Larasaty Laras Sepenggal Kisah Kecil Pixie Publishing
Sepenggal Kisah Kecil Oleh: Larasaty Laras Copyright 2012 by Larasaty Laras Penerbit Pixie Publishing pixiehollow.wordpress.com pixieland@yahoo.co.id Desain Sampul: Larasaty Laras Gambar sampul diambil dari: Webjong Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Teruntuk orang-orang yang telah menemani hariku dan menciptakan sebuah cerita di setiap hariku. (Larasaty Laras) 3
Ini Tanggal 26 Januari Sepertinya menjadi stalker adalah hobi baruku. Bagaimana tidak, hapir setiap hari saat aku berselancar di dunia maya pasti dengan sendirinya tanganku membuka akun milikmu. Atau hatiku yang menyuruhnya? Apa yang aku lakukan? Hanya sekedar melihat apa yang kau tulis dan apa yang menurutmu menarik itu sudah cukup membuatku senang bukan main. Bisa berbalas pesan itu adalah bonus dari jalan-jalan isengku di akunmu. Maaf ya? Aku ingat saat terakhir kita bertemu karena janji iseng kita. Perjanjian konyol yang membuatku tidak bisa tidur semalam dan terus membuka tirai jendela kamarku menanti matahari dengan angkuhnya membangunkan penghuni bumi ini. Aku sulit sekali bangun pagi. keluhmu melalui pesan singkat di handphone ku. Benarkah? mau bertaruh denganku? tantangku. Bertaruh apa? Besok, siapa yang bangun duluan, telat-telatnya jam 6 pagi harus membangunkan salah satu diantara kita. Yang kalah harus mentraktir makan selesai jogging pagi. Bagaimana? Deal? 4
O.K. Aku tidak akan kalah. Lihatlah, besok aku akan menguras kantongmu karena porsi makanku yang menggila. Katamu. Oh aku takut! Kita lihat saja siapa yang kalah besok! dan malam pun berlalu hingga aku terjaga esok pagi. Pagi sekali kau datang dengan wajah yang masih baru bangun tidur dan tergeletak karena kantuk di teras depan rumahku. Kau bilang, jika semalam kau tidak bisa tidur dan menghabiskan malam dengan bermain Play Station. Aku hanya menggeleng tidak percaya dan menarikmu untuk berlari pagi di sekitar rumahku. Menyenangkan? Tentu saja. Kau bercerita banyak tentang mimpimu, tentang orang tuamu, tentang sahabat-sahabat kita, tentang kau yang barubaru ini menyukai b-boy asal negeri gingseng. Korea. Aku tidak percaya, kau menyukai apa yang aku sukai. Dan mengalirlah cerita diantara kita menghiasi dinginnya pagi itu. Kejadian itu meninggalkan sejuta kenangan yang tidak akan aku lupakan. Itu terakhir kita menghabiskan waktu bersama. Ya, hanya kita berdua tanpa sahabat-sahabat kita. Walaupun aku harus puas dengan embel-embel sahabat darimu. Lagi-lagi aku melakukan hal konyol dan ikut mengotori wall-mu dengan ucapan selamat ulang tahun. Karena, ini tanggal 26 Januari. 5
Lihat Aku ya? Hari ini tepat 2 bulan kita bolehkan, jika aku menyebutnya masa penjajakan? Aku tahu ini lucu, kita dipertemukan dalam kondisi yang menurutku sangat tidak wajar. Kita saling mengenal dulu. Teman kecil. Tapi kau tidak mengingatku. Sedih rasanya, padahal aku mengingatmu. Mengingat senyum nakalmu, meningat tawa polosmu, mengingat tingkah konyolmu. Dan, hampir 5 tahun kita tidak berjumpa kau datang dengan menawari hatimu yang sedang tidak terisi. Pertemuan itu dimulai dari sebuah proyek film dimana aku dan kamu terlibat langsung di dalamnya menjadi tokoh utama. Ide siapa lagi kalau bukan sahabat-sahabat kita yang mendaulat kita menjadi tokoh utama? Hari ini adalah hari pertama pengambilan gambar di salah satu stasiun besar di kota tempat kita tinggal. Kota kecil yang menggeliat menjadi kota besar. Hari itu siang terik, kau nampak lelah sepulang sekolah dengan baju seragammu. Aku lapar. Keluhmu padaku. Aku tertawa jika kau sudah bersikap seperti anak kecil. Aku ingat jika mama membawakanku bekal makanan sup ayam. 6
