A. Latar Belakang Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dulu sampai

dokumen-dokumen yang mirip
INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

PERANAN BARANG BUKTI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PEMBUNUHAN DI PENGADILAN NEGERI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

LATAR BELAKANG MASALAH

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Transkripsi:

A. Latar Belakang Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti disamping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian. Istilah barang bukti dan alat bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan ( obyek delik ) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik. Disamping itu ada pula barang bukti yang bukan merupakan obyek, alat atau hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya pakaian yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh. Untuk menjaga keamanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sehingga dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang 1 terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.

Dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Selanjutnya ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dalam pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 1 Dalam penjelasan pasal 183 KUHAP ditegaskan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan tersebut sebagaimana pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif menurut undang-undang atau disebut Sistem Negatif Wettelijk, di mana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti dalam peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus lepas. Pada sisi lain, dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah. Dengan kata lain, walaupun hanya didukung oleh satu alat bukti yang sah, dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa maka terdakwa tersebut dapat dihukum. Dengan demikian hakim baru boleh menghukum seorang terdakwa apabila kesalahannya terbukti secara sah menurut undang-undang. Bukti-bukti itu harus pula 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Pasal 183

diperkuat dan didukung oleh keyakinan hakim. Jadi walaupun alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut dapat dibebaskan. Hal ini sejalan dengan tugas hakim dalam arti menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan ( Pasal 1 butir 9 KUHAP ) Undang-undang selalu menempatkan keyakinan hakim sebagai suatu kunci terakhir dalam pemeriksaan pengadilan di persidangan. Keyakinan hakim memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya bukti yang diajukan dipersidangan, bahkan keyakinan hakim diletakkan oleh pembuat undang-undang di tingkat teratas. Karena berapa pun saja upaya bukti yang diajukan di persidangan mengenai suatu tindak pidana, kalau hakim tidak yakin atas kesalahan (kejahatan) yang dituduhkan kepada terdakwa, terdakwa tidak dapat dipidana (pasal 183 KUHAP), berarti dibebaskan atau setidak-tidaknya dilepaskan. Dalam salah satu tindak pidana pembunuhan yaitu kasus pembunuhan Marsinah (buruh pabrik PT. Catur Putra Surya), pengadilan Negeri dan putusan Pengadilan Tinggi pada persidangan dengan terdakwa Mtr terdapat sedemikian banyak asas pembuktian yang telah dilewatkan oleh hakim bahkan cenderung untuk menselaraskan jalan cerita persidangan dengan dakwaan dari penuntut umum. Setidaknya hal ini terlihat dari putusan Mahkamah Agung terhadap terdakwa Mtr pada kasus yang sama dimana hakim pada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang jauh berbeda dengan apa yang diputuskan oleh hakim pada pengadilan Negeri maupun hakim pada Pengadilan Tinggi

pada kasus ini terhadap terdakwa Mtr. 2 Putusan dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa keyakinan hakim benar-benar menjadi kunci terakhir dalam putusan pengadilan di persidangan. Hal itu terlihat dari bagaimana banyaknya hakim melewatkan asas-asas pembuktian dalam menjatuhkan putusannya seperti yang disebutkan pada kasus di atas. Faktor keyakinan itulah yang memberi bobot dan sekaligus ciri pada prinsipprinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, peradilan yang bebas dan kebebasan hakim dalam mengenai perkara yang disidangkan. Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana ditegaskan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa, maka disinilah letak pentingnya barang bukti tersebut. Dengan demikian bukan tersangka (pelaku tindak pidana) saja yang harus dicari atau ditemukan oleh penyidik, melainkan bahan pembuktiannya pun harus ditemukan pula. Hal ini mengingat bahwa fungsi utama dari hukum acara pidana adalah tidak lain dari pada merekonstruksi kembali kejadian-kejadian dari seorang pelaku dan perbuatannya yang dilarang, sedangkan alat-alat pelengkap dari pada usaha tersebut adalah barang bukti. Pelaku, perbuatannya, dan barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus dari usaha mencari dan menemukan kebenaran materiil. Barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan menjadi penting karena dalam tindak pidana pembunuhan sering kali tidak ditemukan bukti-bukti yang lengkap, demikian juga saksi mata yang melihat kejadian tersebut. Begitu pentingnya barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan maka penyidik harus sebisa mungkin mendapatkan 2 https://ferli1982.wordpress.com/2011/05/07/analisa-hasil-putusan-pengadilan-pada-kasus-pembunuhan-marsinah/. Diakses pada tanggal 13 Januari 2016 20:18 wita.

barang bukti di tempat kejadian perkara (TKP), karena pengungkapan perkara tersebut berawal dari adanya barang bukti yang ditemukan dan kemudian disita oleh penyidik. Dalam prakteknya, penyitaan barang bukti juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan adalah mayat manusia, dalam hal ini tentunya dalam menangani perkara pembunuhan perlu ketentuan-ketentuan khusus yakni dalam hal penyitaan barang bukti apakah harus menunggu izin dari ketua pengadilan negeri setempat atau tidak, karena dikhawatirkan barang bukti dan lokasi di tempat kejadian perkara akan berubah atau bahkan hilang apabila tidak dilakukan tindakan oleh penyidik.terkait dengan hal tersebut, peneliti mengambil judul Kedudukan Barang Bukti Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pembunuhan di Pengadilan Negeri Barru Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dan diuraikan dalam penulisan skripsi ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Prosedur penyitaan dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun tanpa adanya surat izin penyitaan dalam perkara pembunuhan penyidik dapat langsung menyita barang bukti dalam perkara pembunuhan, karena penyitaan dalam perkara pembunuhan termasuk keadaan yang sangat perlu dan mendesak sehingga penyidik tidak memerlukan surat izin penyitaan terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri Barru, dari hasil penyitaan tersebut penyidik wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Barru guna memperoleh surat penetapan persetujuan penyitaan terhadap barang bukti dari Ketua Pengadilan Negeri Barru

2. Kedudukan barang bukti hanyalah sebagai pendukung alat bukti semata, namun barang bukti mempunyai peranan terhadap putusan pengadilan dalam perkara pembunuhan di Pengadilan Negeri Barru yaitu sebagai pertimbangan keyakinan yang menguatkan bagi hakim, tapi tidak menentukan putusan pengadilan/ vonis terhadap terdakwa.