuk mengurus pembayaran sekolah, melengkapi catatan, dan mengembalikan barang-barang yang dipinjam oleh siswa seperti buku perpustakaan. Tugas menghadiri pertemuan meliputi kehadiran siswa pada waktu sekolah dan pertemuan dengan anggota kelompok. Tugas meraih raport di atas rata-rata dikelas berarti siswa mencapai prestasi di atas rata-rata. Siswa yang kurang mampu meregulasi diri akan menunda-nunda untuk melakukan tugas-tugas yang dapat membantu mereka mencapai tujuan akademik pribadi maupun sekolah. Siswa akan menunda-nunda untuk

18 menyelesaikan tugas membuat tulisan-tulisan, mempersiapkan diri menghadapi ujian, mempersiapkan diri sebelum pelajaran dimulai, menyelesaikan administrasi akademik, menghadiri pertemuan, dan meraih nilai raport di atas rata-rata kelas. Dengan demikian, siswa melakukan prokrastinasi terhadap tugas-tugas akademik dalam mencapai tujuan akademiknya. Solomon & Rothblum (1984) menyatakan tiga faktor utama yang mempengaruhi dan menyebabkan siswa SMFK X melakukan prokrastinasi akademik yaitu faktor takut gagal (fear of failure), faktor tidak menyukai tugas (Aversive of The Task), faktor kurang motivasi (Lack of motivation), dan faktorfaktor lain. Faktor takut gagal suatu kecenderungan mengalami rasa bersalah karena tidak dapat menggapai suatu tujuan atau gagal dalam bidang akademik. Harapan yang begitu besar dari orang lain merupakan awal dari kecemasan yang berujung pada rasa takut. Harapan yang begitu tinggi dapat berasal dari standar prestasi atas kompetensi diri sendiri yang begitu besar atau tinggi (perfeksionis) hingga menimbulkan kecemasan yang tinggi dan takut kegagalan. Siswa SMFK X takut mencoba soal-soal latihan yang kurang dipahami karena takut memberikan jawaban yang dinilai salah oleh teman atau guru sehingga mereka akan tidak mengerjakan soal-soal tersebut dan memilih melihat jawaban dari teman yang dianggap lebih pintar. Faktor tidak menyukai tugas berhubungan dengan perasaan negatif terhadap tugas atau pekerjaan yang sedang dihadapi. Perasaan dibebani tugas yang terlalu berlebihan, ketidakpuasan, dan tidak senang melaksanakan tugas yang diberikan. Siswa tidak suka mengerjakan tugas yang merupakan aktivitas yang

19 monoton dan membosankan, ada rasa kurang menyukai pelajaran atau guru yang bersangkutan sehingga siswa lebih memilih aktivitas menyenangkan yang memberikan kepuasan atau penguatan yang berarti. Siswa SMFK X menunda mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru yang kurang disukai atau pelajaran yang dianggap membosankan. Faktor kurang motivasi yaitu penundaan yang terjadi karena kurangnya atau tidak adanya motivasi dari dalam diri untuk memulai sesuatu. Penundaan tugas karena kurang motivasi dari dalam diri menunjukkan bahwa siswa memiliki kemampuan regulasi diri yang rendah karena siswa mempunyai motivasi dari dalam diri yang rendah untuk mencapai suatu tujuan (goal) dan usaha yang dilakukan oleh siswa agar memiliki performance yang lebih baik. Misalnya, siswa yang tidak segera menyelesaikan tugas yang diberikan karena beranggapan bahwa mereka dapat mengerjakannya di kelas sebelum pelajaran dimulai. Faktor-faktor lain yang disebutkan meliputi sifat ketergantungan yang kuat pada orang lain dan banyak membutuhkan bantuan, pengambilan resiko yang berlebihan, sikap yang kurang tegas, sikap pemberontakan, dan kesukaran memilih keputusan (Ferrari, 1994). Bila dicermati faktor-faktor ini melingkupi pula faktor-faktor yang dikemukakan sebelumnya. Siswa SMFK X yang berada di masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga akan membuat mereka mempunyai sifat ketergantungan pada orang lain dan membutuhkan bantuan seperti membutuhkan teman yang dianggap lebih pintar untuk menyelesaikan tugas di kelas. Siswa juga seringkali menunda menyelesaikan tugas akademiknya karena meliputi pengambilan resiko yang berlebihan seperti

20 resiko dijauhi karena menolak teman-teman kelompok bermainnya untuk pergi bersama-sama. Penundaan akademik karena sikap kurang tegas, sikap pemberontakan, dan kesukaran memilih keputusan lebih dikarenakan kondisi emosional remaja yang sangat berdampak pada siswa SMFK X. Penjelasan dari uraian di atas, dapat dilihat dari bagan kerangka pikir sebagai berikut:

21

22 1.6 Asumsi Sekolah Menengah Farmasi Kristen X bertujuan mempersiapkan siswanya agar memiliki kemampuan, keterampilan, dan keahlian dalam bidang farmasi sehingga lulusannya menjadi siap pakai di dunia kerja Siswa SMFK X mampu meregulasi diri bila mampu menentukan tujuan dan mengatur strategi perencanaan, serta melaksanakan rencana-rencana akademiknya. Kemudian, melakukan evaluasi diri apakah yang telah dilakukannya sesuai dengan apa yang ingin dicapai dan direncanakan sebelumnya. Pada fase evaluasi diri, siswa menunjukkan adaptive inferences dan defensive inferences. Siswa SMFK X yang adaptive inferences akan mengubah hirarki tujuan akademiknya atau memilih perencanaan belajar yang lebih efektif. Sedangkan siswa yang defensive inferences akan mempertahankan tujuan akademik atau perencanaan belajarnya meskipun hasil yang diperoleh kurang sesuai dengan apa yang diharapkan. 1.7 Hipotesis Terdapat hubungan negatif antara regulasi diri bidang akademik dengan prokrastinasi bidang akademik pada siswa SMFK X di Bandung.