Kau mau sup ayam buatan mama? Aku tadi sudah makan di sekolah dan lupa jika mama membawakanku bekal. Kau boleh memakannya jika mau, masih enak kok! Benarkah? Tidak apa? ucapmu dengan mata berbinar. Tentu. Aku menyerahkan kotak makanku padamu dan kau mulai melahapnya. Senang melihatmu menyukai masakan mama. Jika aku jujur, kau pasti akan menolak sup ayam itu. Aku berbohong jika telah makan di sekolah. Aku belum makan. Tapi, melihatmu nampak kenyang itu sudah cukup bagiku. Aku tahu kedekatan kita tidak biasa. Setiap malam kau bercerita tentang sekolahmu, orang tuamu dan sahabatsahabat kita. Yang paling aku ingat adalah saat kau bercerita tentang kenangan bersama nenek mu di kampung halaman. Kau menelpon ku jam 3 pagi dan menumpahkan kerinduanmu pada nenekmu. Ini lebaran kan ya? Di rumah sepi. Mama dan Papa sibuk. Aku jadi rindu nenek di kampung halaman. Waktu kecil saat lebaran pasti aku merengek ingin ikut takbir keliling dan memukul beduk di masjid. Tapi, karena aku pendek aku tidak bisa memukul beduk itu. Untung ada nenek yang dengan senang hati menggendongku dan 7
membantuku memukul beduk. Senang sekali rasanya. Selain itu, aku juga merindukan kue cokelat nenek saat lebaran. Kau tahu, aku bisa menghabiskan 1 topeles kue cokelat buatan nenek. Dan setelah itu nenek pasti marah dan mengomel panjang lebar. Hahaha. Manis bukan kedekatan kita saat itu? Jika aku mengibaratkannya mungkin akan semanis cokelat buatan nenekmu yang kau habiskan satu topeles itu. Hahaha. Sama seperti cokelat. Manis itu tidak akan selamanya. Kau yang memilih mundur dengan cara yang menurutku sangat pengecut. Aku ingat hari itu kau akan tampil mengisi acara di salah satu kampus dan memintaku datang untuk melihatmu. Lihat aku ya? Itu bunyi pesanmu padaku. Aku merelakan pulang malam dan dimarahi mama demi melihat penampilan terbaikmu. Pukul 11 malam kau dan temantemanmu datang. Aku mencari sosokmu diantara kerumunan orang. Dan saat itu juga hatiku rasanya bagai dihantam godam yang sangat besar hingga hancur berkeping-keping. Ternyata kau memintaku melihatmu menggandeng gadis lain. 8
Halte 26 September dan Bintang Tersenyum Hari itu, sekitar 2 tahun yang lalu, aku merasa jika aku lelah dengan semuanya. Aku ingin mengungkapkannya padamu saat itu juga. Tuhan terlalu mudah men-setting pertemuan kita dan terlalu sulit men-setting perasaanku. Apakah aku harus mengutuk pertemuan itu dan mencaci saat-saat kita bisa tertawa lepas bersama? Itu terlalu indah untuk aku membencinya. Dan pada akhirnya kau hanya akan menggantungkan semuanya lalu menghempaskanku begitu saja. Inilah saat aku memberanikan diri mengajakmu keluar menikmati indahnya taburan bintang dan dinginnya malam. Bahkan saat itu bulan sabit yang sebagian orang mengartikan tersenyum, aku justru mengartikan sebaliknya, bulan itu bersedih karena dia tahu ini malam terkahir aku bisa seperti ini bersamamu. Menembus hiruk-pikuk kota kecil ini dengan membawaku dalam boncenganmu dan memacu motormu dengan kecepatan penuh. Dalam hati aku berteriak kau sudah gila! Aku terus memejamkan mataku dan mengeratkan pegangku pada notormu bukan padamu. Kenapa? Aku takut terlalu lancang dan membuat tidak suka padaku. Ribuan do a aku panjatkan agar aku masih selamat dalam boncenganmu. 9
Ban motormu berdecit karena beradu dengan aspal jalanan. Aku membuka mataku perlahan, apakah aku masih hidup atau sudah berada di neraka jahanaman Tuhan? Kuhembuskan nafas lega saat aku menyadari kita berhenti di sebuah halte kecil tak jauh dari rumahku. Kau memintaku turun dan ikut duduk disebelahmu, di halte itu. Apa maksudmu dengan tanggal 26 September? baru saja aku mengatur nafasku kau sudah bertanya dengan apa yang aku lakukan hari ini. Eh? Tidak ada. Jawabku singkat dan gugup. Aku tahu dari nada bicaranya dia pasti marah. Katakan! Apa yang kau maksud ini hari terkahirmu? Kau harus pergi? aku diam tidak menjawab. Aku hanya menundukkan kepalaku tidak tahu harus menjawab apa, terlalu takut! Aku pengecut? Mungkin! Kau ikut diam, kita diam. Hanya terdengar suara deru mesin pengguna jalanan pukul 10 malam. Aku tahu kau menanti jawabanku, tapi aku takut jika aku menjawabnya kau akan menjauh dari ku. Sampai akhirnya kau lelah menunggu jawabanku dan mengantarku pulang ke rumah. Saat sebelum kau pulang, aku memberikanmu segulung kertas berwarna hitam. Kau bingung? Pasti. Aku hanya bisa mengatakan. Bukalah, saat kau sampai rumah. 10