BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum di Indonesia saat ini banyak mengalami kemajuan yang salah satu perkembangannya adalah berkaitan dengan praperadilan yang diajukan kepada pengadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Seperti putusan hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan mengenai penetapannya sebagai tersangka. Dengan adanya putusan tersebut akan berdampak pada banyaknya pengajuan praperadilanatas penetapan tersangka kasus-kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK, ataupun penetapan tersangka dalam kasus-kasus pidana yang lain, baik yang ditetapkan oleh Penyidik ataupun oleh Penuntut Umum, dengan alasan bahwa penetapan tersangka tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Indonesia merupakan Negara hukum dimana telah diamanatkan dalam UUD 1945 pra amandemen, yaitu dalam undang-undang dasar tahun 1945 Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). 1 Dalam Negara hukum semua orang baik warga negara, segala badan dan alat-alat hukum perlengakapan Negara maupun pejabat negara harus tunduk kepada hokum. 2014, hlm.1. 1 Teguh Prasetyodan Arie Purnomosidi,membangun hukum berdasarkan Pancasila, Nusa Dua, Bandung 1
Terkait dengan Negara Hukum, Ariestoteles menjelaskan bahwa Negara hukum adalah Negara yang berdiri diatas hukum dan menjamin keadilan kepada warga negaranya. 2 Dari penjelasan Aristoteles tersebut, maka maka dapat diketahui bahwa tindakan apapun yang dilakukan oleh negara harus berdasarkan hukum(asas legalitas) dan negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan bagi warga negaranya. Indonesia sebagai Negara hukum yang menunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 huruf (D) menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum.ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh warga Indonesia meskipun warga negara tersebut berstatus sebagai tersangka ataupun sebagai terdakwa, hak asasinyatetap diakui, mereka berhak untuk mendapatkan jaminan dan kepastian di depan hukum dalam proses hukum yang dijalaninya. Para penegak hukum pidana dalam mejalankan tugasnya harus berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya mengandung asas praduga tak bersalah. Asas ini harus diperhatikan dalam penegakkan hukum pidana, karena dengan asas ini salah satunya dimaksudkan un tuk menghindarkan terjadinya tindakan sewenang-wenang dalam penegakkan hukum pidana. Terkait dengan hal ini Zulkarnain, SH, mengatakan sebegai berikut : Dimana untuk mencegah perlakuan kesewenang-wenangan tersebut, KUHAP menyediakan ruang bagi tersangka dan terdakwa untuk melakukan pembelaan atas kesewenang-wenangan aparatur Negara dan ruang itu disebut Pra-peradilan. Dalam Pasal 1 butir 10 menegaskan bahwa Praperadilan adalah wewenang dari pengadilannegri untuk memeriksa dan memutuskan sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah tidaknya 2 http://tesishukum.com/pengertian-negara-hukum-menurut-para-ahli/ 2
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, dan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajuakan ke pengadilan. Kewenangan pelaksanaan praperadilan menjadi wewenang mutlak pengadilan negri. 3 Untuk mengoreksi tindakan aparat penegak hukum pidana, khususnya atas tindakan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, KUHAP mengintrodusir lembaga praperadilan terkait dengan tiga hal yaitu : sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan dan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi, sebagaimana dapat dibaca pada Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam Pasal tersebut tidak mengatur tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka. Keberadaan praperadilan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan horizontal, 4 atau dengan kata lain diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka. Dengan alasan untuk perlindungan hak asasi manusia, walaupun dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP tidak mengatur alasan praperadilan terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, ternyata ada yang mecoba untuk mengajukan praperadilan dengan menggunakan alasan tersebut, dan oleh pengadilan ternyata dikabulkan. Salah satu contoh kasus praperadilan yang berkaitan dengan penetapan tersangka adalah kasus degan tersangka Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Dalam kasusnya tersebut BG mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai 3 Zulkarnain. S.H., M.H., praktik peradilan pidana. Malang: setara press, 2013, hlm.60 4 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam praktik Hukum,, malang: UMM Press 2010, hlm.253 3
tersangka di Pengadilan Negri Jakarta Selatan.Atas permohonan praperadilan tersebut hakim Sarpin mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh BG yaitu bahwa penetapan tersangka yang menjadi dasar penangkapan BG tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, oleh karenanya penyidikan atas kasus yang disangkakan terhadap BG juga dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya penetapan tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 10 yang dipertegas dalam Pasal 77 yang menjelaskan bahwa: pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, b. penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan; c. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. 5 Permohonan praperadilan ini adalah satu upaya memperluas cakupan praperadilan. Upaya tersebut pernah di ajukan oleh Bahtiar Abdul Fatah terdakwa korupsi kasus biomediasi PT. Chevron yang mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapannya sebagai tersangka,yang di dalam gugatan tersebut mengacu pada putusan praperadilan hakim sarpin yang mengabulkan gugatan praperadilan BG. 5 M. Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 2. 4
Dalam kasus bachtiar abdul fatah mengajukan gugatan praperadilan mengenai penetapannya sebagai tersangka tersebut tersebut ditolak oleh hakim yang menanganinya karena penetapannya sebagai tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 77 KUHAP. Terkait dengan tidak dikabulkannya permohonan praperadilan tersebut, Bahtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan kepada Mahkamah konstitusi berkaitan dengan perluasan obyek dalam praperadilan dan mengenai kejelasan tetang frasa bukti permulaandan bukti permulaan yang cukup dalam peraturan perundang-undangan. Atas permohonan tersebut kemudian dalam putusannya MK memberikan penjelasan tentang bukti permulaan adalah keadaan,perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana. 6 Sedangkan dalam Pasal 17 bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan sesui dengan bunyi pasal 1 angka14 dan 77 huruf a mengenai sah tidaknya penangkapan dan penahanan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Rumusan Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 dalam frasa bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup tidak di sertai parameter yang jelas maka menimbulkan ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka. Begitupun dalam Pasal 77 huruf a yang terbatas memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan jelas tidak sepenuhnya dapat 6 PMK Nomor 202/PMK.03/2007 Pasal 1 angka 5 5
memberikan perlindungan yang cukup kepada seorang tersangka dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik. Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014, mengabulkan permohonan uji materi terkait dengan bunyi Pasal 77 KUHAP, yaitu dalampasal 77 KUHAP tentang objek Praperadilan. permohonan praperadilan tersebut menyangkut penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, selain itu mahkamah konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan tersangka dalam penyidikan. Menurut Prof. Moeljatno, tiap-tiap proses pidana bagian yang paling terpenting adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. 7 Menurut Ratna Nurul Afiah, KUHAP mengatur mengenai alat bukti, bahwa untuk menentukan tindak pidana kepada terdakwa, harus : 1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; 2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 8 Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU- XII/2014mengenai penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan dan dalam penetapan tersangka telah diperjelas dalam putusannya bahwa dalam penetapan tersangka 7 Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum U.G.M, hlm.132 8 Ratna Nurul Afiah, barang bukti dalam proses persidangan, Jakarta: Sinar Grafika 1988, hlm 19. 6
dibutuhkan minimal dua alat bukti, dapat memberikan keadilan dalam tingkat penyidikan serta kejelasan atas sah atau tidaknya penetapan seseorang tersangka dalam penyidikan.putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan para hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan permohonan sah atau tidaknya penetapan sebagai tersangaka, penggeledahan ataupun penyitaan. Dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 tentag perluasan obyek praperadilan terkait penetapan tersangka hakim memberi pertimbangan yaitupermasalah utama permohonan adalah pengujian pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, dan pasal 77 huruf a, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya di sebut KUHAP). Dalam hal ini frasa dan guna menemukan tersangkanya dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process of law serta melanggar hakatas kepastian hukum yang adil. Bahwa berdasarkan asas keadilan, Profesor Satjipto Raharjo telah mencoba mendefinisikan keadilan. Dikatakan bahwa menurut ulpianus; keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya, untuknya. 9 Perlu diketahui bahwa dalam frasa bukti permulaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa bukti permulaan yang cukup sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak pastian 9 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, Cintra Adyta Bakti, Bandung 2006, hal 163-164 7
hukum. Dalam asas kepastian hukum, dimana disenutkan tujuan hukum ada tiga yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum pidana adalah melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di pihak lain 10. Sehingga dengan adanya kepastian hukum seorang terdakwa mendapatkan keadilannya dan juga kemanfaatannya dalam sebuah peradilan pidana. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan? 1995 10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, semarang, 8
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Kosntitusi dalam putusan nomor 21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis : Menambah wawasan dalam bidang hukum acara pidana, khususnya terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan 2. Manfaat Praktis : Dengan adanya putusan tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan penetapan tersangka E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian: Dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum penelitian diatas, maka jenis penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yakni penelitian yang di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 11 2006 hlm 295 11 Ibrahim jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, malang, 9
Dalam hal ini penulis ingin menganalisi pertimbangan hakim putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan. 2. Pendekatan Masalah Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan ini di lakukan dengan menelaah seluruh peraturan perundang-undangan dan regulasi yang memiliki sangkut paut dengan isu hukum yang sedang di bahas dalam penelitian ini. 12 Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. 13 Dan juga menggunakan pendekatan kasus dimana pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi(case Approach). Kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi. 3. Sumber Data Yaitu fakta yang relevan atau actual yang diperoleh untuk membuktikan atau meguji suatu kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder yaitu dengan studi kepustakaan, peratuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan permasalahan mengenai praperadilan maupun tujuan penelitian sehingga dengan sumber data hukum tersebut dapat 2006, hlm 295 12 Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal 97-98 13 Ibrahim jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, malang, 10
menjawab tujuan penelitian. Sumber data hukum tersebut dapat di bedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder. 14 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-undangan. 15 Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan. Bahan hukum primer terdiri dari, perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 16 Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah : 1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, 2) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 3) Undang-undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 4) Undang-undang No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 5) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara 6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/2014 14 Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal 141 15 Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141 https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2014/08/09/data-sekunder-dalam-penelitian-hukum-normatif/ 16 Ibid 141 11
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat hukum / doktrin/ teoriteori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder pada dasarnya digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka peneliti akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini diperoleh dari literatur, jurnal, dokumentasi tertulis lainnya berkaitan dengan penangkapan dan penahanan yaitu Putusan MK No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan 4. Cara Memperoleh Data Pengolahan bahan hukum dengan studi kepustakaan yaitu dengan melakukan studi dalam rangka pemahaman perundang-undangan, arsip, buku / literature, artikel, dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan permasalahan mengenai pertimbangan putusan mahkamah kosntitusi nomor 21/PUU-XXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan, dengan bahan hukum tersebut di klasifikasikan sesuai permasalahan maupun tujuan penelitian sehingga dengan bahan hukum tersebut dapat menjawab tujuan penelitian 5. Unit Amatan dan Unit Analisis a. unit amatan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah putusan 21/PUU- XXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan 12
b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pertimbanagn Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/2014 terkait Perluasan Obyek Praperadilan 6. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan disajikan dalam bentuk pembagian atas 4 (empat) bab, yang masing-masing bab terbagi menjadi sub-sub bab dengan susunan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, baik secara teoritis maupun praktis, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II PEMBAHASAN A. Mekanisme penetapan tersangaka B. Praperadilan C. Pemeriksaan Persidangan di Mahkamah Konstitusi D. Hal-Hal Yang Harus Dipertimbangkan Dalam Memutus Perkara Pengujian Undang-Undang E. Gambaran Kasus Permohonan Praperadilan oleh Pemohon Bachtiar Abdul Fatah F. Permohonan Judicial Review dalam perkara Nomor 21/PUU- XXI/2014 G. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 21/PUU-XXI/2014 13
H. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 21/PUU- XXI/2014 I. Analisis BAB III PENUTUP Bab ini akan menguraikan tesis penulis mengenai pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XXI/2014 tentang perluasan obyek praperadilan telah sesuai dengan hukum pidana di Indonesia. 14